Hayoooo siapa Itu? wkwkwkw udah Tahu semua pasti siapa yang suka nyamar n licik gitu xixixi
“Uangnya cukup bukan?” tanya Ash, sambil berpaling menatap Ian yang juga duduk menghadap ke arah sungai.Sejak tadi ia ingin membicarakan itu, tapi sulit karena Mae dan Amy yang selalu dekat. Kini mereka sedang menyusuri tepi sungai Velues yang cukup jauh, diluar jarak dengar.“Cukup, dan memang semahal itu.” Ian mengangguk sambil bergidik. Awalnya ia tidak amat percaya saat mendengar tarif menyewa jasa ‘pembalasan dendam’ itu, karena harganya bahkan melebihi rumah miliknya. Tapi rupanya benar semahal itu.“Mahal pun tidak masalah asal berhasil. Aku puas.” Ash tentu saja akan membayar semahal apapun tarifnya karena hasilnya memuaskan. Ash tidak bisa berhenti tersenyum saat melihat kiriman video yang memperlihatkan bagaimana ia menghajar Monroe tanpa terlihat mencurigakan. Lalu video bagaimana ia membujuk Carol untuk menerima obat yang bahkan terlihat mencurigakan. Ash sudah mengakui keberhasilannya sampai di sana.“Ia bahkan memilih metode karma. Aku takjub,” kata Ash. Ia tidak menyeb
“Oke, masih lumayan.” Ian menyesap minumannya dengan puas. Ini gelas keempatnya dan masih memuaskan. Selain bertempat di hotel yang mewah dan cantik, Ian masih bisa memuji makanan paling tidak.Kelezatan champagne yang diminumnya itu, bisa menambal jengkel akibat terpaksa mendatangi pernikahan adiknya. Kalau bukan karena paksaan dari ibunya, Ian akan melewatkan begitu saja.Bukan karena tidak dekat ataupun membenci, tapi Ian tahu tamunya akan banyak berasal dari sisi keluarga ayahnya.Ilda—adiknya, menghabiskan musim panasnya tahun lalu di Italia, dan kembali membawa pria yang mungkin masih bersaudara dengan ayahnya. Yang jelas ia memutuskan untuk menikah musim dingin ini, tanpa peringatan apapun karena tidak memberitahunya. Ian bahkan baru bertemu pria itu tadi malam. “Kau masih marah?” Ilda mendekat sambil mengangkat gaunnya yang menjuntai. Ia memilih gaun yang memiliki ekor sepanjang lima meter paling tidak. “Tidak marah. Kapan aku marah?!” Ian mendengus, dan sama sekali tidak
Ash tenang dan tidak pernah menebar pesona dengan sengaja, sedang pria ini menebar pesonanya setiap saat. Setiap detik dalam helaan nafasnya. Ian tadi bertemu dengannya di pintu masuk, dan tidak menganggap penting mengobrol untuk menunggu ibunya yang belum selesai berdandan.“Siapa dia?” tanya Ian, akhirnya penasaran. Ia tadi hanya melihatnya sebagai pria random, tapi kini sudah jelas ia adalah pusat perhatian dari semua tamu yang ada di sana.“Dia Ranallo. Vallerio Ranallo malah.” Ilda menyebut nama yang membuat Ian mengumpat. Ia tidak mengikuti perkembangan kehidupan keluarga ayahnya tapi tetap tahu siapa Ranallo.“Ranallo yang itu?! Dia—”“Yup, dia yang menjalankan semuanya. Bersama beberapa orang yang bersamanya. Kakek Fabrizio dekat dengan mereka karena itu, mereka datang.” Penjelasan yang tidak lagi diinginkan oleh Ian. Ia memutuskan untuk tidak ingin tahu. Sudah terlalu dalam. Tidak penting Fabrizio ini bekerja untuk siapa, yang pasti ia tahu Ilda tidak akan dengan bodoh mem
Ian terbiasa mengimbangi wanita tipe apapun, tapi baru sekali ini ia menemukan yang unik.Serena berani, terlihat jelas dari inisiatif yang selalu mendahului apapun yang ingin dilakukannya.Agresif di satu sisi, tapi yang mengherankan tubuhnya amat sensitif, terlihat tidak terbiasa pada sentuhan.Ian mendapati bagaimana Serena memekik dan mendesah pada sentuhan kecil pada pinggang dan kakinya. Gadis yang baru dikenalnya tidak lebih dari sepuluh menit yang lalu itu, mengesankan kepolosan saat disentuh.Reaksi yang terkesan buatan karena berlebihan, tapi Ian tahu itu tidak palsu. Raut wajah yang semakin memerah, gigitan pada bibir, dan lirikan mata sayu itu tidak mungkin palsu. “Kau itu apa?” Ian bertanya dengan heran, karena pada detik berikutnya, Serena telah berubah lagi, saat tiba-tiba saja mendorong Ian sampai punggungnya membentur sisi ranjang. Sisi agresif yang bertolak belakang dengan kepolosan tadi.“Serena.” Bukan itu pertanyaan Ian, tapi memang jawaban Serena tidak amat pent
