Celine tak sempat mendengarkan percakapan mereka berikutnya. Sebab ia melihat Mrs. Reynolds berdiri dan hendak berjalan keluar dari dapur, menuju ke arahnya.Terburu-buru Celine langsung pergi dari rumah keluarga Reynolds. Untung saja ia tidak sampai ketahuan. Celine segera berjalan dengan cepat kemudian memanggil taksi ketika ia sudah berada agak jauh dari rumah keluarga Reynolds.Sepanjang perjalanan ke kantor, Celine terduduk diam berusaha mencerna pertengkaran yang terjadi antara Mr. Reynolds dengan Qiana.Saat pertengkaran itu berlangsung, Celine memang tidak mendengar mereka menyebutkan suatu nama secara spesifik. Tapi ia curiga bahwa orang yang dimaksud adalah dirinya. Entah apa yang dimaksudkan dalam pembicaraan mereka, Celine tidak mengerti. Tapi ia berharap bahwa bukan dirinyalah yang sedang dibicarakan oleh mereka saat itu. Karena sepertinya Mr. Reynolds takut sekali jika orang dimaksud bertemu dengan keluarga Gagnon. Siapa pun keluarga Gagnon, Celine juga tidak pernah men
Celine kira Qiana sedang memarahinya, tapi ternyata wanita itu sedang berbicara di telepon dengan seseorang nada marah. Tadinya Celine hendak menutup pintu karena tidak ingin dianggap menguping. Tapi tangannya langsung berhenti begitu ia mendengar apa kata Qiana berikutnya."Aku sudah bilang bahwa dia harus berada di bawahku supaya aku bisa mengawasinya. Sekarang kau melepaskan dia begitu saja?""Bukankah ini semua juga gara-gara tingkahmu juga yang keterlaluan? Jika kau tidak bertindak bodoh maka mungkin saja ia masih berada di bawah kendalimu!" Celine dapat mendengar suara Mr. Martin dengan jelas karena ternyata Qiana menggunakan mode speaker untuk menerima panggilan. Ia jadi semakin terpaku ketika mendengar percakapan itu karena sepertinya percakapan itu topiknya mirip dengan yang dibicarakan oleh Qiana dengan Mr. Reynolds."Posisiku juga berbahaya sekarang. Mereka mencurigai aku!" Mr. Martin terdengar ketakutan."Itu semua salahmu sendiri, Royce, dasar pria tak berguna! Menyesal
Ponsel milik Steven bergetar, padahal ia baru saja ingin menghampiri Celine. Ia melihat bahwa yang menghubunginya adalah Noah. Jika tidak penting maka Noah tidak akan berani untuk menghubunginya. Akhirnya Steven terpaksa membatalkan niatnya untuk menghampiri Celine, sebaliknya ia menerima telepon dari Noah.“Ya, Noah. Ada apa?” tanya Steven cepat.“Mr. Gagnon! Gawat! Kita harus bicara. Bisakah kita bertemu di ruangan sekarang?” tanya Noah terdengar khawatir.“Baiklah!” jawab Steven.Steven berputar arah dan segera menuju ke ruangan tempat di mana Noah berada. Ia langsung masuk tanpa mengetuk pintu. Dan ia melihat Noah sedang berjalan mondar-mandir dengan tampang panik. Biasanya ia tidak pernah seperti ini. Pasti ada sesuatu hal yang cukup gawat telah terjadi.“Ada apa, Noah? Mengapa kau gelisah sekali?” tanya Steven kepada Noah.“Mr. Gagnon!” seru Noah segera begitu ia melihat Steven sudah datang.“Mr. Gagnon. Nyonya komisaris baru saja menghubungi saya!”“Apa katanya?” tanya Steven m
