Ian diliat-liat dulu makanya wkkwwkw Telat ya, tapi tiga langsung hehehe
“That’s huge.” (Itu besar sekali)Ian bergumam saat melihat gerbang besi dengan lekuk aesthetic terpampang di depannya terbuka. Ian pernah mengunjungi rumah itu dulu, bersama ayahnya, saat masih berusia tujuh atau delapan.Ian masih mengingat hari itu karena dulu pun gerbang bertuliskan huruf ‘R’ berwarna keemasan itu menurutnya mengesankan. Ian sudah tidak ingat persisnya ia berkunjung untuk apa dan seperti apa, tapi masih ingat kalau bukan hanya gerbang saja yang menakjubkan, tapi juga rumah yang ada di ujung gang masuk itu.Ian perlahan memelankan laju mobil dan mengeluh saat sudah sampai persis di depan mansion besar itu. Bukan karena bentuknya yang mengecewakan, tapi karena heran kenapa ia harus datang sejauh ini untuk mengantar emas.“Kalau bukan karenamu, aku tidak akan rela.” Ian bergumam sambil membuka pintu dan turun membawa tas kain berisi emas.Setelah ayahnya meninggal, Ian sudah bertekad untuk tidak lagi mendekati dunianya, tapi kini ia malah mendatangi pusat dari dunia
Kenyataan yang amat menampar tentu, karena terlalu benar. Ian seperti kembali mengulang pembicaraan dengan Ilda kemarin, hanya yang ini lebih brutal.“Aku tadinya ragu, tapi setelah kita bicara kemarin, aku tertarik padamu. Kau—Not that kind of interest.” (Bukan ketertarikan semacam itu)Val mendesis karena Ian tiba-tiba bergeser menjauh setelah mendengar kata tertarik. Ian tidak tahu Val membahas apa, tapi kalau seorang kepala mafia sampai menyebut tertarik padanya, maka Ian akan takut.“Aku punya istri dan dua anak, dan akan tetap seperti itu.” Val menegaskan dengan senyum masam.“Saya juga tidak menuduh Anda apapun, tapi Anda sudah tahu siapa saya semenjak kita pertama bertemu.”Ian merasa tertipu tentu kemarin mengakrabkan diri dengannya tanpa tahu apapun. Val juga tidak terlihat menyeramkan seperti ini. Pria itu seperti memadamkan auranya, dan bersikap bersahabat saat bicara dengannya kemarin.Tapi kini Ian tahu kalau pembicaraan itu sama sekali tidak random tapi terencana dengan
“Kenapa kau disini? Kau bukan orang Italia!” Serena menunjuk Ian, bertanya dalam nada tuntutan yang terdengar panik.“Memang bukan, tapi bukan berarti aku tidak bisa kesini.” Ian menjawab dengan otomatis, sementara menghindari lirikan Val.“Tapi untuk apa kau kesini?!” sergah Serena. Ia jelas tidak melihat kalau Ian saat ini tengah mencoba bertahan hidup.Ian mendengarnya tadi, saat gadis itu memanggil Val ‘Daddy’. Ian sangat ragu kalau panggilan itu berarti lain—seperti Mae menyebut semua pria sebelum Ash. Panggilan itu berarti sebenarnya. Serena adalah putri dari Val.Diantara semua wanita yang ada di sana, Ian memilih yang paling mengerikan. Ian tahu saat ini nyawanya sedang ada di ujung tanduk.“Aku ada perlu.” Ian mencoba berkonsentrasi pada Serena saja, karena bisa merasakan aroma ganas dari sisi Val.“Oh… Oke.” Serena juga sepertinya sudah lebih tenang, dan mengangguk.“Kalian sudah selesai? Apa ada yang ingin menjawab pertanyaanku?” Val menyela bahkan dengan nada yang lebih r
