Satu Lagi deh, biar ga penasaran siapa Itu wkwkw
“Shit! Kenapa banyak sekali anjing?” Ian hampir muntah karena beberapa kali Ash menyemprotkan cairan berbentuk parfum yang akan menyamarkan aroma mereka. Asalkan tidak terlihat, lima anjing herder yang saat ini melintas di sudut halaman tidak akan mencium aroma mereka dan ribut. ‘Parfum’ itu praktis, tapi aromanya terlalu menjijikkan untuk hidung manusia.“Karena itu aku menyuruhmu cepat! semakin lama di sini akan semakin sulit!” Ash tidak berhenti untuk marah, dan terus berlari sambil menunduk di antara semak. Mereka akan sampai di hutan kecil tempat Ash mengintai siang kemarin, asalkan bisa melewati gerbang lengkung batu berjeruji. Jaraknya tidak jauh lagi.TANG!Ash baru saja menyentuh jeruji besi, tapi ada suara letupan dan dentingan disertai percikan api. Itu peluru yang ditembakkan.Ash secepat kilat mencabut pistol dari pinggangnya, dan berbalik sambil menodongkan senjata. Ia tidak ingin membuat keributan tapi peluru yang ditembakkan itu, menyerempet pipinya, sebelum menyasar
“Kau yakin?” Ash masih menyipitkan mata dengan tangan mengepal di samping tubuh.“Demi Tuhan, Ash. Dia tidak hamil. Kau tahu aku tidak serendah itu.” Ian membuat tanda silang tepat di jantungnya, untuk meyakinkan lagi kalau sumpah itu benar.“Kami tidur bersama memang, tapi aku mencabut—yah kau tahu bagaimana. Jadi tidak ada kehamilan.” Ian lumayan lega saat melihat tangan Ash tidak lagi tampak tegang dan ingin mencekik. Dikurung saja sudah buruk, tidak perlu tambahan dicekik.“Lalu dia putri dari Silver fox itu?” Ash duduk dan bersandar. Mereka kembali terkurung dalam ruangan tempat Ian berada sebelum kabur kemarin.“Ya.”“Kau sinting! Tidak bisakah kau memilih yang tidak berbahaya?” Ash masih mengomel tentu.“Aku memilih yang cantik! Tidakkah kau melihat wajahnya?” Ian menepuk pipi, menyuruh Ash mengingat seperti apa Serena.“She’s a little bit insane, but extremely gorgeous.” (Dia agak gila, tapi luar biasa cantik)Segala amarah dan kegilaan yang terjadi belum membuat Ian ingin m
“Kau bicara apa?” Val masih bingung pastinya.“Aku rasa kau perlu duduk.” Orion juga menawarkan minumannya—brandy yang sudah bercampur air karena esnya sudah meleleh.Eren menyambar dan menghabiskannya sekaligus, karena memang tenggorokannya kering.“Jelaskan lagi,” pinta Val.“Ada pergerakan pasukan. Mereka akan kesini,” kata Eren.“Pasukan apa?” Val langsung berdiri. “Dari keluarga mana? Siapa yang masih gila ingin menyerangku?” Val tidak mengerti karena sudah beberapa tahun keadaan tenang, ia berusaha membagi rata kekuasaan pada setiap keluarga agar tidak terjadi perselisihan.“Bukan keluarga, tapi negara!” Eren menepuk pelipis, meminta Val berpikir. Kalau hanya keluarga lain, ia tidak akan sepanik itu.“Aku belum tahu berapa dan bagaimana, tapi aku tahu Inggris mengerahkan pasukan dan datang ke sini untuk membebaskan pria itu! Sumberku yang ada di bandara menyebut mereka datang kurang lebih satu jam lalu! Mereka bahkan menyediakan jet yang juga mendarat di bandara itu! Satu saja ru
