Kenyataan yang amat menampar tentu, karena terlalu benar. Ian seperti kembali mengulang pembicaraan dengan Ilda kemarin, hanya yang ini lebih brutal.“Aku tadinya ragu, tapi setelah kita bicara kemarin, aku tertarik padamu. Kau—Not that kind of interest.” (Bukan ketertarikan semacam itu)Val mendesis karena Ian tiba-tiba bergeser menjauh setelah mendengar kata tertarik. Ian tidak tahu Val membahas apa, tapi kalau seorang kepala mafia sampai menyebut tertarik padanya, maka Ian akan takut.“Aku punya istri dan dua anak, dan akan tetap seperti itu.” Val menegaskan dengan senyum masam.“Saya juga tidak menuduh Anda apapun, tapi Anda sudah tahu siapa saya semenjak kita pertama bertemu.”Ian merasa tertipu tentu kemarin mengakrabkan diri dengannya tanpa tahu apapun. Val juga tidak terlihat menyeramkan seperti ini. Pria itu seperti memadamkan auranya, dan bersikap bersahabat saat bicara dengannya kemarin.Tapi kini Ian tahu kalau pembicaraan itu sama sekali tidak random tapi terencana dengan
“Kenapa kau disini? Kau bukan orang Italia!” Serena menunjuk Ian, bertanya dalam nada tuntutan yang terdengar panik.“Memang bukan, tapi bukan berarti aku tidak bisa kesini.” Ian menjawab dengan otomatis, sementara menghindari lirikan Val.“Tapi untuk apa kau kesini?!” sergah Serena. Ia jelas tidak melihat kalau Ian saat ini tengah mencoba bertahan hidup.Ian mendengarnya tadi, saat gadis itu memanggil Val ‘Daddy’. Ian sangat ragu kalau panggilan itu berarti lain—seperti Mae menyebut semua pria sebelum Ash. Panggilan itu berarti sebenarnya. Serena adalah putri dari Val.Diantara semua wanita yang ada di sana, Ian memilih yang paling mengerikan. Ian tahu saat ini nyawanya sedang ada di ujung tanduk.“Aku ada perlu.” Ian mencoba berkonsentrasi pada Serena saja, karena bisa merasakan aroma ganas dari sisi Val.“Oh… Oke.” Serena juga sepertinya sudah lebih tenang, dan mengangguk.“Kalian sudah selesai? Apa ada yang ingin menjawab pertanyaanku?” Val menyela bahkan dengan nada yang lebih r
Tapi Val sendiri seperti berhenti berfungsi. Ia berdiri diam tanpa menggerakkan satu pun jari. Ia seperti tenggelam juga tapi dalam lumpur yang pekat sampai tidak menyadari apapun.Butuh beberapa detik sebelum akhirnya Val menggeleng. “No, you don’t. Kau belum menikah, tidak mungkin hamil.”Serena tertawa dengan brutal. “Itu lucu, Dad. Kau tahu aku ada sebelum kau menikah juga!”“Itu… berbeda! Kau tidak tidur dengan siapapun!” Val sesaat kehilangan kata-kata tapi kembali membentak setelah itu.“Kau tahu darimana aku tidak tidur dengan siapapun?” Serena mendengus dan menyeringai, yang tentu bukan ide bagus karena membuat ayahnya semakin marah.“Karena tidak ada pria waras di dunia ini yang akan berani menyentuhmu! Mereka tahu kau siapa dan—”“Apa kau berpikir kalau dirimu adalah raja dunia? Kau bukan penguasa—”“KAU TIDAK MUNGKIN HAMIL!” Val sudah habis kesabaran dan meraung keras, sampai Ian akhirnya terperanjat dan kembali tersadar kalau ia dalam situasi genting, tapi tidak tahu harus
“Terima kasih.” Mae tersenyum pada pelayan yang sedang menuangkan cairan berwarna coklat kental yang menjadi pesanannya—bukan cokelat panas, tapi mocca.“Kau yakin?” Ash meraih tangan Mae, yang ada di atas meja. Ia tahu Mae akan melakukan apa saat memesan minuman itu. Belum sampai kopi, tapi mocca sudah bentuk percobaan yang cukup menantang.Mae mengangguk. “Aku harus mencobanya. Kata Lynch boleh saja, selama aku yakin. Dan aku yakin saat ini.“Tidak perlu tergesa.” Ash tidak ingin Mae terlalu memburu. Bagaimanapun, baru sekitar empat kali ia kembali melakukan konsultasi dengan Lynch. Masih terlalu cepat menurutnya.“Aku ingin mencobanya, Ash. Aku tidak mau kau menjauhi kopi selamanya.”Mae mengelus punggung tangan Ash, meminta agar Ash melepaskan tangan kanannya.“Tidak masalah, Mary. Itu—”“Masalah untukku, Ash. Aku tidak mau kau membatasi kehidupanmu karena diriku. Sudah cukup.” Mae sampai melakukan hal yang tidak disukainya—kembali bertemu Lynch—untuk Ash. Ia tidak mau Ash terus m
