Celine menjauhkan ponsel itu dari telinganya. Teriakan si penelpon membuat telinganya berdenging. Terutama karena disebabkan ia masih dalam keadaan pengar setelah mabuk berat.
Untungnya si penelpon langsung mematikan sambungan dan tidak bicara panjang lebar. Celine melirik jam yang terpampang di layar ponselnya dan langsung terbelalak.
"Astaga! Pukul 9 pagi. Aku terlambat ke kantor!" seru Celine dengan panik. Dengan tergesa ia mencari koper miliknya dan menemukannya. Dengan sembarang ia mencari pakaian kerjanya yang masih bersih, mengenakannya dengan susah payah dan langsung membereskan koper dan berlari keluar bagaikan sedang dikejar oleh seekor anjing.
Selama berlari Celine baru sadar bahwa ia ternyata berada di sebuah hotel dan akhirnya ia mencari lift untuk turun.
Dengan tak sabar ia mengetukkan kakinya yang mengenakan sepatu bertumit rendah sambil menunggu lift membawanya turun ke lobby. Begitu pintu lift terbuka, Celine segera melesat keluar.
"Selamat pagi, Mrs. Plummer!" sapa pelayan hotel yang kemarin membantu Steven untuk membuka lift.
Celine berpikir pasti orang itu salah mengenali dirinya sebagai orang lain. Ia toh bukan merupakan tamu resmi di hotel ini. Tapi demi kesopanan ia tetap mengangguk sambil tersenyum seraya berjalan cepat menuju pintu keluar dan dengan segera naik taksi menuju ke kantornya.
Malang bagi Celine, seberapa cepat pun ia berusaha untuk sampai ke kantornya, tetap saja ia terlambat. Jalanan yang macet dan jarak yang jauh membuatnya harus berulang kali memantau jam diponselnya.
Tapi akhirnya ia sampai juga di kantornya. Celine turun dari taksi dan membayar ongkosnya kemudian ia memasuki gedung perkantorannya dengan terburu-buru sambil menyeret kopernya.
Ia naik lift menuju ke lantai 10 dimana atasannya Mr. Dave Carmichael menunggunya. Ia tak sadar bahwa beberapa orang terang-terangan memandangi dirinya. Pikiran Celine hanya terpusat pada satu hal. Yakni bagaimana caranya ia meyakini Dave, atasannya itu, bahwa ia tidak bersalah dan bahwa klien merekalah yang mencari gara-gara terlebih dahulu.
Namun baru saja ia memasuki ruangan tempat Dave berada, ia langsung dihadiahi oleh lemparan berkas yang nyaris mengenai kepalanya. Beruntung ia keburu menghindar.
"Mereka membatalkan kerja sama dengan kita!" ucap Dave kesal kepada Olivia, seorang rekan sejawat Celine yang juga sedang berada di dalam ruangan Dave.
"Dan penyebab utamanya baru saja tiba di sini setelah ia datang terlambat kemari dengan seenaknya …." Dave menghentikan kalimatnya ketika melihat Celine masuk ke dalam dengan tergesa.
Pria bertubuh gempal, botak licin, serta berusia pertengahan 50 tahunan itu berhenti bicara dan mulutnya ternganga lebar seperti seekor ikan yang baru saja dipancing.
"Mr. Carmichael! Aku bisa menjelaskan. Aku sama sekali tidak bersalah. Calon klien kita itu terus menggodaku selama aku melakukan presentasi dan terakhir ia mencoba menyentuhku. Tentu saja aku menolaknya karena aku bukan wanita tipe seperti itu!" Celine menjelaskan dengan terburu-buru.
"Yah, Celine! Kau bisa saja bilang kau bukan wanita seperti itu. Tapi sulit bagiku untuk mempercayai kata-katamu dengan bukti-bukti yang kulihat dengan mataku sendiri. Olive, kau lihat sendirikan?" Dave berkata dengan nada menyindir. Kumisnya yang tebal bagaikan singa laut ikut bergerak-gerak naik turun ketika ia berbicara.
