Gadis berkerudung hitam itu sedikit merasa kasihan. Akhirnya dia menuruti perintah Lusi dengan menemui bosnya di dalam toko. Tidak berselang lama dia kembali bersama bosnya.Lusi sendiri langsung mengutarakan maksud kedatangannya. Perempuan itu bergegas melepas cincin perkawinannya."Ini berlian asli."Pemilik toko berwajah oriental itu segera memeriksa cincin yang Lusi sodorkan. "Ada kwitansinya?""Seperti yang sudah dibilang tadi, saya dan suami saya itu nggak ada rencana buat jual cincin ini, tapi kami kecopetan di jalan makanya kami butuh uang."Bapak pemilik toko terus mengamati cincin milik Lusi."Apa perlu saya panggil suami saya yang ada di mobil?" Lusi menantang dengan sopan."Gak usah." Pria berkacamata itu menggeleng, "baik karena tidak ada kwitansinya saya akan bayar sebanyak dua puluh juta."Mata Lusi langsung membulat kaget. "Suami saya belinya itu hampir seratus ratus lebih lho, Pak," ujarnya sedikit hiperbola.Pemilik toko menggeleng. "Saya tahu harga pasarannya. Kalau
"Udah? Abang ke sini cuma mau nyampein itu doang?"Pertanyaan dari Gavin membuat Gibran dan Abrina menoleh. Si gadis otomatis melepas pegangan tangannya pada Gibran begitu melihat raut cemburu pada wajah Gavin."Kenapa memang?" Seperti biasa Gibran membalas pertanyaan Gavin dengan tenang."Gak, gue cuma mau ngajak Abrina balik.""Balik? Balik ke mana?" tanya Gibran dan Abrina sama-sama heran.Gavin cukup terpana melihat kekompakan kakak dan gebetannya. "Ke rumah elu lah emang mau ke mana lagi? Kan gak mungkin gue anter ke apartemen Bang Gibran," balasnya sambil melirik sengit ke arah sang kakak.Gibran sendiri hanya bisa tersenyum tipis melihat sang adik tampak sewot."Vin, aku gak salah denger kan?" tanya Abrina serius. "Waktu pulang aku masih dua jam lebih lho," lanjutnya sambil menunjuk jam di dinding yang ternyata baru pukul lima sore kurang sepuluh menit."Lu gak salah dengar kok. Udeh cepet gue anterin." Gavin menyuruh sambil mengulurkan tangannya pada Abrina yang masih santai d
Sapaan lembut seperti itu sudah Gavin dengar ratusan kali tiap kali menjemput dan mengantarkan Abrina. Namun, tetap saja ada desir bahagia tiap kali Gavin mendengarnya. Pemuda itu merasa sudah mengantongi lampu hijau dari Miranti."Tante lagi sibuk gak sore ini?" tanya Gavin usai menyalami Miranti."Biasalah Tante lagi prepare buatin kue-kue pesanan. Kenapa memangnya, Gavin?" Miranti balik tanya dengan lembut."Hari ini aku lagi ulang tahun, Tante. Makanya aku mau traktir Tante makan di luar.""Oh ya? Wah selamat, ya," ucap Miranti langsung mengulurkan tangan, "karena kamu yang ulang tahun maka tante yang akan traktir kamu."Abrina sendiri terbengong mendengar penuturan Gavin. Karena dia tahu ulang tahun pemuda itu masih enam bulan lagi."Engak lah, Tante. Aku aja yang nraktir Tante, yuk!" ajak Gavin sambil menarik tangan Miranti."Tapi Tante belum ganti baju, Vin.""Gak papa, Tante tetap keliatan cantik kok meski pake baju rumah.""Vin, kamu sebenarnya lagi kenapa sih? Kok tiba-tiba
"Ranti?" sapa Haris dengan mengulas senyum kaku, "apa kabar?" tanyanya mencoba mengulurkan tangan."Aku baik." Ranti ikut menipiskan bibir. Namun, ia tidak membalas jabatan tangan Haris.Merasa diacuhkan Haris menarik uluran tangannya. "Datang ke sini dengan siapa?" Dia berbahasa basi untuk menutupi rasa malunya."Abrina, siapa lagi?" balas Miranti kalem."Oh iya." Haris tersenyum simpul. Jujur, bisa berbicara lagi dengan Miranti membuat hatinya bungah."Lagi sibuk apa sekarang?" tanya Haris lagi."Jualan kue," jawab Miranti jujur, "kamu sendiri kenapa keliatan sendiri? Mana Lusi?" tanyanya kemudian."Eum ...."Haris bingung harus menjawab apa. Tidak mungkin pula dia berkata jujur jika istrinya sedang kabur bersama pria lain."Lusi gak ikut, Al lagi agak anget." Akhirnya Haris bisa membuat jawaban palsu."Oh." Miranti menyahut datar, "ya sudah ya Mas saya nemuin Bina dulu," pamitnya kemudian.Sebenarnya itu cuma alasan agar dirinya tidak perlu lama-lama berbincang dengan Haris. Meski