“Kita kemana? Kenapa harus pergi?” Serena mengikuti tarikan tangan tangan Eren sambil bertanya-tanya bingung.“Pokoknya menjauh dari sini dulu.” Eren tidak mungkin punya waktu menjelaskan.“Apa kau bisa lari? Kalau memang membuat perutmu sakit, pelan saja.” Eren tiba-tiba memelankan langkah dan memandang perut Serena. “Aku baik-baik saja.” Serena tidak akan jujur mengakuinya sekarang. Ia masih harus memakainya untuk senjata agar ayahnya berhenti menyuruhnya menikah. “Oke, tapi hati-hati. Jangan sampai memaksakan diri.” Eren mengangguk dan mereka kembali berlari keluar dari rumah besar itu.Serena sedikit terharu tapi juga jengkel sebenarnya. Ia tidak menyangka kehamilan palsu itu mendapat perhatian—lebih dari dugaan.“Siapa yang datang sebenarnya?” Claud yang ikut berlari di samping mereka tampak kesal. “Yang pasti buruk.” Eren melambai dan mobil yang sudah disiapkan, mendekati mereka di bawah undakan tangga teras.“Siapa tapi?” Claud belum puas.“Ayah dari anak kakakmu. Mereka me
“Let go of me.” (Lepaskan aku)Ash bahkan tidak punya tenaga lagi untuk membentak lagi. Ia hanya menepuk punggung ayahnya perlahan sambil menghela napas.Pelukannya terlalu erat, memberi tahu kalau Dean benar-benar panik. Dan tentu pengerahan pasukan yang sepertinya bisa untuk menaklukan satu kota itu, memperjelas kepanikannya.“Untuk apa kau ke sini?! Kenapa kau tertangkap—”“Bisakah kau menarik mereka dulu? Aku tidak ingin ada salah tembak atau apapun. Lawan penduduk sipil.”Ash menunjuk pasukan yang ada di sekeliling ayahnya. Meskipun lawan mereka mungkin juga sangat terlatih, status mereka tetaplah warga sipil, bukan tentara aktif.“Tapi mereka akan menyelamatkanmu, dan membawa…”“Seperti yang kau lihat, aku baik-baik saja jadi—please, suruh mereka pergi.” Ash menggertakkan rahang, sedikit lagi akan mengumpat dan mengumbar bentakan.Selama mereka masih dalam keadaan waspada dan menyebar seperti itu kemungkinan jatuhnya korban sia-sia akan semakin tinggi.“Parker.” Dean berpaling pa
“Kau boleh mengambilnya. Itu urusanmu.” Dean menarik tangan Ash agar menjauh dari Ian. Ia tidak akan ikut campur kalau memang urusannya sudah masuk ke ranah yang sebenarnya pribadi.“Dia memang harus bertanggung jawab untuk anaknya.” Dean masih bisa tersenyum meski tidak sesempurna biasanya, karena mengandung kejengkelan yang amat sangat untuk Ian.“Tapi—” Ash masih tidak terima. Ia benar-benar mengkhawatirkan nasib Ian kalau ditinggalkan di sana.“Pergi saja.” Ian menggeleng dan menyuruh Ash pergi bersama ayahnya agar tidak ada keributan besar lagi.“Katakan saja yang sebenarnya!” Ash harus menahan diri untuk tidak menampar kepala Ian. Ash tentu paham kenapa Ian menghentikan penjelasannya tadi. Hanya Ash tidak mengerti kenapa Ian masih merasa perlu untuk merahasiakan tentang kehamilan palsu itu setelah suasananya menjadi seperti itu.“Tidak. Kau pergi saja, sudah cukup. Terima kasih sudah datang. Sungguh.” Ian tidak bercanda, dan ia memang benar-benar berterima kasih atas kedata
“Silakan.” Ian membuka pintu apartemennya, dan memberi ruang bagi Serena untuk masuk.Serena mengernyit, karena pemandangannya tidak amat indah. Ia harus melihat paling tidak tiga lembar celana tergeletak di atas sofa sebelum Ian menyambar semuanya dengan cepat.Bukan hanya celana tentu. Ada beberapa kaos yang juga harus diambilnya dari lantai, lalu kardus pizza yang seharusnya sudah menjadi penghuni tempat sampah.Apartemen itu tidak sangat buruk, hanya memang jauh kalau dibandingkan rumah Serena. Luas seluruh apartemen itu sedikit lebih kecil dari ruang tamu rumah ayahnya, dan isinya mungkin bernilai lebih murah dari satu buah lukisan yang tergantung di ruang tamu itu.“Unik.” Serena mengusap permukaan sofa sekali lagi, sebelum duduk. Tidak amat kotor sebenarnya, tapi ia meragukan kehigienisannya. Ia tidak berharap apapun, tapi punya sedikit pengalaman dari Claud tentang kamar atau tempat hunian pria.Kerapian apartemen Ian mirip dengan kamar Claud sebelum pelayan turun tangan membe
