"To-tolong," mohon Lusi lemah. "Tunggu sebentar ya, Bu," jawab si tetangga meminta izin. Perempuan berkerudung hitam itu lekas berlari. Di jalan dia berteriak minta tolong saat melihat ada seorang bapak-bapak yang sedang berjalan. Pria yang terlihat kuat itu tengah menggendong sebuah karung berisi rumput. "Ada apa, Bu Lastri?" tanya pria yang memang tetangga si perempuan. "Itu ... tolong Ibu itu." Tangan Ibu Lastri menunjuk Lusi yang masih bersimpuh di halaman rumahnya. "Kenapa memangnya?" tanya pria yang berbadan kurus itu. "Kayaknya istri Pak Arman keguguran," jawab Bu Lastri sambil memperhatikan Lusi, "tolong carikan kendaraan. Kasihan pendarahannya parah, sepertinya harus dibawa ke puskesmas.""Lho bukannya Bu Arman punya mobil sendiri?" ujar si bapak sembari menunjuk sedan BMW milik Lusi. "Itu mobil kecil, susah buat bawa orang sakit.""Ya sudah saya akan ke rumahnya Pak Haji Umar saja," ujar si bapak. Dirinya segera menaruh begitu saja rumputnya di tepi jalan. Dengan sed
"Ge-Geri?"Lusi tergagap karenanya. Wajahnya yang pucat terlihat kian pasi melihat kehadiran Geri. Laki-laki yang sudah bekerja pada Haris lebih dari sepuluh tahun."Lama gak jumpa saya pangling lho sama Ibu," ujar pria seumuran Arman itu dengan tatapan datar. "Sekarang wajahnya Bu Lusi keliatan kusam, gak bisa perawatan ya saat kabur kemarin?"Lusi hanya bisa diam mendengarkan sindiran dari Geri. Dalam hati dia mengiyakan omongan pria tersebut. Karena memang jangankan untuk melakukan perawatan di klinik kecantikan, pergi ke salon saja sudah tidak pernah lagi."Gimana Bu, enam bulan kabur udah pergi ke mana saja?" tanya Geri masih tanpa ekspresi."Bukan urusan kamu," tukas Lusi dengan lirikan tajam."Tentu menjadi urusan saya karena Pak Haris mengutus saya untuk mencari keberadaan Ibu.""Dan sekarang udah ketemu kan?""Belum dengan Arman. Di mana dia sekarang?""Aku gak tau," balas Lusi langsung membuang wajahnya.Geri menatap Lusi dengan malas. "Ayolah jangan mempersulit diri sendir
"Kamu masih pake cincin nikah dari si Haris kan?""Ah iya." Lusi mengangguk semangat."Jual itu dulu," suruh Arman serius. Dia lantas mengarahkan Lusi bagaimana cara kabur di rumah sakit.Lusi mengangguk. Dia telah paham dengan intruksi dari Arman. Perempuan itu melihat jam di layar ponsel. Sudah pukul tiga sore.Dirinya menatap selang infus di pergelangan tangannya. Lusi sudah bertekad. Dia tidak mau di penjara tanpa Arman.Lusi menahan napasnya sesaat. Setelah merasa yakin dia mencabut selang infus tersebut. Bibirnya meringis menahan rasa sakit yang mendera.Selang beberapa menit kemudian, Lusi bangkit dari ranjang. Perempuan itu berjalan pelan menuju pintu kamar. Lewat celah kaca dia mengintip keadaan di luar."Sialan aku sampai harus dijaga polisi segala," umpat Lusi begitu melihat ada seorang petugas yang berjaga di luar bersama anak buahnya Geri.Perempuan itu menghempaskan nafasnya dengan kesal. Dia kembali menuju ranjangnya. Lusi pun mulai melakukan instruksi dari Arman.Dirin
"Akhhh!" Lusi menjerit lara. Dia merasakan sakit yang teramat pada betis kirinya. Dara merah mulai mengaliri kakinya. Lusi menangis. Seumur hidup baru kali ini dia merasakan rasa sakit sehebat ini. Panas, perih, dan ngilu bercampur menjadi satu. Beberapa hari lalu ia berpikir jika keguguran adalah sakit yang teramat. Sekarang Lusi sadar kalau ternyata tertembak justru lebih sakit dari keguguran. Petugas dan anak buah Geri sendiri langsung bergerak mendekati Lusi. Keduanya membiarkan dulu perempuan itu menangis kesakitan. "Coba kalo Ibu mau kerja sama, gak malah kabur dan berusaha melawan kita, pastinya saat ini Ibu dalam keadaan baik," ujar si petugas sedikit iba melihat Lusi yang berderai air mata. Lusi langsung mendongak. "Kalian berdua orang yang jahat!" kecamnya murka, "saya wanita yang baru saja keguguran dan Anda tega menembak saya. Semoga Tuhan membalaskan sakit hati saya. Kalian akan mendapatkan karma yang setimpal," umpatnya menggebu-gebu. "Ibu melawan kami. Tindakan ya
