"Welcome to hell, Celine!"
Celine menghela nafas lelah dan perlahan ia melangkah menaiki undakan yang terbuat dari batu sambil membawa barang-barang miliknya. Celine menekan bel dengan gugup, menunggu pintu dibukakan. Pintu terbuka dan seorang wanita berusia sekitar 50 tahunan dengan rambut keriting pendek dan hidung seperti jangkar.
"Celine! Untuk apa kau datang kemari?" tanya wanita tua itu jelas-jelas terkejut dengan tampang tidak suka.
"Nana memintaku untuk datang. Dan selain itu, aku butuh tempat tinggal sementara, Mrs. Reynolds," Celine berkata berusaha meramahkan suaranya dan memaksakan dirinya untuk tersenyum meski dalam hati ia malas setengah mati.
"Tempat tinggal? Apa kau pikir rumahku ini adalah penginapan gratis bagi para gelandangan?" tanya Mrs. Reynolds dengan wajah angkuh. Ia melipat kedua tangannya di depan dada.
"Oh ya, aku lupa. Kau memang datang kemari sebagai gelandangan dan yatim piatu!" ujar Mrs. Reynolds dengan nada menghina.
"Aku memang datang kesini sebagai yatim piatu. Tapi aku tidak menginap gratis di sini. Sebagian besar gajiku sudah aku transfer ke rekening Mr. Reynolds sebagai ganti pembayaran biaya hidup dan kuliahku selama tinggal di sini!" Celine menghentakkan kakinya dengan kesal.
"Lagipula Anda juga telah mengambil uang tunjangan bantuan dari pemerintah karena telah mengadopsiku!" Celine tak mau kalah.
"Siapa itu yang datang, Sayang?"
Celine mendengar sebuah suara renta lain dari dalam rumah. Tak lama pemilik suara itupun keluar dengan pelan dan berdiri di belakang Mrs. Reynolds. Tubuhnya yang kurus agak membungkuk sekarang. Ia mengenakan sweater lengan panjang edisi Natal tahun lalu.
"Coba tebak siapa yang datang, Dear!" balas Mrs. Reynolds kepada suaminya.
Mr. Reynolds mengamati Celine dari balik kacamatanya dan ketika ia menyadari siapa yang datang, ia juga terkejut.
"Celine! Sungguh suatu kejutan besar kau berani menampakkan dirimu di sini lagi!" sambut Mr. Reynolds dengan nada ramah dan senyum lebar tapi jelas sekali nada dan kalimatnya sangat sarkastis.
"Hai, Mr. Reynolds!" sapa Celine masam.
"Apa yang diinginkannya?" tanya Mr. Reynolds kepada istrinya tanpa memperdulikan sapaan Celine.
"Kau tahu apa yang dikatakannya? Ia berkata bahwa ia butuh tempat tinggal sementara di sini!" sahut Mrs. Reynolds.
"Oh, begitu! Jadi rupanya kau sudah dicampakkan oleh Jason?" Mr. Reynolds tahu alasan mengapa Celine bisa sampai muncul di sini pasti adalah karena hal tersebut.
"Betul! Apakah Anda sudah puas mengejekku? Sekarang bisakah aku masuk ke dalam?" tanya Celine yang sudah muak dengan kedua pasangan tua ini. Celine juga merasa lelah karena barang-barang bawaannya.
Kedua pasangan itu saling memandang dan menggunakan komunikasi batin yang hanya dimengerti oleh mereka berdua, kemudian keduanya memberi jalan pada Celine untuk masuk. Celine mengangkut barang-barangnya dan kemudian masuk ke dalam rumah yang berukuran tidak begitu besar dan langsung menuju ke kamarnya yang terletak tepat di bawah atap. Lebih tepat dikatakan gudang sebenarnya. Karena yang disebut kamar bagi Celine itu sebenarnya hanya merupakan gudang penyimpanan barang-barang bekas tak terpakai milik keluarga Reynolds. Ia tidur bersama dengan barang-barang rongsokan. Mereka menyuruh Celine tidur disana selama lima tahun lamanya sampai ia lulus sekolah menengah dan kemudian pindah ke asrama perguruan tinggi.
