Share

Bab 20

Penulis: Evie Yuzuma
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Aku terkesima menatap kucing malang yang kesakitan itu. Nampaknya dia keracunan karena dari mulutnya tampak ada busa keluar.

Aku yang shock, seketika hanya mampu luruh dan gemetar. Tangisku pecah tertahan. Ingin rasanya keluar dan membangunkan semuanya, tetapi sejak siang tadi kulihat Ibu tampak begitu capek mengatur semuanya sendiri. Dia yang mengurus ini dan itu, walau Mas Laksa sudah mengirim orang untuk mengontrol dan mengarahkan, tetapi tetap saja Ibu mau memastikan semuanya berjalan lancar.

Mas Laksa, iya … Mas Laksa.

Lekas aku mengambil gawai dan menghubunginya. Tak perlu menunggu lama, baru saja aku menelpon, dia sudah mengangkatnya. Bisa jadi, dia pun sama sulit tidur sepertiku.

“Assalamu’alaikum, Mas ….” Aku terisak. Rasanya kaki saja lemas dan masih gemetar. Tiba-tiba saja aku begitu takut pada sosok Mbak Rahma. Entah kenapa feelingku, Petty keracunan minuman yang katanya susu itu. Di antara rasa takut yang menjadi. Lekas aku menuju pintu dan menguncinya dari dalam. Aku
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Dyah Astri Andriyani
rahma oh rahma...menyeramkan ......
goodnovel comment avatar
Isteri Ahmad
lanjutt thor
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 21

    Pak Tomo pun kulihat beranjak dan meninggalkan Mbak Rahma juga. Setelah itu, aku gegas mengguyur tubuhku dengan air hangat yang sudah disiapkan Ibu. Sedikit lebih segar. Tak lama-lama juga aku mandinya karena sudah siang. Setelahnya, lekas masuk kembali ke kamar dan melihat Mbak Rahma yang tengah duduk di atas tempat tidurku dan matanya mengedar mencari-cari sesuatu. Aku pura-pura tak acuh. Hanya ingin tahu apa yang ingin dia katakan. “Wah cantiknya adik Mbak. Pasti tidurnya nyenyak ya karena minum susu semalam? Sayangnya cuma satu itu. Kalau ada dua, pengen juga lah Mbak minum biar bisa istirahat nyenyak kayak kamu.” Dia tersenyum dan wajahnya tampak tak menunjukkan apa-apa. “Oh, memang susu yang Mbak buat itu bisa buat tidur nyenyak, ya?” Aku melirik ke arahnya. Hanya ingin melihat ekspresinya.“Katanya, iya. Buktinya kan iya. Kamu juga sampai bangun sesiang ini. Gak biasanya.” Dia bicara dengan ringan. Aku yang sudah duduk di kursi yang sudah disiapkan MUA menoleh. “Kok katanya

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 22

    POV RAHMA Selamat Membaca! Mas Iwan---lelaki yang sudah membuatku tergila-gila, kini mengabaikanku. Sakitnya terasa menusuk-nusuk hingga dalam kalbu. Dua setengah tahun, pernikahan kami hampa dan selalu bertengkar karena mempermasalahkan keturunan. Walaupun dia terpaksa menikahiku, tetapi pada akhirnya dia tak dapat menolak takdirnya menjadikanku istrinya. Sehingga kabar kehamilanku membuatnya begitu bahagia. Aku berharap, dengan kehadiran anak dalam pernikahan kami akan memperbaiki cekcok-cekcok yang tak dapat kuhindari. Pertikaian kecil yang kadang membuatku lelah dan aku selalu menampilkan senyum sumringah dan bahagia di hadapan Humaira. Ya, aku tak ingin dia senang ketika melihatku menderita. Bagaimanapun, lelaki yang kucintai adalah dulu yang dia cintai juga. Lelaki yang kurebut paksa dengan sedikit trik dan Humaira begitu bodohnya terpedaya. Dua setengah tahun lalu. Aku begitu gelisah ketika satu minggu lagi mereka akan menikah. Seluruh dunia rasanya hendak runtuh. Hatiku t

