Halooo kesiangan nih. Tadi rencananya cuma satu bab pagi. Tapi kok nanggung ya udah diterusin sampai tiga sekalian wkwkkw
Carol mendecak saat panggilan yang dilakukannya hanya terjawab oleh pesan suara. Ini masih bagus, minggu lalu ia menunggu sampai sepuluh menit—sampai batas waktu teleponnya habis—hanya untuk mendengar nada tunggu berlagu. Saat itu Carol sudah berharap kalau Dean akan menjawab panggilannya, atau mungkin asistennya, tapi kembali kandas. Kini Carol harus menunggu minggu depan lagi untuk mencoba menghubungi Dean.“Mungkin dia sibuk. Pemilu baru saja lewat.” Carol bergumam sambil mencubit bibirnya berulang kali. Gelisah sebenarnya, tapi mencoba menghibur diri.“Kenapa tidak ada kabar?” Carol bergumam lagi sambil melamun. Ia bahkan tidak peduli saat napi lain mendorong tubuhnya dengan kasar saat mencoba mendekati booth telepon. Giliran Carol sudah habis.“Tapi dia sudah menang. Memakai caraku.” Carol mulai kesal sekarang. Ia sudah yakin Dean akan menepati janji. Sikapnya cukup simpatik saat mereka bertemu kemarin.Awalnya Carol menyangka Dean akan bersikap keji—mirip Monroe yang berubah se
“Oh? Anda terluka? Duduklah.” Dokter itu menawarkan kursi sambil tersenyum. Carol tidak biasanya mudah terpesona dengan ketampanan pria yang berusia di bawahnya tapi yang ini terlalu menawan sampai ia hanya bisa mengangguk dan duduk dengan patuh.“Sayatannya cukup dalam. Aku akan menjahit dan menyuntikmu dengan obat. Mungkin kau harus meminum pereda rasa sakit juga nanti.” Dokter memberi penjelasan dengan ramah. Dokter penjara yang ada di luar, tidak membentak maupun memperlakukan napi dengan kasar, tapi bukan berarti akan ramah juga seperti dokter di luar sana. Namun, dokter yang ini sepertinya ia tidak membedakan pasien. Napi atau bukan keramahannya tidak berkurang.Carol sudah lupa pada lukanya. Ia justru menatap wajah dokter itu saat ia mulai memakai sarung tangan dan menyuntikkan obat setelah membebat luka di tangannya,. Carol nyaris bisa mengabaikan rasa sakit dari bekas suntikan itu, tapi rasanya pegal, jadi ia mengibaskan tangannya.“Apa ada rasa pegal?” tanya dokter bermata
“Uangnya cukup bukan?” tanya Ash, sambil berpaling menatap Ian yang juga duduk menghadap ke arah sungai.Sejak tadi ia ingin membicarakan itu, tapi sulit karena Mae dan Amy yang selalu dekat. Kini mereka sedang menyusuri tepi sungai Velues yang cukup jauh, diluar jarak dengar.“Cukup, dan memang semahal itu.” Ian mengangguk sambil bergidik. Awalnya ia tidak amat percaya saat mendengar tarif menyewa jasa ‘pembalasan dendam’ itu, karena harganya bahkan melebihi rumah miliknya. Tapi rupanya benar semahal itu.“Mahal pun tidak masalah asal berhasil. Aku puas.” Ash tentu saja akan membayar semahal apapun tarifnya karena hasilnya memuaskan. Ash tidak bisa berhenti tersenyum saat melihat kiriman video yang memperlihatkan bagaimana ia menghajar Monroe tanpa terlihat mencurigakan. Lalu video bagaimana ia membujuk Carol untuk menerima obat yang bahkan terlihat mencurigakan. Ash sudah mengakui keberhasilannya sampai di sana.“Ia bahkan memilih metode karma. Aku takjub,” kata Ash. Ia tidak menyeb