Tapi Val sendiri seperti berhenti berfungsi. Ia berdiri diam tanpa menggerakkan satu pun jari. Ia seperti tenggelam juga tapi dalam lumpur yang pekat sampai tidak menyadari apapun.Butuh beberapa detik sebelum akhirnya Val menggeleng. “No, you don’t. Kau belum menikah, tidak mungkin hamil.”Serena tertawa dengan brutal. “Itu lucu, Dad. Kau tahu aku ada sebelum kau menikah juga!”“Itu… berbeda! Kau tidak tidur dengan siapapun!” Val sesaat kehilangan kata-kata tapi kembali membentak setelah itu.“Kau tahu darimana aku tidak tidur dengan siapapun?” Serena mendengus dan menyeringai, yang tentu bukan ide bagus karena membuat ayahnya semakin marah.“Karena tidak ada pria waras di dunia ini yang akan berani menyentuhmu! Mereka tahu kau siapa dan—”“Apa kau berpikir kalau dirimu adalah raja dunia? Kau bukan penguasa—”“KAU TIDAK MUNGKIN HAMIL!” Val sudah habis kesabaran dan meraung keras, sampai Ian akhirnya terperanjat dan kembali tersadar kalau ia dalam situasi genting, tapi tidak tahu harus
“Terima kasih.” Mae tersenyum pada pelayan yang sedang menuangkan cairan berwarna coklat kental yang menjadi pesanannya—bukan cokelat panas, tapi mocca.“Kau yakin?” Ash meraih tangan Mae, yang ada di atas meja. Ia tahu Mae akan melakukan apa saat memesan minuman itu. Belum sampai kopi, tapi mocca sudah bentuk percobaan yang cukup menantang.Mae mengangguk. “Aku harus mencobanya. Kata Lynch boleh saja, selama aku yakin. Dan aku yakin saat ini.“Tidak perlu tergesa.” Ash tidak ingin Mae terlalu memburu. Bagaimanapun, baru sekitar empat kali ia kembali melakukan konsultasi dengan Lynch. Masih terlalu cepat menurutnya.“Aku ingin mencobanya, Ash. Aku tidak mau kau menjauhi kopi selamanya.”Mae mengelus punggung tangan Ash, meminta agar Ash melepaskan tangan kanannya.“Tidak masalah, Mary. Itu—”“Masalah untukku, Ash. Aku tidak mau kau membatasi kehidupanmu karena diriku. Sudah cukup.” Mae sampai melakukan hal yang tidak disukainya—kembali bertemu Lynch—untuk Ash. Ia tidak mau Ash terus m
“Nanti, Mary. Untuk apa tergesa seperti itu, makan ini dulu.” Ash menggeleng sambil memajukan dessert yang juga mereka pesan tadi. Untuk menetralkan rasa kopi kalau memang Mae gagal tadi.“Oke… Oke.” Mae mengerti kalau kemajuannya tidak boleh dipaksakan seperti nasehat LynchMae lalu mengambil sendok untuk memotong mont-blanc. Dessert paling terkenal dari Angelina.Salah satu toko kue paling terkenal di Paris—sudah berdiri semenjak tahun 1903, dengan dekorasi yang mirip istana mewah zaman Marie Antoinette. Memang menjadi tempat yang masuk dalam daftar kunjungan wajib saat Mae merencanakan perjalanan itu.Mae tidak mau mereka hanya berjalan-jalan tanpa tujuan berarti. Ia sengaja ingin mengunjungi toko-toko roti legendaris di Paris untuk melihat menu dan lainnya. Terutama Angelina yang memiliki konsep hampir sama dengan toko miliknya. “Oh, shit! This is so good.” Mae sampai mengumpat setelah merasakan gigitan pertama, karena mont-blanc itu benar-benar lezat.Dilihat sekilas di serti i
“Ash! Pergi!” Amy dengan panik berusaha mendorong Ash menjauh, tapi tentu percuma. Ia seperti mendorong tembok karena Ash sama sekali tidak bergerak. Bahkan setelah dibantu oleh Mae yang berusaha menarik agar menjauh, tubuhnya tetap berdiri kokoh di tempat.“Who the fuck are you?!”Ash mengulang pertanyaannya, masih sambil tidak berkedip menatap bocah itu. Iya Mencoba tersenyum tapi terlihat jelas kepanikannya.“Bukan urusanmu dia siapa! Pergilah!” Amy menjerit dan mengusir sambil melambai pada Loius yang sudah mengikuti masuk. Tapi tentu ia tengah berkonflik, harus membantu Amy atau Ash. Dua-duanya adalah orang yang harus dipatuhinya saat ini.“Perkenalkan, saya Galant.” Bocah itu akhirnya berhasil memupuk keberanian dan mengulurkan tangan pada Ash—yang tentu saja diabaikan. Hanya melirik dengan hina, seakan tangan itu adalah tumpukan kotoran.“Tidak perlu memperkenalkan diri!” Amy kesal melihat lirikan itu tentu.“Dia kakakmu bukan?” Galant rupanya punya inisiatif sendiri.“Ya, aku
