"Apa ini?" tanya Arman tidak paham."Aku hamil lagi, Man.""Persetan!" Arman langsung melempar begitu saja alat tersebut."Man--""Kamu mau minta aku nikahi?"Lusi hanya melengos."Kita berdua aja hidupnya gak tenang, takut sewaktu-waktu ketangkep," omel Arman lagi, "lagian udah berapa kali aku bilang jangan lupa minum pil KB, bego banget sih jadi orang," kecamnya kesal."Kamu pikir nyari pil KB itu mudah? Di sini jauh dari apotek, Man.""Ya itu urusan kamu," sergah Arman tidak mau mengalah, "pokoknya selesai aku mandi sudah harus ada makanan. Awas kalo gak ada," ancamnya dengan tatapan sengit.Lusi terdiam. Matanya menatap kepergian Arman meninggalkan kamarnya. Perempuan itu lantas mendengkus.Tiba-tiba dia merasa sedih. Air mata luruh membasahi pipinya. Namun, cepat ia hapus. Lusi tidak mau kena omel Arman jika tidak segera mencari makanan.Perempuan itu bergegas meraih gamis dan kerudung panjang yang tergantung di tembok. Agar penyamarannya tidak mudah diketahui Arman menyuruhnya
Lusi membuka ponselnya. Wanita itu melihat-lihat isi galeri. Ada banyak foto Alsaki di dalamnya. Tanpa sadar bibirnya melukis senyum menatap gambar buah hatinya."Ah kayaknya kalo telpon Leon gak masalah deh. Aku yakin dia akan jaga rahasia," pikir Lusi begitu teringat adik keduanya.Penuh keyakinan perempuan itu segera menekan nomornya Leon. Sayangnya sekali nomor sang adik sedang tidak aktif. Lusi sampai mengumpat kesal karenanya."Apa iya aku harus menghubungi Livia? Tapi dia anak yang jujur banget, aku takut dia bakal ngasih tau ke Mas Haris," gumam Lusi bingung sendiri."Akhh ... Aku kan dari kecil yang menghidupi dia. Livia bisa kuliah juga berkat aku, kayaknya dia gak akan tega kalo mau melaporkan aku," tuturnya meyakinkan diri.Lagi penuh dengan keyakinan Lusi menghubungi nomor Livia. Perempuan itu bernapas lega saat mendengar nada aktif dari nomor Livia."Halo dengan siapa ini?" Suara lembut Livia menyapa di seberang sana."Vi, apa kabarnya? Ini Mbak Lusi."Di tempatnya Livia
Sore itu Lusi sedang menghadap televisi. Dengan kaos tanpa lengan dan celana pendek dia akan melakukan senam zumba. Dia berkeyakinan dengan banyak bergerak aktif maka calon janin di perutnya bisa akan luruh. Lusi mulai mengikuti gerakan yang diajarkan oleh instruktur dalam video youtube tontonannya. Dengan semangat dia melakukan pemanasan sampai inti dari senam. Ketika sedang serius meliuk-liukan badan, terdengar bunyi salam di pintu. Lusi menjeda video. Wanita itu buru-buru mengambil baju dan kerudung panjangnya. Tidak lupa cadarnya. Arman selalu berpesan untuk selalu menutup identitas. Kendati saat mereka sudah berada di daerah perdesaan yang jauh dari kota. Setelah merasa benar-benar tertutup, Lusi menuju pintu. Perempuan itu ingin tahu siapa yang datang. Ternyata tukang paket yang datang. Laki-laki dengan seragam ekspedisi itu mengantarkan pesanannya yang berupa obat pelancar haid. "Terima kasih, ya," ucap Lusi lembut. Perempuan itu lekas menutup pintu usai tukang paket menj
"To-tolong," mohon Lusi lemah. "Tunggu sebentar ya, Bu," jawab si tetangga meminta izin. Perempuan berkerudung hitam itu lekas berlari. Di jalan dia berteriak minta tolong saat melihat ada seorang bapak-bapak yang sedang berjalan. Pria yang terlihat kuat itu tengah menggendong sebuah karung berisi rumput. "Ada apa, Bu Lastri?" tanya pria yang memang tetangga si perempuan. "Itu ... tolong Ibu itu." Tangan Ibu Lastri menunjuk Lusi yang masih bersimpuh di halaman rumahnya. "Kenapa memangnya?" tanya pria yang berbadan kurus itu. "Kayaknya istri Pak Arman keguguran," jawab Bu Lastri sambil memperhatikan Lusi, "tolong carikan kendaraan. Kasihan pendarahannya parah, sepertinya harus dibawa ke puskesmas.""Lho bukannya Bu Arman punya mobil sendiri?" ujar si bapak sembari menunjuk sedan BMW milik Lusi. "Itu mobil kecil, susah buat bawa orang sakit.""Ya sudah saya akan ke rumahnya Pak Haji Umar saja," ujar si bapak. Dirinya segera menaruh begitu saja rumputnya di tepi jalan. Dengan sed
