Malam telah berganti pagi. Perlahan gelapnya malam berangsur terang. Kini bahkan di ufuk timur mentari mulai mengintip di balik bukit. Arman masih mengendarai mobil. Pria itu melirik ke samping tampak Lusi yang tengah tertidur. Dia mendengkus pelan. Sebenarnya Arman sudah cukup lelah. Namun, dia belum menemukan tempat yang pas untuk beristirahat. Dirinya juga harus berhati-hati memilih tempat. Arman tidak mau ada yang sampai mengenalinya kendati sekarang sudah jauh ke luar dari kota Jakarta. Akhirnya setelah berjam-jam Arman menemukan tempat untuk berehat. Di sebuah kedai makan pria itu menepikan mobil. "Bangun!" Arman cukup keras menonyor kepala Lusi. Hal tersebut membuat kepala Lusi sedikit terantuk sehingga mengenai kaca jendela mobil. Otomatis Lusi terbangun karenanya. Entah ke mana perginya rasa cinta yang pernah singgah di hati pria itu pada Lusi. Sehingga dengan entengnya Arman melakukan hal tersebut. Arman sendiri memang mulai ilfil bahkan muak sama Lusi ketika merasa di
"Ada nih." Arman menyahut dengan wajah yang semringah. Pria itu segera memasang kartu tersebut ke ponselnya sendiri. Lusi sendiri cukup senang melihat muka Arman cerah. Karena itu tandanya mood Arman sedang baik. "Punya kamu mana?" tanya Arman kemudian. "Ada tuh di dalam tas," sahut Lusi sambil fokus mengemudi. Arman meraih tas Lusi yang ada di jok belakang. Dia pun segera memasang kartu SIM yang satunya ke ponsel tersebut. Dirinya merasa beruntung ada perdana yang sudah aktif. Sehingga tidak lagi repot-repot registrasi. Karena saat ini baik Arman maupun Lusi tentu tidak membawa Kartu KK sebagai salah satu syarat resgistrasi nomor. Akhirnya setelah dipasang kartu perdana yang ada quota internetnya, Arman bisa searching hotel-hotel terdekat. Seperti biasa dirinya memilih beristirahat di hotel bintang tiga. Selain untuk berhemat dan memang tidak ada juga hotel bintang lima di kawasan tersebut. Arman memesan satu kamar untuk berdua. Tiba di kamar dia dan Lusi langsung menjatuhkan b
Arman meneguk ludah. Pria itu tengah berpikir keras bagaimana caranya menghindari razia tersebut."Aduh gimana dong, Man?" keluh Lusi cukup panik sambil menggoyangkan lengan Arman."Bisa diam gak sih?" hardik Arman langsung menyingkirkan tangan Lusi, "ini juga aku lagi mikir cari jalan keluarnya," ocehnya kesal."Ah coba tadi kita stay di hotel dulu jadinya gak ketemu razia." Lusi kembali mengomel.Arman tidak menggubris. Pria itu menatap sekeliling. Hingga akhirnya lewat kaca spion dia melihat ada sebuah warung makan di belakang sana. Tanpa berpikir panjang pria itu memutar balikkan mobilnya."Ngapain ke warung makan lagi, Man?" tanya Lusi saat Arman memarkirkan mobilnya di halaman sebuah rumah makan. "Kita udah makan lho tadi di hotel," imbuhnya mengingatkan."Diem!" Arman menaruh jari telunjuknya di bibir Lusi, "kita pura-pura makan di sini dulu sampai razia di depan sana selesai.""Ohhh." Mulut Lusi membulat lebar. "Tapi aku gak makan ya, Man. Perut aku masih kenyang."Arman memut
Gadis berkerudung hitam itu sedikit merasa kasihan. Akhirnya dia menuruti perintah Lusi dengan menemui bosnya di dalam toko. Tidak berselang lama dia kembali bersama bosnya.Lusi sendiri langsung mengutarakan maksud kedatangannya. Perempuan itu bergegas melepas cincin perkawinannya."Ini berlian asli."Pemilik toko berwajah oriental itu segera memeriksa cincin yang Lusi sodorkan. "Ada kwitansinya?""Seperti yang sudah dibilang tadi, saya dan suami saya itu nggak ada rencana buat jual cincin ini, tapi kami kecopetan di jalan makanya kami butuh uang."Bapak pemilik toko terus mengamati cincin milik Lusi."Apa perlu saya panggil suami saya yang ada di mobil?" Lusi menantang dengan sopan."Gak usah." Pria berkacamata itu menggeleng, "baik karena tidak ada kwitansinya saya akan bayar sebanyak dua puluh juta."Mata Lusi langsung membulat kaget. "Suami saya belinya itu hampir seratus ratus lebih lho, Pak," ujarnya sedikit hiperbola.Pemilik toko menggeleng. "Saya tahu harga pasarannya. Kalau
