"Lebih kuat lagi, Sayang." Suara seorang perempuan terdengar dari dalam membuat Celine yang ingin mengetuk pintu menghentikan niatannya.
Rasa penasaran membuat gadis cantik itu menempelkan tubuhnya di pintu tetapi sayang suara itu tidak terdengar lagi.
Keingintahuan Celine semakin membesar tatkala dia mendengar suara desahan disusul dengan erangan-erangan yang semakin lama semakin terdengar liar memalukan.
"Suara itu, suara siapa?"
Berbagai pikiran berkelebat dalam otak Celine. Dia berusaha mendengarkan lebih jelas lagi khawatir dia hanya salah dengar. Akan tetapi, suara memalukan itu kembali terdengar meski tidak terlalu kentara.
"Oh, tidak! Kau tidak mungkin berselingkuh dari aku kan Jas?" Dengan wajah yang mulai terlihat sedikit panik, Celine berusaha membuka pintu depan, tetapi... .
Pintu itu sama sekali tidak bergerak meski Celine sudah mengerahkan seluruh tenaganya untuk membukanya.
Celine membuka tasnya dan memasukkan tangannya seperti sedang mencari sesuatu. Wajahnya terlihat kesal saat dia menyadari sesuatu.
"Sial, aku lupa! Aku kan nggak punya kunci rumah Jason, terus apa yang harus kulakukan supaya aku bisa masuk dan cari tau siapa pemilik suara itu tadi." Celine menepuk dahinya cukup keras membuat kulit wajahnya yang putih tampak memerah setelahnya.
Dengan penuh rasa penasaran campur kesal, Celine berputar ke pintu samping rumah minimalis tetapi rapi dan terawat tersebut
Celine langsung mengulurkan tangannya bermaksud membuka pintu samping yang berada di depan sebuah taman kecil tempat mereka biasa menghabiskan waktu jika berada di rumah Jason.
Dia berharap pintu tersebut bisa terbuka dengan mudah. Namun, sayang... pintu itupun tidak mau bersahabat dengannya.
Merasa kesal, Celine mengentakkan kaki. Wanita muda itu merasa kekesalannya semakin bertambah.
Celine mengerutkan dahi mencoba mengingat pintu atau jendela mana yang bisa dia lewati
Setelah beberapa menit, awan hitam di wajahnya menghilang. Senyum tipis terlihat di bibirnya.
Dengan sedikit tergesa-gesa, Celine melangkah kembali ke pintu utama tempat asal suara itu terdengar.
Dia menempelkan daun telinganya ke arah jendela dengan tirai yang berada tidak terlalu jauh dari pintu dan berusaha mengintip. Namun percuma saja. Tidak ada celah yang membuatnya bisa melihat aktifitas di dalam.
Dengan nekat, Celine mencoba membuka jendela rumah Jason. Dia harus tahu apakah benar Jason berselingkuh dengan wanita lain sementara dia pergi dalam perjalanan bisnis?
Beruntungnya jendela rumah Jason tidak terkunci. Akan tetapi, jendelanya agak sulit dibuka karena Jason tidak begitu suka jika privasinya terlihat jelas dari jalanan.
Celine berusaha keras memanjat ke arah jendela dan memastikan seluruh tubuhnya bisa masuk melalui jendela. Akan tetapi, ternyata hal itu tidak berjalan dengan lancar meski jendela itu tidak terlalu tinggi.
Kaki Celine malah terkait sehingga dia jatuh berdebum. Meski tidak terlalu keras tetapi tangannya sempat tergores kusen jendela, sikunya juga terasa sakit karena dia mendarat dengan posisi menggelosor tengkurap.
Tidak hanya itu, lutut Celine juga terasa sakit karena terkena tuas kait jendela sehingga dia terluka.
Celine meringis merasakan semua rasa sakit di tangan dan kakinya itu, tetapi hatinya seketika mencelos ketika matanya menatap ke arah sofa.
Sambil menahan rasa sakit, Celin berdiri dan berjalan pelan mendekati dua insan berbeda jenis kelamin yang tengah bergumul dengan panas di ruang tamu.
Hati Celine terasa semakin sakit tatkala telinganya menangkap desahan dan erangan yang liar dari mulut kedua manusia tidak punya malu itu.
Dia mengerjapkan matanya, menahan agar air matanya tidak keluar begitu saja demi melihat kekasih yang dicintainya tengah menggumuli seorang wanita yang sepertinya sedikit lebih tua darinya.
Setelah merasa berhasil menguasai tangisnya, Celine membuka mulutnya, dan... .
"Jadi, seperti ini kelakuanmu di belakangku!" Bentakan Celine terdengar menggema di ruang tamu. "Jason!"
Dua insan yang masih asyik bertukar keringat itu kontan menghentikan kegiatan panas mereka.