Selama diadopsi oleh keluarga Reynolds, Celine menjalani kehidupan yang cukup sulit. Ia hanya diberi makan satu kali dalam sehari dan itupun hanya porsi kecil saja sehingga Celine sering harus menahan rasa lapar.
Setelah menaruh barang-barangnya, Celine kembali turun ke bawah dan pergi menuju ke sebuah kamar yang berada di lorong paling ujung. Celine mengetuk pintu kayu yang dicat warna kayu dengan perlahan dan kemudian membuka pintunya.
"Nana?" panggil Celine hati-hati.
Seorang wanita tua berperawakan kecil dengan wajah keriput dan tubuh bungkuk menoleh dari tempatnya duduk.
"Celine? Kaukah itu yang datang, Dear?" tanya nenek yang dipanggil Nana oleh Celine itu.
"Iya Nana. Ini aku. Celine! Aku sudah datang.
Celine langsung menyeberangi ruangan kamar yang ukurannya tidak besar, menuju ke tempat Nana duduk. Ia langsung memeluk Nana dengan penuh kasih sayang.
"Apakah Nana baik-baik saja? Mengapa Nana tiba-tiba menghubungi aku? Apakah Nana sakit?" tanya Celine khawatir.
Diantara semua penghuni rumah ini, hanya Nana lah yang menyayanginya dengan tulus. Nana adalah panggilan Celine untuk wanita tua yang merupakan ibu kandung dari Mr. Reynolds. Usianya sudah menginjak 85 tahun, tahun ini jika Celine tidak salah ingat.
Dulu sewaktu Celine masih tinggal di rumah ini dan sering mendapat perlakuan tidak adil dari orang tua asuhnya, hanya Nanalah yang selalu menolongnya. Nana bahkan sering secara sembunyi-sembunyi memberikan makanan untuk Celine.
Salah satu alasan lain bahwa Celine masih terus memberikan gajinya kepada pasangan Reynolds itu adalah agar mereka bisa merawat Nana dengan baik, selain untuk memenuhi permintaan mereka untuk mengembalikan uang yang sudah mereka keluarkan untuk membesarkan dirinya.
"Oh, Sayangku! Aku begitu senang kau kembali. Sudah lama aku tidak melihatmu. Apa kau akan memenuhi permintaan Nana untuk tinggal di sini lagi?" tanya Nana penuh harap. Ia merasa kesepian karena putranya tidak begitu memperhatikannya.
"Sepertinya untuk sementara aku akan tinggal di sini untuk menemanimu, Nana!" Celine menjawab pertanyaan Nana sambil tersenyum.
Hampir seharian penuh Celine berada di kamar Nana. Mereka saling bertukar cerita. Terkadang sedih dan terkadang tertawa bersama sehingga tanpa sadar waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore.
Celine pamit dari kamar Nana untuk mandi. Setelahnya ia turun kembali untuk menyiapkan makan malam. Celine sudah hafal apa yang harus dilakukannya jika ia berada di rumah ini. Ia harus mengerjakan segala urusan rumah tangga.
Celine membuka lemari es dan melihat-lihat bahan yang tersedia di dalam sana dan akhirnya memutuskan untuk membuat dadar gulung sayuran. Tanpa banyak bicara, wanita itu menyiapkan makan malam.
"Buat yang banyak. Aku mengundang Tanner dan Qiana untuk bergabung bersama kita," Mrs. Reynolds berkata dengan nada angkuh.
Celine hampir saja melengos ketika mendengar nama Tanner dan Qiana disebut. Mereka berdua adalah putra dan putri kandung keluarga Reynolds. Semasa ia tinggal disana sebagai anak yang diadopsi, Qiana tidak pernah membuat hidupnya mudah.