"Apaaah?" Jantung Haris seolah lompat dari tempatnya, "kok bisa Al jatuh dari tangga, Bi?" cecarnya kalut."Aduhh gimana ya? Mending Bapak ke sini saja dulu biar tahu kondisi Dek Al," saran Bi Sarti kemudian."Memang kalian ada di mana?""Suster Eva langsung bawa Dek Al ke Rumah Sakit Ibunda.""Ya sudah saya akan segera menyusul," janji Haris kemudian.Sebenarnya dia ingin langsung pergi. Namun, demi manner Haris terpaksa menemui Gibran sang pemilik acara."Mas Gibran, mohon maaf saya harus permisi pulang dulu karena ada sesuatu hal," pamitnya segera."Oh iya, Pak Haris." Gibran pun mengizinkan dengan anggukan yang sopan."Iya saya habis dapat telepon dari rumah kalau anak saya habis jatuh dari tangga," tutur Haris tanpa ditanya.Pria itu sengaja melirik Miranti demi ingin melihat reaksi perempuan tersebut. Namun baik Miranti ataupun Abrina kompak diam. Mimik Ibu dan anak itu sama-sama datar tanpa reaksi."Kok bisa jatuh dari tangga, Pak Haris?" Justru Gibran yang terkaget mendengar k
Ketika akan membuka pintu mobil, Pak Nono melihat Miranti. Wanita itu baru saja turun dari taksi. Senyum tersungging di bibir Pak Nono. Dia tahu watak mantan majikannya itu lebih lembut daripada Abrina. Menurutnya lebih ada harapan jika menemui perempuan itu. Karena itulah Pak Nono bergegas mendekati Miranti yang sedang menurunkan belajaan dari bagasi mobil bersama sopirnya. "Selamat sore, Bu Ranti," sapa Pak Nono begitu mendekat. Miranti yang sedang sibuk langsung menoleh. "Eh Pak Nono, kapan datang?" balasnya seperti biasa lembut. "Belum lama kok, Bu.""Sengaja atau kebetulan lewat?" "Sengaja, Bu.""Oh iya? Ada kepentingan kah?"Pak Nono mengangguk. Miranti sendiri lekas membayar ongkos taksi. Ketika dia akan membawa plastik-plastik belanjanya, Pak Nono mencegah. "Biar saya yang bawakan, Bu," tawar pria itu tulus. Miranti mengizinkan karena memang dirinya kerepotan. Wanita itu melangkah mendahului dengan membawa satu kantong belanja saja. Sementara Pak Nono mengikuti sambil
Dia mempercayai cerita Pak Nono. Walaupun pernah membuatnya sakit, tapi Haris adalah cinta pertama dalam hidupnya Miranti. Bahkan meski sudah tiga tahun menjanda nama pria itu masih bertahta di hati terdalamnya. "Mamah ingin menjenguk papah?" tebak abina melihat mimik ibunya yang tampak dilema. Miranti langsung mendongak untuk menatap sang putri. "Mamah memang tidak ada kewajiban untuk menjenguk Mas Haris, tapi kamu sebagai anaknya harus menjenguk dia. Dan mama mau menemani kamu.""Gak bisa Mah, hari ini aku sibuk." Abrina menggeleng langsung. "Sibuk apa?" tukas Miranti langsung, "kamu bilang rekaman kamu sudah selesai kan?"Abrina diam tak membalas. "Ingat kamu boleh kesal dengan papah kamu, tapi tidak untuk membenci. Karena tanpa dia kamu nggak akan pernah lahir ke dunia ini," tegas Miranti dengan serius. "Tapi Papa pernah menyakiti Mamah, ingat itu," timpal Abrina mengingatkan. "Itu biar menjadi urusan mamah, kewajiban kamu adalah berbakti kepada orang tua, dan papah adalah
Gavin menatap kepergian mobilnya Gibran sampai tidak terlihat lagi. Dia menghela napasnya. Tekadnya bulat untuk menemui sang ayah."Vin!"Gavin yang sedang mengenakan helm menoleh. Eza dengan kedua temannya mendekat."Kita tanding futsal hari ini," ujar Eza mengingatkan."Sorry, Za, hari ini gue gak bisa ikut tanding," ucap Gavin serius."Ck!" Eza berdecak, "kalo lu gak ikutan bisa kalah kitanya.""Kan lu bisa ngajak si Leon," sahut Gavin sambil menaiki motornya."Apah? Gue nggak salah denger?" sindir Eza dengan menaruh tangannya di telinga, "bukannya lu yang nyuruh kita buat ngejauhin anak itu?"Gavin terdiam karena apa yang dikatakan Eza adalah benar. Setelah pengakuan Leon saat mabuk, Gavin langsung memecat anak itu dari gengnya. Bahkan Gavin menyebarkan rekaman pengakuan Leon ke teman-teman kelasnya.Hal itu ia lakukan untuk memberi sanksi sosial pada pemuda itu. Terbukti teman-teman sekelasnya jadi antipati pada Leon. Mereka tidak mau bergaul dengan anak itu karena takut dijahati