“Aku akan memberi lokasinya, kau bawa dia pergi dari sini. Keluar dari Italia. Tapi hati-hati.” Suara wanita itu memberi perintah lebih lanjut. Ash menyebutnya perintah karena memang diucapkan dengan nada memerintah. Ia sepertinya yakin kalau Ash tidak akan menolak.“Tunggu! Kau itu siapa?” Ash tidak bisa menemukan titik yang bisa menjelaskan kenapa tiba-tiba ada wanita yang menjawab ponsel Ian dan menyebutnya dalam bahaya.“Jangan banyak tanya! Datang saja dan jangan menghubungi nomor ini lagi! Dayanya hampir habis. Aku tidak tahu dia persisnya dimana, jadi tempat yang aku berikan mungkin kurang akurat. Kau cari dengan benar pokoknya!”Putus begitu saja, lalu pada detik berikut ada pesan masuk, menunjukkan lokasi antah berantah yang tidak dikenali Ash. Sepertinya kota kecil di Italia.“Ada apa? Apa Ian mendapat masalah?” tanya Mae.“Entah, tapi aku benar harus ke Italia—Oh, Amy? Aku juga…”“Aku yang akan membujuknya nanti. Pastikan saja kau meminta maaf saja.” Mae bisa membujuk Amy,
“Di sini saja, lebih teduh.” Rowena menunjuk kursi di sebelahnya. Dean juga mengangguk setuju.Seluruh plot kursi taman itu sebenarnya ada di bawah pohon paling besar yang ada di taman rumah, tapi karena posisi matahari, ada bagian yang masih tersiram cahaya.Mae sebenarnya tidak keberatan mendapat siraman matahari setelah beberapa hari berada di rumah sakit, tapi ia masih ingat bagaimana nasib orang yang kali terakhir berdebat dengan Rowena—diusir, karenanya sekarang Mae memilih menurut dan duduk dengan manis di sampingnya.“Kau sudah tidak sakit?” tanya Amy yang sudah duduk dan kini menyerahkan satu cookies dari meja. Bukan buatan Mae tapi. Ia belum boleh mendekati dapur—atau melakukan apapun.“Tentu saja. Dokter tidak mungkin mengizinkan aku pulang kalau belum.” Mae melirik Ash yang juga sudah duduk di sampingnya. Orang yang tidak mungkin mengizinkan Mae pulang sebelum dokter memastikan tidak ada yang salah dari tubuhnya.Untung saja Mae kemarin berhasil membuat dokter itu merahasia
“Mae? Ada apa?”Jeritan itu tentu saja menarik perhatian Rowena, dan juga beberapa orang tamu yang bersamanya. “Mae, hentikan!” Rowena menyambar kran wastafel dan mematikannya. Ia lalu menyambar tisu dapur dan mengulurkannya untuk wanita yang kini tersedak dan terbatuk itu.“Lady Jane? Apa Anda baik-baik saja?” tanya Rowena, sambil membantu mengusap air dari wajahnya.Mae yang masih berdiri di situ sedikit menjauh. Mengeluh saat mendengar Rowena memanggilnya lady. Itu berarti Jane ini berasal dari kalangan bangsawan yang sama dengan Rowena. Ia menyombong karena tahu kedudukannya kurang lebih sama dengan Rowena.“Tidak! Wanita ini menyerangku!” Jane menuding ke arah Mae, segera begitu batuknya terhenti.“Mae? Apa—”“Pelayan ini kurang ajar. Kau harus memberinya pelajaran etika!” Jane mengadu tanpa memberi kesempatan Rowena untuk bertanya pada Mae.“Siapa? Pelayan yang mana?” Rowena bingung memandang sekitar, mengira ada orang lain yang terlibat.“Ini!” Jane menuding Mae dengan lebih je