"Ge-Geri?"Lusi tergagap karenanya. Wajahnya yang pucat terlihat kian pasi melihat kehadiran Geri. Laki-laki yang sudah bekerja pada Haris lebih dari sepuluh tahun."Lama gak jumpa saya pangling lho sama Ibu," ujar pria seumuran Arman itu dengan tatapan datar. "Sekarang wajahnya Bu Lusi keliatan kusam, gak bisa perawatan ya saat kabur kemarin?"Lusi hanya bisa diam mendengarkan sindiran dari Geri. Dalam hati dia mengiyakan omongan pria tersebut. Karena memang jangankan untuk melakukan perawatan di klinik kecantikan, pergi ke salon saja sudah tidak pernah lagi."Gimana Bu, enam bulan kabur udah pergi ke mana saja?" tanya Geri masih tanpa ekspresi."Bukan urusan kamu," tukas Lusi dengan lirikan tajam."Tentu menjadi urusan saya karena Pak Haris mengutus saya untuk mencari keberadaan Ibu.""Dan sekarang udah ketemu kan?""Belum dengan Arman. Di mana dia sekarang?""Aku gak tau," balas Lusi langsung membuang wajahnya.Geri menatap Lusi dengan malas. "Ayolah jangan mempersulit diri sendir
"Kamu masih pake cincin nikah dari si Haris kan?""Ah iya." Lusi mengangguk semangat."Jual itu dulu," suruh Arman serius. Dia lantas mengarahkan Lusi bagaimana cara kabur di rumah sakit.Lusi mengangguk. Dia telah paham dengan intruksi dari Arman. Perempuan itu melihat jam di layar ponsel. Sudah pukul tiga sore.Dirinya menatap selang infus di pergelangan tangannya. Lusi sudah bertekad. Dia tidak mau di penjara tanpa Arman.Lusi menahan napasnya sesaat. Setelah merasa yakin dia mencabut selang infus tersebut. Bibirnya meringis menahan rasa sakit yang mendera.Selang beberapa menit kemudian, Lusi bangkit dari ranjang. Perempuan itu berjalan pelan menuju pintu kamar. Lewat celah kaca dia mengintip keadaan di luar."Sialan aku sampai harus dijaga polisi segala," umpat Lusi begitu melihat ada seorang petugas yang berjaga di luar bersama anak buahnya Geri.Perempuan itu menghempaskan nafasnya dengan kesal. Dia kembali menuju ranjangnya. Lusi pun mulai melakukan instruksi dari Arman.Dirin
"Akhhh!" Lusi menjerit lara. Dia merasakan sakit yang teramat pada betis kirinya. Dara merah mulai mengaliri kakinya. Lusi menangis. Seumur hidup baru kali ini dia merasakan rasa sakit sehebat ini. Panas, perih, dan ngilu bercampur menjadi satu. Beberapa hari lalu ia berpikir jika keguguran adalah sakit yang teramat. Sekarang Lusi sadar kalau ternyata tertembak justru lebih sakit dari keguguran. Petugas dan anak buah Geri sendiri langsung bergerak mendekati Lusi. Keduanya membiarkan dulu perempuan itu menangis kesakitan. "Coba kalo Ibu mau kerja sama, gak malah kabur dan berusaha melawan kita, pastinya saat ini Ibu dalam keadaan baik," ujar si petugas sedikit iba melihat Lusi yang berderai air mata. Lusi langsung mendongak. "Kalian berdua orang yang jahat!" kecamnya murka, "saya wanita yang baru saja keguguran dan Anda tega menembak saya. Semoga Tuhan membalaskan sakit hati saya. Kalian akan mendapatkan karma yang setimpal," umpatnya menggebu-gebu. "Ibu melawan kami. Tindakan ya
Geri memeriksa ponselnya Lusi. Tidak banyak nomor di daftar kontaknya. Namun, ada satu nomor yang sering dihubungi oleh Lusi. Bahkan nomor tersebut baru menghubungi Lusi satu jam yang lalu. Geri menatap nomor tersebut. Lusi menandai kontak tersebut dengan nama Mando. "Bukannya nama Arman panjangnya Armando?" tebak Geri sambil menipiskan bibir, "fix aku gak perlu susah-susah buat menyelidiki. Ini pasti nomornya Lusi."Laki-laki itu mulai mengecek nomornya Arman. Tanpa banyak berpikir pria itu segera melakukan pelacakan lewat GPS. "Oh rupanya dia sedang ada di Jakarta. Daerah Cilandak rupanya," ujar Geri begitu mendapatkan temuannya. Pria itu menghela napasnya dengan panjang. Sore ini dia bisa bernapas lega. Karena sebentar lagi dirinya yakin akan bisa meringkus Arman. *Keesokan harinya Geri menemui Livia dan Lusi di rumah sakit. Istri Haris itu sudah sedikit tenang berkat kelembutan Livia saat menjaga. Geri dibuat senang karena ternyata Livia mengerjakan tugasnya dengan baik. Gad