“Oke, masih lumayan.” Ian menyesap minumannya dengan puas. Ini gelas keempatnya dan masih memuaskan. Selain bertempat di hotel yang mewah dan cantik, Ian masih bisa memuji makanan paling tidak.Kelezatan champagne yang diminumnya itu, bisa menambal jengkel akibat terpaksa mendatangi pernikahan adiknya. Kalau bukan karena paksaan dari ibunya, Ian akan melewatkan begitu saja.Bukan karena tidak dekat ataupun membenci, tapi Ian tahu tamunya akan banyak berasal dari sisi keluarga ayahnya.Ilda—adiknya, menghabiskan musim panasnya tahun lalu di Italia, dan kembali membawa pria yang mungkin masih bersaudara dengan ayahnya. Yang jelas ia memutuskan untuk menikah musim dingin ini, tanpa peringatan apapun karena tidak memberitahunya. Ian bahkan baru bertemu pria itu tadi malam. “Kau masih marah?” Ilda mendekat sambil mengangkat gaunnya yang menjuntai. Ia memilih gaun yang memiliki ekor sepanjang lima meter paling tidak. “Tidak marah. Kapan aku marah?!” Ian mendengus, dan sama sekali tidak
Ash tenang dan tidak pernah menebar pesona dengan sengaja, sedang pria ini menebar pesonanya setiap saat. Setiap detik dalam helaan nafasnya. Ian tadi bertemu dengannya di pintu masuk, dan tidak menganggap penting mengobrol untuk menunggu ibunya yang belum selesai berdandan.“Siapa dia?” tanya Ian, akhirnya penasaran. Ia tadi hanya melihatnya sebagai pria random, tapi kini sudah jelas ia adalah pusat perhatian dari semua tamu yang ada di sana.“Dia Ranallo. Vallerio Ranallo malah.” Ilda menyebut nama yang membuat Ian mengumpat. Ia tidak mengikuti perkembangan kehidupan keluarga ayahnya tapi tetap tahu siapa Ranallo.“Ranallo yang itu?! Dia—”“Yup, dia yang menjalankan semuanya. Bersama beberapa orang yang bersamanya. Kakek Fabrizio dekat dengan mereka karena itu, mereka datang.” Penjelasan yang tidak lagi diinginkan oleh Ian. Ia memutuskan untuk tidak ingin tahu. Sudah terlalu dalam. Tidak penting Fabrizio ini bekerja untuk siapa, yang pasti ia tahu Ilda tidak akan dengan bodoh mem
Ian terbiasa mengimbangi wanita tipe apapun, tapi baru sekali ini ia menemukan yang unik.Serena berani, terlihat jelas dari inisiatif yang selalu mendahului apapun yang ingin dilakukannya.Agresif di satu sisi, tapi yang mengherankan tubuhnya amat sensitif, terlihat tidak terbiasa pada sentuhan.Ian mendapati bagaimana Serena memekik dan mendesah pada sentuhan kecil pada pinggang dan kakinya. Gadis yang baru dikenalnya tidak lebih dari sepuluh menit yang lalu itu, mengesankan kepolosan saat disentuh.Reaksi yang terkesan buatan karena berlebihan, tapi Ian tahu itu tidak palsu. Raut wajah yang semakin memerah, gigitan pada bibir, dan lirikan mata sayu itu tidak mungkin palsu. “Kau itu apa?” Ian bertanya dengan heran, karena pada detik berikutnya, Serena telah berubah lagi, saat tiba-tiba saja mendorong Ian sampai punggungnya membentur sisi ranjang. Sisi agresif yang bertolak belakang dengan kepolosan tadi.“Serena.” Bukan itu pertanyaan Ian, tapi memang jawaban Serena tidak amat pent
“That’s huge.” (Itu besar sekali)Ian bergumam saat melihat gerbang besi dengan lekuk aesthetic terpampang di depannya terbuka. Ian pernah mengunjungi rumah itu dulu, bersama ayahnya, saat masih berusia tujuh atau delapan.Ian masih mengingat hari itu karena dulu pun gerbang bertuliskan huruf ‘R’ berwarna keemasan itu menurutnya mengesankan. Ian sudah tidak ingat persisnya ia berkunjung untuk apa dan seperti apa, tapi masih ingat kalau bukan hanya gerbang saja yang menakjubkan, tapi juga rumah yang ada di ujung gang masuk itu.Ian perlahan memelankan laju mobil dan mengeluh saat sudah sampai persis di depan mansion besar itu. Bukan karena bentuknya yang mengecewakan, tapi karena heran kenapa ia harus datang sejauh ini untuk mengantar emas.“Kalau bukan karenamu, aku tidak akan rela.” Ian bergumam sambil membuka pintu dan turun membawa tas kain berisi emas.Setelah ayahnya meninggal, Ian sudah bertekad untuk tidak lagi mendekati dunianya, tapi kini ia malah mendatangi pusat dari dunia