Usia mereka sebaya, dan mereka berada di satu sekolah yang sama dan Qiana memanfaatkan Celine untuk menjadikan ia sebagai pembantunya. Membawakan tas sekolahnya, mengerjakan tugas-tugas sekolah Qiana. Bahkan saudari tirinya itu menyuruhnya untuk mengerjakan tugas teman-teman satu gengnya.
Dan yang terburuk adalah, Qiana selalu mengatakan kepada semua orang di sekolah kalau pakaian dan barang-barang yang dipakai oleh Celine adalah barang-barang bekas miliknya yang sudah tidak terpakai. Sehingga ia mendapat julukan, 'si rombeng' di sekolah dulu.
Tanner, kakak Qiana yang dua tahun lebih tua dari Celine dan Qiana juga sama buruknya. Tanner selalu menyukai Celine dan terobsesi menginginkan Celine menjadi pacarnya. Tapi Celine yang terlanjur menganggapnya sebagai saudara tiri laki-lakinya, langsung menolak.
Suatu hari, Tanner mencoba untuk memperlakukan Celine secara tidak sopan. Tapi Celine memberontak dan akhirnya ia berhasil meloloskan diri setelah menggigit tangan Tanner. Tanner yang tidak terima langsung mengancamnya bahwa ia akan membuat hidup Celine sulit.
Dan benar saja, diam-diam sebuah rumor tersebar bahwa Celine sudah tidak perawan lagi karena ia nekat berkencan dengan banyak pria sekaligus yang usianya lebih tua darinya demi mendapatkan uang banyak.
Sebagian besar murid-murid di sekolahnya percaya pada ucapan Tanner, karena Tanner cukup populer di sekolah. Celine jadi tidak punya teman di sekolah karena mereka semua menjauhinya.
Masa-masa sekolah Celine yang seharusnya menyenangkan ternyata berubah menjadi suram. Gara-gara hal itu, Celine jadi memutuskan bahwa ia harus menjadi seorang yang berhasil memiliki banyak uang dan yang paling penting adalah ia harus benar-benar menjaga keperawanannya agar jika suatu saat ia bertemu dengan jodohnya, maka ia akan bisa meyakinkan calon suaminya, bahwa ia masih perawan. Tidak seperti yang dikatakan oleh Tanner selama ini, bahwa ia adalah wanita murahan yang menjajakan tubuhnya demi mendapatkan uang.
"Hei, Celine! Akhirnya kau kembali juga kemari!" terdengar sebuah suara pria yang paling ditakuti oleh Celine selama ini.
Wajah Celine menegang. Tubuhnya mendadak menjadi kaku dan otomatis menjadi defensif ketika mendengar suara Tanner. Ia tidak berbalik dan tetap berusaha fokus pada masakannya."Putraku! Akhirnya kau pulang juga. Betapa sepinya rumah ini terasa tanpa kehadiran kalian!" sambut Mrs. Reynolds sambil memeluk dan menciumi wajah putranya dengan hangat dan bahagia. Sebagai bagian dari keluarga Reynolds, Tanner terbilang tampan. Jika saja kelakuannya tidak menyebalkan maka mungkin saja Celine bisa menaruh hati pada Tanner."Wah, kau hanya memeluknya, Bu? Tidak memelukku juga?" tiba-tiba terdengar suara lain yang terdengar centil dan membuat telinga Celine terasa sakit.Qiana, anak bungsu dari keluarga Reynolds juga memiliki penampilan yang menawan. Karena ia memang memiliki pekerjaan sampingan sebagai seorang model semenjak ia di perguruan tinggi. Kakinya yang jenjang, pinggang ramping, dengan mata biru, dan rambut pirang membuatnya terlihat seperti boneka barbie."Qiana! Tentu tidak, Sayangku