"Celine?" tanya pria muda yang dipanggil Celine dengan nama Jason.
Dengan sedikit kasar, Jason menjauhkan tubuhnya dari perempuan yang berada di bawah kungkungan kedua tangannya, mengakibatkan protes kecil dari sang wanita.
"Jas, kenapa? Aku lagi nanggung banget ini, Sayang."
Jason tidak menghiraukan kalimat yang keluar dari mulut wanita tersebut bahkan tarikan perempuan itu ditepiskannya dengan kasar.
"Jas, ada apa? Kenapa kamu tiba-tiba saja berubah begini, apa kamu lupa gimana mesra dan berhasratnya kita ketika kamu membawaku kemari?" Kembali terdengar protes sangat wanita.
Perempuan tanpa busana itu berdiri memeluk Jason, lalu menciumi leher Jason bermaksud kembali merayu lelaki di depannya.
Merasa kesal dengan tingkah perempuan yang baru saja bersamanya mereguk madu duniawi, Jason pun menjauh dan mendekati Celine sembari meraih sebuah bantal sofa untuk menutupi alat vitalnya.
"Ce ... Celine?" Jason tergagap menyebutkan nama kekasihnya.
"Ya." Celine menjawab singkat panggilan kekasihnya. Wajahnya terlihat dingin tanpa senyuman yang biasa menghiasi bibirnya jika bertemu dengan sang pujaan hati.
"Celine … kau … kau sudah pulang?" tanya Jason dengan bodohnya. Pikirannya yang tadi sedang melayang indah dan bersemangat tiba-tiba jadi kosong.
Wajah tampan dan imut-imut Jason terlihat pucat. Mulutnya ternganga karena tak menyangka sama sekali bahwa Celine akan pulang secepat itu.
Ia kini berdiri dengan panik sambil mencari sesuatu untuk menutupi tubuhnya yang telanjang bulat.
"Kemana semua pakaianku tadi?" gerutu Jason sambil menoleh ke kanan dan kiri dengan paniknya sambil terus memegang bantal sofa.
"Siapa perempuan ini, Jas?" tanya Celine sambil menahan rasa sakit dan kecewa sekaligus. Suara gadis itu terdengar bergetar.
Di saat yang bersamaan, wanita yang baru saja bercinta bersama Jason juga bangkit berdiri menghampiri Jason.
Dengan tatapan tidak bersahabat yang terlihat begitu meremehkan, perempuan itu berjalan menghampiri Jason dan menanyakan pertanyaan yang sama.
"Siapa perempuan ini, Sayang?"
Bingung karena mendapat dua pertanyaan yang sama, Jason akhirnya malah memutuskan untuk memperkenalkan saja kedua wanita itu.
"Ah, ya. Dia adalah Celine, kekasih yang sudah menemaniku selama tiga tahun. Dan, Celine, ini adalah Denise, dia adalah wanita yang …. ."
Mendadak Jason terdiam menyadari kesalahannya yang lumayan fatal. Dia bingung mau bilang apa pada dua wanita yang berbeda itu. Mau bilang pada Celine kalau Denise sebenarnya adalah kekasihnya yang lain dan baru saja digumulinya dengan brutal?
"Oh, jadi ini Celine, kekasih yang katamu frigid itu?" ungkap Denise terang-terangan seraya memasang ekspresi wajah yang sangat menyebalkan. (Frigid : disfungsi kegagalan seorang wanita dalam merespons rangsangan yang berbau seksual - penjelasan)
"Apa katamu? Siapa yang frigid?" teriak Celine. Kemarahannya tersulut begitu saja mendengar ucapan Denise yang begitu menghinanya.
Celine sangat kesal karena tujuannya pulang ke rumah Jason sebenarnya untuk mendapatkan ketenangan dari kekasihnya itu setelah apa yang dia alami, tetapi pada kenyataannya dia malah menemui sebuah kenyataan yang menyakitkan.
Wajah ayu Celine semakin merah padam, kulit putihnya sudah seperti kepiting rebus mendengar penghinaan yang dilontarkan oleh perempuan di depannya.
Celine menatap Denise tajam, matanya berkilat penuh amarah, sementara Denise menyuguhkan senyum sinis untuk Celine.
Masih penuh amarah, Celine mengalihkan pandangannya ke arah Jason yang kini sudah memakai celana dalam untuk menutupi bagian inti tubuhnya.
Mendapat tatapan tajam dan menusuk dari kekasih hatinya, Jason menunduk. Kentara sekali jika pemuda itu punya rasa tidak enak pada Celine.
"Aku benar-benar nggak menyangka kalau kamu sampai mengatakan hal ini pada orang lain, Jas." Suara Celine bergetar, sangat terlihat jika perempuan muda itu terluka.
