Aku terkesima menatap kucing malang yang kesakitan itu. Nampaknya dia keracunan karena dari mulutnya tampak ada busa keluar. Aku yang shock, seketika hanya mampu luruh dan gemetar. Tangisku pecah tertahan. Ingin rasanya keluar dan membangunkan semuanya, tetapi sejak siang tadi kulihat Ibu tampak begitu capek mengatur semuanya sendiri. Dia yang mengurus ini dan itu, walau Mas Laksa sudah mengirim orang untuk mengontrol dan mengarahkan, tetapi tetap saja Ibu mau memastikan semuanya berjalan lancar. Mas Laksa, iya … Mas Laksa. Lekas aku mengambil gawai dan menghubunginya. Tak perlu menunggu lama, baru saja aku menelpon, dia sudah mengangkatnya. Bisa jadi, dia pun sama sulit tidur sepertiku. “Assalamu’alaikum, Mas ….” Aku terisak. Rasanya kaki saja lemas dan masih gemetar. Tiba-tiba saja aku begitu takut pada sosok Mbak Rahma. Entah kenapa feelingku, Petty keracunan minuman yang katanya susu itu. Di antara rasa takut yang menjadi. Lekas aku menuju pintu dan menguncinya dari dalam. Aku
Pak Tomo pun kulihat beranjak dan meninggalkan Mbak Rahma juga. Setelah itu, aku gegas mengguyur tubuhku dengan air hangat yang sudah disiapkan Ibu. Sedikit lebih segar. Tak lama-lama juga aku mandinya karena sudah siang. Setelahnya, lekas masuk kembali ke kamar dan melihat Mbak Rahma yang tengah duduk di atas tempat tidurku dan matanya mengedar mencari-cari sesuatu. Aku pura-pura tak acuh. Hanya ingin tahu apa yang ingin dia katakan. “Wah cantiknya adik Mbak. Pasti tidurnya nyenyak ya karena minum susu semalam? Sayangnya cuma satu itu. Kalau ada dua, pengen juga lah Mbak minum biar bisa istirahat nyenyak kayak kamu.” Dia tersenyum dan wajahnya tampak tak menunjukkan apa-apa. “Oh, memang susu yang Mbak buat itu bisa buat tidur nyenyak, ya?” Aku melirik ke arahnya. Hanya ingin melihat ekspresinya.“Katanya, iya. Buktinya kan iya. Kamu juga sampai bangun sesiang ini. Gak biasanya.” Dia bicara dengan ringan. Aku yang sudah duduk di kursi yang sudah disiapkan MUA menoleh. “Kok katanya
POV RAHMA Selamat Membaca! Mas Iwan---lelaki yang sudah membuatku tergila-gila, kini mengabaikanku. Sakitnya terasa menusuk-nusuk hingga dalam kalbu. Dua setengah tahun, pernikahan kami hampa dan selalu bertengkar karena mempermasalahkan keturunan. Walaupun dia terpaksa menikahiku, tetapi pada akhirnya dia tak dapat menolak takdirnya menjadikanku istrinya. Sehingga kabar kehamilanku membuatnya begitu bahagia. Aku berharap, dengan kehadiran anak dalam pernikahan kami akan memperbaiki cekcok-cekcok yang tak dapat kuhindari. Pertikaian kecil yang kadang membuatku lelah dan aku selalu menampilkan senyum sumringah dan bahagia di hadapan Humaira. Ya, aku tak ingin dia senang ketika melihatku menderita. Bagaimanapun, lelaki yang kucintai adalah dulu yang dia cintai juga. Lelaki yang kurebut paksa dengan sedikit trik dan Humaira begitu bodohnya terpedaya. Dua setengah tahun lalu. Aku begitu gelisah ketika satu minggu lagi mereka akan menikah. Seluruh dunia rasanya hendak runtuh. Hatiku t
Pov RahmaSemua berkerumun, hingga akhirnya pengaruh obat tidur pada Humaira perlahan hilang dan akhirnya dia pun sadar. Dia histeris, lebih histeris dari pada aku. Bahkan tubuhnya bergetar dan suaranya sampai parau. Aku tak terlalu memperhatikan semua yang sudah sibuk berkomentar dan menerka-nerka siapa pelakunya. Sudut mataku sibuk mencari Ardi, lelaki yang katanya akan jadi dewa penolong untuk Humaira. Namun kenapa dia tak kunjung datang hingga sekarang? Semua kekacauan berangsur sirna ketika aku memutuskan untuk membawa Humaira ke kamar kami dan meminta maaf pada Keysa. Aku tak tahu jika itu kamarnya. Andai aku tahu, pasti akan kupilih kamar yang lain untuk melakukan aksi ini. Berkali-kali Humaira histeris dan sesekali pingsan hingga akhirnya Keysa meminta supirnya untuk mengantar kami pulang. Baru kami hendak berangkat, Ardi muncul dengan wajah panik. Dia menatapku dan Humaira bergantian. Aku mengisyaratkan agar dia menenangkan Humaira, tetapi Ardi menautkan alis dan malah me