“Aku saja yang membawa.” Mae mengambil alih piring besar berisi potongan kue yang sudah diatur rapi olehnya dari tangan pelayan. Ini karena memang jumlah orang yang membawa kurang. Mae membantu agar pekerjaan mereka cepat selesaiAcara makan sudah dimulai sejak dua jam lalu, dan kini saatnya dessert yang dihidangkan. Semua tamu ribut bicara dan menertawakan entah apa. Mereka sudah tidak lagi duduk, tapi berdiri berkelompok masing-masing. Beberapa mengerumuni Rowena sebagai tuan rumah untuk berterima kasih.“Mae.” Rowena menghentikan langkah Mae dengan meraih lengannya saat ia lewat untuk kembali ke dapur.“Kau tidak perlu bekerja lagi.” Kalimat Rowena itu terdengar seperti kalimat pemecatan, tapi Mae sudah menghapal kalau tujuan Rowena bukan itu. “Kau tidak terlihat baik-baik saja.”Kalimat Rowena yang menyusul berikut menjelaskan niatnya dengan lebih baik. Rowena sedang mengkhawatirkan keadaan Mae.“Ya, setelah ini aku akan beristirahat.” Mae tersenyum menenangkan, lalu meneruskan l
“Karena itu kalian bisa melapor pada—Oh? Sir.” Louis mengangguk saat melihat Ash mendekat.Tapi ia paham kenapa dan langsung bergeser, memperlihatkan sosok yang berdiri di sampingnya, lalu melanjutkan briefing. Tidak berkomentar saat Ash menarik kerah jas Ian, yang tentu saja sedang tersenyum lebar.“What the fuck are you doing here?” geram Ash, setelah mereka sampai di taman yang sepi, tidak termasuk area yang dipakai untuk menjamu tamu.“Tolonglah jangan banyak mengumpat. Untung saja tidak ada toples di sini—Oh, apa aku perlu menghitung berapa umpatan yang kau ucapkan? Jadi bisa membayar nanti?” Ian menepuk bahu Ash perlahan, menangkan sekaligus menikmati reaksinya. Ian memang sengaja tidak mengatakan apapun agar bisa menikmati reaksi itu.“Apa yang kau lakukan di sini?!” Ash mendesis sambil menatap Ian dari atas sampai ke bawah. Jas itu sangat baru, juga pin yang tersemat di dadanya—menandakan ia anggota RaSp.“Apa kau menyamar? Ada pekerjaan yang membuatmu harus menyamar di sini?
“Itu cara berpamitan yang unik.”Mae menggelengkan kepala dan tertawa. Sejenak meninggalkan spuit yang dipakainya untuk menghias cupcake untuk menatap Ash.Ia baru saja menceritakan keributan yang terjadi malam kemarin saat ayah Serena datang menjemput. Ash baru bisa menceritakannya sekarang, karena kesibukan Mae memang hampir tanpa henti. Tamu yang dimaksud Rowena tidak hanya berlangsung sehari, tapi datang bergilir selama dua hari ini. Ia menjamu para istri dari orang-orang berpengaruh yang kemarin mendukung dan berkontribusi pada kemenangan Dean. Sedikit membalas budi.Karenanya Mae juga memperlakukan pekerjaan itu dengan lebih serius. Ia tidak boleh mengacau.“Unik, tapi yang pasti aku bersyukur dia sudah kembali. Aku lelah dengan drama gila mereka.” Ash menghela napas sambil mengulurkan tangan—berusaha mencolek krim berwarna hijau yang disiapkan Mae.Tentu saja Mae mencekal lengan itu. Mae tidak mungkin mengizinkan ada yang menyentuh adonannya dengan tangan yang tidak jelas keber
“Serena?”Ian menggoyangkan bahu Serena, cukup keras, dan masih tidak bergerak. Ian berencana memakai ponsel untuk menyuarakan alarm, tapi sepertinya percuma.Suara bentakan yang dikeluarkan Val tadi kerasnya melebihi alarm dan tidak mengganggu Serena. “Tuan Putri!”Ian akhirnya berseru agak keras dan mengguncang kedua bahu Serena. Baru setelahnya mendapat respon.“Lima menit lagi, Mom.” Gumaman yang kurang lebih menjelaskan kalau ia masih bermimpi.“I'm not your Mom, so please wake up. She's waiting for you.” (Aku bukan ibumu, jadi bangunlah. Dia menunggumu)Ian berbisik di telinganya, hampir tidak bisa menahan tawa saat melihat bagaimana mata Serena membuka lebar dengan tiba-tiba. Ia langsung berbalik mencari siapa yang berbicara padanya, dan menemukan Ian berbaring di sampingnya sambil menopang kepala menahan tawa.“Bangun tidur pun kau tampak mempesona, Tuan Putri. Hamba puas melihatnya,” kata Ian.“Just cut the crap! Apa maksudmu Ibuku menunggu?” Informasi itu masih diingat ole