Celine menunggu penjelasan dari Jason. Namun, bukannya Jason yang bicara malah Denise yang membuka suara.
"Well, kekasihmu ini bercerita padaku bahwa kau selalu menolak untuk diajak berhubungan. Dan kau selalu menghindar jika dia sudah berusaha mendekatimu," Denise menerangkan secara blak-blakan dengan tatapan menghina.
Tak seperti Jason, Denise sama sekali tidak malu pada tubuhnya yang polos dan indah. Dia malah memamerkan tubuhnya di hadapan Celine dengan penuh percaya diri sambil bertolak pinggang santai.
Celine dapat melihat jika wanita berambut pirang pendek di depannya itu begitu bangga dengan dua aset besar yang menyerupai buah melon miliknya.
Denise juga sangat beruntung dianugerahi pinggang yang ramping dan kaki serta leher jenjang bak peragawati.
Perkataan Denise begitu telak menohok perasaan Celine. Celine menatap Denise dan Jason bergantian.
Bagaimana bisa lelaki yang selama ini kupercaya dan kucintai dengan segenap hati ternyata tega mengkhianati aku?
Kekasih macam apa yang menceritakan kehidupan seksual pribadi mereka kepada wanita lain?
"Asal kamu tahu, aku bukannya frigid. Aku hanya ingin menjaga keperawananku untukmu di malam pertama, Jason. Nggak seperti dia yang suka mengumbar tubuhnya ke sembarang pria dan kemudian sesumbar dengan bangga mengenainya!" Setengah berteriak Celine membalas Denise.
Kedua matanya sudah terasa panas menahan air mata yang hendak tumpah. Akan tetapi, Celine tahu jika pria bernama Jason ini sama sekali tidak pantas untuk ditangisi.
"Aku juga punya kebutuhan sebagai lelaki Celine. Selama tiga tahun ini kita berkencan aku belum pernah satu kalipun tidur dengan wanita lain karena aku masih mengharapkanmu. Tapi aku tetap laki-laki normal yang memiliki hasrat yang harus aku tuntaskan!" Tanpa diduga sebelumnya oleh siapapun di sana, tiba-tiba saja Jason murka kepada Celine.
"Tiga tahun sudah cukup lama bagiku untuk menahannya dan aku tak mau menunggu lagi Celine."
"Kau juga menolak untuk menikah dengan alasan masih ingin mengejar karier."
"Hingga akhirnya aku bertemu dengan Denise. Dia tidak banyak menuntut meski tahu aku sudah berkencan denganmu dan hubungan kami selalu terasa bergairah tidak seperti denganmu!"
Dengan berapi-api Jason mengungkapkan semua isi hatinya, wajahnya terlihat merah padam. Namun, Celine tidak menghiraukan perubahan itu.
Dia mengalihkan pandangannya ke arah Denise yang masih memamerkan tubuh polosnya sembari bergayut manja di lengan Jason.
Celine menatap kedua insan tersebut dengan tatapan penuh kebencian. Benar-benar manusia tidak punya perasaan terlebih rasa malu.
Dada Celine berdentam keras, amarahnya tak terbendung ketika matanya melihat Denise menggoda Jason dengan gerakan yang sensual dan menggoda.
"Dasar jalang! Kau sudah tahu bahwa dia itu memiliki aku, kenapa kau masih tetap bersamanya?" Celine kembali merasa marah.
Denise tersenyum sinis mendengar kalimat Celine memaki dirinya. Wajah Denise terlihat angkuh.
"Aku nggak seperti kamu. Bagiku tidak ada bedanya sekarang atau nanti. Toh Jason sudah mengatakan bahwa dia akan memilihku dan mencampakkanmu," Denise dengan acuh berkata sambil mengangkat kedua bahunya.
"Kau!"
Celine berkata dengan gemas kemudian ia langsung melangkah maju dan menampar Denise di pipi kirinya. Tamparan Celine cukup keras dan pastinya cukup membuat Denise terhenyak.
"Kau berani menamparku?"
Denise memegangi pipinya dan kemudian dia menyerang balik Celine. Dalam sekejap kedua wanita itu sudah terlibat baku hantam yang seru.
Denise dengan garang menarik rambut coklat milik Celine sehingga beberapa helai rambutnya terlepas.
Celine yang kesakitan berusaha keras untuk melepaskan diri dan berusaha memukul bagian mana saja dari tubuh Denise yang bisa dicapainya.
Tiba-tiba Celine merasa tubuhnya ditarik dan dijauhkan dari wanita itu. Rambutnya berantakan dan nafasnya terengah. Dia menatap Jason yang baru saja memisahkan dirinya dengan Denise.
"Cukup Celine! Jangan salahkan Denise ataupun aku. Salahkan saja dirimu sendiri!" tegur Jason memperingatkan.
