Waktu terus bergerak. Kian malam pengunjung kafe justru bertambah ramai. Kebanyakan dari mereka sengaja menikmati indahnya langit pantai sembari duduk-duduk manis dengan pasangan atau teman. Beberapa kali Gavin melihat beberapa sepasang muda-mudi yang tampak romantis. Ada yang saling bercanda satu sama lain, bergurau dan menggoda. Bahkan ada yang berani memamerkan kemesraan di kafe tersebut seperti saling menempel seperti perangko. Melihat pemandangan yang ada Gavin ingin merasakan juga. Sayangnya Abrina tidak bisa diajak kerja sama. Bahkan tidak peka. Beberapa kali Gavin berbuat manis padanya gadis itu sibuk sendiri dengan ponselnya. "Bisa gak sih naruh hape lu di meja dulu?" protes Gavin bete melihat Abrina fokus pada layar ponselnya. "Kenapa emang?" sahut Abrina tanpa rasa berdosa. Matanya masih fokus gadget. "Ck!" Gavin berdecak, "Bi, ini tuh malem minggu.""So what?" Mata Abrina membulat dengan lucunya. Ingin rasanya Gavin mencium manik indah tersebut. Sayangnya itu semua s
"Bang, lu ngapain ada di kamar gue?" protes Gavin dengan kekinya. Gibran lekas bangkit dari rebahannya. "Kenapa kamu nggak suka?" "Gak sukalah!" sahut Gavin langsung menyeru. "Ini kamar gue, privasi gue. Bisa-bisanya lu bisa masuk ke kamar gue?" semprotnya sambil menerjang sang kakak. Beruntung Gibran sigap menghindar sehingga Gavin justru jatuh sendiri ke ranjang. Pemuda itu pun buru-buru bangkit dari kasur. "Dengar ya, Vin, pokoknya setiap kamu mau melakukan hal yang aneh-aneh sama Bina, aku akan datang untuk menyelamatkan dia," tutur Gibran santai. "Hal aneh apaan sih?" Gavin tetap memprotes. "Maksud kamu pilih conneting room itu apa? Biar leluasa masuk ke kamarnya Bina?" tuding Gibran datar. "Pasti lu pikirannya jelek deh, Bang." Gavin balas menuding. "Ya, kalo kamu gak pilih kamar ini aku gak akan berpikiran jelek."Gavin mendengkus. "Bang, gue sengaja pilih connecting room tuh biar gampang dibangunin sama Bina. Lu tau sendiri kan gue paling susah bangun pagi.""Ada alarm
Abrina yang paham dengan maksud Gavin hanya mengangguk. "Ya udah kita berangkat ya," pamitnya kemudian. Gavin mengizinkannya dengan anggukan. Pemuda itu menatap kepergian Abrina dan Gibran sampai keduanya hilang di balik pintu. Dirinya lantas melirik jam digital di nakas. Baru pukul lima kurang lima belas menit. Gavin memutuskan untuk meneruskan tidurnya kembali. Sebenarnya dia ingin menemani Abrina syuting, tapi kehadiran Gibran dan model klip itu membuatnya mengurungkan niat. Gavin sudah punya rencana sendiri. Dia akan mengintai pria yang mirip dengan Bondan seorang diri. Jika benar orang itu adalah Bondan, maka dirinya punya kesempatan untuk mengambil hatinya Haris. Karena seperti yang diketahui kalau Gibran sangat dekat dengan ayahnya Abrina itu. Pukul delapan pagi Gavin baru ke luar dari kamarnya. Pemuda itu pergi breakfast sendiri. Setelah puas mengisi perut dirinya menuju tempat syuting video klipnya Abrina. Suasana sedang break. Gavin menyapa sebentar sang gadis. Selepas