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 23

    Pov RahmaSemua berkerumun, hingga akhirnya pengaruh obat tidur pada Humaira perlahan hilang dan akhirnya dia pun sadar. Dia histeris, lebih histeris dari pada aku. Bahkan tubuhnya bergetar dan suaranya sampai parau. Aku tak terlalu memperhatikan semua yang sudah sibuk berkomentar dan menerka-nerka siapa pelakunya. Sudut mataku sibuk mencari Ardi, lelaki yang katanya akan jadi dewa penolong untuk Humaira. Namun kenapa dia tak kunjung datang hingga sekarang? Semua kekacauan berangsur sirna ketika aku memutuskan untuk membawa Humaira ke kamar kami dan meminta maaf pada Keysa. Aku tak tahu jika itu kamarnya. Andai aku tahu, pasti akan kupilih kamar yang lain untuk melakukan aksi ini. Berkali-kali Humaira histeris dan sesekali pingsan hingga akhirnya Keysa meminta supirnya untuk mengantar kami pulang. Baru kami hendak berangkat, Ardi muncul dengan wajah panik. Dia menatapku dan Humaira bergantian. Aku mengisyaratkan agar dia menenangkan Humaira, tetapi Ardi menautkan alis dan malah me

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 24

    POV RAHMA Dua setengah tahun. Aku merajut kehidupan dengan lelaki yang kucintai. Meskipun pada tahun kedua sudah kerap dilengkapi oleh pertengkaran karena keinginan Mas Iwan dan keluarga untuk segera dapatkan momongan dan aku tak hamil juga. Dua setengah tahun menunggu dan aku sempat hampir putus asa, tetapi pada akhirnya dua garis merah itu jadi milikku juga. Aku sangat bahagia karena Mas Iwan dan keluarganya kembali memperlakukan aku dengan manis. Humaira pun perlahan membaik. Meskipun uang untuk pengobatannya yang dari Keysa kupangkas setengahnya. Namun pada akhirnya dia mulai sembuh juga dengan pengobatan alakadarnya. Hanya saja, setelah dua setengah tahun mengalami hidup menjadi manusia tak normal membuat Humaira ternyata kesulitan mendapatkan jodoh. Beberapa kali, aku mencarikannya, jujur aku berbuat seperti itu, karena takut Mas Iwan berpaling padanya. Namun, ternyata para lelaki itu pun selalu mundur karena terbentur restu dari keluarga. Aku pun pada akhirnya menyerah dan

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 25

    POV HUMAIRAMbak Rahma menyambutnya begitu hangat. Mungkin karena Nindi ini adik dari sahabatnya. Dia menggiring Nindi untuk duduk pada kursi yang ada di dekatku dengan Mas Laksa. Mbak Rahma lantas keluar dan tak lama kembali dengan sepasang lelaki paruh baya. Pak Suseno---ayah mertuaku tampak begitu akrab dengan ayah dari Nindi---Pak Setiadi. Mbak Rahma dengan sigap mengambil makanan dari dapur dan menyuguhkannya. Dia menyapa dengan sangat manis dan senyumnya tak luput tersinggung pada bibirnya. “Silakan, Pak!” Mbak Rahma mempersilakan mereka. “Makasih, Rahma.” Pak Setiadi tersenyum dan memgangguk pada Mbak Rahma. Mereka mengobrol sebentar dan tampak akrab sekali dengan Mbak Rahma.“Sama-sama, Pak Adi. Mari, Pak.” Mbak Rahma pun kemudian undur diri. Aku duduk dengan rasa tak nyaman. Apalagi berada dalam jarak yang tak jauh dengan mantan Bapaknya Mbak Keysa. Rasanya aku menjadi sumber perhatiannya, apalagi ketika mereka mengobrolkan kenangan tentang Mbak Keysa. “Ra, kita ke depan