“Terima kasih. Silakan datang kembali kalau Anda menyukainya.”Mae menyerahkan uang kembalian pada pembeli sambil tersenyum ramah. Ia pembeli terakhir yang mengantri, jadi Mae bisa bernapas setelah itu.Tokonya tidak amat ramai, tapi justru karena masih jarang ada yang membeli, jantung Mae selalu berdebar keras setiap kali melayani. Khawatir melakukan kesalahan.Perkembangan tokonya masih lambat, tapi Mae maklum karena ia tidak amat konsisten mengelola. Ia masih banyak mengambil waktu libur. Apalagi kemarin ia libur cukup lama karena menemani Amy dan Ash pergi ke Paris—kurang lebih satu minggu. Toko yang sering tutup tentu tidak akan berkembang pesat.“Aku suka mocca yang ini.” Dari meja yang ada di bagian lain toko, Poppy mengangkat kuenya.Bomboloni dengan ini krim mocca yang akan menjadi menu baru di toko Mae.Setelah belajar lebih berani menghadapi mocca, Mae memutuskan untuk menambah rasa mocca untuk kuenya.“Great, aku akan mulai membuatnya besok—oh, tidak bisa. Mungkin minggu
“Di sini saja, lebih teduh.” Rowena menunjuk kursi di sebelahnya. Dean juga mengangguk setuju.Seluruh plot kursi taman itu sebenarnya ada di bawah pohon paling besar yang ada di taman rumah, tapi karena posisi matahari, ada bagian yang masih tersiram cahaya.Mae sebenarnya tidak keberatan mendapat siraman matahari setelah beberapa hari berada di rumah sakit, tapi ia masih ingat bagaimana nasib orang yang kali terakhir berdebat dengan Rowena—diusir, karenanya sekarang Mae memilih menurut dan duduk dengan manis di sampingnya.“Kau sudah tidak sakit?” tanya Amy yang sudah duduk dan kini menyerahkan satu cookies dari meja. Bukan buatan Mae tapi. Ia belum boleh mendekati dapur—atau melakukan apapun.“Tentu saja. Dokter tidak mungkin mengizinkan aku pulang kalau belum.” Mae melirik Ash yang juga sudah duduk di sampingnya. Orang yang tidak mungkin mengizinkan Mae pulang sebelum dokter memastikan tidak ada yang salah dari tubuhnya.Untung saja Mae kemarin berhasil membuat dokter itu merahasia
“Mae? Ada apa?”Jeritan itu tentu saja menarik perhatian Rowena, dan juga beberapa orang tamu yang bersamanya. “Mae, hentikan!” Rowena menyambar kran wastafel dan mematikannya. Ia lalu menyambar tisu dapur dan mengulurkannya untuk wanita yang kini tersedak dan terbatuk itu.“Lady Jane? Apa Anda baik-baik saja?” tanya Rowena, sambil membantu mengusap air dari wajahnya.Mae yang masih berdiri di situ sedikit menjauh. Mengeluh saat mendengar Rowena memanggilnya lady. Itu berarti Jane ini berasal dari kalangan bangsawan yang sama dengan Rowena. Ia menyombong karena tahu kedudukannya kurang lebih sama dengan Rowena.“Tidak! Wanita ini menyerangku!” Jane menuding ke arah Mae, segera begitu batuknya terhenti.“Mae? Apa—”“Pelayan ini kurang ajar. Kau harus memberinya pelajaran etika!” Jane mengadu tanpa memberi kesempatan Rowena untuk bertanya pada Mae.“Siapa? Pelayan yang mana?” Rowena bingung memandang sekitar, mengira ada orang lain yang terlibat.“Ini!” Jane menuding Mae dengan lebih je
