Serena, tolong jangan judes2 ya. Bang playboy sampai dibilang lemah wkwkwkw
“Serena! Buka.”Terdengar tuntutan yang lebih kasar dari arah luar. Ian yang sudah aman di bawah ranjang, sedikit mengernyit, karena suara itu bukan milik raja neraka.“Serena…”“Jangan tolol! Kau pikir aku akan ada di sini kalau bisa membuka pintunya?” Serena sudah turun dari ranjang dan menyahut. Siapapun yang datang malah membuatnya kesal.“Oh…” Tamu itu juga baru menyadari kalau permintaannya absurd.“Minta kunci pada pelayan atau Zio Eren.” Serena memberi saran cara membuka kunci karena memang diperbolehkan. Masih ada pelayan yang mengantar makanan kalau ia meminta.Serena juga tidak akan mencoba kabur meski pintu itu terbuka. Ia bisa saja minta bantuan Claud kalau mau. Kabur dari rumah adalah percuma, karena ayahnya akan menemukan meski bersembunyi di liang tikus sekalipun. Serena tidak mau bersusah payah seperti itu.Pengurungannya di dalam kamar adalah extra karena ayahnya sangat marah saja. Bukan karena Serena akan kabur.“Oke.” Pria di depan pintu itu terdengar berlari pergi
Tempat bersembunyi itu bukan almari seperti yang diperkirakan Ian. Bahkan tebakan sederhana itu saja salah. Serena benar-benar di luar jalur pikiran normal.Almari itu mirip ruangan sendiri, bahkan lebih luas dari ruangan utam kamar Serena. Berjendela kaca besar dan memiliki penerangan sendiri.Namun yang paling membuat takjub adalah isi tentu. Ruangan itu berisi koleksi yang tersimpan rapi dalam kotak kaca. Bersih dan terjaga pada rak masing-masing.Tapi Ian tidak bisa menunjuk Serena mengoleksi apa. Ian ingin menyebut barang kuno—karena ada sesuatu yang tampak seperti taring dinosaurus dan keping koin yang mungkin usianya seribu tahun—tapi sepertinya salah karena ia juga melihat action figure yang berwarna cerah. Isi lemari itu sama randomnya dengan kepribadian Serena.Ian ingin memeriksa lebih jauh, tapi memilih menempelkan telinga pada pintu. Ia ingin mendengar siapa Liam ini. Sepertinya bukan saudara—bahkan bukan orang Italia, karena mereka memilih bicara memakai bahasa Inggris,
“Kau mau…”“Sudah jelas aku rasa.”Ian terus maju, sementara Serena dengan panik mundur sampai punggungnya membentur pintu.“Kau ingin hamil bukan? Aku akan tunjukkan cara yang benar.” Ian menyeringai, sambil menunduk dan meraup kaki Serena, sekejap saja Serena sudah berpindah ke bahunya. Tersampir seperti kain dengan punggung di atas.Serena tentu saja menjerit terkejut, tapi dengan cepat menutup mulutnya dengan tangan. Kalau sampai ada yang datang, mereka berdua yang akan mendapat masalah, bukan hanya Ian.Serena tapi berusaha menendang dan memukul, tapi tidak perlu juga sebenarnya. Ian hanya membawanya ke ranjang.TIdak membaringkan dengan manis tentu, tapi melemparnya. Tidak ada rasa sakit, tapi Serena merasa guncangan itu membuat otaknya ikut macet, karena gerakan Ian rasanya cepat sekali.Ia belum bisa melakukan apapun, dan Ian kini sudah ada di atas tubuhnya. Duduk dan mengunci pinggangnya.“Enjoying the view?” (Menikmati pemandangan?)“Tidak!”Serena menggeleng, dan akhirnya ba
“Huh?” Serena menatap tangannya yang bebas dengan heran,“Kecewa?” Ian terkekeh.“Tidak!”Serena langsung mengingkari, meski memang ada bagian dari hatinya yang kini layu dan menggelepar bergelisah saat tubuhnya mendapat akses untuk bergerak bebas.“Itu tadi sedikit rasa takut untukmu, Tuan Putri. Agar kau paham kalau tidak semua hal di dunia ini akan berjalan seperti yang kau inginkan. Jangan selalu merasa menang.”Ian menjawil hidung Serena dan mengembalikan senyum normal yang lebih hangat.“Kalau kau ingin keluar dari gelembung hangat yang disiapkan ayahmu, kau harus belajar untuk tidak berlaku seperti Tuan Putri yang menganggap semua akan selesai sesuai dengan keinginanmu.”Serena tidak ingin mengangguk, tapi hampir saja. Ia paham.“Good girl.”Ian bangkit dan membebaskan sepenuhnya. Sejak awal memang ia tidak berniat melakukan apapun. Ia hanya ingin Serena paham kalau ia tidak akan bisa selalu menang.“Did you…”Serena sampai tidak bisa bertanya dengan benar saat melihat Ian menar
“Aku sekarat. Hampir mati juga.” Ian memang merasa hampir mati.“Kau tidur bersama—nya!” Ash perlu mencari untuk menunjuk karena Serena sudah berpindah duduk dan tampak dengan santai menikmati pertengkaran itu. “Apa kau tahu kesulitan apa yang aku hadapi untuk sampai ke sini?!”“Tapi aku memang hampir—Kau lihat ini?” Ian menunjuk bagian atas pelipis kirinya yang masih memar akibat hantaman emas, lalu menunjukkan tangannya yang juga memar.“Lihat ini. Ini juga.” Ian mengangkat kaos untuk bagian punggung karena memang punggungnya yang paling sakit. “What the…” Memar yang di punggung itu buruk. Ungu kehitaman dan hampir merata. Cukup untuk melunturkan kemarahan Ash.“Siapa yang melakukannya? Apa orang yang disini?” Ash mengernyit. Ia jarang melihat Ian kalah tentu.“Iya. Mereka curang. Tidak bermain dengan adil. Mengeroyok saat aku tidak waspada.” Ian menggerutu.“Berani sekali—tapi kau melakukan hal bodoh apalagi?” tanya Ash. Meski tidak lagi amat marah, ia masih merasa Ian yang salah.
