Kalian pelukannya kapan kalau gitu terus xixixi
“It’s that blood?” (Apa itu darah?)Mae memekik kaget saat melihat noda darah yang menempel di lengan jaket Ash. Jaket Ash berwarna krem yang agak terang, Noda itu masih bisa dikenali sebagai darah meski sudah kering.“Bukan dari lukaku.” Penjelasan Ash tidak lengkap, tapi sudah cukup untuk Mae—yang tampak menghela nafas lega, karena yang terpenting adalah Ash tidak terluka.“Apa sudah selesai?” tanya Mae saat Ash menyerahkan ponselnya kembali.Mae tidak memeriksanya, lebih tertarik untuk memeriksa mixer yang sedang mengaduk adonan. Ia ingin tahu—tapi tidak sangat menanti jawaban karena lebih fokus pada resep baru yang dikembangkannya untuk toko. “Sudah.” Ash duduk, dan memandang Mae bekerja selama beberapa lama. Mae membuat alas kertas untuk loyang, lalu perlahan menuang adonan yang telah jadi, meratakan permukaan, lalu memanggangnya memakai oven yang telah dipanaskan.“Apa?” Setelah menutup pintu oven, Mae baru menyadari kalau sejak tadi pandangan mata Ash tidak pernah lepas dariny
“Apa maksudmu tidak bisa? Aku diculik! Tanganku patah, Tolol!”Monroe membentak lalu meringis kesakitan karena tangannya yang tersangga sedikit membentur meja. Tangannya yang dipatahkan Ash masih belum sembuh meski sudah dua bulan berlalu. Ia sempat menjalani operasi untuk memperbaiki posisi tulang, tapi belum bisa pulih sempurna.Dokter sudah menyebut mungkin tangannya akan sulit berfungsi dengan normal lagi. Karena itu Monroe sangat marah mendengar Damian—pengacara barunya, mengatakan kalau tuntutannya untuk Ashton Cooper ditolak polisi.“Anda melarikan diri, bukan diculik.” Damian menghela napas, mencoba bersabar. Ini pekerjaan pro bono* pertamanya sebagai pengacara. Pekerjaan ini tidak menghasilkan uang untuknya, dan tentu penyebutan ‘tolol’ membuatnya kesal. Satu-satunya yang masih membuatnya bertahan adalah CV. Ia butuh pengalaman agar ada firma besar yang menerimanya. Kasus Randall Monroe mendapat banyak eksposure jadi sangat cocok untuk menjadi bahan resume.Damian tidak berh
Carol mendecak saat panggilan yang dilakukannya hanya terjawab oleh pesan suara. Ini masih bagus, minggu lalu ia menunggu sampai sepuluh menit—sampai batas waktu teleponnya habis—hanya untuk mendengar nada tunggu berlagu. Saat itu Carol sudah berharap kalau Dean akan menjawab panggilannya, atau mungkin asistennya, tapi kembali kandas. Kini Carol harus menunggu minggu depan lagi untuk mencoba menghubungi Dean.“Mungkin dia sibuk. Pemilu baru saja lewat.” Carol bergumam sambil mencubit bibirnya berulang kali. Gelisah sebenarnya, tapi mencoba menghibur diri.“Kenapa tidak ada kabar?” Carol bergumam lagi sambil melamun. Ia bahkan tidak peduli saat napi lain mendorong tubuhnya dengan kasar saat mencoba mendekati booth telepon. Giliran Carol sudah habis.“Tapi dia sudah menang. Memakai caraku.” Carol mulai kesal sekarang. Ia sudah yakin Dean akan menepati janji. Sikapnya cukup simpatik saat mereka bertemu kemarin.Awalnya Carol menyangka Dean akan bersikap keji—mirip Monroe yang berubah se
“Oh? Anda terluka? Duduklah.” Dokter itu menawarkan kursi sambil tersenyum. Carol tidak biasanya mudah terpesona dengan ketampanan pria yang berusia di bawahnya tapi yang ini terlalu menawan sampai ia hanya bisa mengangguk dan duduk dengan patuh.“Sayatannya cukup dalam. Aku akan menjahit dan menyuntikmu dengan obat. Mungkin kau harus meminum pereda rasa sakit juga nanti.” Dokter memberi penjelasan dengan ramah. Dokter penjara yang ada di luar, tidak membentak maupun memperlakukan napi dengan kasar, tapi bukan berarti akan ramah juga seperti dokter di luar sana. Namun, dokter yang ini sepertinya ia tidak membedakan pasien. Napi atau bukan keramahannya tidak berkurang.Carol sudah lupa pada lukanya. Ia justru menatap wajah dokter itu saat ia mulai memakai sarung tangan dan menyuntikkan obat setelah membebat luka di tangannya,. Carol nyaris bisa mengabaikan rasa sakit dari bekas suntikan itu, tapi rasanya pegal, jadi ia mengibaskan tangannya.“Apa ada rasa pegal?” tanya dokter bermata