"Kemari kau dasar wanita gila!" teriak Qiana marah besar. Ia berusaha menyambar-nyambar Celine yang duduk di seberang meja tapi Celine lebih cepat. Ia menghindar."Cukup, hentikan kalian berdua!" Mr. Reynolds membentak keduanya dengan marah. Keduanya langsung berhenti.'PLAAAKKK!!!'Tiba-tiba Mr. Reynolds menampar Celine dengan keras. Suara tamparannya sampai menggema ke seluruh ruangan."Kau berada di rumahku, jadi kau harus menjaga sikapmu dan jangan berani-berani kau berbuat kasar terhadap putriku!" Mr. Reynolds yang Celine kira sudah tua dan tidak begitu kuat lagi ternyata memiliki kekuatan melebihi pria seusianya.Celine merasakan pipinya yang terasa perih dan sakit. Seisi ruangan menjadi sunyi. Air mata mulai menggenang di sudut mata Celine karena mendapat perlakuan buruk seperti itu dari orang-orang yang disebutnya sebagai keluarga."Ian! Jangan membeda-bedakan Celine. Lagipula dalam hal ini yang mulai duluan adalah Qiana. Seharusnya Qiana meminta maaf pada Celine."Nana yang s
Ada apa? Aku sibuk. Bukankah kau bilang kau tidak tertarik?" tanya Qiana dengan sengaja."Aku tarik kembali kata-kataku. Aku akan mencoba untuk melamar di sana! Apa kau bisa membantuku, Qiana?" tanya Celine penuh harap."Oh, entahlah! Kau sudah menolak kesempatan yang kuberikan padamu tadi!" jawab Qiana acuh sambil memeriksa kuku-kukunya yang cantik."Ayolah, Qiana. Aku minta maaf, oke?" Celine benar-benar mengharapkan pekerjaan itu sehingga ia bahkan sampai bersedia untuk mengalah pada Qiana."Ehm! Tergantung!" balas Qiana singkat."Tergantung apa?" tanya Celine penasaran."Tergantung apakah kau akan menurut padaku atau tidak selama bekerja di sana," balas Qiana lagi."Baiklah! Aku akan menuruti semua perkataanmu selama bekerja di sana asalkan kau bisa merekomendasikan aku untuk diterima bekerja di sana!" Celine langsung setuju tanpa berpikir panjang.Selama ini toh ia berhasil bertahan menghadapi Qiana. Apa yang bisa lebih buruk daripada itu sih? Pikir Celine."Baiklah. Kalau begitu
Celine berusaha berteriak tapi suaranya teredam dalam bekapan telapak tangan pria itu. Dalam keadaan panik, Celine mulai mencoba untuk mengingat cara membela diri dari orang berniat jahat dari kursus yang pernah diikutinya ketika masih bersekolah dulu."Jangan berteriak!" Steven memperingatkan Celine.Tapi Celine justru malah makin panik. Ia mengangkat lututnya ke atas dan mengarahkannya ke bagian selangkangan Steven kemudian dengan menggunakan lututnya, ia sekuat tenaga menendang bagian pribadi Steven.Pria itu langsung melepaskan bekapannya terhadap Celine dan membungkuk kesakitan."Rasakan itu dasar pria aneh mesum!" seru Celine memberanikan diri. Terjebak di dalam lift hanya berdua dengan pria mesum seperti ini adalah hal yang tak pernah terbayangkan oleh Celine seumur hidupnya."Ah, sial! Tak bisakah kau berlaku normal seperti layaknya wanita lain?" Omel Steven masih sambil menahan rasa sakit dan ngilu yang dialaminya.Celine melihat penampilan pria itu kini tampak berbeda. Ia m