"Aku tahu dan aku sedang mengusahakannya!" Steven berkata dengan tak sabar."Baiklah. Aku akan memberimu waktu satu bulan lagi!" ucap Nyonya besar Gagnon."Aku mengerti! Apa Grandma sudah selesai?" tanya Steven dingin."Masih ada yang ingin kubicarakan denganmu. Tapi itu bisa menunggu nanti. Sekarang temukan buktinya agar Royce bisa masuk penjara!" Steven langsung pergi begitu neneknya selesai bicara. Tak sedetikpun ia betah berada di rumah itu walaupun terlihat megah dan mewah.Steven kembali naik mobil dan berniat untuk kembali ke perusahaan. Ia membuka ponselnya dan menemukan balasan dari Celine.[Tidak apa! Selesaikan saja pekerjaanmu dulu. I love you too!]Membaca pesan balasan dari Celine, membuat perasaan pria itu sedikit membaik. Ia jadi tak bisa berhenti tersenyum sendiri sepanjang perjalanan sehingga pengemudi yang mengantarkan Steven kembali ke kantor, heran dengan tingkahnya.Steven kembali mengetik pesan dan mengirimkannya kepada Celine.[Celine, aku sudah selesai menger
Celine berdiri dan melempar buket bunga yang tadi berikan Steven untuknya. Wajahnya terlihat kesal. Beberapa orang pengunjung yang sedang makan di sana otomatis langsung menoleh untuk menyaksikan drama pertunjukkan kecil itu."Bodohnya aku ini! Kukira kau benar-benar menyukaiku. Ternyata kau hanya ingin mencari informasi mengenai Miss Reynolds melalui aku." suara Celine bergetar."Tunggu! Celine. Kau salah paham. Aku tidak melakukan itu. Aku hanya sekedar ingin tahu saja bagaimana caranya kau bisa menempati posisi itu dan ….""Selamat tinggal, Steven!" Celine memotong kalimat Steven. Ia mengeluarkan sejumlah uang dan meletakkannya di meja. "Bagianku kubayar sendiri!"Setelah mengatakan demikian Celine langsung berjalan keluar meninggalkan Steven. Pria itu langsung buru-buru berdiri juga dan meninggalkan restaurant pasta setelah melemparkan sejumlah besar uang kertas lembaran. Ia langsung menyusul Celine."Celine! Celine! Tunggu!" Steven mengejar Celine yang berjalan bagaikan sebuah k
"Ya, Tuan Putri? Apa yang Anda inginkan akan saya kabulkan!" Steven merasa lega karena sepertinya Celine sudah tidak marah lagi padanya."Aku ingin kencan yang berkesan. Dan kau tidak boleh curiga lagi terhadapku! Katakan pada Mr. Noah, bahwa aku tidak terlibat dalam penggelapan dana dan jika diperlukan aku akan membantunya untuk mengumpulkan bukti." Celine memberitahukan keinginannya."Baik, Tuan Putri!" sahut Steven lagi menuruti Celine."Baik. Pertama. Karena aku masih lapar karena meninggalkan pastaku di restaurant sana tadi, kau harus memasak untukku! Aku ingin makan masakanmu!" Senyum Steven tiba-tiba berubah menjadi kaku. Memasak? Memasak bukanlah bidangnya. Lagipula, jika harus memasak sendiri, itu berarti ia harus meminjam apartemen Noah lagi. Ia tidak tahu di mana Noah berada sekarang dan apa apartemen Noah sedang digunakan atau tidak. Steven ingin menolak tapi ia sudah terlanjur menjanjikan bahwa ia akan memenuhi segala permintaan Celine."Ehm, kau tidak ingin makan di lua
"Steven!!!" seru Celine terkejut.Steven menyambar pinggang Celine yang ramping dengan mudah dan mendudukkan Celine di atas pangkuannya. Celine langsung merasakan ada sesuatu yang mengganjal dan wajahnya memerah."Steven … kau …."Steven menyentuh dagu Celine dan mengarahkan wajah Celine berhadapan dengan wajahnya. Kemudian ia mendaratkan bibirnya di atas bibir Celine.Ia memagut Celine dengan cepat dan rakus membuat Celine langsung lupa akan bagaimana caranya bernafas. Celine berusaha menyeimbangkan duduknya dan ia meletakkan kedua tangannya di atas dada bidang Steven sambil berusaha menghirup udara dan berusaha mengabaikan sesuatu yang keras yang sedang didudukinya.Steven memeluk tubuh Celine dengan erat, sementara bibirnya dengan ganas terus menyerang bibir Celine. Gadis itu mulai hanyut dan mabuk akan kecupan Steven.Dalam sekejap serangan Steven kembali beralih ke leher Celine membuat ruangan di sekitar Celine terasa berputar dengan liar."Steven … supnya … dingin …." Celine ter