Olive sendiri memandang Celine dengan tatapan merendahkan dan ia tertawa mengejek. Olive, wanita yang bertubuh montok itu memang merupakan saingan terberat Celine di kantor. Mereka berdua sama-sama mengincar posisi marketing manager yang tadinya diberikan kesempatan kepada Celine. Sekarang sepertinya Olivelah yang akan mendapatkan jabatan tersebut. Tapi Celine masih belum mau menyerah.
"Yah, Mr. Carmichael. Setelah saya melihat dengan mata kepala saya sendiri, saya yakin bahwa calon klien itu mengatakan hal yang sejujurnya." Olive memandang dengan puas ke arah Celine karena bisa memiliki kesempatan untuk menjatuhkan reputasi Celine.
"Apa yang kau maksud, Olive?" tanya Celine masih tak sadar.
"Celine Sayang, apakah kau sudah sempat mandi dan berkaca sebelum datang kemari?" tanya Olive masih dengan senyum memuakkannya.
Celine yang masih bingung bagaimana Olive bisa tahu bahwa ia belum mandi ataupun berkaca langsung menunduk dan mengamati penampilannya sendiri.
"Oh, astaga!"
Wajah Celine langsung berubah pucat. Ia malu sekali pada atasannya dan Olive. Entah bagaimana Celine jadi salah mengancingkan pakaiannya ke lubang yang lain. Dan bukan hanya karena itu saja. Ketika ia terburu-buru tadi, ia langsung meraih pakaian kerja pertama yang bisa diraihnya.
Celine mengenakan kemeja lengan pendek berwarna merah dengan kerah lebar yang memperlihatkan lehernya yang jenjang dan bawahan rok pendek berwarna hitam.
Celine benar-benar lupa bahwa ia memiliki tanda di sekujur tubuhnya yang dibuat oleh lelaki itu. Dan tanda itu kini terlihat jelas dengan pakaian yang dikenakannya.
"Calon klien kita mengatakan bahwa kau mencoba menggoda dia agar mau menandatangani perjanjian kontrak pembelian," Dave kembali mengulangi apa yang sudah dikatakannya melalui telepon kemarin.
"Aku tidak …."
Celine berhenti. Wajahnya memerah karena menahan malu. Ia sadar bahwa percuma saja ia mencoba menjelaskan kejadian yang sebenarnya kepada atasannya itu karena bukti yang ada malah menunjukkan hal yang sebaliknya. Pantas saja tadi orang-orang melihat ke arahnya dengan tatapan aneh.
Ah, Celine menyesali tindakan gila yang dilakukannya kemarin dengan pria itu. Demi membalas Jason, ia malah kena batunya sendiri.
"Mr. Carmichael, bisakah kau memaafkan aku dan memberikan kesempatan kepadaku satu kali lagi saja! Aku berjanji tidak akan mengacaukannya lagi kali ini!"
Celine memutuskan bahwa sudah saatnya ia mengaku salah daripada atasannya marah dan memecatnya meski sebenarnya ia sama sekali tidak bersalah.
"Sudah terlambat Celine! Calon klien itu malah menuduh perusahaan ini sengaja mengirimkan karyawan gadungan yang menyerupai wanita malam. Mereka minta ganti rugi atau mereka akan menyebarkan berita bahwa perusahaan ini menggunakan wanita penghibur untuk memperlancar kontrak bisnis."
"Aku tidak bisa membiarkannya, Celine! Kau telah membuat perusahaan merugi hingga satu juta dollar. Aku terpaksa menghentikan kontrak kerjamu tanpa tunjangan," Dave pada akhirnya menyampaikan maksudnya.
"Tunggu dulu, Mr. Carmichael. Ini tidak adil. Tolong beri aku kesempatan satu kali lagi. Aku janji aku akan memperbaikinya dan mendapatkan nilai kontrak yang lebih besar lagi!" Celine mulai panik. Ia tidak bisa kehilangan pekerjaannya dengan cara tidak terhormat seperti ini.
"Dengan cara apalagi kau akan mendapatkan nilai kontrak yang lebih tinggi? Memperlihatkan bagian tubuhmu lebih banyak lagi kepada klien kita yang lain?" tuduh Olive dengan nada sarkatis.
"Tidak, bukan begitu! Aku akan berlaku profesional. Aku tidak mungkin melakukan semua itu!" Celine hampir menangis tapi ia menahan diri agar Dave tidak melihatnya sebagai pekerja yang lemah. Ia hanya perlu mendapatkan kembali kepercayaan Dave kepadanya.