"Pergilah ke Anyer, tangkap Bondan sekarang juga," titah Haris pada Geri, "aku yakin setelah Bondan tertangkap maka Lusi dan Arman tidak lama lagi akan segera ketemu.""Siap, Pak," sahut Geri di telepon."Sering kasih info ya!""Ya, Pak.""Ya, sudah cepat laksanakan!"Haris mematikan ponsel lalu menaruh begitu saja di atas meja."Jadi bagaimana kalian bisa bertemu dengan Bondan ini?" tanya pria itu kemudian.Abrina dan Gavin saling berpandangan. Baru lima belas menit yang lalu mereka menceritakan tentang perjalanannya ke Anyer hingga bisa bertemu dengan Bondan. Namun, Haris sudah menanyakan lagi."Pah, kan tadi aku sudah cerita," sahut Abrina menahan bete.Melihat wajah Haris yang pucat, Gavin langsung mencolek Abrina. "Papah kamu lagi sakit, wajar kalo dia lupa."Abrina meniup anak rambutnya yang menutupi dahi. "Ya udah kalo gitu kamu yang cerita.""Okay." Gavin mengangguk semangat. Saatnya memamerkan kemampuannya pada Haris. "Jadi gini, Om ...."Gavin pun mulai bertutur dimulai dari
Tiba-tiba ada dorongan dihatinya untuk menggendong Alsaki. Tanpa berpikir panjang Abrina mendekati Alsaki. Ajaib ketika dia merentangkan tangan, bagi itu mau digendong olehnya."Bi, kayaknya papah kamu perlu dibawa ke rumah sakit deh," saran Gavin melihat wajah pucat Haris."Iya-iya, ya udah ayo bawa papah ke rumah sakit," sahut Abrina setuju. "Bi, cepat panggil Pak Nono buat bantuin Gavin angkat papah.""Iya, Non."Bi Sarti pun bergegas ke belakang. Wanita itu akan melaksanakan perintah anak majikannya. Pada sang suami yang baru saja selesai mandi perempuan itu memberitahu keadaan bosnya."Cepat sana bantu temannya Non Bina bantu Bapak," suruh Bi Sarti pada sang suami."Iya-iya."Pak Nono lekas bergerak ke depan. Tanpa disuruh pria itu segera membantu Gavin memapah Haris menuju mobil."Pake mobil saya aja, Pak," ujar Gavin sembari merogoh kunci mobilnya di saku celana.Dirinya mulai menyalakan remot kunci. Dari belakang Abrina membuka pintu belakang mobilnya. Gadis itu akan duduk men
Lusi terjaga dari lelapnya. Suara-suara burung dan ayam tetangga menjadi pertanda jika hari sudah siang. Perempuan itu membuka mata.Saat menoleh ke samping sosok Arman masih damai dalam tidurnya. Bahkan kedua tangan pria itu setia mendekap dadanya yang tak berbusana.Lusi mendengkus pelan. Sungguh dia merasa jenuh dengan kehidupannya saat ini. Benar-benar tidak ada kebebasan. Ke mana-mana selalu was-was takut terbuka penyamarannya.Sebetulnya bukan itu saja yang membuat Lusi tidak semangat menjalani kehidupan. Perlakuan Arman yang songong bahkan cenderung kasar lah yang membuatnya nelangsa.Selain menjadikan budak s ex, Arman juga menjadikannya babu. Dirinya yang kemarin-kemarin terbiasa menjadi nyonya tiba-tiba harus mengerjakan semua tugas rumah tangga. Karena tidak mungkin juga Lusi menyewa tenaga seorang asisten rumah tangga.Apalagi dia dan Arman tidak punya pekerjaan. Sehingga keduanya harus benar-benar bisa mengatur keuangan dengan baik. Meski cadangan emas batangan Lusi masih
"Apa ini?" tanya Arman tidak paham."Aku hamil lagi, Man.""Persetan!" Arman langsung melempar begitu saja alat tersebut."Man--""Kamu mau minta aku nikahi?"Lusi hanya melengos."Kita berdua aja hidupnya gak tenang, takut sewaktu-waktu ketangkep," omel Arman lagi, "lagian udah berapa kali aku bilang jangan lupa minum pil KB, bego banget sih jadi orang," kecamnya kesal."Kamu pikir nyari pil KB itu mudah? Di sini jauh dari apotek, Man.""Ya itu urusan kamu," sergah Arman tidak mau mengalah, "pokoknya selesai aku mandi sudah harus ada makanan. Awas kalo gak ada," ancamnya dengan tatapan sengit.Lusi terdiam. Matanya menatap kepergian Arman meninggalkan kamarnya. Perempuan itu lantas mendengkus.Tiba-tiba dia merasa sedih. Air mata luruh membasahi pipinya. Namun, cepat ia hapus. Lusi tidak mau kena omel Arman jika tidak segera mencari makanan.Perempuan itu bergegas meraih gamis dan kerudung panjang yang tergantung di tembok. Agar penyamarannya tidak mudah diketahui Arman menyuruhnya