Celine adalah putri angkat keluarga Reynolds? Saudari tiri dari Qiana Reynolds?Apakah itu berarti …."Steven!""Steven!"Suara panggilan Celine membawa Steven kembali dari lamunannya. "Eh, yah?" tanya Steven masih dengan wajah pucat dan suara sedikit gugup."Aku tanya padamu, apakah kau mau mampir dan bertemu dengan Nana? Ia seorang wanita tua yang lembut dan baik hati," Celine bertanya sekaligus mengajak Steven."Ehm, tidak usah! Aku baru ingat, aku juga ada janji dengan Mr. Noah untuk mengerjakan sesuatu!" tolak Steven dengan segera."Apa? Mr. Noah juga menyuruhmu untuk bekerja di akhir pekan?" tanya Celine terkejut."Yah, Mr. Noah membutuhkan aku untuk mengerjakan sesuatu untuknya terkait dengan masalah Mr. Martin," jawab Steven asal.Ia tidak bisa berkonsentrasi bicara sejak mengetahui bahwa Celine adalah anak yang diadopsi oleh keluarga Reynolds."Well, kalau begitu baiklah! Sampai nanti Steven. Rumah Nana ada di ujung sana. Aku bisa sendiri kok."Kemudian sesuatu yang membuat
Di ruangan yang terbilang cukup besar itu, Sinta duduk seorang diri. Ia masih teringat dengan jelas kejadian dulu, saat di mana Devan mengungkapkan perasaan padanya.Entahlah, bagaimanapun ia mencoba, ia tetap tidak bisa menjadi seperti apa yang diinginkan oleh Devan, meskipun hanya sedikit saja, rasa itu benar-benar tidak ada.Sinta menatap ke sekeliling ruangan yang hampir sudah 7 bulan ia tempati. tempat di mana ia berteduh dari panasnya matahari dan dinginnya hawa hujan yang turun, dan Devan adalah laki-laki yang telah membawa dirinya ke tempat ini.Ia menyandarkan dirinya pada sandaran sofa yang ada di dalam kamarnya sambil mengelus lembut perutnya itu. Tiba-tiba ia kembali teringat dengan percakapannya dengan Nadia tadi. Bisa ia lihat, Bagaimana frustasinya Nadia saat Ia menceritakan semuanya tadi.Ingatannya melayang di mana malam tragedi itu terjadi, obat perangsang yang menjalari tubuhnya itu, benar-benar sulit untuk ia kendalikan. Andai saja malam itu tidak pernah ada, mungk
Kini mereka sudah berada di apartemen. Tak ada satu peralatan bayi pun yang mereka bawa.Bi Diah datang tergopoh-gopoh dari arah dapur untuk menyambut kedatangan majikannya.Alisnya naik ke atas ketika tidak melihat satu barang pun yang dibawa oleh Devan maupun Sinta."Di mana belanjaannya Mas dan Mbak? "Tanya bi dia.Mendengar itu Devan dan juga Sinta langsung saling adu tetap satu sama lainnya. Bertemu dengan Nadia dan mengobrol dengan wanita itu membuat ia lupa dengan tujuan awal pergi ke mall."Tadi kita hanya lihat-lihat saja kok, pas ada yang suka tapi warnanya terlalu norak, pas warnanya bagus eh motifnya yang tidak sesuai keinginan Sinta, jadi untuk hari ini kami memutuskan tidak membeli apapun. Mungkin aku akan mencari lagi waktu yang pas agar kami berdua bisa berbelanja peralatan bayi." Jawab Devan.Sebenarnya Devan tidak perlu berbohong pun, Bi Diah tidak akan memaksa majikannya untuk menjawab, toh Ia hanya sekedar berbasa-basi saja tadi.Bi Diah menganggukkan kepalanya dan