“Aku saja yang membawa.” Mae mengambil alih piring besar berisi potongan kue yang sudah diatur rapi olehnya dari tangan pelayan. Ini karena memang jumlah orang yang membawa kurang. Mae membantu agar pekerjaan mereka cepat selesaiAcara makan sudah dimulai sejak dua jam lalu, dan kini saatnya dessert yang dihidangkan. Semua tamu ribut bicara dan menertawakan entah apa. Mereka sudah tidak lagi duduk, tapi berdiri berkelompok masing-masing. Beberapa mengerumuni Rowena sebagai tuan rumah untuk berterima kasih.“Mae.” Rowena menghentikan langkah Mae dengan meraih lengannya saat ia lewat untuk kembali ke dapur.“Kau tidak perlu bekerja lagi.” Kalimat Rowena itu terdengar seperti kalimat pemecatan, tapi Mae sudah menghapal kalau tujuan Rowena bukan itu. “Kau tidak terlihat baik-baik saja.”Kalimat Rowena yang menyusul berikut menjelaskan niatnya dengan lebih baik. Rowena sedang mengkhawatirkan keadaan Mae.“Ya, setelah ini aku akan beristirahat.” Mae tersenyum menenangkan, lalu meneruskan l
“Karena itu kalian bisa melapor pada—Oh? Sir.” Louis mengangguk saat melihat Ash mendekat.Tapi ia paham kenapa dan langsung bergeser, memperlihatkan sosok yang berdiri di sampingnya, lalu melanjutkan briefing. Tidak berkomentar saat Ash menarik kerah jas Ian, yang tentu saja sedang tersenyum lebar.“What the fuck are you doing here?” geram Ash, setelah mereka sampai di taman yang sepi, tidak termasuk area yang dipakai untuk menjamu tamu.“Tolonglah jangan banyak mengumpat. Untung saja tidak ada toples di sini—Oh, apa aku perlu menghitung berapa umpatan yang kau ucapkan? Jadi bisa membayar nanti?” Ian menepuk bahu Ash perlahan, menangkan sekaligus menikmati reaksinya. Ian memang sengaja tidak mengatakan apapun agar bisa menikmati reaksi itu.“Apa yang kau lakukan di sini?!” Ash mendesis sambil menatap Ian dari atas sampai ke bawah. Jas itu sangat baru, juga pin yang tersemat di dadanya—menandakan ia anggota RaSp.“Apa kau menyamar? Ada pekerjaan yang membuatmu harus menyamar di sini?
“Itu cara berpamitan yang unik.”Mae menggelengkan kepala dan tertawa. Sejenak meninggalkan spuit yang dipakainya untuk menghias cupcake untuk menatap Ash.Ia baru saja menceritakan keributan yang terjadi malam kemarin saat ayah Serena datang menjemput. Ash baru bisa menceritakannya sekarang, karena kesibukan Mae memang hampir tanpa henti. Tamu yang dimaksud Rowena tidak hanya berlangsung sehari, tapi datang bergilir selama dua hari ini. Ia menjamu para istri dari orang-orang berpengaruh yang kemarin mendukung dan berkontribusi pada kemenangan Dean. Sedikit membalas budi.Karenanya Mae juga memperlakukan pekerjaan itu dengan lebih serius. Ia tidak boleh mengacau.“Unik, tapi yang pasti aku bersyukur dia sudah kembali. Aku lelah dengan drama gila mereka.” Ash menghela napas sambil mengulurkan tangan—berusaha mencolek krim berwarna hijau yang disiapkan Mae.Tentu saja Mae mencekal lengan itu. Mae tidak mungkin mengizinkan ada yang menyentuh adonannya dengan tangan yang tidak jelas keber
“Serena?”Ian menggoyangkan bahu Serena, cukup keras, dan masih tidak bergerak. Ian berencana memakai ponsel untuk menyuarakan alarm, tapi sepertinya percuma.Suara bentakan yang dikeluarkan Val tadi kerasnya melebihi alarm dan tidak mengganggu Serena. “Tuan Putri!”Ian akhirnya berseru agak keras dan mengguncang kedua bahu Serena. Baru setelahnya mendapat respon.“Lima menit lagi, Mom.” Gumaman yang kurang lebih menjelaskan kalau ia masih bermimpi.“I'm not your Mom, so please wake up. She's waiting for you.” (Aku bukan ibumu, jadi bangunlah. Dia menunggumu)Ian berbisik di telinganya, hampir tidak bisa menahan tawa saat melihat bagaimana mata Serena membuka lebar dengan tiba-tiba. Ia langsung berbalik mencari siapa yang berbicara padanya, dan menemukan Ian berbaring di sampingnya sambil menopang kepala menahan tawa.“Bangun tidur pun kau tampak mempesona, Tuan Putri. Hamba puas melihatnya,” kata Ian.“Just cut the crap! Apa maksudmu Ibuku menunggu?” Informasi itu masih diingat ole