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 26

    Bab 26Meskipun rasa lelah dan kantuk menghinggapi. Namun aku berusaha untuk terjaga dan melepaskan pernak-pernik yang menempel. Mahkota kecil, kerudung yang melilit kepalaku, gelang, bross, cincin dan gelang. Setelah semua aksesoris terlepas, meski susah payah aku akhirnya bisa melepas resleting gaun dan lekas berganti dengan piyama tidur yang kubawa. Beruntung Mas Laksa masih belum keluar dari kamar mandi. Kalau sudah, bisa-bisa aku gugup setengah mati dibuatnya. Ah, rasanya nyaman. Aku sudah tak kuat ingin merebahkan badan. Kulirik tempat tidur dengan ukuran king size yang dipenuhi dengan rangkaian ronce melati di atasnya yang terbentuk sepert lampu kristal. Wanginya membuatku tenang, tetapi tak berani aku beranjak ke sana. Rasanya takut mengotori seprai putih yang bertabur bunga mawar merah dan putih itu. Aku lebih memilih berbaring pada sofa dan perlahan memejamkan mata. Menunggu Mas Laksa keluar dari kamar mandi, lalu setelahnya aku akan gantian membersihkan diri. Waktu sudah m

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 28

    (28) Selamat membaca! Menjadi orang paling beruntung, itulah yang aku rasakan sekarang. Kehidupan yang semula suram tanpa tujuan, tiba-tiba dipenuhi kerlip lampu harapan. “Bu, Rara pamit pulang dulu, ya.” Usai mencuci piring, aku meraih jemari Ibu dan menciumnya dengan khidmat. Tak enak dengan Mas Laksa jika berlama-lama. Mungkin dia ingin istirahat juga. Andai kamarku tak sempit dan jelek, aku bisa saja mempersilakan dia tidur siang dulu di kamarku. “Gak nunggu Mbak kamu pulang dulu, Ra? Mungkin dia pun akan kangen, secara … selama di sini, Ibu lihat dia sangat bergantung sama kamu. Apa-apa cerita semua ke kamu.” Ibu menatapku yang baru saja melepaskan tangannya. Aku melirik wajah Ibu, ingin rasanya aku mengatakan semuanya tentang Mbak Rahma. Hanya saja belum sampai hati untuk bercerita.Sepertinya lebih baik langsung kuserahkan saja pada Mas Laksa biar dia yang nengurusnya. Aku bukan tak sayang pada saudara sendiri, tetapi hanya ingin memberinya pelajaran jika menghalalkan seg

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 29

    “Aku habis bersuci kan keramas. Eh, malah digoda habis-habisan sama dia.” Aku bangkit hendak menyimpan kerudung ke hunger. Namun tiba-tiba tangan Mas Laksa mencekal tanganku.“Jadi, kamu sudah bersih?” Pertanyaannya membuat aku tercekat. Kok gugup, ya. Meskipun begitu sebuah anggukan pada akhirnya membuatku menjawab pertanyaannya. “Kalau gitu, nanti malem ikut Mas, ya! Kebetulan ada pengajian akbar di masjid jami. Dulu Keysa selalu rutin ikutin kajian. Mas harap, kamu juga bisa seperti itu.” Duh, malu rasanya. Kok bisa-bisanya pikiranku malah mengarah ke sana-sana, sih. Ternyata cuma mau ngajak menghadiri pengajian di masjid. Kalau malaikat bisa terlihat, mungkin kini dia tengah menertawakan salah sangkaku. “Iya, Mas.” Aku tersenyum biar gak kentara kalau tadi sudah salah sangka. “Oke,” tukasnya seraya mencubit ujung hidungku sekilas. Mas Laksa pun lekas mengambil laptop dan meminta maaf karena harus menyelesaikan pekerjaan pentingnya yang tertunda, katanya. Aku meneruskan bersel