"Tahukah kau, Celine? Kurasa aku tak melihat hubungan kita akan memiliki masa depan!" Jason berkata dengan nada menyesal.
Selama ini Jason berusaha untuk selalu menghormati keinginan Celine yang ingin tetap menjaga keperawanannya sampai saat malam pertama mereka tiba.
Akan tetapi, lama kelamaan kesabarannya habis dan insting kelelakiannya bangkit dan menguasai dirinya.
Jason tidak mampu lagi menahan hasrat yang sudah dipendamnya selama tiga tahun. Dan, Denise adalah rekan sekantornya tempat dimana Jason bekerja.
Denise sangat berani dan dinamis serta selalu terbuka. Mereka mulai dekat dan tanpa mereka sadari suatu hari mereka malah tidur bersama.
Dan, hal itu ternyata terus berlanjut sampai sekarang. Kira-kira sudah hampir lima bulan berlalu sejak Jason menjalin kasih secara diam-diam dengan Denise.
Pria itu jatuh cinta pada Denise dan mulai melupakan janjinya untuk tetap setia kepada Celine.
"Jason, kau …."
"Pergilah dari rumahku, Celine! Dan ambil semua barang-barangmu itu!" Jason tak lagi memikirkan tubuhnya yang hanya tertutupi celana dalam saja. Dia malah langsung sibuk memilah-milah barang milik Celine.
"Kau lihatkan? Mantan kekasihmu sudah mengusirmu dari rumah ini!" Denise tertawa senang sambil mendelik ke arah Celine.
Akan tetapi, Celine tak bergeming sama sekali. Dia terlalu syok sampai-sampai tak mampu mempercayai apa yang mungkin terjadi dalam satu malam.
Pertama, Celine tadi hampir mati dalam penerbangan. Kedua, dia dikhianati oleh kekasihnya sendiri.
"Kau dengar aku bukan, Celine? Ambil semua barang-barangmu dari rumah ini dan pergilah," ulang Jason mengusir Celine dengan tegas.
Tiba-tiba saja Celine merasa sangat marah dan langsung menghampiri Jason dan menampar pria itu.
"Kau benar! Kita memang harus putus. Kau tidak layak untukku. Laki-laki yang tidak bisa menjaga kesetiaannya hanya untuk satu wanita memang tidak layak untukku!"
"Dan kau! Wanita tak tahu malu sepertimu memang cocok untuk bersanding dengannya. Selamat untuk kalian berdua!"
Dengan kalimat itu, Celine memutuskan untuk keluar dan meninggalkan mereka berdua untuk menyelamatkan harga dirinya yang masih tersisa.
Celine tak memiliki tujuan lain. Sambil menyeret kopernya dengan lesu, dia berjalan tak tentu arah sampai akhirnya dia menemukan sebuah bar.
Celine tak biasa masuk ke dalam sebuah bar. Akan tetapi, malam ini, dia nekat masuk dan duduk di meja bar tanpa tahu harus berbuat apa.
"Bolehkah aku menemani malammu, Nona cantik?"
"Eh, tidak usah! Terima kasih!" tolak Celine dengan gugup.Pria itu rambutnya sudah setengah botak dan berperut buncit. Bahkan kemejanya terlihat sesak di perutnya. Terbukti dari kancing kemejanya yang sudah nyaris terlepas tak kuat menahan perut pria buncit itu. Dari wajahnya sudah menunjukkan kira-kira pria itu sudah berusia hampir mendekati akhir empat puluhan. Celine merasa jijik dan takut sekaligus, namun pria itu tidak menerima penolakan Celine sama sekali."Ayolah, Manis. Aku akan mentraktir minum. Kita bisa mengobrol dan kemudian bisa melanjutkan ke hal-hal yang lebih menggoda," pria buncit itu memaksa bahkan ia dengan berani mulai memegang paha Celine membuat Celine sontak langsung mendorong tubuhnya ke belakang berusaha menjauhi pria menjijikkan itu."Jauhkan tangan kotormu itu dari kakinya!" Celine menoleh ke asal pemilik suara yang menawarkannya untuk membelikan minuman.Tiba-tiba terdengar sebuah suara dari arah belakang mereka. Baik Celine maupun pria buncit itu menoleh
Pandangan Celine masih tak fokus dan buram. Dengan bingung ia mengamati benda pusaka milik Steven. Pusaka itu langsung tegak berdiri. Ia mengerjapkan matanya."Benda apa itu?" tanya Celine dengan polos.Steven buru-buru menunduk untuk mencari handuknya di lantai tapi Celine kembali membuat ulah lagi."Jason! Kau Jasonkan? Kenapa kau berbohong padaku? Apakah karena wanita itu maka kau berpura-pura tak mengenalku?" tuntut Celine mulai marah. Celine bermaksud untuk bangun dari tempat tidur. Ia mengayunkan kakinya ke bawah namun naasnya malah mengenai sisi kepala Steven."Aduh!" keluh Steven."Jason? Maafkan aku," ucap Celine meminta maaf pada lampu tidur yang berada di atas meja buffet di samping tempat tidur. Steven kembali menggeleng melihat kelakuan Celine yang di luar nalar."Sudahlah! Aku ini bukan kekasihmu! Kembalilah tidur. Besok pagi jika sudah sadar kau bisa pergi dari sini!" ucap Steven lelah. Ia sudah berhasil menemukan handuknya dan hendak kembali melilitkan dipinggangnya.