“Nanti, Mary. Untuk apa tergesa seperti itu, makan ini dulu.” Ash menggeleng sambil memajukan dessert yang juga mereka pesan tadi. Untuk menetralkan rasa kopi kalau memang Mae gagal tadi.“Oke… Oke.” Mae mengerti kalau kemajuannya tidak boleh dipaksakan seperti nasehat LynchMae lalu mengambil sendok untuk memotong mont-blanc. Dessert paling terkenal dari Angelina.Salah satu toko kue paling terkenal di Paris—sudah berdiri semenjak tahun 1903, dengan dekorasi yang mirip istana mewah zaman Marie Antoinette. Memang menjadi tempat yang masuk dalam daftar kunjungan wajib saat Mae merencanakan perjalanan itu.Mae tidak mau mereka hanya berjalan-jalan tanpa tujuan berarti. Ia sengaja ingin mengunjungi toko-toko roti legendaris di Paris untuk melihat menu dan lainnya. Terutama Angelina yang memiliki konsep hampir sama dengan toko miliknya. “Oh, shit! This is so good.” Mae sampai mengumpat setelah merasakan gigitan pertama, karena mont-blanc itu benar-benar lezat.Dilihat sekilas di serti i
“Ash! Pergi!” Amy dengan panik berusaha mendorong Ash menjauh, tapi tentu percuma. Ia seperti mendorong tembok karena Ash sama sekali tidak bergerak. Bahkan setelah dibantu oleh Mae yang berusaha menarik agar menjauh, tubuhnya tetap berdiri kokoh di tempat.“Who the fuck are you?!”Ash mengulang pertanyaannya, masih sambil tidak berkedip menatap bocah itu. Iya Mencoba tersenyum tapi terlihat jelas kepanikannya.“Bukan urusanmu dia siapa! Pergilah!” Amy menjerit dan mengusir sambil melambai pada Loius yang sudah mengikuti masuk. Tapi tentu ia tengah berkonflik, harus membantu Amy atau Ash. Dua-duanya adalah orang yang harus dipatuhinya saat ini.“Perkenalkan, saya Galant.” Bocah itu akhirnya berhasil memupuk keberanian dan mengulurkan tangan pada Ash—yang tentu saja diabaikan. Hanya melirik dengan hina, seakan tangan itu adalah tumpukan kotoran.“Tidak perlu memperkenalkan diri!” Amy kesal melihat lirikan itu tentu.“Dia kakakmu bukan?” Galant rupanya punya inisiatif sendiri.“Ya, aku
“Aku akan memberi lokasinya, kau bawa dia pergi dari sini. Keluar dari Italia. Tapi hati-hati.” Suara wanita itu memberi perintah lebih lanjut. Ash menyebutnya perintah karena memang diucapkan dengan nada memerintah. Ia sepertinya yakin kalau Ash tidak akan menolak.“Tunggu! Kau itu siapa?” Ash tidak bisa menemukan titik yang bisa menjelaskan kenapa tiba-tiba ada wanita yang menjawab ponsel Ian dan menyebutnya dalam bahaya.“Jangan banyak tanya! Datang saja dan jangan menghubungi nomor ini lagi! Dayanya hampir habis. Aku tidak tahu dia persisnya dimana, jadi tempat yang aku berikan mungkin kurang akurat. Kau cari dengan benar pokoknya!”Putus begitu saja, lalu pada detik berikut ada pesan masuk, menunjukkan lokasi antah berantah yang tidak dikenali Ash. Sepertinya kota kecil di Italia.“Ada apa? Apa Ian mendapat masalah?” tanya Mae.“Entah, tapi aku benar harus ke Italia—Oh, Amy? Aku juga…”“Aku yang akan membujuknya nanti. Pastikan saja kau meminta maaf saja.” Mae bisa membujuk Amy,
Ian duduk sambil menekan pelan kedua tangannya. Lengan atas, sampai pergelangan tangan. Lalu kedua kakinya. Semua utuh, tidak ada bengkak. Itu berarti tulangnya utuh.Tubuhnya terasa seperti sampah, karena terlalu banyak rasa sakit, tapi tidak ada yang sampai mengkhawatirkan. Pukulan dan tendangan bertubi-tubi yang diterimanya terlihat buruk, tapi ia berhasil menempatkan agar tubuhnya tetap utuh—tidak ada luka fatal. Ian tidak amat melawan memang, karena masih perlu ada disana. Ia belum memastikan apakah anak itu miliknya atau tidak.“Sekarang apa?”Ian bersandar pada tembok di belakangnya, menatap seluruh ruang berukuran kurang lebih tiga kali tiga meter, lalu tingginya hampir tidak bisa menampung panjang tubuh. Bertembok rapat dan keras, pintu kayu yang terlihat kokoh, dan hanya ada satu lubang udara di atas kepalanya saat ini. Itu pun berukuran tidak lebih besar dari telapak tangan.Ian masih beruntung saat ini hampir musim panas, tidak masalah lubang itu terbuka. Ia membayangkan