Pandangan Celine masih tak fokus dan buram. Dengan bingung ia mengamati benda pusaka milik Steven. Pusaka itu langsung tegak berdiri. Ia mengerjapkan matanya.
"Benda apa itu?" tanya Celine dengan polos.
Steven buru-buru menunduk untuk mencari handuknya di lantai tapi Celine kembali membuat ulah lagi.
"Jason! Kau Jasonkan? Kenapa kau berbohong padaku? Apakah karena wanita itu maka kau berpura-pura tak mengenalku?" tuntut Celine mulai marah.
Celine bermaksud untuk bangun dari tempat tidur. Ia mengayunkan kakinya ke bawah namun naasnya malah mengenai sisi kepala Steven.
"Aduh!" keluh Steven.
"Jason? Maafkan aku," ucap Celine meminta maaf pada lampu tidur yang berada di atas meja buffet di samping tempat tidur. Steven kembali menggeleng melihat kelakuan Celine yang di luar nalar.
"Sudahlah! Aku ini bukan kekasihmu! Kembalilah tidur. Besok pagi jika sudah sadar kau bisa pergi dari sini!" ucap Steven lelah. Ia sudah berhasil menemukan handuknya dan hendak kembali melilitkan dipinggangnya. Tapi lagi-lagi Celine menariknya.
"Tidur denganku?" tanya Celine.
"Tidak! Kau tidak mengenalku dan begitu pula sebaliknya!" Steven menolak mentah-mentah tawaran Celine.
"Apakah aku memang bukan wanita yang menarik dan frigid seperti yang dikatakan oleh Jason?" tanya Celine dengan sedih.
Tangan Steven yang sedang membenahi handuknya berhenti tiba-tiba. Kata siapa wanita ini tidak menarik? Wanita ini begitu cantik dan seksi. Pria yang tidak akan tertarik padanya pasti hanya dua tipe. Satu adalah gay dan satunya lagi adalah pastor yang sudah bersumpah kaul.
"Bukan begitu, kau adalah wanita yang cantik dan menarik."
"Lalu kenapa kau menolakku?" desak Celine.
"Kita tidak saling mengenal dan …."
"Aku tak peduli!" Celine terus memotong perkataan Steven.
"Selama ini aku menjaga keperawananku untuk kekasihku. Tapi ia malah mengkhianati aku. Sekarang terserah padaku aku mau menyerahkannya kepada siapa," Celine berkata dengan ketus.
"Kau yakin dengan kata-katamu itu?" tanya Steven.
"Tidak akan ada jalan kembali meski kau menyesalinya nanti setelah kau sadar," pertahanan Steven mulai runtuh. Siapa pula yang tahan dibujuk oleh wanita cantik yang sedang mabuk ini.
"Tidak akan! Aku tidak akan menyesalinya!" tegas Celine.
"Baiklah kalau kau memang yakin!" tukas Steven pada akhirnya.
Steven yang semenjak tadi berusaha bertahan menggunakan akal sehatnya akhirnya harus kalah pada hasratnya sendiri. Ia tak lagi berusaha menutupi tubuhnya dengan handuk. Sebaliknya ia malah melempar handuk itu dengan sembarangan dan secara perlahan mendekati Celine.
Ia menyatukan bibir mereka dan merasakan sensasi seperti aliran listrik yang mengaliri seluruh tubuhnya. Steven menarik dirinya. Satu kata!
Panas!
Steven kembali mendekati Celine perlahan dan mulai memperkenalkan pengalaman baru kepada wanita itu.
Celine tak pernah merasakan sensasi seperti itu sebelumnya ketika ia bersama dengan Jason. Ia selalu berhenti sebelum mereka melangkah lebih jauh. Biasanya ia mampu mengendalikan diri. Tapi kali ini Celine sedang dalam keadaan mabuk, dan ia memang sedang ingin melampiaskan patah hatinya kepada pria asing yang sedang bersama dengannya ini.
Steven membawa Celine ke dalam putaran badai yang memabukkan. Perlahan lalu cepat kemudian kembali perlahan lagi. Celine yang tidak pernah merasakan kenikmatan itu sebelumnya mereguk semua sensasi yang dirasakannya dengan rakus.
Celine tersenyum bahagia. Meski Jason sama sekali tak tahu, tapi ia merasa puas telah berhasil membalas rasa sakit hatinya kepada pria itu. Celine segera tertidur, lemas tak bertenaga bagaikan agar-agar.