Celine menjauhkan ponsel itu dari telinganya. Teriakan si penelpon membuat telinganya berdenging. Terutama karena disebabkan ia masih dalam keadaan pengar setelah mabuk berat.Untungnya si penelpon langsung mematikan sambungan dan tidak bicara panjang lebar. Celine melirik jam yang terpampang di layar ponselnya dan langsung terbelalak. "Astaga! Pukul 9 pagi. Aku terlambat ke kantor!" seru Celine dengan panik. Dengan tergesa ia mencari koper miliknya dan menemukannya. Dengan sembarang ia mencari pakaian kerjanya yang masih bersih, mengenakannya dengan susah payah dan langsung membereskan koper dan berlari keluar bagaikan sedang dikejar oleh seekor anjing.Selama berlari Celine baru sadar bahwa ia ternyata berada di sebuah hotel dan akhirnya ia mencari lift untuk turun.Dengan tak sabar ia mengetukkan kakinya yang mengenakan sepatu bertumit rendah sambil menunggu lift membawanya turun ke lobby. Begitu pintu lift terbuka, Celine segera melesat keluar."Selamat pagi, Mrs. Plummer!" sapa
"Welcome to hell, Celine!"Celine menghela nafas lelah dan perlahan ia melangkah menaiki undakan yang terbuat dari batu sambil membawa barang-barang miliknya. Celine menekan bel dengan gugup, menunggu pintu dibukakan. Pintu terbuka dan seorang wanita berusia sekitar 50 tahunan dengan rambut keriting pendek dan hidung seperti jangkar."Celine! Untuk apa kau datang kemari?" tanya wanita tua itu jelas-jelas terkejut dengan tampang tidak suka."Nana memintaku untuk datang. Dan selain itu, aku butuh tempat tinggal sementara, Mrs. Reynolds," Celine berkata berusaha meramahkan suaranya dan memaksakan dirinya untuk tersenyum meski dalam hati ia malas setengah mati."Tempat tinggal? Apa kau pikir rumahku ini adalah penginapan gratis bagi para gelandangan?" tanya Mrs. Reynolds dengan wajah angkuh. Ia melipat kedua tangannya di depan dada."Oh ya, aku lupa. Kau memang datang kemari sebagai gelandangan dan yatim piatu!" ujar Mrs. Reynolds dengan nada menghina."Aku memang datang kesini sebagai ya
Wajah Celine menegang. Tubuhnya mendadak menjadi kaku dan otomatis menjadi defensif ketika mendengar suara Tanner. Ia tidak berbalik dan tetap berusaha fokus pada masakannya."Putraku! Akhirnya kau pulang juga. Betapa sepinya rumah ini terasa tanpa kehadiran kalian!" sambut Mrs. Reynolds sambil memeluk dan menciumi wajah putranya dengan hangat dan bahagia. Sebagai bagian dari keluarga Reynolds, Tanner terbilang tampan. Jika saja kelakuannya tidak menyebalkan maka mungkin saja Celine bisa menaruh hati pada Tanner."Wah, kau hanya memeluknya, Bu? Tidak memelukku juga?" tiba-tiba terdengar suara lain yang terdengar centil dan membuat telinga Celine terasa sakit.Qiana, anak bungsu dari keluarga Reynolds juga memiliki penampilan yang menawan. Karena ia memang memiliki pekerjaan sampingan sebagai seorang model semenjak ia di perguruan tinggi. Kakinya yang jenjang, pinggang ramping, dengan mata biru, dan rambut pirang membuatnya terlihat seperti boneka barbie."Qiana! Tentu tidak, Sayangku
"Kemari kau dasar wanita gila!" teriak Qiana marah besar. Ia berusaha menyambar-nyambar Celine yang duduk di seberang meja tapi Celine lebih cepat. Ia menghindar."Cukup, hentikan kalian berdua!" Mr. Reynolds membentak keduanya dengan marah. Keduanya langsung berhenti.'PLAAAKKK!!!'Tiba-tiba Mr. Reynolds menampar Celine dengan keras. Suara tamparannya sampai menggema ke seluruh ruangan."Kau berada di rumahku, jadi kau harus menjaga sikapmu dan jangan berani-berani kau berbuat kasar terhadap putriku!" Mr. Reynolds yang Celine kira sudah tua dan tidak begitu kuat lagi ternyata memiliki kekuatan melebihi pria seusianya.Celine merasakan pipinya yang terasa perih dan sakit. Seisi ruangan menjadi sunyi. Air mata mulai menggenang di sudut mata Celine karena mendapat perlakuan buruk seperti itu dari orang-orang yang disebutnya sebagai keluarga."Ian! Jangan membeda-bedakan Celine. Lagipula dalam hal ini yang mulai duluan adalah Qiana. Seharusnya Qiana meminta maaf pada Celine."Nana yang s
