"Steven apa yang kau lakukan?" tanya Celine berusaha mengejar langkah kaki Steven yang panjang. Ia merasa heran karena sesaat wajah Steven terlihat agak seram dan galak. Selama ini ia melihat wajah Steven selalu penuh senyum dan ramah."Berikan nampannya padaku. Aku harus mengantarkannya sendiri!" Celine mencoba merebut nampan berisi cangkir kopi tersebut. Namun Steven mengangkatnya lebih tinggi sehingga Celine tidak bisa meraihnya."Nampan ini berat. Tidak mungkin menyuruhmu yang membawanya," balas Steven singkat sambil terus berjalan sementara Celine tetap mengejar dibelakangnya."Steven, tunggu!" Celine berusaha menghentikan Steven, namun Steven terus melangkah sampai di depan ruangan Qiana."Ini ruangannya?" tanya Steven sambil menatap Celine. Sorot matanya yang unik saat itu terlihat seperti pedang baja yang tajam. Terus terang Celine jadi sedikit takut pada Steven. Jadi ia hanya mengangguk saja.Steven tidak mengetuk pintu lagi. Ia langsung masuk. Di dalam ia mendengar suara t
"Apakah Anda ingin saya memecat mereka semua, Mr. Gagnon?" tanya Noah dengan sopan.Steven tampak berpikir sebentar, kemudian ia menjawab,"Tidak. Aku ingin melihat terlebih dahulu sejauh apa mereka bertindak. Jangan lupakan misi kita di sini, Noah!" ucap Steven memperingati Noah."Baik, Mr. Gagnon!" jawab Noah menurut."Sekarang sebaiknya kau selidiki siapa yang membuka lowongan kerja sebagai asisten pribadi Qiana!" Steven memberi perintah."Cari tahu apa hubungan Celine dengan Royce!""Apakah ada aliran dana mencurigakan atau tidak.""Baik, Mr. Gagnon!" Noah mengangguk."Dan, Noah … jangan sampai ada yang tahu kalau kau bukan bosku!""Baiklah, Mr. Gagnon. Anda bisa mengandalkan saya," ucap Noah dengan hormat.****Selama beberapa minggu berikutnya, Celine benar-benar dibuat senewen oleh Qiana di kantor. Sebagai asisten pribadi, waktu dan tenaga Celine benar-benar diperas oleh Qiana.Ia nyaris tidak memiliki waktu makan siang maupun istirahat, karena Qiana menyuruhnya untuk melakukan
"Kompensasi? Kompensasi seperti apa maksudnya, Mr. Martin?" tanya Celine bingung."Ah, dari ekspresi wajahmu. Aku menebak bahwa kau pasti masih tidak sadar. Maka dari itu Celine. Aku sudah menyuruhmu untuk membaca surat perjanjian kerja kita terlebih dahulu bukan? Tapi kau menolaknya dan mengatakan bahwa kau sanggup. Tapi sekarang baru beberapa hari bekerja kau sudah mengatakan tidak sanggup."Celine sudah harus membayar biaya kerusakan gaun tadi meski itu bukan kesalahannya. Lalu sekarang jika ia ingin berhenti atau pindah maka ia juga harus membayar biaya kompensasi. Uang darimana? Gajinya pun tidak akan cukup untuk membayar semua itu."Apakah Anda tidak bisa jika hanya memindahkan saya saja ke departemen yang lain, Mr. Martin?" tanya Celine penuh harap."Maaf, Celine. Tapi tidak bisa. Saat ini tidak ada lowongan lain yang tersedia. Pilihannya adalah kau harus bertahan atau kau harus membayar kompensasi kepada perusahaan!" jawab Mr. Martin terlihat menyesal.Celine akhirnya pamit da