Lusi membuka ponselnya. Wanita itu melihat-lihat isi galeri. Ada banyak foto Alsaki di dalamnya. Tanpa sadar bibirnya melukis senyum menatap gambar buah hatinya."Ah kayaknya kalo telpon Leon gak masalah deh. Aku yakin dia akan jaga rahasia," pikir Lusi begitu teringat adik keduanya.Penuh keyakinan perempuan itu segera menekan nomornya Leon. Sayangnya sekali nomor sang adik sedang tidak aktif. Lusi sampai mengumpat kesal karenanya."Apa iya aku harus menghubungi Livia? Tapi dia anak yang jujur banget, aku takut dia bakal ngasih tau ke Mas Haris," gumam Lusi bingung sendiri."Akhh ... Aku kan dari kecil yang menghidupi dia. Livia bisa kuliah juga berkat aku, kayaknya dia gak akan tega kalo mau melaporkan aku," tuturnya meyakinkan diri.Lagi penuh dengan keyakinan Lusi menghubungi nomor Livia. Perempuan itu bernapas lega saat mendengar nada aktif dari nomor Livia."Halo dengan siapa ini?" Suara lembut Livia menyapa di seberang sana."Vi, apa kabarnya? Ini Mbak Lusi."Di tempatnya Livia
Di lain pihak, jenazah Arman dikebumikan. Livia yang mengurusi administrasinya. Itu semua atas permintaan Lusi. Pada saat pemakaman Lusi diizinkan oleh petugas untuk menghadiri. Dengan menaiki kursi roda perempuan itu menangis di depan makam Arman yang merah. Pada acara pemakaman tersebut Abrina turut hadir bersama Gibran. Meski Arman adalah seorang penjahat, tapi pria itu pernah berjasa saat mengobati Miranti dengan fisioterapinya. Hanya saja Miranti tidak hadir dalam acara tersebut. Meski keadaan perempuan itu dan Gavin sudah membaik, tapi Abrina melarangnya untuk menghadiri acara tersebut. Menurut Abrina, sang ibu lebih cocok untuk menjaga ayahnya saja. Sedangkan Gavin juga masih lemah. Pemuda itu memilih beristirahat di rumah. "Abrina!" Abrina dan Gibran yang akan pergi meninggalkan makam Arman menghentikan langkah saat namanya dipanggil. Dia menoleh ke belakang. Tampak Lusi menatapnya dengan sayu. Dirinya pun bergerak mendekati perempuan yang dulu sangat ia benci itu. "Ada
"Dia siapa, Mbak?" cecar Abrina penasaran. Tentunya dia tidak berharap jika orang yang dimaksud Livia adalah sang ayah. "Bukan papah aku kan yang gak selamat?" kejarnya penasaran. Livia hanya menarik napas dalam-dalam. "Jawab dong, Mbak Livia!" suruh Abrina merasa gregetan. "Vi, kalau cerita tolong jangan setengah-setengah dong," timpal Gibran ikutan gemas. Livia menatap Gibran dengan sendu. "Bukan Mas Haris yang gak selamat," tuturnya pelan. Tangannya mengusap matanya yang tampak mulai basah. "Maksud kamu orang itu Arman?" tebak Gibran langsung. Livia mengangguk pelan. "Syukur lah." Abrina menghela napas dengan lega. "Jadi Arman meninggal?" tanya Gibran meyakinkan. Lagi, Livia hanya mengangguk. "Kenapa kamu keliatan sedih begitu?" tanya Gibran merasa aneh, "dia orang jahat lho, Vi," tambahnya mengingatkan. "Arman gak punya keluarga, Bran," jawab Livia pelan. Di luar jam kerja dia memang selalu memanggil Gibran tanpa embel-embel Bapak. "Siapa yang akan mengurusi jenazahnya?