Ada apa? Aku sibuk. Bukankah kau bilang kau tidak tertarik?" tanya Qiana dengan sengaja."Aku tarik kembali kata-kataku. Aku akan mencoba untuk melamar di sana! Apa kau bisa membantuku, Qiana?" tanya Celine penuh harap."Oh, entahlah! Kau sudah menolak kesempatan yang kuberikan padamu tadi!" jawab Qiana acuh sambil memeriksa kuku-kukunya yang cantik."Ayolah, Qiana. Aku minta maaf, oke?" Celine benar-benar mengharapkan pekerjaan itu sehingga ia bahkan sampai bersedia untuk mengalah pada Qiana."Ehm! Tergantung!" balas Qiana singkat."Tergantung apa?" tanya Celine penasaran."Tergantung apakah kau akan menurut padaku atau tidak selama bekerja di sana," balas Qiana lagi."Baiklah! Aku akan menuruti semua perkataanmu selama bekerja di sana asalkan kau bisa merekomendasikan aku untuk diterima bekerja di sana!" Celine langsung setuju tanpa berpikir panjang.Selama ini toh ia berhasil bertahan menghadapi Qiana. Apa yang bisa lebih buruk daripada itu sih? Pikir Celine."Baiklah. Kalau begitu
Celine berusaha berteriak tapi suaranya teredam dalam bekapan telapak tangan pria itu. Dalam keadaan panik, Celine mulai mencoba untuk mengingat cara membela diri dari orang berniat jahat dari kursus yang pernah diikutinya ketika masih bersekolah dulu."Jangan berteriak!" Steven memperingatkan Celine.Tapi Celine justru malah makin panik. Ia mengangkat lututnya ke atas dan mengarahkannya ke bagian selangkangan Steven kemudian dengan menggunakan lututnya, ia sekuat tenaga menendang bagian pribadi Steven.Pria itu langsung melepaskan bekapannya terhadap Celine dan membungkuk kesakitan."Rasakan itu dasar pria aneh mesum!" seru Celine memberanikan diri. Terjebak di dalam lift hanya berdua dengan pria mesum seperti ini adalah hal yang tak pernah terbayangkan oleh Celine seumur hidupnya."Ah, sial! Tak bisakah kau berlaku normal seperti layaknya wanita lain?" Omel Steven masih sambil menahan rasa sakit dan ngilu yang dialaminya.Celine melihat penampilan pria itu kini tampak berbeda. Ia m
Di ruangan yang terbilang cukup besar itu, Sinta duduk seorang diri. Ia masih teringat dengan jelas kejadian dulu, saat di mana Devan mengungkapkan perasaan padanya.Entahlah, bagaimanapun ia mencoba, ia tetap tidak bisa menjadi seperti apa yang diinginkan oleh Devan, meskipun hanya sedikit saja, rasa itu benar-benar tidak ada.Sinta menatap ke sekeliling ruangan yang hampir sudah 7 bulan ia tempati. tempat di mana ia berteduh dari panasnya matahari dan dinginnya hawa hujan yang turun, dan Devan adalah laki-laki yang telah membawa dirinya ke tempat ini.Ia menyandarkan dirinya pada sandaran sofa yang ada di dalam kamarnya sambil mengelus lembut perutnya itu. Tiba-tiba ia kembali teringat dengan percakapannya dengan Nadia tadi. Bisa ia lihat, Bagaimana frustasinya Nadia saat Ia menceritakan semuanya tadi.Ingatannya melayang di mana malam tragedi itu terjadi, obat perangsang yang menjalari tubuhnya itu, benar-benar sulit untuk ia kendalikan. Andai saja malam itu tidak pernah ada, mungk