"Qi … Qiana?" Celine kebingungan. Mengapa tiba-tiba ia berubah seperti ini?"Jangan menyentuhku! Ingat, jangan sampai ada yang tahu kalau kau diadopsi oleh keluargaku! Aku bisa malu kalau mereka tahu kau adalah saudara tiriku!" Qiana memberikan peringatan.Tiba-tiba Celine mengerti mengapa sikap Qiana tiba-tiba berubah di kantor. Hubungan mereka sebagai saudara tiri memang tidak akan pernah bisa akur. Tapi setidaknya Qiana telah berbaik hati mau membantunya. Jadi tidak masalah jika Qiana tidak mau mengakuinya sebagai saudara tiri. Malahan itu akan lebih baik bagi Celine. Semua orang akan mengira bahwa Celine bisa masuk ke Diamond Corporation dengan kemampuannya sendiri."Oke, baiklah aku mengerti. Maafkan aku!" Alie segera meminta maaf dan menjaga jarak dengan Qiana."Ikuti aku!" perintah Qiana pada Celine.Celine segera menurut dan mengikuti Qiana yang mengantarkannya sampai ke sebuah pintu tertutup bertuliskan Mr. Martin."Ruangannya ada di sini!" ucap Qiana kemudian ia langsung men
"Apaaa???" Celine tersentak kaget."Jadi kau tidak tahu? Memangnya kau tidak membaca dulu kontraknya?" tanya Qiana pura-pura terkejut, padahal ia sudah mengetahuinya dari Mr. Martin.Celine sadar bahwa Qiana memang benar. Ia tidak membaca kontraknya sama sekali. Jadi ia tidak tahu bahwa ia akan bekerja sebagai asisten pribadi Qiana. Ia kira ia akan menjadi asisten pribadi Mr. Martin."Eh, tidak! Gara-gara terlambat, posisi itu sudah diambil oleh orang lain." jawab Celine menunduk malu."Kau memang bodoh, Celine! Sudah, cepat buatkan kopi untukku. Aku tidak bisa bekerja tanpa minum kopi!" Qiana sudah kembali ke sifatnya semula.Oke! Sudah terlanjur untuk menyesali kebodohannya. Bekerja untuk Qiana mungkin tidak seburuk yang disangkanya. Karena Qiana sudah berbaik hati untuk memberitahunya mengenai lowongan pekerjaan di Diamond Corporation.Celine segera berdiri dan mencari pantry. Ia sudah tahu takaran racikan kopi yang disukai oleh Qiana karena dulu ia memang menyiapkannya untuk wanit
"Steven apa yang kau lakukan?" tanya Celine berusaha mengejar langkah kaki Steven yang panjang. Ia merasa heran karena sesaat wajah Steven terlihat agak seram dan galak. Selama ini ia melihat wajah Steven selalu penuh senyum dan ramah."Berikan nampannya padaku. Aku harus mengantarkannya sendiri!" Celine mencoba merebut nampan berisi cangkir kopi tersebut. Namun Steven mengangkatnya lebih tinggi sehingga Celine tidak bisa meraihnya."Nampan ini berat. Tidak mungkin menyuruhmu yang membawanya," balas Steven singkat sambil terus berjalan sementara Celine tetap mengejar dibelakangnya."Steven, tunggu!" Celine berusaha menghentikan Steven, namun Steven terus melangkah sampai di depan ruangan Qiana."Ini ruangannya?" tanya Steven sambil menatap Celine. Sorot matanya yang unik saat itu terlihat seperti pedang baja yang tajam. Terus terang Celine jadi sedikit takut pada Steven. Jadi ia hanya mengangguk saja.Steven tidak mengetuk pintu lagi. Ia langsung masuk. Di dalam ia mendengar suara t