["Maaf, Mr. Gagnon?"]Tapi sambungan telepon sudah terputus. Noah dipaksa untuk memahami situasi dengan otaknya sendiri.Noah yang sejak tadi mendengarkan percakapan antara Steven dan Celine melalui telepon segera menyadari maksud dari permintaan Steven.Ia mendengar bahwa Celine sepertinya mencurigai Steven dan pria itu tidak ingin Celine membongkar misinya.Secepat kilat Noah berbalik kembali menuju ke apartemennya hingga pinggangnya hampir terkilir. Tadinya ia ingin pergi ke suatu tempat. Tapi sekarang rencana itu harus dibatalkannya."Lama-lama aku bisa mati muda jika terus berada didekatnya!" omel Noah sambil membersihkan apartemennya secepat kilat.Noah terengah-engah kelelahan tapi sudah tidak ada waktu lagi. Steven akan segera tiba. Ia menyambar ponselnya dan mengirim pesan teks kepada Steven.["Passwordnya adalah : 136258."]Setelah selesai, ia langsung keluar dari apartemennya sambil membawa sebuah teropong miliknya. Ia pergi ke sebuah cafe yang terletak di seberang jalan da
Tubuh Celine langsung membeku kaku ketika Steven menyapukan bibirnya ke bibir Celine dengan lembut. Steven berhenti sebentar menunggu reaksi Celine. Setelah memastikan dirinya tidak akan mendapatkan tamparan dari wanita itu, Steven memberanikan dirinya untuk menyentuhkan bibirnya sekali lagi ke bibir Celine. Kali ini lebih lama dan lebih berani.Tanpa disangka-sangka, ternyata Celine pada akhirnya juga memberikan reaksi atas kecupan Steven. Awalnya Celine merasa tegang karena pria yang baru dikenalnya beberapa minggu ini berani mengecupnya.Tapi Celine kemudian ingat akan sesuatu. Sewaktu ia mabuk, mereka sudah pernah melakukannya. Jadi pasti hal itu tidak canggung bagi Steven. Kini Celine dalam keadaan sadar penuh, tapi ciuman Steven terasa memabukkan baginya. Hangat dan menyenangkan. Tidak menuntut. Hanya sekedar penasaran.Steven semakin berani melangkah. Kecupannya mulai turun ke leher Celine membuat gadis itu langsung memejamkan mata dan menggigit bibirnya. Ia memeluk Celine de
"Astaga, sudah jam berapa ini?" Celine terbangun dengan panik ketika tidurnya diganggu oleh mimpi Qiana yang berubah menjadi seekor beruang besar dan hendak menerkamnya karena tidak mengerjakan laporan yang disuruh olehnya."Good morning, Honey!" "Hah?" Celine tertegun ketika mendengar ada yang memanggilnya dengan sebutan, 'honey'.Dan ia lebih terkejut lagi ketika melihat sekeliling ruangan yang tidak dikenalnya. Sesaat kemudian ia baru ingat apa yang terjadi semalam. Ia berada di apartemen Steven dan rupanya ia ketiduran di sana."Steven!!!""Terlambat! Aku … laporan …."Celine kesulitan menyusun kalimat karena saking paniknya."Tenanglah. Sekarang baru pukul 7:40 pagi. Kita masih memiliki banyak waktu. Lihat, aku sudah menyiapkan sarapan untuk kita," ucap Steven sambil memperlihatkan meja makan yang sudah disiapkan untuk sarapan pagi.###Beberapa saat sebelumnya :["Halo."]Noah mengangkat telepon dengan suara masih mengantuk.["Noah! Bawakan aku dua croissant dan dua gelas kopi
Celine tak sempat mendengarkan percakapan mereka berikutnya. Sebab ia melihat Mrs. Reynolds berdiri dan hendak berjalan keluar dari dapur, menuju ke arahnya.Terburu-buru Celine langsung pergi dari rumah keluarga Reynolds. Untung saja ia tidak sampai ketahuan. Celine segera berjalan dengan cepat kemudian memanggil taksi ketika ia sudah berada agak jauh dari rumah keluarga Reynolds.Sepanjang perjalanan ke kantor, Celine terduduk diam berusaha mencerna pertengkaran yang terjadi antara Mr. Reynolds dengan Qiana.Saat pertengkaran itu berlangsung, Celine memang tidak mendengar mereka menyebutkan suatu nama secara spesifik. Tapi ia curiga bahwa orang yang dimaksud adalah dirinya. Entah apa yang dimaksudkan dalam pembicaraan mereka, Celine tidak mengerti. Tapi ia berharap bahwa bukan dirinyalah yang sedang dibicarakan oleh mereka saat itu. Karena sepertinya Mr. Reynolds takut sekali jika orang dimaksud bertemu dengan keluarga Gagnon. Siapa pun keluarga Gagnon, Celine juga tidak pernah men