"Sudah terlambat Celine! Kau sudah menyia-nyaiakam kesempatan yang kuberikan padamu. Kesempatanmu sudah habis kini!" Dave bersikeras.
"Tapi, Mr. Carmichael …."
"Celine cukup! Kau masih beruntung karena perusahaan tidak memintamu untuk ganti rugi. Jadi sebaiknya kau bereskan saja barang-barangmu dan tinggalkan kantor ini!" potong Dave habis kesabarannya.
Sadar bahwa ia telah kalah, Celine akhirnya berjalan dengan langkah gontai menuju meja kerjanya dan mulai membereskan barang-barangnya.
Dipecat secara tidak terhormat bukanlah hal yang bagus untuk resume kerjanya dimasa depan. Apa yang harus dilakukannya sekarang?
Dengan lesu Celine berjalan sambil membawa barang-barang miliknya beserta koper bepergiannya meninggalkan ruangan kerjanya. Saat sampai di pintu ia berpapasan dengan Olive yang memberikan senyuman manis tapi maut kepadanya.
"Selamat tinggal Celine. Terima kasih karena sudah membantuku. Mr. Carmichael baru saja memberitahu aku bahwa posisi marketing manager akan diserahkan kepadaku!" ungkap Olive dengan wajah berpuas diri. Ia telah berhasil menyingkirkan Celine, rival terberatnya.
Ingin rasanya Celine menghajar wajah bundar Olive sampai jadi tak berbentuk. Tapi jika ia melakukan itu maka daftar resumenya pasti akan menjadi semakin buruk.
"Selamat, Olive! Sebaiknya mulai sekarang kau berharap keberuntungan akan selalu menyertaimu. Sebab dengan kemampuan yang kau miliki, jabatan itu tidak akan bertahan lama ditanganmu!" Celine mengucapkan selamat dengan nada sarkastis yang telak mengena.
Ia keluar dari ruangan kerjanya sambil dengan sengaja menabrak bahu Olive, membuat wanita bertubuh montok itu merasa kesal luar biasa.
Celine sekarang berada di jalanan yang sedang ramai tanpa tahu kemana ia harus pergi. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Celine menerima panggilan telepon itu dengan susah payah, karena tangannya penuh dengan barang.
"Halo, Nana?"
"Celine? Kau dimana, Sayang?" terdengar suara seorang wanita yang sudah renta.
"Ada apa, Nana? Apakah kau sakit?" tanya Celine khawatir.
"Aku merindukanmu, Celine. Bisakah kau pulang ke rumah?" terdengar lagi suara permohonan dari wanita tua itu. Kemudian wanita tua itu terbatuk-batuk lemah.
"Nana, apakah kau tidak apa-apa?" tanya Celine khawatir mendengar suara Nana yang lemah.
"Tidak apa-apa, Celine. Hanya sudah lama sekali kau tidak pernah kemari lagi. Aku ingin kau pulang, Celine Sayang!" Kembali wanita tua itu mengungkapkan harapannya.
"Aku akan segera ke sana, Nana!" Tanpa membuang waktu, Celine langsung menyetujui.
Begitu percakapan berakhir, Celine baru sadar bahwa Nana (nenek) memintanya untuk 'pulang' ke rumah. Bukan 'mampir atau datang' ke rumah. Itu berarti sang Nana ingin Celine datang dan tinggal di sana.
Kebetulan, saat ini Celine juga sedang bingung dimana ia harus tinggal. Selama ini dirinya tinggal bersama dengan Jason. Tapi kini Jason sudah mengusirnya dari rumah. Kini ia tidak punya rumah lagi.
Untuk mencari tempat tinggal lain juga tidak mungkin. Gajinya bulan ini serta pesangon benar-benar tidak dibayarkan oleh perusahaan. Sementara tabungannya hanya tersisa sedikit.
Tidak ada jalan baginya selain pulang ke rumah orang tua adopsinya, meski ia merasa enggan. Akhirnya Celine menyetop taksi dan naik ke dalamnya. Ia menyebutkan sebuah alamat dan supir taksi itupun mengarahkan mobilnya ke tempat yang disebutkan oleh Celine. Setengah jam kemudian, ia sampai di depan sebuah rumah dua lantai yang dicat dengan dominan warna abu muda.