"Udah? Abang ke sini cuma mau nyampein itu doang?"Pertanyaan dari Gavin membuat Gibran dan Abrina menoleh. Si gadis otomatis melepas pegangan tangannya pada Gibran begitu melihat raut cemburu pada wajah Gavin."Kenapa memang?" Seperti biasa Gibran membalas pertanyaan Gavin dengan tenang."Gak, gue cuma mau ngajak Abrina balik.""Balik? Balik ke mana?" tanya Gibran dan Abrina sama-sama heran.Gavin cukup terpana melihat kekompakan kakak dan gebetannya. "Ke rumah elu lah emang mau ke mana lagi? Kan gak mungkin gue anter ke apartemen Bang Gibran," balasnya sambil melirik sengit ke arah sang kakak.Gibran sendiri hanya bisa tersenyum tipis melihat sang adik tampak sewot."Vin, aku gak salah denger kan?" tanya Abrina serius. "Waktu pulang aku masih dua jam lebih lho," lanjutnya sambil menunjuk jam di dinding yang ternyata baru pukul lima sore kurang sepuluh menit."Lu gak salah dengar kok. Udeh cepet gue anterin." Gavin menyuruh sambil mengulurkan tangannya pada Abrina yang masih santai d
Sapaan lembut seperti itu sudah Gavin dengar ratusan kali tiap kali menjemput dan mengantarkan Abrina. Namun, tetap saja ada desir bahagia tiap kali Gavin mendengarnya. Pemuda itu merasa sudah mengantongi lampu hijau dari Miranti."Tante lagi sibuk gak sore ini?" tanya Gavin usai menyalami Miranti."Biasalah Tante lagi prepare buatin kue-kue pesanan. Kenapa memangnya, Gavin?" Miranti balik tanya dengan lembut."Hari ini aku lagi ulang tahun, Tante. Makanya aku mau traktir Tante makan di luar.""Oh ya? Wah selamat, ya," ucap Miranti langsung mengulurkan tangan, "karena kamu yang ulang tahun maka tante yang akan traktir kamu."Abrina sendiri terbengong mendengar penuturan Gavin. Karena dia tahu ulang tahun pemuda itu masih enam bulan lagi."Engak lah, Tante. Aku aja yang nraktir Tante, yuk!" ajak Gavin sambil menarik tangan Miranti."Tapi Tante belum ganti baju, Vin.""Gak papa, Tante tetap keliatan cantik kok meski pake baju rumah.""Vin, kamu sebenarnya lagi kenapa sih? Kok tiba-tiba
"Ranti?" sapa Haris dengan mengulas senyum kaku, "apa kabar?" tanyanya mencoba mengulurkan tangan."Aku baik." Ranti ikut menipiskan bibir. Namun, ia tidak membalas jabatan tangan Haris.Merasa diacuhkan Haris menarik uluran tangannya. "Datang ke sini dengan siapa?" Dia berbahasa basi untuk menutupi rasa malunya."Abrina, siapa lagi?" balas Miranti kalem."Oh iya." Haris tersenyum simpul. Jujur, bisa berbicara lagi dengan Miranti membuat hatinya bungah."Lagi sibuk apa sekarang?" tanya Haris lagi."Jualan kue," jawab Miranti jujur, "kamu sendiri kenapa keliatan sendiri? Mana Lusi?" tanyanya kemudian."Eum ...."Haris bingung harus menjawab apa. Tidak mungkin pula dia berkata jujur jika istrinya sedang kabur bersama pria lain."Lusi gak ikut, Al lagi agak anget." Akhirnya Haris bisa membuat jawaban palsu."Oh." Miranti menyahut datar, "ya sudah ya Mas saya nemuin Bina dulu," pamitnya kemudian.Sebenarnya itu cuma alasan agar dirinya tidak perlu lama-lama berbincang dengan Haris. Meski
"Apaaah?" Jantung Haris seolah lompat dari tempatnya, "kok bisa Al jatuh dari tangga, Bi?" cecarnya kalut."Aduhh gimana ya? Mending Bapak ke sini saja dulu biar tahu kondisi Dek Al," saran Bi Sarti kemudian."Memang kalian ada di mana?""Suster Eva langsung bawa Dek Al ke Rumah Sakit Ibunda.""Ya sudah saya akan segera menyusul," janji Haris kemudian.Sebenarnya dia ingin langsung pergi. Namun, demi manner Haris terpaksa menemui Gibran sang pemilik acara."Mas Gibran, mohon maaf saya harus permisi pulang dulu karena ada sesuatu hal," pamitnya segera."Oh iya, Pak Haris." Gibran pun mengizinkan dengan anggukan yang sopan."Iya saya habis dapat telepon dari rumah kalau anak saya habis jatuh dari tangga," tutur Haris tanpa ditanya.Pria itu sengaja melirik Miranti demi ingin melihat reaksi perempuan tersebut. Namun baik Miranti ataupun Abrina kompak diam. Mimik Ibu dan anak itu sama-sama datar tanpa reaksi."Kok bisa jatuh dari tangga, Pak Haris?" Justru Gibran yang terkaget mendengar k