Tapi Steven masih terjaga. Ini bukan pertama kalinya bagi Steven. Ia telah mengencani banyak wanita sebelumnya, tapi tidak pernah dengan seorang wanita yang seperti Celine. Begitu polos dan penasaran. Mereguk semua yang Steven berikan dengan rakus.
Tapi Celine sama sekali tidak sadar bahwa Steven sama sekali belum mengambil keperawanannya. Steven tidak ingin mengambil keuntungan dari seorang wanita mabuk yang sedang patah hati.
Suatu pengalaman pahit yang terjadi dimasa lalu telah membuatnya belajar untuk tidak bertindak gegabah lagi. Jika ia sampai bercinta dengan seorang wanita, maka itu dilakukan atas dasar keinginan kedua belah pihak, tanpa ada tuntutan apapun. Dan ia selalu menggunakan pengaman untuk mencegah wanita yang dikencaninya mengandung anaknya.
Selama ini tidak ada seorang wanita yang keberatan dengan syarat yang diajukannya. Bagi mereka, asalkan bisa tidur dengannya saja itu sudah merupakan suatu berkah. Tapi wanita ini kondisinya berbeda. Dia sedang kacau. Nama wanita ini pun ia tidak tahu sama sekali. Steven takut jika ia gegabah maka akan timbul masalah di kemudian hari.
Jadi Steven hanya berlama-lama memandangi wajah cantik Celine yang sedang tertidur pulas. Setelah puas dan merasa mengantuk, ia menyelimuti wanita itu dan kemudian ikut tidur di sampingnya sambil meletakkan tangannya yang kekar di atas pinggang ramping milik Celine.
****
Celine bangun di pagi harinya dengan sakit kepala yang terasa menusuk-nusuk. Ia mencoba membuka kedua matanya tapi langsung mengerang ketika cahaya matahari yang masuk melalui jendela menyilaukan kedua matanya.
Celine mengerjapkan matanya beberapa kali untuk membiasakan diri dengan cahaya matahari yang terang benderang. Setelah ia mulai merasa terbiasa, perlahan Celine mulai memandang berkeliling ke sekitarnya.
Ia berada di sebuah ruangan tidur yang sangat besar dengan desain klasik yang sangat indah tapi ia sama sekali tidak tahu dimana ia berada. Celine mulai mengurutkan kejadian semalam yang ia alami. Raut wajahnya perlahan berubah ketika ia mulai mengingat satu persatu hal yang terjadi kemarin.
“Astaga!” seru Celine ketika ia menyadari sesuatu.
Ia mengangkat selimutnya dan mengintip ke dalam. Wajahnya berubah syok saat menyadari bahwa dibalik selimut ia sama sekali tidak mengenakan selembar pakaian pun. Tubuhnya dipenuhi dengan tanda merah tanda bahwa memang telah terjadi sesuatu semalam.
“Oh, tidak! Apa yang telah terjadi?”
Samar-samar Celine mengingat kejadian yang dialaminya kemarin di atas tempat tidur. Ia memaksa pria yang satu pesawat dengannya untuk menjalani hubungan satu malam. Wajah Celine langsung memerah menahan malu tak menyangka jika dirinya berani senekat dan sebrutal itu.
“Oh, Celine! Apa yang kau lakukan? Mengapa kau membiarkan dirimu menjadi kacau seperti ini?” Celine menutupi kepalanya dengan selimut seolah dengan bersembunyi di sana bisa membantunya untuk menghilangkan rasa malu yang dialaminya.
Tunggu dulu! Apakah saat ini ia berada di rumah atau kamar hotel pria itu? Jika benar, kalau begitu dimana pria itu berada sekarang?”
Celine mengedarkan pandangannya berkeliling. Tapi ia tidak menemukan siapapun di ruangan tersebut. Tapi pandangannya kemudian tertuju pada sebuah kertas yang terlipat rapi dan diletakkan di atas bantal berwarna putih.
Tulisan itu bertuliskan,
“For You”
Dengan perasaan berdebar, Celine mengambil surat tersebut, membukanya kemudian membacanya.
[Tidurmu pulas sekali jadi aku tidak tega untuk membangunkanmu. Silahkan nikmati tidurmu dan beristirahatlah sampai rasa pusing di kepalamu hilang.]