Bab terbaru

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 54 - End

    Bab 54 Sembilan bulan kemudian. Sosok ringkih bertubuh kurus itu menatap dengan air mata mengembun. Dia tak berani menghampiri kerumunan yang ada di sebuah rumah yang baru saja selesai di renovasi. Duduk di tepi jalan dengan wajah tertutup sebagian kerudungnya. Dia pun berpura-pura memunguti botol-botol minuman bekas agar tak dicurigai. Segerombolan para Ibu melewatinya sambil membawa tentengan dengan wajah sumringah. Mereka sibuk mengobrol sambil tertawa-tawa. “Gak nyangka, ya? Nasib Si Rara mujur banget. Dulu kita kira paling kalaupun ada yang mau, duda tua yang istrinya udah metong. Eh, malah dapet duda kaya yang tajir melintir dan tampannya gak ketulungan.” “Iya, bener. Bikin iri aja, ya. Ini bingkisannya juga pasti mahal ini harganya … udah kaya, suami ganteng, anak cantik, duit banyak, beuhh … mau dong diperkosa.” “Hush!” Lalu mereka bergelak tertawa. Perempuan yang tengah menyimak obrolan itu menghela napas panjang. Ada senyuman terukir tipis. Lalu dia pun beranjak meni

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 53

    “Iya, Om … semoga Viola segera bisa mendapatkan kebahagiaan.” Laksa menjawab datar. “Hanya saja, kebahagiaan dia itu, kamu, Laksa … tolonglah datang … Om mohon … anggap saja ini permintaan Om yang terakhir. Datanglah ke sini dan kuatkan dia … dia butuh kehadiran kamu, Laksa … dia butuh kamu.” Laksa menghela napas kasar. Ada rasa kemanusiaan yang tersentil, tetapi ada sebuah perasaan yang kini harus aku kedepankan juga yaitu perasaan istrinya, Humaira. “Maaf, Om. Saya tidak bisa. Ada perasaan istri saya yang harus dijaga.” Sambungan telepon diputus sepihak oleh Om Wisnu, tanpa ada kata-kata apapun lagi. Laksa tak ambil pusing. Dia langsung beralih pada setumpuk pekerjaan dan mengabaikan hal-hal yang menurutnya tak penting. Termasuk urusan Viola. *** Di tempat yang berbeda. Ibu menatap Mbak Rahma. Tubuhnya yang kurus kering tampak memprihatinkan. Kondisinya mentalnya perlahan membaik karena bantuan dari Rara yang mengkover biaya berobat pada psikolog. Ha

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 52

    Kukecup keningnya lama. Perempuan yang namanya kini mulai memenuhi relung hati itu kubaringkan di atas tempat tidur. Wajahnya tampak sekali begitu menggemaskan dan bikin kangen.“Jangan banyak gerak, ya, Sayang. Kalau butuh apa-apa bisa minta tolong sama Mas.” Bukannya menjawab, sepasang bola bening itu hanya menatapnya dengan berkedip-kedip saja. Ada senyuman terkulum pada bibir merahnya yang tampak ranum. Kalau sudah begini, rasanya dunia ingin kuperintahkan saja untuk berhenti berputar. Perlahan aku menunduk, memangkas jarak untuk menyentuh bibir ranumnya. Dia tak menolak, sepasang mata itu berubah menjadi teduh. Amarah dan rasa bencinya sepertinya sudah berlari dan kini bahkan tangannya perlahan mengalung pada leherku.Krieeet!Suara daun pintu membuat aktivitasku berhenti begitu saja. Bersamaan dengan itu suara yang sangat kuhapal terdengar.“Laksa … bisa Mama bicara.” “Ahm, iy--Iya, Ma.” Sedikit gugup. Wajah Rara tampak merona, mungkin ada rasa malu ketika ketahuan sedang ber