“Miss, ada tamu untuk Anda.” Louis dengan sopan mengetuk pintu kamar Serena.“Lebih keras lagi. Dia tidak akan terbangun kalau kau mengetuk selembut itu.” Val menyarankan karena tahu kebiasaan Serena. Biasanya hanya gempa yang bisa membangunkannyaLouis mengangguk dan mengetuk lebih keras lagi. “Miss?” Pintu itu terbuka, tapi yang muncul adalah Ian. “Kau mau apa?” Ian separuh membentak dengan wajah jengkel.Tapi hanya bertahan satu detik, karena wajah itu terhantam oleh kepalan tangan Val setelahnya. Ian tidak mungkin menghindar dan nyaris terpelanting.Dengan gerakan yang terlatih, Ian langsung menegakkan tubuh dan melayangkan tendangan balasan pada siapapun yang menyerangnya. Tapi kakinya berhasil ditepis dan saat itu Ian akhirnya melihat mata amat biru yang sekarang menjadi mimpi buruknya.“Oh, shit!” makinya, sambil menurunkan tangan—membatalkan serangan, tapi tetap waspada dan bergerak menghindar saat Val menggembor marah dan melayangkan pukulan lain.“Dasar setan!” Val berseru d
“Aku bilang jangan berpikir ke arah sana!” sergah Serena, sambil mengibaskan rambut dan tengkuknya kembali tertutup.“Oh…” Ian tentu saja kecewa, tapi tidak bisa lama. Saat Serena mengangkat sepuluh jarinya, ia langsung paham masalahnya apa. “Kau tidak bisa membukanya.” Serena berbalik sambil mengangguk. Masih ada sisa pink di wajahnya tapi tidak lagi amat merah. “Aku tidak bisa memaksa membuka ini. Aku perlu sembuh cepat. Harus latihan.” Serena menunjukkan perbannya lagi. Ia bisa memaksakan untuk membuka perban itu, tapi khawatir akan memperburuk lukanya. Serena membutuhkan tangan itu untuk berlatih sebentar lagi.“Seharusnya kau mengatakannya sejak tadi. Aku akan membantu. Ini mudah.” Ian memutar tangannya. Isyarat agar Serena kembali berbalik memunggunginya.“Aku akan meminta bantuan Mae kalau dia tidak sibuk!” cetus Serena. Masih ingin menegaskan kalau Ian adalah pilihan terakhir.“Itu tidak akan seru. Seharusnya kau langsung datang padaku. Masalahnya akan cepat selesai.” Ian te
“Kenapa susah sekali!” Serena mengeluh karena jarinya tidak bisa menyentuh zipper yang sebenarnya mudah.Kalau bisa melepaskan kuncian, Serena bisa mendorong turun, tapi gerakan sederhana itu sangat membutuhkan jari. Serena menghela napas. Menyerah, ia memerlukan bantuan.Serena bisa saja melewatkan mandi, tapi tetap ingin mengganti baju. Ia sudah memakainya seharian berkeliling.Serena keluar dari kamar—mencari Mae, tapi belum sampai di kamarnya, Serena sudah melihat Mae berlari kecil ke arah dapur. Serena mengintip, dan terlihat Mae—dibantu beberapa orang pelayan yang memang bekerja di rumah itu sedang sibuk menyiapkan kue.Mae tadi hanya keluar sebentar, kini melanjutkan pekerjaannya menggiling adonan croissant berwarna merah yang harus dilipat berulang kali. Bukan saat yang tepat untuk meminta bantuan, karena Serena perlu membawa Mae ke kamar. Tidak mungkin ia membuka bajunya di dapur.“Ian ada di sana—belum pulang. Menerima panggilan.”Ash yang berusaha membantu Mae—dengan menga