“Miss, ada tamu untuk Anda.” Louis dengan sopan mengetuk pintu kamar Serena.“Lebih keras lagi. Dia tidak akan terbangun kalau kau mengetuk selembut itu.” Val menyarankan karena tahu kebiasaan Serena. Biasanya hanya gempa yang bisa membangunkannyaLouis mengangguk dan mengetuk lebih keras lagi. “Miss?” Pintu itu terbuka, tapi yang muncul adalah Ian. “Kau mau apa?” Ian separuh membentak dengan wajah jengkel.Tapi hanya bertahan satu detik, karena wajah itu terhantam oleh kepalan tangan Val setelahnya. Ian tidak mungkin menghindar dan nyaris terpelanting.Dengan gerakan yang terlatih, Ian langsung menegakkan tubuh dan melayangkan tendangan balasan pada siapapun yang menyerangnya. Tapi kakinya berhasil ditepis dan saat itu Ian akhirnya melihat mata amat biru yang sekarang menjadi mimpi buruknya.“Oh, shit!” makinya, sambil menurunkan tangan—membatalkan serangan, tapi tetap waspada dan bergerak menghindar saat Val menggembor marah dan melayangkan pukulan lain.“Dasar setan!” Val berseru d
“Aku bilang jangan berpikir ke arah sana!” sergah Serena, sambil mengibaskan rambut dan tengkuknya kembali tertutup.“Oh…” Ian tentu saja kecewa, tapi tidak bisa lama. Saat Serena mengangkat sepuluh jarinya, ia langsung paham masalahnya apa. “Kau tidak bisa membukanya.” Serena berbalik sambil mengangguk. Masih ada sisa pink di wajahnya tapi tidak lagi amat merah. “Aku tidak bisa memaksa membuka ini. Aku perlu sembuh cepat. Harus latihan.” Serena menunjukkan perbannya lagi. Ia bisa memaksakan untuk membuka perban itu, tapi khawatir akan memperburuk lukanya. Serena membutuhkan tangan itu untuk berlatih sebentar lagi.“Seharusnya kau mengatakannya sejak tadi. Aku akan membantu. Ini mudah.” Ian memutar tangannya. Isyarat agar Serena kembali berbalik memunggunginya.“Aku akan meminta bantuan Mae kalau dia tidak sibuk!” cetus Serena. Masih ingin menegaskan kalau Ian adalah pilihan terakhir.“Itu tidak akan seru. Seharusnya kau langsung datang padaku. Masalahnya akan cepat selesai.” Ian te
“Kenapa susah sekali!” Serena mengeluh karena jarinya tidak bisa menyentuh zipper yang sebenarnya mudah.Kalau bisa melepaskan kuncian, Serena bisa mendorong turun, tapi gerakan sederhana itu sangat membutuhkan jari. Serena menghela napas. Menyerah, ia memerlukan bantuan.Serena bisa saja melewatkan mandi, tapi tetap ingin mengganti baju. Ia sudah memakainya seharian berkeliling.Serena keluar dari kamar—mencari Mae, tapi belum sampai di kamarnya, Serena sudah melihat Mae berlari kecil ke arah dapur. Serena mengintip, dan terlihat Mae—dibantu beberapa orang pelayan yang memang bekerja di rumah itu sedang sibuk menyiapkan kue.Mae tadi hanya keluar sebentar, kini melanjutkan pekerjaannya menggiling adonan croissant berwarna merah yang harus dilipat berulang kali. Bukan saat yang tepat untuk meminta bantuan, karena Serena perlu membawa Mae ke kamar. Tidak mungkin ia membuka bajunya di dapur.“Ian ada di sana—belum pulang. Menerima panggilan.”Ash yang berusaha membantu Mae—dengan menga