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 51

    POV 3“Andai iya, apa betul Mas bisa melakukannya?” Rara bertanya tanpa menatap wajahnya. Mas Laksa menggenggam jemari itu kian erat. Sebelum menjawab, dia tampak memejamkan mata. Namun tak lama, sebuah anggukan menjadi jawaban. “Maaf, Mas. Aku hanya ingin dengar itu. Andai pun kamu masih belum siap. Aku tak apa.” Rara berucap lirih. “Aku sudah memutuskan semuanya, Sayang.” Senyum pada bibirnya tersungging dan kehangatan tatap yang merebak membuat hati Rara yang awalnya takut, kacau dan galau perlahan menghangat. “Mas, Sayang kamu, Ra.” Mas Laksa pun mengucapkan dengan tatap penuh ketulusan. Belum sempat Rara menjawab, pintu ruangan didorong dari luar. Seorang perawat masuk membuat kamu menoleh ke arahnya. “Selamat siang, mohon izin periksa dulu, ya.” Mas Laksa mengangguk, lalu beranjak menjauh dan membiarkan perawat it memeriksa Rara. Setelahnya dia kembali meninggalkan ruangan.Hanya habis satu botol infusan hingga akhirnya Mas Laksa memboyong Rara pulang. Waktu sudah pukul

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 50

    Suara obrolan, bau yang tak asing dan genggaman hangat yang kurasakan pada akhirnya membuat kegelapan ini perlahan sirna. Aku membuka mata perlahan. Kepala masih terasa sangat berat. “Alhamdulilah … akhirnya sadar ….” Suara itu, aku sudah tahu pemiliknya. Hanya saja memang pandanganku masih kabur dan perlahan menyesuaikan hingga senyuman hangat dan tatapan teduh itu berjarak begitu dekat. Dia menatapku dengan lekat. “Nanti Bapak bantukan suapi pasiennya, ya, Pak! Kami tinggal dulu.” Suara seorang perempuan mengalihkan tatapanku. Tampak seorang perempuan dengan pakaian suster berdiri sambil memegang botol minyak kayu putih di tangannya. “Baik, Sus. Terima kasih.” Suster itu pun pergi, meninggalkanku dengan dia hanya berdua di ruangan ini. Dia mengambil gelas berisi air hangat lalu membantuku minum. Setelahnya tangannya beralih pada tray makanan. “Makan dulu ya, Sayang ….” Mas Laksa mengambil tray makanan. Baunya tercium seperti amis ikan dan seketika membuat perutku memberontak.

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 49

    BAB 49 - Pov LaksaJika aku membawa mobil dalam keadaan paling cepat, maka itulah sekarang. Memikirkan Humaira yang tak kunjung ditemukan membuatku seperti kesetenanan. Bahkan sejak tadi tuas gas kuinjak begitu dalam. Beberapa kali hampir mengenai pengemudi yang kadang menyebrang mendadak. Kontrol emosiku benar-benar sudah tidak berada pada takarannya. Dikarenakan berkendara dengan kecepatan tinggi, pada akhirnya aku sudah memasuki lagi, tempat di mana keberadaan Humaira dicurigai. Hanya saja, mobilku kali ini sedikit tersendat oleh kondisi pasar yang mulai ramai. Decitan rem yang nyaring menjadi pilihan ketika hampir saja mobilku menabarak penyebrang jalananan. Aku terkesiap dan mengumpulkan rasa syukur ketika melihat dia tak kenapa-kenapa. Rasa kantuk dan lelah memang mulai terasa setelah semalaman melakukan pencarian yang melelahkan. Aku tengah menetralkan rasa terkejut ketika mata ini tiba-tiba menangkap sosok yang tengah mematung di tepi jalan. Kedua netra beningnya tengah men