"Apakah Anda ingin saya memecat mereka semua, Mr. Gagnon?" tanya Noah dengan sopan.Steven tampak berpikir sebentar, kemudian ia menjawab,"Tidak. Aku ingin melihat terlebih dahulu sejauh apa mereka bertindak. Jangan lupakan misi kita di sini, Noah!" ucap Steven memperingati Noah."Baik, Mr. Gagnon!" jawab Noah menurut."Sekarang sebaiknya kau selidiki siapa yang membuka lowongan kerja sebagai asisten pribadi Qiana!" Steven memberi perintah."Cari tahu apa hubungan Celine dengan Royce!""Apakah ada aliran dana mencurigakan atau tidak.""Baik, Mr. Gagnon!" Noah mengangguk."Dan, Noah … jangan sampai ada yang tahu kalau kau bukan bosku!""Baiklah, Mr. Gagnon. Anda bisa mengandalkan saya," ucap Noah dengan hormat.****Selama beberapa minggu berikutnya, Celine benar-benar dibuat senewen oleh Qiana di kantor. Sebagai asisten pribadi, waktu dan tenaga Celine benar-benar diperas oleh Qiana.Ia nyaris tidak memiliki waktu makan siang maupun istirahat, karena Qiana menyuruhnya untuk melakukan
Di ruangan yang terbilang cukup besar itu, Sinta duduk seorang diri. Ia masih teringat dengan jelas kejadian dulu, saat di mana Devan mengungkapkan perasaan padanya.Entahlah, bagaimanapun ia mencoba, ia tetap tidak bisa menjadi seperti apa yang diinginkan oleh Devan, meskipun hanya sedikit saja, rasa itu benar-benar tidak ada.Sinta menatap ke sekeliling ruangan yang hampir sudah 7 bulan ia tempati. tempat di mana ia berteduh dari panasnya matahari dan dinginnya hawa hujan yang turun, dan Devan adalah laki-laki yang telah membawa dirinya ke tempat ini.Ia menyandarkan dirinya pada sandaran sofa yang ada di dalam kamarnya sambil mengelus lembut perutnya itu. Tiba-tiba ia kembali teringat dengan percakapannya dengan Nadia tadi. Bisa ia lihat, Bagaimana frustasinya Nadia saat Ia menceritakan semuanya tadi.Ingatannya melayang di mana malam tragedi itu terjadi, obat perangsang yang menjalari tubuhnya itu, benar-benar sulit untuk ia kendalikan. Andai saja malam itu tidak pernah ada, mungk
Kini mereka sudah berada di apartemen. Tak ada satu peralatan bayi pun yang mereka bawa.Bi Diah datang tergopoh-gopoh dari arah dapur untuk menyambut kedatangan majikannya.Alisnya naik ke atas ketika tidak melihat satu barang pun yang dibawa oleh Devan maupun Sinta."Di mana belanjaannya Mas dan Mbak? "Tanya bi dia.Mendengar itu Devan dan juga Sinta langsung saling adu tetap satu sama lainnya. Bertemu dengan Nadia dan mengobrol dengan wanita itu membuat ia lupa dengan tujuan awal pergi ke mall."Tadi kita hanya lihat-lihat saja kok, pas ada yang suka tapi warnanya terlalu norak, pas warnanya bagus eh motifnya yang tidak sesuai keinginan Sinta, jadi untuk hari ini kami memutuskan tidak membeli apapun. Mungkin aku akan mencari lagi waktu yang pas agar kami berdua bisa berbelanja peralatan bayi." Jawab Devan.Sebenarnya Devan tidak perlu berbohong pun, Bi Diah tidak akan memaksa majikannya untuk menjawab, toh Ia hanya sekedar berbasa-basi saja tadi.Bi Diah menganggukkan kepalanya dan
Rasa haru benar-benar tak bisa untuk di tepis. Tak pernah mereka sangka bahwa mereka akan di pertemukan lagi seperti ini."Aku rindu sekali dengan Nona muda.""Sama Nad, sama banget. Aku juga merindukan kamu. Selama ini aku coba mencari kamu, tahu."Setelah merasa cukup puas saling melepaskan rindu satu sama lainnya, kembali mereka saling tatap."Apa yang terjadi Nad?" tanya Sinta setelah cukup lama memperhatikan sosok Nadia itu.Alih-alih menjawab, Nadia malah balik bertanya, "Bagaimana dengan anda Nona? Kapan akan melahirkan? Bolehkah saya memegang perut Anda?"Sinta menganggukkan kepala, ia mengambil tangan Nadia dan membawa tangan itu untuk mengusap lembut perutnya yang buncit.Dari sana, Nadia bisa untuk merasakan tendangan bayi di dalam perut. Sepertinya anak Sinta sangat aktif Sekali."Aktif sekali ya, nona?""Iya, tapi aku cukup senang merasakan pergerakannya selama ini." jawab Sinta, meskipun belum tahu siapa ayah dari anak yang ia kandung, tapi ia benar-benar menyukai anak i