Celine kira Qiana sedang memarahinya, tapi ternyata wanita itu sedang berbicara di telepon dengan seseorang nada marah. Tadinya Celine hendak menutup pintu karena tidak ingin dianggap menguping. Tapi tangannya langsung berhenti begitu ia mendengar apa kata Qiana berikutnya."Aku sudah bilang bahwa dia harus berada di bawahku supaya aku bisa mengawasinya. Sekarang kau melepaskan dia begitu saja?""Bukankah ini semua juga gara-gara tingkahmu juga yang keterlaluan? Jika kau tidak bertindak bodoh maka mungkin saja ia masih berada di bawah kendalimu!" Celine dapat mendengar suara Mr. Martin dengan jelas karena ternyata Qiana menggunakan mode speaker untuk menerima panggilan. Ia jadi semakin terpaku ketika mendengar percakapan itu karena sepertinya percakapan itu topiknya mirip dengan yang dibicarakan oleh Qiana dengan Mr. Reynolds."Posisiku juga berbahaya sekarang. Mereka mencurigai aku!" Mr. Martin terdengar ketakutan."Itu semua salahmu sendiri, Royce, dasar pria tak berguna! Menyesal
Di ruangan yang terbilang cukup besar itu, Sinta duduk seorang diri. Ia masih teringat dengan jelas kejadian dulu, saat di mana Devan mengungkapkan perasaan padanya.Entahlah, bagaimanapun ia mencoba, ia tetap tidak bisa menjadi seperti apa yang diinginkan oleh Devan, meskipun hanya sedikit saja, rasa itu benar-benar tidak ada.Sinta menatap ke sekeliling ruangan yang hampir sudah 7 bulan ia tempati. tempat di mana ia berteduh dari panasnya matahari dan dinginnya hawa hujan yang turun, dan Devan adalah laki-laki yang telah membawa dirinya ke tempat ini.Ia menyandarkan dirinya pada sandaran sofa yang ada di dalam kamarnya sambil mengelus lembut perutnya itu. Tiba-tiba ia kembali teringat dengan percakapannya dengan Nadia tadi. Bisa ia lihat, Bagaimana frustasinya Nadia saat Ia menceritakan semuanya tadi.Ingatannya melayang di mana malam tragedi itu terjadi, obat perangsang yang menjalari tubuhnya itu, benar-benar sulit untuk ia kendalikan. Andai saja malam itu tidak pernah ada, mungk
Kini mereka sudah berada di apartemen. Tak ada satu peralatan bayi pun yang mereka bawa.Bi Diah datang tergopoh-gopoh dari arah dapur untuk menyambut kedatangan majikannya.Alisnya naik ke atas ketika tidak melihat satu barang pun yang dibawa oleh Devan maupun Sinta."Di mana belanjaannya Mas dan Mbak? "Tanya bi dia.Mendengar itu Devan dan juga Sinta langsung saling adu tetap satu sama lainnya. Bertemu dengan Nadia dan mengobrol dengan wanita itu membuat ia lupa dengan tujuan awal pergi ke mall."Tadi kita hanya lihat-lihat saja kok, pas ada yang suka tapi warnanya terlalu norak, pas warnanya bagus eh motifnya yang tidak sesuai keinginan Sinta, jadi untuk hari ini kami memutuskan tidak membeli apapun. Mungkin aku akan mencari lagi waktu yang pas agar kami berdua bisa berbelanja peralatan bayi." Jawab Devan.Sebenarnya Devan tidak perlu berbohong pun, Bi Diah tidak akan memaksa majikannya untuk menjawab, toh Ia hanya sekedar berbasa-basi saja tadi.Bi Diah menganggukkan kepalanya dan