Celine turun dari taksi dan menatap rumah itu dengan perasaan enggan.
"Welcome to hell, Celine!"
"Welcome to hell, Celine!"Celine menghela nafas lelah dan perlahan ia melangkah menaiki undakan yang terbuat dari batu sambil membawa barang-barang miliknya. Celine menekan bel dengan gugup, menunggu pintu dibukakan. Pintu terbuka dan seorang wanita berusia sekitar 50 tahunan dengan rambut keriting pendek dan hidung seperti jangkar."Celine! Untuk apa kau datang kemari?" tanya wanita tua itu jelas-jelas terkejut dengan tampang tidak suka."Nana memintaku untuk datang. Dan selain itu, aku butuh tempat tinggal sementara, Mrs. Reynolds," Celine berkata berusaha meramahkan suaranya dan memaksakan dirinya untuk tersenyum meski dalam hati ia malas setengah mati."Tempat tinggal? Apa kau pikir rumahku ini adalah penginapan gratis bagi para gelandangan?" tanya Mrs. Reynolds dengan wajah angkuh. Ia melipat kedua tangannya di depan dada."Oh ya, aku lupa. Kau memang datang kemari sebagai gelandangan dan yatim piatu!" ujar Mrs. Reynolds dengan nada menghina."Aku memang datang kesini sebagai ya
Wajah Celine menegang. Tubuhnya mendadak menjadi kaku dan otomatis menjadi defensif ketika mendengar suara Tanner. Ia tidak berbalik dan tetap berusaha fokus pada masakannya."Putraku! Akhirnya kau pulang juga. Betapa sepinya rumah ini terasa tanpa kehadiran kalian!" sambut Mrs. Reynolds sambil memeluk dan menciumi wajah putranya dengan hangat dan bahagia. Sebagai bagian dari keluarga Reynolds, Tanner terbilang tampan. Jika saja kelakuannya tidak menyebalkan maka mungkin saja Celine bisa menaruh hati pada Tanner."Wah, kau hanya memeluknya, Bu? Tidak memelukku juga?" tiba-tiba terdengar suara lain yang terdengar centil dan membuat telinga Celine terasa sakit.Qiana, anak bungsu dari keluarga Reynolds juga memiliki penampilan yang menawan. Karena ia memang memiliki pekerjaan sampingan sebagai seorang model semenjak ia di perguruan tinggi. Kakinya yang jenjang, pinggang ramping, dengan mata biru, dan rambut pirang membuatnya terlihat seperti boneka barbie."Qiana! Tentu tidak, Sayangku
"Kemari kau dasar wanita gila!" teriak Qiana marah besar. Ia berusaha menyambar-nyambar Celine yang duduk di seberang meja tapi Celine lebih cepat. Ia menghindar."Cukup, hentikan kalian berdua!" Mr. Reynolds membentak keduanya dengan marah. Keduanya langsung berhenti.'PLAAAKKK!!!'Tiba-tiba Mr. Reynolds menampar Celine dengan keras. Suara tamparannya sampai menggema ke seluruh ruangan."Kau berada di rumahku, jadi kau harus menjaga sikapmu dan jangan berani-berani kau berbuat kasar terhadap putriku!" Mr. Reynolds yang Celine kira sudah tua dan tidak begitu kuat lagi ternyata memiliki kekuatan melebihi pria seusianya.Celine merasakan pipinya yang terasa perih dan sakit. Seisi ruangan menjadi sunyi. Air mata mulai menggenang di sudut mata Celine karena mendapat perlakuan buruk seperti itu dari orang-orang yang disebutnya sebagai keluarga."Ian! Jangan membeda-bedakan Celine. Lagipula dalam hal ini yang mulai duluan adalah Qiana. Seharusnya Qiana meminta maaf pada Celine."Nana yang s