Rasa haru benar-benar tak bisa untuk di tepis. Tak pernah mereka sangka bahwa mereka akan di pertemukan lagi seperti ini."Aku rindu sekali dengan Nona muda.""Sama Nad, sama banget. Aku juga merindukan kamu. Selama ini aku coba mencari kamu, tahu."Setelah merasa cukup puas saling melepaskan rindu satu sama lainnya, kembali mereka saling tatap."Apa yang terjadi Nad?" tanya Sinta setelah cukup lama memperhatikan sosok Nadia itu.Alih-alih menjawab, Nadia malah balik bertanya, "Bagaimana dengan anda Nona? Kapan akan melahirkan? Bolehkah saya memegang perut Anda?"Sinta menganggukkan kepala, ia mengambil tangan Nadia dan membawa tangan itu untuk mengusap lembut perutnya yang buncit.Dari sana, Nadia bisa untuk merasakan tendangan bayi di dalam perut. Sepertinya anak Sinta sangat aktif Sekali."Aktif sekali ya, nona?""Iya, tapi aku cukup senang merasakan pergerakannya selama ini." jawab Sinta, meskipun belum tahu siapa ayah dari anak yang ia kandung, tapi ia benar-benar menyukai anak i
“Pagi ...”Devan sedikit terkejut saat Sinta tiba-tiba menyapanya pagi ini, di saat dia berpikir, jika gadis ini akan kembali menghindarinya karena pembicaraan mereka tadi malam.“O-oh, pagi,” balas Devan kemudian, terlihat kikuk dan salah tingkah.Devan pun memperhatikan Sinta dengan seksama, memastikan tidak ada yang aneh dari gadis itu.“Kenapa kamu lihatin aku kayak gitu? Aku tambah gendutan?” seloroh Sinta, memprotes dan bersikap seperti biasanya.“H-huh? O-oh, nggak kok ... namanya juga Ibu hamil ‘kan?” Devan lantas menyahut dan tersenyum dengan canggung.Dia benar-benar tidak mengerti, kenapa Sinta tetap bersikap biasa kepadanya? Apa gadis itu tidak marah kepadanya?Setelah semua hal yang terjadi tadi malam?“Omong-omong ...” Sinta lantas kembali bersuara sambil memoleskan selai kacang pada roti gandumnya. “Mulai hari dan seterusnya, aku nggak akan keluar dari apartement lagi. Aku juga ... nggak akan berhubungan dengan bosmu lagi,” terang Sinta yang jelas saja tak membuat Devan
Setelah Sinta puas menangis di tepi pantai, Ethan dan Sinta pun memutuskan untuk segera makan malam di salah satu restoran seafood yang ada di dekat pantai.Sinta pun bersikap seperti biasanya lagi, tidak terlihat seperti orang yang baru menangis histeris beberapa waktu lalu.Selera makan Sinta yang begitu besar pun, cukup membuat Ethan terkejut bercampur terpesona. Dia merasa, Sinta yang sedang makan banyak itu terlihat menggemaskan!“Aduh, suami idaman yah! Isterinya asyik makan, suaminya sibuk ngupasin kulit lobster dan kepiting!” goda sang pemilik restoran yang mengantarkan pesanan lainnya ke meja Ethan dan Sinta.Mendengar kata ‘isteri’ pun dari mulut sang pemilik restoran pun Ethan terkejut dan sudah bersiap membuka mulutnya untuk menyangkal hal tersebut.Bukan karena dia tidak ingin dianggap sebagai suami Sinta, tapi Ethan justru merasa tak enak pada Sinta, takut gadis itu tersinggung dan jadi tak nyaman duduk bersamanya.Namun, di luar dugaan Ethan, tiba-tiba saja Sinta bersua
Setelah pertemuan tidak terduga di antara Sinta, Ethan dan Devan. Akhirnya ketiganya pun memilih untuk tidak bertanya satu sama lain dengan alasan karena hari yang sudah semakin larut malamSelagi Sinta dan Devan menaiki lift untuk kembali ke apartement mereka, Ethan yang memperhatikan mereka dalam diam pun, sesungguhnya merasa ada sesuatu yang terasa panas membakar di dadanya.Dia jelas tidak menyukai pemandangan Sinta bersama pria lain, meskipun pria itu adalah Devan, sekretaris kepercayaannya sendiri.Tapi, siapa pula dirinya ini? Sampai merasa berhak, siapa yang pantas untuk berdiri tepat di samping Sinta?Bukankah dirinya juga hanya sebatas teman untuk Sinta?Kenyataan itu seakan menghantam kesadaran Ethan—menyuruhnya agar tak berharap banyak dari Sinta yang sudah memilki tunangan.“Wait, tunangan?!” Ethan terkesiap dengan pemikirannya sendiri.Ya, bagaimana dia bisa lupa kalau Sinta sudah bertunangan?!Bukankah pertama kali Ethan melihat Sinta muncul di kantornya pun, kalau tidak