Rasa haru benar-benar tak bisa untuk di tepis. Tak pernah mereka sangka bahwa mereka akan di pertemukan lagi seperti ini."Aku rindu sekali dengan Nona muda.""Sama Nad, sama banget. Aku juga merindukan kamu. Selama ini aku coba mencari kamu, tahu."Setelah merasa cukup puas saling melepaskan rindu satu sama lainnya, kembali mereka saling tatap."Apa yang terjadi Nad?" tanya Sinta setelah cukup lama memperhatikan sosok Nadia itu.Alih-alih menjawab, Nadia malah balik bertanya, "Bagaimana dengan anda Nona? Kapan akan melahirkan? Bolehkah saya memegang perut Anda?"Sinta menganggukkan kepala, ia mengambil tangan Nadia dan membawa tangan itu untuk mengusap lembut perutnya yang buncit.Dari sana, Nadia bisa untuk merasakan tendangan bayi di dalam perut. Sepertinya anak Sinta sangat aktif Sekali."Aktif sekali ya, nona?""Iya, tapi aku cukup senang merasakan pergerakannya selama ini." jawab Sinta, meskipun belum tahu siapa ayah dari anak yang ia kandung, tapi ia benar-benar menyukai anak i
“Pagi ...”Devan sedikit terkejut saat Sinta tiba-tiba menyapanya pagi ini, di saat dia berpikir, jika gadis ini akan kembali menghindarinya karena pembicaraan mereka tadi malam.“O-oh, pagi,” balas Devan kemudian, terlihat kikuk dan salah tingkah.Devan pun memperhatikan Sinta dengan seksama, memastikan tidak ada yang aneh dari gadis itu.“Kenapa kamu lihatin aku kayak gitu? Aku tambah gendutan?” seloroh Sinta, memprotes dan bersikap seperti biasanya.“H-huh? O-oh, nggak kok ... namanya juga Ibu hamil ‘kan?” Devan lantas menyahut dan tersenyum dengan canggung.Dia benar-benar tidak mengerti, kenapa Sinta tetap bersikap biasa kepadanya? Apa gadis itu tidak marah kepadanya?Setelah semua hal yang terjadi tadi malam?“Omong-omong ...” Sinta lantas kembali bersuara sambil memoleskan selai kacang pada roti gandumnya. “Mulai hari dan seterusnya, aku nggak akan keluar dari apartement lagi. Aku juga ... nggak akan berhubungan dengan bosmu lagi,” terang Sinta yang jelas saja tak membuat Devan
Setelah Sinta puas menangis di tepi pantai, Ethan dan Sinta pun memutuskan untuk segera makan malam di salah satu restoran seafood yang ada di dekat pantai.Sinta pun bersikap seperti biasanya lagi, tidak terlihat seperti orang yang baru menangis histeris beberapa waktu lalu.Selera makan Sinta yang begitu besar pun, cukup membuat Ethan terkejut bercampur terpesona. Dia merasa, Sinta yang sedang makan banyak itu terlihat menggemaskan!“Aduh, suami idaman yah! Isterinya asyik makan, suaminya sibuk ngupasin kulit lobster dan kepiting!” goda sang pemilik restoran yang mengantarkan pesanan lainnya ke meja Ethan dan Sinta.Mendengar kata ‘isteri’ pun dari mulut sang pemilik restoran pun Ethan terkejut dan sudah bersiap membuka mulutnya untuk menyangkal hal tersebut.Bukan karena dia tidak ingin dianggap sebagai suami Sinta, tapi Ethan justru merasa tak enak pada Sinta, takut gadis itu tersinggung dan jadi tak nyaman duduk bersamanya.Namun, di luar dugaan Ethan, tiba-tiba saja Sinta bersua
Setelah pertemuan tidak terduga di antara Sinta, Ethan dan Devan. Akhirnya ketiganya pun memilih untuk tidak bertanya satu sama lain dengan alasan karena hari yang sudah semakin larut malamSelagi Sinta dan Devan menaiki lift untuk kembali ke apartement mereka, Ethan yang memperhatikan mereka dalam diam pun, sesungguhnya merasa ada sesuatu yang terasa panas membakar di dadanya.Dia jelas tidak menyukai pemandangan Sinta bersama pria lain, meskipun pria itu adalah Devan, sekretaris kepercayaannya sendiri.Tapi, siapa pula dirinya ini? Sampai merasa berhak, siapa yang pantas untuk berdiri tepat di samping Sinta?Bukankah dirinya juga hanya sebatas teman untuk Sinta?Kenyataan itu seakan menghantam kesadaran Ethan—menyuruhnya agar tak berharap banyak dari Sinta yang sudah memilki tunangan.“Wait, tunangan?!” Ethan terkesiap dengan pemikirannya sendiri.Ya, bagaimana dia bisa lupa kalau Sinta sudah bertunangan?!Bukankah pertama kali Ethan melihat Sinta muncul di kantornya pun, kalau tidak