"Masih ada meski sudah lemah," ujar petugas tersebut pada Geri. Di tempatnya Gavin menghembuskan napas panjang. Pemuda itu benar-benar merasa lega telah lolos dari maut. Kini tiba-tiba dia merasa rasa lelah yang teramat. Maklum saja Gavin harus menghadapi Arman yang juga pintar ilmu bela diri. Pemuda itu merebahkan badannya di lantai berdebu tersebut. Dia ingin istirahat. Namun, terdengar bunyi sirine. Tidak lama datang beberapa orang berpakaian serba putih. Mereka membawa dua buah brankar. Orang yang pertama diangkat ke dalam brankar adalah Haris. "Aku ikut."Miranti bersikeras menemani mantan suaminya di dalam ambulans. Karena terus memaksa, petugas medis pun mengizinkan. Petugas yang lain mengangkat tubuh Arman juga. Pria itu dimasukkan ke dalam mobil ambulans yang kedua. Dan yang menjaga dia adalah petugas polisi. "Gavin, kamu ikut saya," ajak Geri melihat Gavin yang masih terbengong."Terus mobil aku bagaimana?" tanya Gavin lemah. Sungguh dia benar-benar lelah. "Tenang saj
DORRR! Miranti dan Gavin yang sedang berlari sontak berhenti. Keduanya langsung berpaling ke belakang. Tampak Haris tengah meringis sembari memegang dada atas sebelah kirinya. "Mas Haris!" pekik Miranti cukup histeris melihat baju mantan suaminya yang sudah bersimbah darah. Wanita itu bergegas berlari. Dia menyongsong tubuh Haris yang akan roboh. Sehingga badan Haris justru jatuh ke dalam pelukan Miranti. "Mas Haris, bertahanlah," pinta Miranti begitu membaringkan tubuh Haris di tanah. "Kamu harus kuat, Mas," lanjutnya dengan berurai air mata. Di lain pihak Arman terpaku melihat hasil perbuatannya. Meski dia orang jahat, tapi baru kali ini dirinya menyakiti orang. Dan sejujurnya Arman berubah jadi orang jahat setelah dijebloskan Lusi ke penjara. Kebengongan Arman tidak disia-siakan oleh Gavin. Diam-diam pemuda itu bergerak mendekat. Tanpa banyak bicara dia segera menendang Arman dari belakang. Mendapat serangan mendadak Arman tentunya terkejut. Apalagi Gavin menendangnya dengan
"Mas Haris yakin akan menyerahkan semuanya pada Arman?" tanya Livia dengan wajah tidak percaya."Semua ini tidak ada artinya kalo Miranti kenapa-napa," sahut Haris datar. Di tempatnya Abrina dibuat bingung dengan jawaban sang ayah."Tapi kami susah payah membawanya dari Jogja, Mas. Belum lagi anak buah Mas Geri juga berjuang banget buat gak ngambil pundi-pundi Arman yang ada di motel.""Livia, semua uang dan emas ini adalah milik saya. Jadi saya bebas akan melakukan apa saja, yang penting Miranti selamat," tegas Haris serius."Sebenarnya apa yang terjadi dengan Mamah, Pah?" tanya Abrina sudah sangat penasaran.Haris menatap putrinya dengan sendu. "Mamah kamu diculik oleh Arman.""Apahhh?" Abrina tersentak seketika."Tapi kamu gak perlu khawatir, papah akan segera menolong mamah kamu," janji Haris dari hatinya.Ketika akan melanjutkan pembicaraan, ponsel Haris berbunyi. Semua orang tampak tegang terutama Haris. Hal tersebut membuat Abrina bingung.Namun, kebingungannya segera terjawab
"Seminggu yang lalu, Gibran request suruh aku buatin baju buat kamu," ujar Tante Mona sambil melangkah menuju koleksi baju-bajunya. "Karena designnya simple dan yang ngerjain karyawan spesial makanya udah jadi dua," tuturnya seraya menunjuk dua dress yang tengah dipakai oleh manekin.Abrina sendiri cukup terkesima melihatnya. Dua buah dress yang sama-sama lucu dan manis. Satu berwarna salem dengan model one shoulder. Satunya lagi midi dress berwarna hitam ala korea yang sangat manis."Ya ampun cantik banget," puji Abrina pada minidress tersebut.Dia tidak menyangka jika bajunya sudah jadi. Gadis itu bepikir jika nanti akan dibuat bingung saat harus memilih aneka dress. Kendati begitu Abrina benar-benar bersyukur karena tidak perlu pusing memilih. Sehingga kekhawatiran Gavin tidak pernah akan terjadi."Udah sana kamu coba di fitting room," suruh Tante Mona lembut.Abrina mengangguk manut. Dia yang memang sudah jatuh cinta pada minidress hitam tersebut segera mencobanya. Senyumnya begit