Ada apa? Aku sibuk. Bukankah kau bilang kau tidak tertarik?" tanya Qiana dengan sengaja."Aku tarik kembali kata-kataku. Aku akan mencoba untuk melamar di sana! Apa kau bisa membantuku, Qiana?" tanya Celine penuh harap."Oh, entahlah! Kau sudah menolak kesempatan yang kuberikan padamu tadi!" jawab Qiana acuh sambil memeriksa kuku-kukunya yang cantik."Ayolah, Qiana. Aku minta maaf, oke?" Celine benar-benar mengharapkan pekerjaan itu sehingga ia bahkan sampai bersedia untuk mengalah pada Qiana."Ehm! Tergantung!" balas Qiana singkat."Tergantung apa?" tanya Celine penasaran."Tergantung apakah kau akan menurut padaku atau tidak selama bekerja di sana," balas Qiana lagi."Baiklah! Aku akan menuruti semua perkataanmu selama bekerja di sana asalkan kau bisa merekomendasikan aku untuk diterima bekerja di sana!" Celine langsung setuju tanpa berpikir panjang.Selama ini toh ia berhasil bertahan menghadapi Qiana. Apa yang bisa lebih buruk daripada itu sih? Pikir Celine."Baiklah. Kalau begitu
Celine berusaha berteriak tapi suaranya teredam dalam bekapan telapak tangan pria itu. Dalam keadaan panik, Celine mulai mencoba untuk mengingat cara membela diri dari orang berniat jahat dari kursus yang pernah diikutinya ketika masih bersekolah dulu."Jangan berteriak!" Steven memperingatkan Celine.Tapi Celine justru malah makin panik. Ia mengangkat lututnya ke atas dan mengarahkannya ke bagian selangkangan Steven kemudian dengan menggunakan lututnya, ia sekuat tenaga menendang bagian pribadi Steven.Pria itu langsung melepaskan bekapannya terhadap Celine dan membungkuk kesakitan."Rasakan itu dasar pria aneh mesum!" seru Celine memberanikan diri. Terjebak di dalam lift hanya berdua dengan pria mesum seperti ini adalah hal yang tak pernah terbayangkan oleh Celine seumur hidupnya."Ah, sial! Tak bisakah kau berlaku normal seperti layaknya wanita lain?" Omel Steven masih sambil menahan rasa sakit dan ngilu yang dialaminya.Celine melihat penampilan pria itu kini tampak berbeda. Ia m
"Qi … Qiana?" Celine kebingungan. Mengapa tiba-tiba ia berubah seperti ini?"Jangan menyentuhku! Ingat, jangan sampai ada yang tahu kalau kau diadopsi oleh keluargaku! Aku bisa malu kalau mereka tahu kau adalah saudara tiriku!" Qiana memberikan peringatan.Tiba-tiba Celine mengerti mengapa sikap Qiana tiba-tiba berubah di kantor. Hubungan mereka sebagai saudara tiri memang tidak akan pernah bisa akur. Tapi setidaknya Qiana telah berbaik hati mau membantunya. Jadi tidak masalah jika Qiana tidak mau mengakuinya sebagai saudara tiri. Malahan itu akan lebih baik bagi Celine. Semua orang akan mengira bahwa Celine bisa masuk ke Diamond Corporation dengan kemampuannya sendiri."Oke, baiklah aku mengerti. Maafkan aku!" Alie segera meminta maaf dan menjaga jarak dengan Qiana."Ikuti aku!" perintah Qiana pada Celine.Celine segera menurut dan mengikuti Qiana yang mengantarkannya sampai ke sebuah pintu tertutup bertuliskan Mr. Martin."Ruangannya ada di sini!" ucap Qiana kemudian ia langsung men
"Apaaa???" Celine tersentak kaget."Jadi kau tidak tahu? Memangnya kau tidak membaca dulu kontraknya?" tanya Qiana pura-pura terkejut, padahal ia sudah mengetahuinya dari Mr. Martin.Celine sadar bahwa Qiana memang benar. Ia tidak membaca kontraknya sama sekali. Jadi ia tidak tahu bahwa ia akan bekerja sebagai asisten pribadi Qiana. Ia kira ia akan menjadi asisten pribadi Mr. Martin."Eh, tidak! Gara-gara terlambat, posisi itu sudah diambil oleh orang lain." jawab Celine menunduk malu."Kau memang bodoh, Celine! Sudah, cepat buatkan kopi untukku. Aku tidak bisa bekerja tanpa minum kopi!" Qiana sudah kembali ke sifatnya semula.Oke! Sudah terlanjur untuk menyesali kebodohannya. Bekerja untuk Qiana mungkin tidak seburuk yang disangkanya. Karena Qiana sudah berbaik hati untuk memberitahunya mengenai lowongan pekerjaan di Diamond Corporation.Celine segera berdiri dan mencari pantry. Ia sudah tahu takaran racikan kopi yang disukai oleh Qiana karena dulu ia memang menyiapkannya untuk wanit