“Pagi ...”Devan sedikit terkejut saat Sinta tiba-tiba menyapanya pagi ini, di saat dia berpikir, jika gadis ini akan kembali menghindarinya karena pembicaraan mereka tadi malam.“O-oh, pagi,” balas Devan kemudian, terlihat kikuk dan salah tingkah.Devan pun memperhatikan Sinta dengan seksama, memastikan tidak ada yang aneh dari gadis itu.“Kenapa kamu lihatin aku kayak gitu? Aku tambah gendutan?” seloroh Sinta, memprotes dan bersikap seperti biasanya.“H-huh? O-oh, nggak kok ... namanya juga Ibu hamil ‘kan?” Devan lantas menyahut dan tersenyum dengan canggung.Dia benar-benar tidak mengerti, kenapa Sinta tetap bersikap biasa kepadanya? Apa gadis itu tidak marah kepadanya?Setelah semua hal yang terjadi tadi malam?“Omong-omong ...” Sinta lantas kembali bersuara sambil memoleskan selai kacang pada roti gandumnya. “Mulai hari dan seterusnya, aku nggak akan keluar dari apartement lagi. Aku juga ... nggak akan berhubungan dengan bosmu lagi,” terang Sinta yang jelas saja tak membuat Devan
Setelah Sinta puas menangis di tepi pantai, Ethan dan Sinta pun memutuskan untuk segera makan malam di salah satu restoran seafood yang ada di dekat pantai.Sinta pun bersikap seperti biasanya lagi, tidak terlihat seperti orang yang baru menangis histeris beberapa waktu lalu.Selera makan Sinta yang begitu besar pun, cukup membuat Ethan terkejut bercampur terpesona. Dia merasa, Sinta yang sedang makan banyak itu terlihat menggemaskan!“Aduh, suami idaman yah! Isterinya asyik makan, suaminya sibuk ngupasin kulit lobster dan kepiting!” goda sang pemilik restoran yang mengantarkan pesanan lainnya ke meja Ethan dan Sinta.Mendengar kata ‘isteri’ pun dari mulut sang pemilik restoran pun Ethan terkejut dan sudah bersiap membuka mulutnya untuk menyangkal hal tersebut.Bukan karena dia tidak ingin dianggap sebagai suami Sinta, tapi Ethan justru merasa tak enak pada Sinta, takut gadis itu tersinggung dan jadi tak nyaman duduk bersamanya.Namun, di luar dugaan Ethan, tiba-tiba saja Sinta bersua
Setelah pertemuan tidak terduga di antara Sinta, Ethan dan Devan. Akhirnya ketiganya pun memilih untuk tidak bertanya satu sama lain dengan alasan karena hari yang sudah semakin larut malamSelagi Sinta dan Devan menaiki lift untuk kembali ke apartement mereka, Ethan yang memperhatikan mereka dalam diam pun, sesungguhnya merasa ada sesuatu yang terasa panas membakar di dadanya.Dia jelas tidak menyukai pemandangan Sinta bersama pria lain, meskipun pria itu adalah Devan, sekretaris kepercayaannya sendiri.Tapi, siapa pula dirinya ini? Sampai merasa berhak, siapa yang pantas untuk berdiri tepat di samping Sinta?Bukankah dirinya juga hanya sebatas teman untuk Sinta?Kenyataan itu seakan menghantam kesadaran Ethan—menyuruhnya agar tak berharap banyak dari Sinta yang sudah memilki tunangan.“Wait, tunangan?!” Ethan terkesiap dengan pemikirannya sendiri.Ya, bagaimana dia bisa lupa kalau Sinta sudah bertunangan?!Bukankah pertama kali Ethan melihat Sinta muncul di kantornya pun, kalau tidak