Bell pulang berbunyi. Anak-anak berseru gembira termasuk Abrina. Gadis itu segera berkemas dengan memasukkan alat tulisnya ke dalam tas."Gimana, Nggi, jadi ikut aku temani nyari baju gak?" tanya Abrina begitu memakai tas punggungnya."Aduh sorry, Bi," tolak Anggi langsung menggelengkan kepala. "Aku baru inget kalo ternyata hari ini aku ada jadwal kasih les privat," terangnya seraya melihat jam tangannya, "jadi maaf banget ya aku nggak bisa nemenin kamu," ucapnya serius."Ya udah gak papa," jawab Abrina dengan santai, "aku jalan dulu ya," pamitnya disertai senyuman.Anggini mengangguk. Matanya menatap kepergian sang sahabat. Tampak Gavin buru-buru mengikuti langkah Abrina.Anggini menghela nafas. Gadis itu sudah berdamai dengan hati. Tidak ada kecemburuan melihat kedekatan Gavin dan Abrina. Dirinya juga sadar diri kalau memang Gavin dari dulu tidak pernah menaruh hati padanya.Meski masih susah, tapi Anggini mulai belajar untuk mendukung Gavin mendapatkan hati Abrina. Setelah cukup la
Pria itu kembali memutar otaknya. Merasa buntu dia mengeluarkan rokok dari tas pinggangnya. Sudah habis satu batang Arman belum juga menemukan cara untuk menghabisi Haris."Kayaknya terlalu sulit kalo aku mendekati Haris. Pastinya dia kelilingi anak buahnya atau polisi," ujar Arman membuat analisa.Arman mengelus jenggot palsunya. "Kalo aku gak bisa langsung menghabisi Haris, maka aku akan mengalihkannya pada orang-orang yang dia cintai."Arman mengangguk yakin. "Kalau aku culik putra kesayangannya, sepertinya susah karena pasti dia menyewa bodyguard untuk menjaganya.""Berarti pilihan lainnya adalah putri pertamanya," ujar Arman sembari mengingat wajahnya Abrina, "tapi Lusi bilang kalo gadis itu digilai anak-anaknya Pak Gandi. Terutama yang nomor kedua karena satu kelas."Arman menatap jam tangannya. "Jam segini juga kayaknya dia masih di sekolah."Arman membuang putung rokoknya. Lalu menginjaknya dengan kuat-kuat."Berarti pilihanku jatuh ke Mbak Ranti lagi," putusnya kemudian.Tanp
"Saudara Arman, Anda sudah menjadi DPO selama enam bulan. Jadi sekarang waktunya untuk menyerahkan diri," tutur seorang petugas yang tampak lebih senior dari yang satunya.Tidak hanya Arman yang terkaget dengan keberadaan petugas, kedua kawannya pun mengalami hal yang serupa. Terutama pria yang barusan membeli mobilnya. Karena dia sama sekali tidak tahu jika Arman adalah seorang buronan."Ayo sekarang angkat tangan, Saudara. Dan mendekatlah!" perintah si petugas.Arman memang bergeming. Namun, otak dan tangannya tidak tinggal diam. Pria itu merogoh pistol yang terselip di celananya.Tanpa berpikir panjang menembakkan pelurunya ke arah tangan salah satu petugas. Meski bukan penembak mahir, tapi hasil tembakannya berhasil mengenai tangan petugas. Alhasil senapan di tangan petugas tersebut terjatuh.Arman bergerak cepat. Dia kembali menembakkan pelurunya ke arah lawan. Untung kali ini tembakannya meleset.Petugas dan anak buah Geri secepatnya mencari tempat berlindung. Agar terhindar dar