"Steven apa yang kau lakukan?" tanya Celine berusaha mengejar langkah kaki Steven yang panjang. Ia merasa heran karena sesaat wajah Steven terlihat agak seram dan galak. Selama ini ia melihat wajah Steven selalu penuh senyum dan ramah."Berikan nampannya padaku. Aku harus mengantarkannya sendiri!" Celine mencoba merebut nampan berisi cangkir kopi tersebut. Namun Steven mengangkatnya lebih tinggi sehingga Celine tidak bisa meraihnya."Nampan ini berat. Tidak mungkin menyuruhmu yang membawanya," balas Steven singkat sambil terus berjalan sementara Celine tetap mengejar dibelakangnya."Steven, tunggu!" Celine berusaha menghentikan Steven, namun Steven terus melangkah sampai di depan ruangan Qiana."Ini ruangannya?" tanya Steven sambil menatap Celine. Sorot matanya yang unik saat itu terlihat seperti pedang baja yang tajam. Terus terang Celine jadi sedikit takut pada Steven. Jadi ia hanya mengangguk saja.Steven tidak mengetuk pintu lagi. Ia langsung masuk. Di dalam ia mendengar suara t
Di ruangan yang terbilang cukup besar itu, Sinta duduk seorang diri. Ia masih teringat dengan jelas kejadian dulu, saat di mana Devan mengungkapkan perasaan padanya.Entahlah, bagaimanapun ia mencoba, ia tetap tidak bisa menjadi seperti apa yang diinginkan oleh Devan, meskipun hanya sedikit saja, rasa itu benar-benar tidak ada.Sinta menatap ke sekeliling ruangan yang hampir sudah 7 bulan ia tempati. tempat di mana ia berteduh dari panasnya matahari dan dinginnya hawa hujan yang turun, dan Devan adalah laki-laki yang telah membawa dirinya ke tempat ini.Ia menyandarkan dirinya pada sandaran sofa yang ada di dalam kamarnya sambil mengelus lembut perutnya itu. Tiba-tiba ia kembali teringat dengan percakapannya dengan Nadia tadi. Bisa ia lihat, Bagaimana frustasinya Nadia saat Ia menceritakan semuanya tadi.Ingatannya melayang di mana malam tragedi itu terjadi, obat perangsang yang menjalari tubuhnya itu, benar-benar sulit untuk ia kendalikan. Andai saja malam itu tidak pernah ada, mungk
Kini mereka sudah berada di apartemen. Tak ada satu peralatan bayi pun yang mereka bawa.Bi Diah datang tergopoh-gopoh dari arah dapur untuk menyambut kedatangan majikannya.Alisnya naik ke atas ketika tidak melihat satu barang pun yang dibawa oleh Devan maupun Sinta."Di mana belanjaannya Mas dan Mbak? "Tanya bi dia.Mendengar itu Devan dan juga Sinta langsung saling adu tetap satu sama lainnya. Bertemu dengan Nadia dan mengobrol dengan wanita itu membuat ia lupa dengan tujuan awal pergi ke mall."Tadi kita hanya lihat-lihat saja kok, pas ada yang suka tapi warnanya terlalu norak, pas warnanya bagus eh motifnya yang tidak sesuai keinginan Sinta, jadi untuk hari ini kami memutuskan tidak membeli apapun. Mungkin aku akan mencari lagi waktu yang pas agar kami berdua bisa berbelanja peralatan bayi." Jawab Devan.Sebenarnya Devan tidak perlu berbohong pun, Bi Diah tidak akan memaksa majikannya untuk menjawab, toh Ia hanya sekedar berbasa-basi saja tadi.Bi Diah menganggukkan kepalanya dan