Geri memeriksa ponselnya Lusi. Tidak banyak nomor di daftar kontaknya. Namun, ada satu nomor yang sering dihubungi oleh Lusi. Bahkan nomor tersebut baru menghubungi Lusi satu jam yang lalu. Geri menatap nomor tersebut. Lusi menandai kontak tersebut dengan nama Mando. "Bukannya nama Arman panjangnya Armando?" tebak Geri sambil menipiskan bibir, "fix aku gak perlu susah-susah buat menyelidiki. Ini pasti nomornya Lusi."Laki-laki itu mulai mengecek nomornya Arman. Tanpa banyak berpikir pria itu segera melakukan pelacakan lewat GPS. "Oh rupanya dia sedang ada di Jakarta. Daerah Cilandak rupanya," ujar Geri begitu mendapatkan temuannya. Pria itu menghela napasnya dengan panjang. Sore ini dia bisa bernapas lega. Karena sebentar lagi dirinya yakin akan bisa meringkus Arman. *Keesokan harinya Geri menemui Livia dan Lusi di rumah sakit. Istri Haris itu sudah sedikit tenang berkat kelembutan Livia saat menjaga. Geri dibuat senang karena ternyata Livia mengerjakan tugasnya dengan baik. Gad
Arman terbangun dari tidurnya begitu alarm di ponselnya berdering. Masih dengan mata yang terpejam Arman meraba-raba meja kecil di dekat kasurnya. Dia akan melihat waktu pada telepon pintarnya.Dengan mata yang masih terasa berat Arman menatap layar ponsel. Sudah pukul setengah sepuluh pagi. Pria itu menaruh kembali gadgetnya secara asal di kasur.Nyawa Arman belum sepenuhnya kumpul. Pria itu masih bergeming dulu untuk beberapa saat. Maklum semalam habis bergadang dengan bersenang-senang di club.Enam bulan dalam persembunyian membuat Arman merindukan dunia gemerlapnya. Usai berhasil menjual empat koleksi jam tangannya Haris, dirinya memilih untuk sedikit mencari hiburan.Kesadaran Arman sudah penuh. Sekali sentak pria itu bangun dari tidurnya. Saat ini dirinya sedang berada di sebuah kamar hotel kelas Melati.Arman sengaja memilih tempat tersebut selain menghemat uang juga tidak ribet saat reservasi. Apalagi saat ini dirinya memang sedang dalam masa penyamaran.Arman membuka korden k
"Sekarang ada di mana?"Lagi Livia menatap Geri. "Bilang saja masih di Jogja," bisiknya mengajari Livia."Aku masih di Jogjakarta, Mas. Masih bersembunyi dari kejaran anak buah Mas Haris," tutur Livia begitu mendapatkan alasan."Oh gitu? Ya sudah pokoknya kamu harus segera bisa ke Jakarta. Karena setelah aku bisa jual rumah dan mobil aku, kita akan pergi ke Bangka Belitung.""Ke Babel?" ulang Livia ingin memperjelas. Sedangkan Geri segera mempertajam pendengarannya."Iya, kita akan hidup tenang di sana.""Oh oke." Walaupun tidak ada orangnya tetapi Livia memberikan anggukan, "kamu sendiri sembunyi di mana, Mas?" koreknya serius."Di motel--""Iya, motel mana?" potong Livia tidak sabaran."Apa sih? Kek bukan Lusi ini.""Calm, Vi. Nanti Arman bisa curiga," bisik Geri mengingatkan."Ya, maaf Mas. Habisnya siang ini juga aku mau berangkat ke Jakarta. Jadinya kan langsung ke motelnya kamu," kilah Livia sedikit lembut."Gampang! Yang penting kamu bisa nyampe ke Jakarta dulu, nanti aku jempu
"Ya udah cepat ambil, aku pengen liat," suruh Arman antusias.Teman Arman yang berambut cokelat itu menuju kamar yang tadi ia tunjuk. Selang beberapa menit dia telah kembali. Tayangnya menyodorkan sebuah kantong.Arman dengan rasa antusias menerima kantong tersebut. Pria itu segera membuka isinya. Sebuah senjata api jenis FN."Muat dua puluh peluru tuh," terang temannya Arman.Arman hanya mengangguk. Pria itu mengamati setiap lekuk senjata berwarna hitam tersebut. Dengan penuh kekaguman dia mengelus benda tersebut."Kapan teman kamu yang mau beli mobil datang?" tanya Arman usai menyelipkan pistol tersebut di celananya. Lalu menutupi dengan baju kokonya."Tadi dia bilang lagi OTW," sahut teman Arman sambil menghempaskan tubuhnya di kursi empuk yang ada.Kedua orang itu lantas terlibat percakapan. Arman yang mendominasi cerita. Karena sang kawan memintanya untuk menuturkan pengalaman pria itu selama bersembunyi di Jogyakarta.Tidak terasa sudah lebih dari setengah jam keduanya mengobrol