POV RAHMA Dua setengah tahun. Aku merajut kehidupan dengan lelaki yang kucintai. Meskipun pada tahun kedua sudah kerap dilengkapi oleh pertengkaran karena keinginan Mas Iwan dan keluarga untuk segera dapatkan momongan dan aku tak hamil juga. Dua setengah tahun menunggu dan aku sempat hampir putus asa, tetapi pada akhirnya dua garis merah itu jadi milikku juga. Aku sangat bahagia karena Mas Iwan dan keluarganya kembali memperlakukan aku dengan manis. Humaira pun perlahan membaik. Meskipun uang untuk pengobatannya yang dari Keysa kupangkas setengahnya. Namun pada akhirnya dia mulai sembuh juga dengan pengobatan alakadarnya. Hanya saja, setelah dua setengah tahun mengalami hidup menjadi manusia tak normal membuat Humaira ternyata kesulitan mendapatkan jodoh. Beberapa kali, aku mencarikannya, jujur aku berbuat seperti itu, karena takut Mas Iwan berpaling padanya. Namun, ternyata para lelaki itu pun selalu mundur karena terbentur restu dari keluarga. Aku pun pada akhirnya menyerah dan
POV HUMAIRAMbak Rahma menyambutnya begitu hangat. Mungkin karena Nindi ini adik dari sahabatnya. Dia menggiring Nindi untuk duduk pada kursi yang ada di dekatku dengan Mas Laksa. Mbak Rahma lantas keluar dan tak lama kembali dengan sepasang lelaki paruh baya. Pak Suseno---ayah mertuaku tampak begitu akrab dengan ayah dari Nindi---Pak Setiadi. Mbak Rahma dengan sigap mengambil makanan dari dapur dan menyuguhkannya. Dia menyapa dengan sangat manis dan senyumnya tak luput tersinggung pada bibirnya. “Silakan, Pak!” Mbak Rahma mempersilakan mereka. “Makasih, Rahma.” Pak Setiadi tersenyum dan memgangguk pada Mbak Rahma. Mereka mengobrol sebentar dan tampak akrab sekali dengan Mbak Rahma.“Sama-sama, Pak Adi. Mari, Pak.” Mbak Rahma pun kemudian undur diri. Aku duduk dengan rasa tak nyaman. Apalagi berada dalam jarak yang tak jauh dengan mantan Bapaknya Mbak Keysa. Rasanya aku menjadi sumber perhatiannya, apalagi ketika mereka mengobrolkan kenangan tentang Mbak Keysa. “Ra, kita ke depan
Bab 26Meskipun rasa lelah dan kantuk menghinggapi. Namun aku berusaha untuk terjaga dan melepaskan pernak-pernik yang menempel. Mahkota kecil, kerudung yang melilit kepalaku, gelang, bross, cincin dan gelang. Setelah semua aksesoris terlepas, meski susah payah aku akhirnya bisa melepas resleting gaun dan lekas berganti dengan piyama tidur yang kubawa. Beruntung Mas Laksa masih belum keluar dari kamar mandi. Kalau sudah, bisa-bisa aku gugup setengah mati dibuatnya. Ah, rasanya nyaman. Aku sudah tak kuat ingin merebahkan badan. Kulirik tempat tidur dengan ukuran king size yang dipenuhi dengan rangkaian ronce melati di atasnya yang terbentuk sepert lampu kristal. Wanginya membuatku tenang, tetapi tak berani aku beranjak ke sana. Rasanya takut mengotori seprai putih yang bertabur bunga mawar merah dan putih itu. Aku lebih memilih berbaring pada sofa dan perlahan memejamkan mata. Menunggu Mas Laksa keluar dari kamar mandi, lalu setelahnya aku akan gantian membersihkan diri. Waktu sudah m
(28) Selamat membaca! Menjadi orang paling beruntung, itulah yang aku rasakan sekarang. Kehidupan yang semula suram tanpa tujuan, tiba-tiba dipenuhi kerlip lampu harapan. “Bu, Rara pamit pulang dulu, ya.” Usai mencuci piring, aku meraih jemari Ibu dan menciumnya dengan khidmat. Tak enak dengan Mas Laksa jika berlama-lama. Mungkin dia ingin istirahat juga. Andai kamarku tak sempit dan jelek, aku bisa saja mempersilakan dia tidur siang dulu di kamarku. “Gak nunggu Mbak kamu pulang dulu, Ra? Mungkin dia pun akan kangen, secara … selama di sini, Ibu lihat dia sangat bergantung sama kamu. Apa-apa cerita semua ke kamu.” Ibu menatapku yang baru saja melepaskan tangannya. Aku melirik wajah Ibu, ingin rasanya aku mengatakan semuanya tentang Mbak Rahma. Hanya saja belum sampai hati untuk bercerita.Sepertinya lebih baik langsung kuserahkan saja pada Mas Laksa biar dia yang nengurusnya. Aku bukan tak sayang pada saudara sendiri, tetapi hanya ingin memberinya pelajaran jika menghalalkan seg