Rasa haru benar-benar tak bisa untuk di tepis. Tak pernah mereka sangka bahwa mereka akan di pertemukan lagi seperti ini."Aku rindu sekali dengan Nona muda.""Sama Nad, sama banget. Aku juga merindukan kamu. Selama ini aku coba mencari kamu, tahu."Setelah merasa cukup puas saling melepaskan rindu satu sama lainnya, kembali mereka saling tatap."Apa yang terjadi Nad?" tanya Sinta setelah cukup lama memperhatikan sosok Nadia itu.Alih-alih menjawab, Nadia malah balik bertanya, "Bagaimana dengan anda Nona? Kapan akan melahirkan? Bolehkah saya memegang perut Anda?"Sinta menganggukkan kepala, ia mengambil tangan Nadia dan membawa tangan itu untuk mengusap lembut perutnya yang buncit.Dari sana, Nadia bisa untuk merasakan tendangan bayi di dalam perut. Sepertinya anak Sinta sangat aktif Sekali."Aktif sekali ya, nona?""Iya, tapi aku cukup senang merasakan pergerakannya selama ini." jawab Sinta, meskipun belum tahu siapa ayah dari anak yang ia kandung, tapi ia benar-benar menyukai anak i
“Pagi ...”Devan sedikit terkejut saat Sinta tiba-tiba menyapanya pagi ini, di saat dia berpikir, jika gadis ini akan kembali menghindarinya karena pembicaraan mereka tadi malam.“O-oh, pagi,” balas Devan kemudian, terlihat kikuk dan salah tingkah.Devan pun memperhatikan Sinta dengan seksama, memastikan tidak ada yang aneh dari gadis itu.“Kenapa kamu lihatin aku kayak gitu? Aku tambah gendutan?” seloroh Sinta, memprotes dan bersikap seperti biasanya.“H-huh? O-oh, nggak kok ... namanya juga Ibu hamil ‘kan?” Devan lantas menyahut dan tersenyum dengan canggung.Dia benar-benar tidak mengerti, kenapa Sinta tetap bersikap biasa kepadanya? Apa gadis itu tidak marah kepadanya?Setelah semua hal yang terjadi tadi malam?“Omong-omong ...” Sinta lantas kembali bersuara sambil memoleskan selai kacang pada roti gandumnya. “Mulai hari dan seterusnya, aku nggak akan keluar dari apartement lagi. Aku juga ... nggak akan berhubungan dengan bosmu lagi,” terang Sinta yang jelas saja tak membuat Devan
Setelah Sinta puas menangis di tepi pantai, Ethan dan Sinta pun memutuskan untuk segera makan malam di salah satu restoran seafood yang ada di dekat pantai.Sinta pun bersikap seperti biasanya lagi, tidak terlihat seperti orang yang baru menangis histeris beberapa waktu lalu.Selera makan Sinta yang begitu besar pun, cukup membuat Ethan terkejut bercampur terpesona. Dia merasa, Sinta yang sedang makan banyak itu terlihat menggemaskan!“Aduh, suami idaman yah! Isterinya asyik makan, suaminya sibuk ngupasin kulit lobster dan kepiting!” goda sang pemilik restoran yang mengantarkan pesanan lainnya ke meja Ethan dan Sinta.Mendengar kata ‘isteri’ pun dari mulut sang pemilik restoran pun Ethan terkejut dan sudah bersiap membuka mulutnya untuk menyangkal hal tersebut.Bukan karena dia tidak ingin dianggap sebagai suami Sinta, tapi Ethan justru merasa tak enak pada Sinta, takut gadis itu tersinggung dan jadi tak nyaman duduk bersamanya.Namun, di luar dugaan Ethan, tiba-tiba saja Sinta bersua
Setelah pertemuan tidak terduga di antara Sinta, Ethan dan Devan. Akhirnya ketiganya pun memilih untuk tidak bertanya satu sama lain dengan alasan karena hari yang sudah semakin larut malamSelagi Sinta dan Devan menaiki lift untuk kembali ke apartement mereka, Ethan yang memperhatikan mereka dalam diam pun, sesungguhnya merasa ada sesuatu yang terasa panas membakar di dadanya.Dia jelas tidak menyukai pemandangan Sinta bersama pria lain, meskipun pria itu adalah Devan, sekretaris kepercayaannya sendiri.Tapi, siapa pula dirinya ini? Sampai merasa berhak, siapa yang pantas untuk berdiri tepat di samping Sinta?Bukankah dirinya juga hanya sebatas teman untuk Sinta?Kenyataan itu seakan menghantam kesadaran Ethan—menyuruhnya agar tak berharap banyak dari Sinta yang sudah memilki tunangan.“Wait, tunangan?!” Ethan terkesiap dengan pemikirannya sendiri.Ya, bagaimana dia bisa lupa kalau Sinta sudah bertunangan?!Bukankah pertama kali Ethan melihat Sinta muncul di kantornya pun, kalau tidak