Setelah kejadian tempo hari di bioskop, Sinta jadi lebih banyak mengurung dirinya dalam kamar. Dia menghindari Devan yang jelas-jelas tinggal seatap dengannya, dan dia pun menghindari Ethan juga dengan tidak membuka satu pun chat yang dikirimkan pria itu.Namun, baik Ethan maupun Devan memilih untuk tidak ‘menekan’ Sinta. Kedua pria itu membiarkan Sinta tenang dengan sendirinya dulu, memberikan waktu padanya agar gadis itu bisa berpikir jernih.Devan bahkan sengaja sesekali tidak pulang ke apartement, dan sekalinya pulang pun, dia pasti akan kembali saat hari sudah sangat larut malam.Semua itu dilakukan agar Sinta bebas melakukan apapun di apartementnya tanpa adanya sosok Devan yang harus dihindarinya.Sinta sadar jika tak seharusnya dia terus begini. Terlebih lagi ini adalah apartement milik Devan, tidak seharusnya pria itu yang malah jadi tinggal di luar.Namun, Sinta juga tidak dapat menahan dirinya untuk tidak menghindari Devan. Setiap kali dia melihatnya, dia pasti akan langsung
Semenjak hari itu, saat Sinta 'mendeklarasikan' bahwa dirinya ingin mencoba berteman dengan Ethan, kedua orang itu pun menjadi lebih sering bertukar chat singkat hanya untuk sekedar hal-hal kecil seperti apa makanan favorit mereka, genre film kesukaan, tipe buku yang digemari untuk dibaca dan hal-hal lainnya.Sinta yang awalnya sempat memiliki kesan kurang menyenangkan pada sosok pria bernama Ethan Wistara itu pun, kini justru merasa jika mereka memiliki banyak kesamaan. Entah itu soal cita rasa makanan, pilihan destinasi untuk berlibur atau hal-hal kecil lainnya seperti tim jus atau tim langsung memakan buahnya.Memang terdengar konyol, tapi itulah obrolan yang selalu dibahas oleh dua manusia yang 'katanya' ingin memulai hubungan mereka dengan pertemanan, tidak lebih.***"Hm? Kamu pergi lagi ke toko bunga hari ini?" Devan yang baru saja pulang dari kantor, seketika memusatkan perhatiannya pada sebuah bunga anggrek yang kini terpajang di dekat jendela veranda apartementnya.Sinta yan
Keesokan harinya, Sinta sudah siap berangkat, bahkan sebelum pukul 6.30 dan sudah menyiapkan sarapan untuk dirinya dan Devan. Ketika Devan keluar dia sudah siap dan sedang memotong sandwich."Wah kamu cepat juga," tegur Devan."Memang sejak kapan aku jadi selambat itu?" Sinta memicingkan matanya."Iya deh iya."Akhirnya mereka berdua sarapan dengan sepotong sandwich dan segelas susu.Siang harinya Sinta bertemu dengan wanita yang ditolongnya beberapa waktu lalu di kafe yang ada di dekat kantor tempat Devan atau lebih tepatnya kantor Ethan.Wanita itu pun mengucapkan banyak terima kasih pada Sinta dan bertanya, "Mbak apa yang bisa aku lakukan agar bisa menebus jasa kebaikanmu kepadaku beberapa hari lalu?""Tidak perlu, sungguh!" jawab Sinta dengan sangat serius."Tidak, Mbak. Aku bersikeras ingin membalas jasamu. Kalau kamu nggak ada, aku nggak tau jadi apa aku waktu itu." Wanita itu terus saja berterima kasih. Baginya Sinta seperti dewi penolong yang kebetulan Tuhan kirimkan untuknya.