Kenyataan yang amat menampar tentu, karena terlalu benar. Ian seperti kembali mengulang pembicaraan dengan Ilda kemarin, hanya yang ini lebih brutal.“Aku tadinya ragu, tapi setelah kita bicara kemarin, aku tertarik padamu. Kau—Not that kind of interest.” (Bukan ketertarikan semacam itu)Val mendesis karena Ian tiba-tiba bergeser menjauh setelah mendengar kata tertarik. Ian tidak tahu Val membahas apa, tapi kalau seorang kepala mafia sampai menyebut tertarik padanya, maka Ian akan takut.“Aku punya istri dan dua anak, dan akan tetap seperti itu.” Val menegaskan dengan senyum masam.“Saya juga tidak menuduh Anda apapun, tapi Anda sudah tahu siapa saya semenjak kita pertama bertemu.”Ian merasa tertipu tentu kemarin mengakrabkan diri dengannya tanpa tahu apapun. Val juga tidak terlihat menyeramkan seperti ini. Pria itu seperti memadamkan auranya, dan bersikap bersahabat saat bicara dengannya kemarin.Tapi kini Ian tahu kalau pembicaraan itu sama sekali tidak random tapi terencana dengan
“Di sini saja, lebih teduh.” Rowena menunjuk kursi di sebelahnya. Dean juga mengangguk setuju.Seluruh plot kursi taman itu sebenarnya ada di bawah pohon paling besar yang ada di taman rumah, tapi karena posisi matahari, ada bagian yang masih tersiram cahaya.Mae sebenarnya tidak keberatan mendapat siraman matahari setelah beberapa hari berada di rumah sakit, tapi ia masih ingat bagaimana nasib orang yang kali terakhir berdebat dengan Rowena—diusir, karenanya sekarang Mae memilih menurut dan duduk dengan manis di sampingnya.“Kau sudah tidak sakit?” tanya Amy yang sudah duduk dan kini menyerahkan satu cookies dari meja. Bukan buatan Mae tapi. Ia belum boleh mendekati dapur—atau melakukan apapun.“Tentu saja. Dokter tidak mungkin mengizinkan aku pulang kalau belum.” Mae melirik Ash yang juga sudah duduk di sampingnya. Orang yang tidak mungkin mengizinkan Mae pulang sebelum dokter memastikan tidak ada yang salah dari tubuhnya.Untung saja Mae kemarin berhasil membuat dokter itu merahasia
“Mae? Ada apa?”Jeritan itu tentu saja menarik perhatian Rowena, dan juga beberapa orang tamu yang bersamanya. “Mae, hentikan!” Rowena menyambar kran wastafel dan mematikannya. Ia lalu menyambar tisu dapur dan mengulurkannya untuk wanita yang kini tersedak dan terbatuk itu.“Lady Jane? Apa Anda baik-baik saja?” tanya Rowena, sambil membantu mengusap air dari wajahnya.Mae yang masih berdiri di situ sedikit menjauh. Mengeluh saat mendengar Rowena memanggilnya lady. Itu berarti Jane ini berasal dari kalangan bangsawan yang sama dengan Rowena. Ia menyombong karena tahu kedudukannya kurang lebih sama dengan Rowena.“Tidak! Wanita ini menyerangku!” Jane menuding ke arah Mae, segera begitu batuknya terhenti.“Mae? Apa—”“Pelayan ini kurang ajar. Kau harus memberinya pelajaran etika!” Jane mengadu tanpa memberi kesempatan Rowena untuk bertanya pada Mae.“Siapa? Pelayan yang mana?” Rowena bingung memandang sekitar, mengira ada orang lain yang terlibat.“Ini!” Jane menuding Mae dengan lebih je