“What the fuck are you doing, Moron?!”Ash mencaci maki dalam bisikan saat mendengar penawaran Ian itu, dan menarik kerah kaosnya, agar Ian segera mengikuti melompat pagar.Mereka berdua menyusup saja sudah cukup menyulitkan, tidak perlu menambah Serena yang sudah pasti kemampuannya melompat pagar— maupun berlari, tidak sebaik mereka berdua.Tapi Ian menepis tangan Ash dan terus memandang Serena sambil tersenyum.“Bagaimana, Tuan Putri? Kau ingin terbebas dari istana ini?” bujuk Ian.Serena menatap tangan Ian yang terulur itu, tergoda rasanya. Seperti mimpi liar yang tidak pernah terbesit dalam ingatannya. Kehidupan yang tidak terencana bertemu dengan orang-orang yang tidak terduga, menghadapi situasi yang mungkin tidak akan menjadi membosankan.Tapi kemudian Serena mengepalkan tangan dan menggeleng. Mimpi itu liar karena mustahil.“Aku tidak bisa lari. Bisa berusaha, tapi Ayahku akan menemukan dengan mudah.” Serena bukan tidak pernah mencoba.Kabur dari rumah adalah hal yang sering d
“Shit! Kenapa banyak sekali anjing?” Ian hampir muntah karena beberapa kali Ash menyemprotkan cairan berbentuk parfum yang akan menyamarkan aroma mereka. Asalkan tidak terlihat, lima anjing herder yang saat ini melintas di sudut halaman tidak akan mencium aroma mereka dan ribut. ‘Parfum’ itu praktis, tapi aromanya terlalu menjijikkan untuk hidung manusia.“Karena itu aku menyuruhmu cepat! semakin lama di sini akan semakin sulit!” Ash tidak berhenti untuk marah, dan terus berlari sambil menunduk di antara semak. Mereka akan sampai di hutan kecil tempat Ash mengintai siang kemarin, asalkan bisa melewati gerbang lengkung batu berjeruji. Jaraknya tidak jauh lagi.TANG!Ash baru saja menyentuh jeruji besi, tapi ada suara letupan dan dentingan disertai percikan api. Itu peluru yang ditembakkan.Ash secepat kilat mencabut pistol dari pinggangnya, dan berbalik sambil menodongkan senjata. Ia tidak ingin membuat keributan tapi peluru yang ditembakkan itu, menyerempet pipinya, sebelum menyasar
“Kau yakin?” Ash masih menyipitkan mata dengan tangan mengepal di samping tubuh.“Demi Tuhan, Ash. Dia tidak hamil. Kau tahu aku tidak serendah itu.” Ian membuat tanda silang tepat di jantungnya, untuk meyakinkan lagi kalau sumpah itu benar.“Kami tidur bersama memang, tapi aku mencabut—yah kau tahu bagaimana. Jadi tidak ada kehamilan.” Ian lumayan lega saat melihat tangan Ash tidak lagi tampak tegang dan ingin mencekik. Dikurung saja sudah buruk, tidak perlu tambahan dicekik.“Lalu dia putri dari Silver fox itu?” Ash duduk dan bersandar. Mereka kembali terkurung dalam ruangan tempat Ian berada sebelum kabur kemarin.“Ya.”“Kau sinting! Tidak bisakah kau memilih yang tidak berbahaya?” Ash masih mengomel tentu.“Aku memilih yang cantik! Tidakkah kau melihat wajahnya?” Ian menepuk pipi, menyuruh Ash mengingat seperti apa Serena.“She’s a little bit insane, but extremely gorgeous.” (Dia agak gila, tapi luar biasa cantik)Segala amarah dan kegilaan yang terjadi belum membuat Ian ingin m