Setelah kejadian tempo hari di bioskop, Sinta jadi lebih banyak mengurung dirinya dalam kamar. Dia menghindari Devan yang jelas-jelas tinggal seatap dengannya, dan dia pun menghindari Ethan juga dengan tidak membuka satu pun chat yang dikirimkan pria itu.Namun, baik Ethan maupun Devan memilih untuk tidak ‘menekan’ Sinta. Kedua pria itu membiarkan Sinta tenang dengan sendirinya dulu, memberikan waktu padanya agar gadis itu bisa berpikir jernih.Devan bahkan sengaja sesekali tidak pulang ke apartement, dan sekalinya pulang pun, dia pasti akan kembali saat hari sudah sangat larut malam.Semua itu dilakukan agar Sinta bebas melakukan apapun di apartementnya tanpa adanya sosok Devan yang harus dihindarinya.Sinta sadar jika tak seharusnya dia terus begini. Terlebih lagi ini adalah apartement milik Devan, tidak seharusnya pria itu yang malah jadi tinggal di luar.Namun, Sinta juga tidak dapat menahan dirinya untuk tidak menghindari Devan. Setiap kali dia melihatnya, dia pasti akan langsung
Semenjak hari itu, saat Sinta 'mendeklarasikan' bahwa dirinya ingin mencoba berteman dengan Ethan, kedua orang itu pun menjadi lebih sering bertukar chat singkat hanya untuk sekedar hal-hal kecil seperti apa makanan favorit mereka, genre film kesukaan, tipe buku yang digemari untuk dibaca dan hal-hal lainnya.Sinta yang awalnya sempat memiliki kesan kurang menyenangkan pada sosok pria bernama Ethan Wistara itu pun, kini justru merasa jika mereka memiliki banyak kesamaan. Entah itu soal cita rasa makanan, pilihan destinasi untuk berlibur atau hal-hal kecil lainnya seperti tim jus atau tim langsung memakan buahnya.Memang terdengar konyol, tapi itulah obrolan yang selalu dibahas oleh dua manusia yang 'katanya' ingin memulai hubungan mereka dengan pertemanan, tidak lebih.***"Hm? Kamu pergi lagi ke toko bunga hari ini?" Devan yang baru saja pulang dari kantor, seketika memusatkan perhatiannya pada sebuah bunga anggrek yang kini terpajang di dekat jendela veranda apartementnya.Sinta yan
Keesokan harinya, Sinta sudah siap berangkat, bahkan sebelum pukul 6.30 dan sudah menyiapkan sarapan untuk dirinya dan Devan. Ketika Devan keluar dia sudah siap dan sedang memotong sandwich."Wah kamu cepat juga," tegur Devan."Memang sejak kapan aku jadi selambat itu?" Sinta memicingkan matanya."Iya deh iya."Akhirnya mereka berdua sarapan dengan sepotong sandwich dan segelas susu.Siang harinya Sinta bertemu dengan wanita yang ditolongnya beberapa waktu lalu di kafe yang ada di dekat kantor tempat Devan atau lebih tepatnya kantor Ethan.Wanita itu pun mengucapkan banyak terima kasih pada Sinta dan bertanya, "Mbak apa yang bisa aku lakukan agar bisa menebus jasa kebaikanmu kepadaku beberapa hari lalu?""Tidak perlu, sungguh!" jawab Sinta dengan sangat serius."Tidak, Mbak. Aku bersikeras ingin membalas jasamu. Kalau kamu nggak ada, aku nggak tau jadi apa aku waktu itu." Wanita itu terus saja berterima kasih. Baginya Sinta seperti dewi penolong yang kebetulan Tuhan kirimkan untuknya.