“Uangnya cukup bukan?” tanya Ash, sambil berpaling menatap Ian yang juga duduk menghadap ke arah sungai.Sejak tadi ia ingin membicarakan itu, tapi sulit karena Mae dan Amy yang selalu dekat. Kini mereka sedang menyusuri tepi sungai Velues yang cukup jauh, diluar jarak dengar.“Cukup, dan memang semahal itu.” Ian mengangguk sambil bergidik. Awalnya ia tidak amat percaya saat mendengar tarif menyewa jasa ‘pembalasan dendam’ itu, karena harganya bahkan melebihi rumah miliknya. Tapi rupanya benar semahal itu.“Mahal pun tidak masalah asal berhasil. Aku puas.” Ash tentu saja akan membayar semahal apapun tarifnya karena hasilnya memuaskan. Ash tidak bisa berhenti tersenyum saat melihat kiriman video yang memperlihatkan bagaimana ia menghajar Monroe tanpa terlihat mencurigakan. Lalu video bagaimana ia membujuk Carol untuk menerima obat yang bahkan terlihat mencurigakan. Ash sudah mengakui keberhasilannya sampai di sana.“Ia bahkan memilih metode karma. Aku takjub,” kata Ash. Ia tidak menyeb
“Oke, masih lumayan.” Ian menyesap minumannya dengan puas. Ini gelas keempatnya dan masih memuaskan. Selain bertempat di hotel yang mewah dan cantik, Ian masih bisa memuji makanan paling tidak.Kelezatan champagne yang diminumnya itu, bisa menambal jengkel akibat terpaksa mendatangi pernikahan adiknya. Kalau bukan karena paksaan dari ibunya, Ian akan melewatkan begitu saja.Bukan karena tidak dekat ataupun membenci, tapi Ian tahu tamunya akan banyak berasal dari sisi keluarga ayahnya.Ilda—adiknya, menghabiskan musim panasnya tahun lalu di Italia, dan kembali membawa pria yang mungkin masih bersaudara dengan ayahnya. Yang jelas ia memutuskan untuk menikah musim dingin ini, tanpa peringatan apapun karena tidak memberitahunya. Ian bahkan baru bertemu pria itu tadi malam. “Kau masih marah?” Ilda mendekat sambil mengangkat gaunnya yang menjuntai. Ia memilih gaun yang memiliki ekor sepanjang lima meter paling tidak. “Tidak marah. Kapan aku marah?!” Ian mendengus, dan sama sekali tidak
Ash tenang dan tidak pernah menebar pesona dengan sengaja, sedang pria ini menebar pesonanya setiap saat. Setiap detik dalam helaan nafasnya. Ian tadi bertemu dengannya di pintu masuk, dan tidak menganggap penting mengobrol untuk menunggu ibunya yang belum selesai berdandan.“Siapa dia?” tanya Ian, akhirnya penasaran. Ia tadi hanya melihatnya sebagai pria random, tapi kini sudah jelas ia adalah pusat perhatian dari semua tamu yang ada di sana.“Dia Ranallo. Vallerio Ranallo malah.” Ilda menyebut nama yang membuat Ian mengumpat. Ia tidak mengikuti perkembangan kehidupan keluarga ayahnya tapi tetap tahu siapa Ranallo.“Ranallo yang itu?! Dia—”“Yup, dia yang menjalankan semuanya. Bersama beberapa orang yang bersamanya. Kakek Fabrizio dekat dengan mereka karena itu, mereka datang.” Penjelasan yang tidak lagi diinginkan oleh Ian. Ia memutuskan untuk tidak ingin tahu. Sudah terlalu dalam. Tidak penting Fabrizio ini bekerja untuk siapa, yang pasti ia tahu Ilda tidak akan dengan bodoh mem
Ian terbiasa mengimbangi wanita tipe apapun, tapi baru sekali ini ia menemukan yang unik.Serena berani, terlihat jelas dari inisiatif yang selalu mendahului apapun yang ingin dilakukannya.Agresif di satu sisi, tapi yang mengherankan tubuhnya amat sensitif, terlihat tidak terbiasa pada sentuhan.Ian mendapati bagaimana Serena memekik dan mendesah pada sentuhan kecil pada pinggang dan kakinya. Gadis yang baru dikenalnya tidak lebih dari sepuluh menit yang lalu itu, mengesankan kepolosan saat disentuh.Reaksi yang terkesan buatan karena berlebihan, tapi Ian tahu itu tidak palsu. Raut wajah yang semakin memerah, gigitan pada bibir, dan lirikan mata sayu itu tidak mungkin palsu. “Kau itu apa?” Ian bertanya dengan heran, karena pada detik berikutnya, Serena telah berubah lagi, saat tiba-tiba saja mendorong Ian sampai punggungnya membentur sisi ranjang. Sisi agresif yang bertolak belakang dengan kepolosan tadi.“Serena.” Bukan itu pertanyaan Ian, tapi memang jawaban Serena tidak amat pent