Kini mereka sudah berada di apartemen. Tak ada satu peralatan bayi pun yang mereka bawa.Bi Diah datang tergopoh-gopoh dari arah dapur untuk menyambut kedatangan majikannya.Alisnya naik ke atas ketika tidak melihat satu barang pun yang dibawa oleh Devan maupun Sinta."Di mana belanjaannya Mas dan Mbak? "Tanya bi dia.Mendengar itu Devan dan juga Sinta langsung saling adu tetap satu sama lainnya. Bertemu dengan Nadia dan mengobrol dengan wanita itu membuat ia lupa dengan tujuan awal pergi ke mall."Tadi kita hanya lihat-lihat saja kok, pas ada yang suka tapi warnanya terlalu norak, pas warnanya bagus eh motifnya yang tidak sesuai keinginan Sinta, jadi untuk hari ini kami memutuskan tidak membeli apapun. Mungkin aku akan mencari lagi waktu yang pas agar kami berdua bisa berbelanja peralatan bayi." Jawab Devan.Sebenarnya Devan tidak perlu berbohong pun, Bi Diah tidak akan memaksa majikannya untuk menjawab, toh Ia hanya sekedar berbasa-basi saja tadi.Bi Diah menganggukkan kepalanya dan
Rasa haru benar-benar tak bisa untuk di tepis. Tak pernah mereka sangka bahwa mereka akan di pertemukan lagi seperti ini."Aku rindu sekali dengan Nona muda.""Sama Nad, sama banget. Aku juga merindukan kamu. Selama ini aku coba mencari kamu, tahu."Setelah merasa cukup puas saling melepaskan rindu satu sama lainnya, kembali mereka saling tatap."Apa yang terjadi Nad?" tanya Sinta setelah cukup lama memperhatikan sosok Nadia itu.Alih-alih menjawab, Nadia malah balik bertanya, "Bagaimana dengan anda Nona? Kapan akan melahirkan? Bolehkah saya memegang perut Anda?"Sinta menganggukkan kepala, ia mengambil tangan Nadia dan membawa tangan itu untuk mengusap lembut perutnya yang buncit.Dari sana, Nadia bisa untuk merasakan tendangan bayi di dalam perut. Sepertinya anak Sinta sangat aktif Sekali."Aktif sekali ya, nona?""Iya, tapi aku cukup senang merasakan pergerakannya selama ini." jawab Sinta, meskipun belum tahu siapa ayah dari anak yang ia kandung, tapi ia benar-benar menyukai anak i
“Pagi ...”Devan sedikit terkejut saat Sinta tiba-tiba menyapanya pagi ini, di saat dia berpikir, jika gadis ini akan kembali menghindarinya karena pembicaraan mereka tadi malam.“O-oh, pagi,” balas Devan kemudian, terlihat kikuk dan salah tingkah.Devan pun memperhatikan Sinta dengan seksama, memastikan tidak ada yang aneh dari gadis itu.“Kenapa kamu lihatin aku kayak gitu? Aku tambah gendutan?” seloroh Sinta, memprotes dan bersikap seperti biasanya.“H-huh? O-oh, nggak kok ... namanya juga Ibu hamil ‘kan?” Devan lantas menyahut dan tersenyum dengan canggung.Dia benar-benar tidak mengerti, kenapa Sinta tetap bersikap biasa kepadanya? Apa gadis itu tidak marah kepadanya?Setelah semua hal yang terjadi tadi malam?“Omong-omong ...” Sinta lantas kembali bersuara sambil memoleskan selai kacang pada roti gandumnya. “Mulai hari dan seterusnya, aku nggak akan keluar dari apartement lagi. Aku juga ... nggak akan berhubungan dengan bosmu lagi,” terang Sinta yang jelas saja tak membuat Devan
Setelah Sinta puas menangis di tepi pantai, Ethan dan Sinta pun memutuskan untuk segera makan malam di salah satu restoran seafood yang ada di dekat pantai.Sinta pun bersikap seperti biasanya lagi, tidak terlihat seperti orang yang baru menangis histeris beberapa waktu lalu.Selera makan Sinta yang begitu besar pun, cukup membuat Ethan terkejut bercampur terpesona. Dia merasa, Sinta yang sedang makan banyak itu terlihat menggemaskan!“Aduh, suami idaman yah! Isterinya asyik makan, suaminya sibuk ngupasin kulit lobster dan kepiting!” goda sang pemilik restoran yang mengantarkan pesanan lainnya ke meja Ethan dan Sinta.Mendengar kata ‘isteri’ pun dari mulut sang pemilik restoran pun Ethan terkejut dan sudah bersiap membuka mulutnya untuk menyangkal hal tersebut.Bukan karena dia tidak ingin dianggap sebagai suami Sinta, tapi Ethan justru merasa tak enak pada Sinta, takut gadis itu tersinggung dan jadi tak nyaman duduk bersamanya.Namun, di luar dugaan Ethan, tiba-tiba saja Sinta bersua