Setelah kejadian tempo hari di bioskop, Sinta jadi lebih banyak mengurung dirinya dalam kamar. Dia menghindari Devan yang jelas-jelas tinggal seatap dengannya, dan dia pun menghindari Ethan juga dengan tidak membuka satu pun chat yang dikirimkan pria itu.Namun, baik Ethan maupun Devan memilih untuk tidak ‘menekan’ Sinta. Kedua pria itu membiarkan Sinta tenang dengan sendirinya dulu, memberikan waktu padanya agar gadis itu bisa berpikir jernih.Devan bahkan sengaja sesekali tidak pulang ke apartement, dan sekalinya pulang pun, dia pasti akan kembali saat hari sudah sangat larut malam.Semua itu dilakukan agar Sinta bebas melakukan apapun di apartementnya tanpa adanya sosok Devan yang harus dihindarinya.Sinta sadar jika tak seharusnya dia terus begini. Terlebih lagi ini adalah apartement milik Devan, tidak seharusnya pria itu yang malah jadi tinggal di luar.Namun, Sinta juga tidak dapat menahan dirinya untuk tidak menghindari Devan. Setiap kali dia melihatnya, dia pasti akan langsung
Semenjak hari itu, saat Sinta 'mendeklarasikan' bahwa dirinya ingin mencoba berteman dengan Ethan, kedua orang itu pun menjadi lebih sering bertukar chat singkat hanya untuk sekedar hal-hal kecil seperti apa makanan favorit mereka, genre film kesukaan, tipe buku yang digemari untuk dibaca dan hal-hal lainnya.Sinta yang awalnya sempat memiliki kesan kurang menyenangkan pada sosok pria bernama Ethan Wistara itu pun, kini justru merasa jika mereka memiliki banyak kesamaan. Entah itu soal cita rasa makanan, pilihan destinasi untuk berlibur atau hal-hal kecil lainnya seperti tim jus atau tim langsung memakan buahnya.Memang terdengar konyol, tapi itulah obrolan yang selalu dibahas oleh dua manusia yang 'katanya' ingin memulai hubungan mereka dengan pertemanan, tidak lebih.***"Hm? Kamu pergi lagi ke toko bunga hari ini?" Devan yang baru saja pulang dari kantor, seketika memusatkan perhatiannya pada sebuah bunga anggrek yang kini terpajang di dekat jendela veranda apartementnya.Sinta yan
Keesokan harinya, Sinta sudah siap berangkat, bahkan sebelum pukul 6.30 dan sudah menyiapkan sarapan untuk dirinya dan Devan. Ketika Devan keluar dia sudah siap dan sedang memotong sandwich."Wah kamu cepat juga," tegur Devan."Memang sejak kapan aku jadi selambat itu?" Sinta memicingkan matanya."Iya deh iya."Akhirnya mereka berdua sarapan dengan sepotong sandwich dan segelas susu.Siang harinya Sinta bertemu dengan wanita yang ditolongnya beberapa waktu lalu di kafe yang ada di dekat kantor tempat Devan atau lebih tepatnya kantor Ethan.Wanita itu pun mengucapkan banyak terima kasih pada Sinta dan bertanya, "Mbak apa yang bisa aku lakukan agar bisa menebus jasa kebaikanmu kepadaku beberapa hari lalu?""Tidak perlu, sungguh!" jawab Sinta dengan sangat serius."Tidak, Mbak. Aku bersikeras ingin membalas jasamu. Kalau kamu nggak ada, aku nggak tau jadi apa aku waktu itu." Wanita itu terus saja berterima kasih. Baginya Sinta seperti dewi penolong yang kebetulan Tuhan kirimkan untuknya.