“That’s huge.” (Itu besar sekali)Ian bergumam saat melihat gerbang besi dengan lekuk aesthetic terpampang di depannya terbuka. Ian pernah mengunjungi rumah itu dulu, bersama ayahnya, saat masih berusia tujuh atau delapan.Ian masih mengingat hari itu karena dulu pun gerbang bertuliskan huruf ‘R’ berwarna keemasan itu menurutnya mengesankan. Ian sudah tidak ingat persisnya ia berkunjung untuk apa dan seperti apa, tapi masih ingat kalau bukan hanya gerbang saja yang menakjubkan, tapi juga rumah yang ada di ujung gang masuk itu.Ian perlahan memelankan laju mobil dan mengeluh saat sudah sampai persis di depan mansion besar itu. Bukan karena bentuknya yang mengecewakan, tapi karena heran kenapa ia harus datang sejauh ini untuk mengantar emas.“Kalau bukan karenamu, aku tidak akan rela.” Ian bergumam sambil membuka pintu dan turun membawa tas kain berisi emas.Setelah ayahnya meninggal, Ian sudah bertekad untuk tidak lagi mendekati dunianya, tapi kini ia malah mendatangi pusat dari dunia
Kenyataan yang amat menampar tentu, karena terlalu benar. Ian seperti kembali mengulang pembicaraan dengan Ilda kemarin, hanya yang ini lebih brutal.“Aku tadinya ragu, tapi setelah kita bicara kemarin, aku tertarik padamu. Kau—Not that kind of interest.” (Bukan ketertarikan semacam itu)Val mendesis karena Ian tiba-tiba bergeser menjauh setelah mendengar kata tertarik. Ian tidak tahu Val membahas apa, tapi kalau seorang kepala mafia sampai menyebut tertarik padanya, maka Ian akan takut.“Aku punya istri dan dua anak, dan akan tetap seperti itu.” Val menegaskan dengan senyum masam.“Saya juga tidak menuduh Anda apapun, tapi Anda sudah tahu siapa saya semenjak kita pertama bertemu.”Ian merasa tertipu tentu kemarin mengakrabkan diri dengannya tanpa tahu apapun. Val juga tidak terlihat menyeramkan seperti ini. Pria itu seperti memadamkan auranya, dan bersikap bersahabat saat bicara dengannya kemarin.Tapi kini Ian tahu kalau pembicaraan itu sama sekali tidak random tapi terencana dengan
“Kenapa kau disini? Kau bukan orang Italia!” Serena menunjuk Ian, bertanya dalam nada tuntutan yang terdengar panik.“Memang bukan, tapi bukan berarti aku tidak bisa kesini.” Ian menjawab dengan otomatis, sementara menghindari lirikan Val.“Tapi untuk apa kau kesini?!” sergah Serena. Ia jelas tidak melihat kalau Ian saat ini tengah mencoba bertahan hidup.Ian mendengarnya tadi, saat gadis itu memanggil Val ‘Daddy’. Ian sangat ragu kalau panggilan itu berarti lain—seperti Mae menyebut semua pria sebelum Ash. Panggilan itu berarti sebenarnya. Serena adalah putri dari Val.Diantara semua wanita yang ada di sana, Ian memilih yang paling mengerikan. Ian tahu saat ini nyawanya sedang ada di ujung tanduk.“Aku ada perlu.” Ian mencoba berkonsentrasi pada Serena saja, karena bisa merasakan aroma ganas dari sisi Val.“Oh… Oke.” Serena juga sepertinya sudah lebih tenang, dan mengangguk.“Kalian sudah selesai? Apa ada yang ingin menjawab pertanyaanku?” Val menyela bahkan dengan nada yang lebih r
Tapi Val sendiri seperti berhenti berfungsi. Ia berdiri diam tanpa menggerakkan satu pun jari. Ia seperti tenggelam juga tapi dalam lumpur yang pekat sampai tidak menyadari apapun.Butuh beberapa detik sebelum akhirnya Val menggeleng. “No, you don’t. Kau belum menikah, tidak mungkin hamil.”Serena tertawa dengan brutal. “Itu lucu, Dad. Kau tahu aku ada sebelum kau menikah juga!”“Itu… berbeda! Kau tidak tidur dengan siapapun!” Val sesaat kehilangan kata-kata tapi kembali membentak setelah itu.“Kau tahu darimana aku tidak tidur dengan siapapun?” Serena mendengus dan menyeringai, yang tentu bukan ide bagus karena membuat ayahnya semakin marah.“Karena tidak ada pria waras di dunia ini yang akan berani menyentuhmu! Mereka tahu kau siapa dan—”“Apa kau berpikir kalau dirimu adalah raja dunia? Kau bukan penguasa—”“KAU TIDAK MUNGKIN HAMIL!” Val sudah habis kesabaran dan meraung keras, sampai Ian akhirnya terperanjat dan kembali tersadar kalau ia dalam situasi genting, tapi tidak tahu harus