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 48

    Pov RaraAku memilih menghabiskan hari pertamaku di dalam kamar. Tak keluar sama sekali. Hanya membeli makan dari pedagang yang lewat di depan kosan. Menjauh dari Mas Laksa kukira bisa membuat hatiku yang berkecamuk jadi tenang, tetapi malah justru semakin semrawut dan berantakan. Terlebih, kini ponselku hilang. Aku tak bisa berkomunikasi dengan siapapun. Pikiranku semakin ruwet karena takut Mas Laksa mencariku ke tempat Ibu dan nantinya Ibu malah jadi gak tenang. Gimana coba kalau Ibu nanti sakit karena kepikiran? Belum lagi beban memikirkan Mbak Rahma yang sudah hampir setengah gila.Aku menangis sesenggukkan di dalam kamar. Menjauh yang kukira bisa membuat pikiran dan hatiku tenang, ternyata tidak. Justru semua malah semakin terasa kacau. Sejak pagi, makanan yang kubeli pun tak tersentuh. Rasanya tak ada selera untuk makan. Entah kenapa, walaupun pikiran sepenuhnya membenci semua ini dan Mas Laksa. Namun hati kecilku merindukannya.“Mas … kenapa harus seperti ini?” Aku memukul-mu

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 47

    Pov 3“Makasih, Bu!” Rara menyodorkan beberapa lembar uang sewa pada seorang perempuan paruh baya. Akhirnya dia menemukan juga tempat berteduh setelah sejak tadi beberapa kali berhenti dan mencari. “Sama-sama, Mbak.” Perempuan paruh baya pemilik kos-kosan itu tak banyak tanya. Meskipun melihat gelagat dari tamunya yang sekarang sudah seperti orang minggat. Namun, dia tak peduli hal itu. Baginya yang terpenting adalah uang. Rara gegas masuk dan berselonjor, mengistirahatkan kakinya setelah berjalan cukup jauh. Uang yang dibawanya tak terlalu banyak, karena itu sejak tadi shalat di masjid, dia berjalan mencari penginapan di sekitar. Akhirnya sebuah kos-kosan berukuran tiga kali empat meter dengan kasur tipis itu menjadi tempat berlabuhnya malam ini. Diletakkannya ransel berisi pakaian tersebut dan lekas Rara mencar-cari benda pipih dari dalam resleting kecilnya. “Astaghfirulloh … ponselku?” Seketika Rara merasa lemas ketika ternyata benda yang dia carinya gak ada. “Rasanya tadi wak

  • SUDAH TAK PERAWAN   Bab 46

    Pov : LaksaAku menuruni anak tangga dengan tergesa. Pikiranku kacau. Tak pernah Humaira berbuat seperti ini sebelum-sebelumnya. Misalkan dia mau pergi ke rumah Ibunya pun. Biasanya selalu menghubungiku lebih dulu untuk memberi kabar. Namun kenapa tidak dengan hari ini? Ada apa sebenarnya?Apa yang terjadi sebetulnya? Melihat kondisi kamar yang berantakan membuatku sangat yakin, jika Rara-ku sedang tak baik-baik saja. Tak pernah aku menemukan dia semarah ini sebelumnya.“Laksa mau ke mana?” Suara Mama membuatku menoleh. Rupanya dia masih duduk di ruang tengah sambil nonton tivi.“Mau jemput Rara, Ma. Mama belum tidur?” “Nunggu Papa. Papa kamu tadi lagi di perjalanan, sebentar lagi sampai.” “Hmm … pergi dulu, Ma!” “Iya, hati-hati.” Segera aku menutup pintu. Tak hendak bercerita pada Mama dulu. Aku juga belum tahu apakah Rara pergi dari rumah atas masalah apa. Jangan-jangan bertengkar juga dengan Mama? Hanya saja, rasanya bukan. Mama tampaknya sudah mulai menerima kehadirannya akhir

DMCA.com Protection Status