Setelah kejadian tempo hari di bioskop, Sinta jadi lebih banyak mengurung dirinya dalam kamar. Dia menghindari Devan yang jelas-jelas tinggal seatap dengannya, dan dia pun menghindari Ethan juga dengan tidak membuka satu pun chat yang dikirimkan pria itu.Namun, baik Ethan maupun Devan memilih untuk tidak ‘menekan’ Sinta. Kedua pria itu membiarkan Sinta tenang dengan sendirinya dulu, memberikan waktu padanya agar gadis itu bisa berpikir jernih.Devan bahkan sengaja sesekali tidak pulang ke apartement, dan sekalinya pulang pun, dia pasti akan kembali saat hari sudah sangat larut malam.Semua itu dilakukan agar Sinta bebas melakukan apapun di apartementnya tanpa adanya sosok Devan yang harus dihindarinya.Sinta sadar jika tak seharusnya dia terus begini. Terlebih lagi ini adalah apartement milik Devan, tidak seharusnya pria itu yang malah jadi tinggal di luar.Namun, Sinta juga tidak dapat menahan dirinya untuk tidak menghindari Devan. Setiap kali dia melihatnya, dia pasti akan langsung
Semenjak hari itu, saat Sinta 'mendeklarasikan' bahwa dirinya ingin mencoba berteman dengan Ethan, kedua orang itu pun menjadi lebih sering bertukar chat singkat hanya untuk sekedar hal-hal kecil seperti apa makanan favorit mereka, genre film kesukaan, tipe buku yang digemari untuk dibaca dan hal-hal lainnya.Sinta yang awalnya sempat memiliki kesan kurang menyenangkan pada sosok pria bernama Ethan Wistara itu pun, kini justru merasa jika mereka memiliki banyak kesamaan. Entah itu soal cita rasa makanan, pilihan destinasi untuk berlibur atau hal-hal kecil lainnya seperti tim jus atau tim langsung memakan buahnya.Memang terdengar konyol, tapi itulah obrolan yang selalu dibahas oleh dua manusia yang 'katanya' ingin memulai hubungan mereka dengan pertemanan, tidak lebih.***"Hm? Kamu pergi lagi ke toko bunga hari ini?" Devan yang baru saja pulang dari kantor, seketika memusatkan perhatiannya pada sebuah bunga anggrek yang kini terpajang di dekat jendela veranda apartementnya.Sinta yan
Keesokan harinya, Sinta sudah siap berangkat, bahkan sebelum pukul 6.30 dan sudah menyiapkan sarapan untuk dirinya dan Devan. Ketika Devan keluar dia sudah siap dan sedang memotong sandwich."Wah kamu cepat juga," tegur Devan."Memang sejak kapan aku jadi selambat itu?" Sinta memicingkan matanya."Iya deh iya."Akhirnya mereka berdua sarapan dengan sepotong sandwich dan segelas susu.Siang harinya Sinta bertemu dengan wanita yang ditolongnya beberapa waktu lalu di kafe yang ada di dekat kantor tempat Devan atau lebih tepatnya kantor Ethan.Wanita itu pun mengucapkan banyak terima kasih pada Sinta dan bertanya, "Mbak apa yang bisa aku lakukan agar bisa menebus jasa kebaikanmu kepadaku beberapa hari lalu?""Tidak perlu, sungguh!" jawab Sinta dengan sangat serius."Tidak, Mbak. Aku bersikeras ingin membalas jasamu. Kalau kamu nggak ada, aku nggak tau jadi apa aku waktu itu." Wanita itu terus saja berterima kasih. Baginya Sinta seperti dewi penolong yang kebetulan Tuhan kirimkan untuknya.