[Maaf, karena aku harus pergi untuk suatu pertemuan penting]
Celine menenggelamkan diri kembali dibalik selimut putih tebal yang menyelimuti tubuhnya.
Ia tak mungkin berdiam diri di sana dan menunggu sampai pria itu kembali. Mau ditaruh di mana mukanya? Ia harus pergi dari sini atau bisa-bisa nanti kejadian tersebut terulang kembali. Celine tak ingin itu terjadi. Ia segera turun dan berusaha mencari pakaiannya ketika ia mendengar ponselnya berdering.
Celine mencari-cari dimana tas tangannya berada. Dan setelah menemukannya, ia langsung mengangkat telepon.
"Celine Walton! Jika kau tidak sampai di sini dalam waktu 10 menit! Kau akan merasakan akibatnya!"
Celine menjauhkan ponsel itu dari telinganya. Teriakan si penelpon membuat telinganya berdenging. Terutama karena disebabkan ia masih dalam keadaan pengar setelah mabuk berat.Untungnya si penelpon langsung mematikan sambungan dan tidak bicara panjang lebar. Celine melirik jam yang terpampang di layar ponselnya dan langsung terbelalak. "Astaga! Pukul 9 pagi. Aku terlambat ke kantor!" seru Celine dengan panik. Dengan tergesa ia mencari koper miliknya dan menemukannya. Dengan sembarang ia mencari pakaian kerjanya yang masih bersih, mengenakannya dengan susah payah dan langsung membereskan koper dan berlari keluar bagaikan sedang dikejar oleh seekor anjing.Selama berlari Celine baru sadar bahwa ia ternyata berada di sebuah hotel dan akhirnya ia mencari lift untuk turun.Dengan tak sabar ia mengetukkan kakinya yang mengenakan sepatu bertumit rendah sambil menunggu lift membawanya turun ke lobby. Begitu pintu lift terbuka, Celine segera melesat keluar."Selamat pagi, Mrs. Plummer!" sapa
"Welcome to hell, Celine!"Celine menghela nafas lelah dan perlahan ia melangkah menaiki undakan yang terbuat dari batu sambil membawa barang-barang miliknya. Celine menekan bel dengan gugup, menunggu pintu dibukakan. Pintu terbuka dan seorang wanita berusia sekitar 50 tahunan dengan rambut keriting pendek dan hidung seperti jangkar."Celine! Untuk apa kau datang kemari?" tanya wanita tua itu jelas-jelas terkejut dengan tampang tidak suka."Nana memintaku untuk datang. Dan selain itu, aku butuh tempat tinggal sementara, Mrs. Reynolds," Celine berkata berusaha meramahkan suaranya dan memaksakan dirinya untuk tersenyum meski dalam hati ia malas setengah mati."Tempat tinggal? Apa kau pikir rumahku ini adalah penginapan gratis bagi para gelandangan?" tanya Mrs. Reynolds dengan wajah angkuh. Ia melipat kedua tangannya di depan dada."Oh ya, aku lupa. Kau memang datang kemari sebagai gelandangan dan yatim piatu!" ujar Mrs. Reynolds dengan nada menghina."Aku memang datang kesini sebagai ya
Wajah Celine menegang. Tubuhnya mendadak menjadi kaku dan otomatis menjadi defensif ketika mendengar suara Tanner. Ia tidak berbalik dan tetap berusaha fokus pada masakannya."Putraku! Akhirnya kau pulang juga. Betapa sepinya rumah ini terasa tanpa kehadiran kalian!" sambut Mrs. Reynolds sambil memeluk dan menciumi wajah putranya dengan hangat dan bahagia. Sebagai bagian dari keluarga Reynolds, Tanner terbilang tampan. Jika saja kelakuannya tidak menyebalkan maka mungkin saja Celine bisa menaruh hati pada Tanner."Wah, kau hanya memeluknya, Bu? Tidak memelukku juga?" tiba-tiba terdengar suara lain yang terdengar centil dan membuat telinga Celine terasa sakit.Qiana, anak bungsu dari keluarga Reynolds juga memiliki penampilan yang menawan. Karena ia memang memiliki pekerjaan sampingan sebagai seorang model semenjak ia di perguruan tinggi. Kakinya yang jenjang, pinggang ramping, dengan mata biru, dan rambut pirang membuatnya terlihat seperti boneka barbie."Qiana! Tentu tidak, Sayangku