“Aku saja yang membawa.” Mae mengambil alih piring besar berisi potongan kue yang sudah diatur rapi olehnya dari tangan pelayan. Ini karena memang jumlah orang yang membawa kurang. Mae membantu agar pekerjaan mereka cepat selesaiAcara makan sudah dimulai sejak dua jam lalu, dan kini saatnya dessert yang dihidangkan. Semua tamu ribut bicara dan menertawakan entah apa. Mereka sudah tidak lagi duduk, tapi berdiri berkelompok masing-masing. Beberapa mengerumuni Rowena sebagai tuan rumah untuk berterima kasih.“Mae.” Rowena menghentikan langkah Mae dengan meraih lengannya saat ia lewat untuk kembali ke dapur.“Kau tidak perlu bekerja lagi.” Kalimat Rowena itu terdengar seperti kalimat pemecatan, tapi Mae sudah menghapal kalau tujuan Rowena bukan itu. “Kau tidak terlihat baik-baik saja.”Kalimat Rowena yang menyusul berikut menjelaskan niatnya dengan lebih baik. Rowena sedang mengkhawatirkan keadaan Mae.“Ya, setelah ini aku akan beristirahat.” Mae tersenyum menenangkan, lalu meneruskan l
“Karena itu kalian bisa melapor pada—Oh? Sir.” Louis mengangguk saat melihat Ash mendekat.Tapi ia paham kenapa dan langsung bergeser, memperlihatkan sosok yang berdiri di sampingnya, lalu melanjutkan briefing. Tidak berkomentar saat Ash menarik kerah jas Ian, yang tentu saja sedang tersenyum lebar.“What the fuck are you doing here?” geram Ash, setelah mereka sampai di taman yang sepi, tidak termasuk area yang dipakai untuk menjamu tamu.“Tolonglah jangan banyak mengumpat. Untung saja tidak ada toples di sini—Oh, apa aku perlu menghitung berapa umpatan yang kau ucapkan? Jadi bisa membayar nanti?” Ian menepuk bahu Ash perlahan, menangkan sekaligus menikmati reaksinya. Ian memang sengaja tidak mengatakan apapun agar bisa menikmati reaksi itu.“Apa yang kau lakukan di sini?!” Ash mendesis sambil menatap Ian dari atas sampai ke bawah. Jas itu sangat baru, juga pin yang tersemat di dadanya—menandakan ia anggota RaSp.“Apa kau menyamar? Ada pekerjaan yang membuatmu harus menyamar di sini?
“Itu cara berpamitan yang unik.”Mae menggelengkan kepala dan tertawa. Sejenak meninggalkan spuit yang dipakainya untuk menghias cupcake untuk menatap Ash.Ia baru saja menceritakan keributan yang terjadi malam kemarin saat ayah Serena datang menjemput. Ash baru bisa menceritakannya sekarang, karena kesibukan Mae memang hampir tanpa henti. Tamu yang dimaksud Rowena tidak hanya berlangsung sehari, tapi datang bergilir selama dua hari ini. Ia menjamu para istri dari orang-orang berpengaruh yang kemarin mendukung dan berkontribusi pada kemenangan Dean. Sedikit membalas budi.Karenanya Mae juga memperlakukan pekerjaan itu dengan lebih serius. Ia tidak boleh mengacau.“Unik, tapi yang pasti aku bersyukur dia sudah kembali. Aku lelah dengan drama gila mereka.” Ash menghela napas sambil mengulurkan tangan—berusaha mencolek krim berwarna hijau yang disiapkan Mae.Tentu saja Mae mencekal lengan itu. Mae tidak mungkin mengizinkan ada yang menyentuh adonannya dengan tangan yang tidak jelas keber
“Serena?”Ian menggoyangkan bahu Serena, cukup keras, dan masih tidak bergerak. Ian berencana memakai ponsel untuk menyuarakan alarm, tapi sepertinya percuma.Suara bentakan yang dikeluarkan Val tadi kerasnya melebihi alarm dan tidak mengganggu Serena. “Tuan Putri!”Ian akhirnya berseru agak keras dan mengguncang kedua bahu Serena. Baru setelahnya mendapat respon.“Lima menit lagi, Mom.” Gumaman yang kurang lebih menjelaskan kalau ia masih bermimpi.“I'm not your Mom, so please wake up. She's waiting for you.” (Aku bukan ibumu, jadi bangunlah. Dia menunggumu)Ian berbisik di telinganya, hampir tidak bisa menahan tawa saat melihat bagaimana mata Serena membuka lebar dengan tiba-tiba. Ia langsung berbalik mencari siapa yang berbicara padanya, dan menemukan Ian berbaring di sampingnya sambil menopang kepala menahan tawa.“Bangun tidur pun kau tampak mempesona, Tuan Putri. Hamba puas melihatnya,” kata Ian.“Just cut the crap! Apa maksudmu Ibuku menunggu?” Informasi itu masih diingat ole