Setelah pertemuan tidak terduga di antara Sinta, Ethan dan Devan. Akhirnya ketiganya pun memilih untuk tidak bertanya satu sama lain dengan alasan karena hari yang sudah semakin larut malamSelagi Sinta dan Devan menaiki lift untuk kembali ke apartement mereka, Ethan yang memperhatikan mereka dalam diam pun, sesungguhnya merasa ada sesuatu yang terasa panas membakar di dadanya.Dia jelas tidak menyukai pemandangan Sinta bersama pria lain, meskipun pria itu adalah Devan, sekretaris kepercayaannya sendiri.Tapi, siapa pula dirinya ini? Sampai merasa berhak, siapa yang pantas untuk berdiri tepat di samping Sinta?Bukankah dirinya juga hanya sebatas teman untuk Sinta?Kenyataan itu seakan menghantam kesadaran Ethan—menyuruhnya agar tak berharap banyak dari Sinta yang sudah memilki tunangan.“Wait, tunangan?!” Ethan terkesiap dengan pemikirannya sendiri.Ya, bagaimana dia bisa lupa kalau Sinta sudah bertunangan?!Bukankah pertama kali Ethan melihat Sinta muncul di kantornya pun, kalau tidak
Setelah kejadian tempo hari di bioskop, Sinta jadi lebih banyak mengurung dirinya dalam kamar. Dia menghindari Devan yang jelas-jelas tinggal seatap dengannya, dan dia pun menghindari Ethan juga dengan tidak membuka satu pun chat yang dikirimkan pria itu.Namun, baik Ethan maupun Devan memilih untuk tidak ‘menekan’ Sinta. Kedua pria itu membiarkan Sinta tenang dengan sendirinya dulu, memberikan waktu padanya agar gadis itu bisa berpikir jernih.Devan bahkan sengaja sesekali tidak pulang ke apartement, dan sekalinya pulang pun, dia pasti akan kembali saat hari sudah sangat larut malam.Semua itu dilakukan agar Sinta bebas melakukan apapun di apartementnya tanpa adanya sosok Devan yang harus dihindarinya.Sinta sadar jika tak seharusnya dia terus begini. Terlebih lagi ini adalah apartement milik Devan, tidak seharusnya pria itu yang malah jadi tinggal di luar.Namun, Sinta juga tidak dapat menahan dirinya untuk tidak menghindari Devan. Setiap kali dia melihatnya, dia pasti akan langsung
Semenjak hari itu, saat Sinta 'mendeklarasikan' bahwa dirinya ingin mencoba berteman dengan Ethan, kedua orang itu pun menjadi lebih sering bertukar chat singkat hanya untuk sekedar hal-hal kecil seperti apa makanan favorit mereka, genre film kesukaan, tipe buku yang digemari untuk dibaca dan hal-hal lainnya.Sinta yang awalnya sempat memiliki kesan kurang menyenangkan pada sosok pria bernama Ethan Wistara itu pun, kini justru merasa jika mereka memiliki banyak kesamaan. Entah itu soal cita rasa makanan, pilihan destinasi untuk berlibur atau hal-hal kecil lainnya seperti tim jus atau tim langsung memakan buahnya.Memang terdengar konyol, tapi itulah obrolan yang selalu dibahas oleh dua manusia yang 'katanya' ingin memulai hubungan mereka dengan pertemanan, tidak lebih.***"Hm? Kamu pergi lagi ke toko bunga hari ini?" Devan yang baru saja pulang dari kantor, seketika memusatkan perhatiannya pada sebuah bunga anggrek yang kini terpajang di dekat jendela veranda apartementnya.Sinta yan
Keesokan harinya, Sinta sudah siap berangkat, bahkan sebelum pukul 6.30 dan sudah menyiapkan sarapan untuk dirinya dan Devan. Ketika Devan keluar dia sudah siap dan sedang memotong sandwich."Wah kamu cepat juga," tegur Devan."Memang sejak kapan aku jadi selambat itu?" Sinta memicingkan matanya."Iya deh iya."Akhirnya mereka berdua sarapan dengan sepotong sandwich dan segelas susu.Siang harinya Sinta bertemu dengan wanita yang ditolongnya beberapa waktu lalu di kafe yang ada di dekat kantor tempat Devan atau lebih tepatnya kantor Ethan.Wanita itu pun mengucapkan banyak terima kasih pada Sinta dan bertanya, "Mbak apa yang bisa aku lakukan agar bisa menebus jasa kebaikanmu kepadaku beberapa hari lalu?""Tidak perlu, sungguh!" jawab Sinta dengan sangat serius."Tidak, Mbak. Aku bersikeras ingin membalas jasamu. Kalau kamu nggak ada, aku nggak tau jadi apa aku waktu itu." Wanita itu terus saja berterima kasih. Baginya Sinta seperti dewi penolong yang kebetulan Tuhan kirimkan untuknya.