“Miss, ada tamu untuk Anda.” Louis dengan sopan mengetuk pintu kamar Serena.“Lebih keras lagi. Dia tidak akan terbangun kalau kau mengetuk selembut itu.” Val menyarankan karena tahu kebiasaan Serena. Biasanya hanya gempa yang bisa membangunkannyaLouis mengangguk dan mengetuk lebih keras lagi. “Miss?” Pintu itu terbuka, tapi yang muncul adalah Ian. “Kau mau apa?” Ian separuh membentak dengan wajah jengkel.Tapi hanya bertahan satu detik, karena wajah itu terhantam oleh kepalan tangan Val setelahnya. Ian tidak mungkin menghindar dan nyaris terpelanting.Dengan gerakan yang terlatih, Ian langsung menegakkan tubuh dan melayangkan tendangan balasan pada siapapun yang menyerangnya. Tapi kakinya berhasil ditepis dan saat itu Ian akhirnya melihat mata amat biru yang sekarang menjadi mimpi buruknya.“Oh, shit!” makinya, sambil menurunkan tangan—membatalkan serangan, tapi tetap waspada dan bergerak menghindar saat Val menggembor marah dan melayangkan pukulan lain.“Dasar setan!” Val berseru d
“Aku bilang jangan berpikir ke arah sana!” sergah Serena, sambil mengibaskan rambut dan tengkuknya kembali tertutup.“Oh…” Ian tentu saja kecewa, tapi tidak bisa lama. Saat Serena mengangkat sepuluh jarinya, ia langsung paham masalahnya apa. “Kau tidak bisa membukanya.” Serena berbalik sambil mengangguk. Masih ada sisa pink di wajahnya tapi tidak lagi amat merah. “Aku tidak bisa memaksa membuka ini. Aku perlu sembuh cepat. Harus latihan.” Serena menunjukkan perbannya lagi. Ia bisa memaksakan untuk membuka perban itu, tapi khawatir akan memperburuk lukanya. Serena membutuhkan tangan itu untuk berlatih sebentar lagi.“Seharusnya kau mengatakannya sejak tadi. Aku akan membantu. Ini mudah.” Ian memutar tangannya. Isyarat agar Serena kembali berbalik memunggunginya.“Aku akan meminta bantuan Mae kalau dia tidak sibuk!” cetus Serena. Masih ingin menegaskan kalau Ian adalah pilihan terakhir.“Itu tidak akan seru. Seharusnya kau langsung datang padaku. Masalahnya akan cepat selesai.” Ian te
“Kenapa susah sekali!” Serena mengeluh karena jarinya tidak bisa menyentuh zipper yang sebenarnya mudah.Kalau bisa melepaskan kuncian, Serena bisa mendorong turun, tapi gerakan sederhana itu sangat membutuhkan jari. Serena menghela napas. Menyerah, ia memerlukan bantuan.Serena bisa saja melewatkan mandi, tapi tetap ingin mengganti baju. Ia sudah memakainya seharian berkeliling.Serena keluar dari kamar—mencari Mae, tapi belum sampai di kamarnya, Serena sudah melihat Mae berlari kecil ke arah dapur. Serena mengintip, dan terlihat Mae—dibantu beberapa orang pelayan yang memang bekerja di rumah itu sedang sibuk menyiapkan kue.Mae tadi hanya keluar sebentar, kini melanjutkan pekerjaannya menggiling adonan croissant berwarna merah yang harus dilipat berulang kali. Bukan saat yang tepat untuk meminta bantuan, karena Serena perlu membawa Mae ke kamar. Tidak mungkin ia membuka bajunya di dapur.“Ian ada di sana—belum pulang. Menerima panggilan.”Ash yang berusaha membantu Mae—dengan menga