"Kemari kau dasar wanita gila!" teriak Qiana marah besar. Ia berusaha menyambar-nyambar Celine yang duduk di seberang meja tapi Celine lebih cepat. Ia menghindar."Cukup, hentikan kalian berdua!" Mr. Reynolds membentak keduanya dengan marah. Keduanya langsung berhenti.'PLAAAKKK!!!'Tiba-tiba Mr. Reynolds menampar Celine dengan keras. Suara tamparannya sampai menggema ke seluruh ruangan."Kau berada di rumahku, jadi kau harus menjaga sikapmu dan jangan berani-berani kau berbuat kasar terhadap putriku!" Mr. Reynolds yang Celine kira sudah tua dan tidak begitu kuat lagi ternyata memiliki kekuatan melebihi pria seusianya.Celine merasakan pipinya yang terasa perih dan sakit. Seisi ruangan menjadi sunyi. Air mata mulai menggenang di sudut mata Celine karena mendapat perlakuan buruk seperti itu dari orang-orang yang disebutnya sebagai keluarga."Ian! Jangan membeda-bedakan Celine. Lagipula dalam hal ini yang mulai duluan adalah Qiana. Seharusnya Qiana meminta maaf pada Celine."Nana yang s
Ada apa? Aku sibuk. Bukankah kau bilang kau tidak tertarik?" tanya Qiana dengan sengaja."Aku tarik kembali kata-kataku. Aku akan mencoba untuk melamar di sana! Apa kau bisa membantuku, Qiana?" tanya Celine penuh harap."Oh, entahlah! Kau sudah menolak kesempatan yang kuberikan padamu tadi!" jawab Qiana acuh sambil memeriksa kuku-kukunya yang cantik."Ayolah, Qiana. Aku minta maaf, oke?" Celine benar-benar mengharapkan pekerjaan itu sehingga ia bahkan sampai bersedia untuk mengalah pada Qiana."Ehm! Tergantung!" balas Qiana singkat."Tergantung apa?" tanya Celine penasaran."Tergantung apakah kau akan menurut padaku atau tidak selama bekerja di sana," balas Qiana lagi."Baiklah! Aku akan menuruti semua perkataanmu selama bekerja di sana asalkan kau bisa merekomendasikan aku untuk diterima bekerja di sana!" Celine langsung setuju tanpa berpikir panjang.Selama ini toh ia berhasil bertahan menghadapi Qiana. Apa yang bisa lebih buruk daripada itu sih? Pikir Celine."Baiklah. Kalau begitu
Celine berusaha berteriak tapi suaranya teredam dalam bekapan telapak tangan pria itu. Dalam keadaan panik, Celine mulai mencoba untuk mengingat cara membela diri dari orang berniat jahat dari kursus yang pernah diikutinya ketika masih bersekolah dulu."Jangan berteriak!" Steven memperingatkan Celine.Tapi Celine justru malah makin panik. Ia mengangkat lututnya ke atas dan mengarahkannya ke bagian selangkangan Steven kemudian dengan menggunakan lututnya, ia sekuat tenaga menendang bagian pribadi Steven.Pria itu langsung melepaskan bekapannya terhadap Celine dan membungkuk kesakitan."Rasakan itu dasar pria aneh mesum!" seru Celine memberanikan diri. Terjebak di dalam lift hanya berdua dengan pria mesum seperti ini adalah hal yang tak pernah terbayangkan oleh Celine seumur hidupnya."Ah, sial! Tak bisakah kau berlaku normal seperti layaknya wanita lain?" Omel Steven masih sambil menahan rasa sakit dan ngilu yang dialaminya.Celine melihat penampilan pria itu kini tampak berbeda. Ia m
"Qi … Qiana?" Celine kebingungan. Mengapa tiba-tiba ia berubah seperti ini?"Jangan menyentuhku! Ingat, jangan sampai ada yang tahu kalau kau diadopsi oleh keluargaku! Aku bisa malu kalau mereka tahu kau adalah saudara tiriku!" Qiana memberikan peringatan.Tiba-tiba Celine mengerti mengapa sikap Qiana tiba-tiba berubah di kantor. Hubungan mereka sebagai saudara tiri memang tidak akan pernah bisa akur. Tapi setidaknya Qiana telah berbaik hati mau membantunya. Jadi tidak masalah jika Qiana tidak mau mengakuinya sebagai saudara tiri. Malahan itu akan lebih baik bagi Celine. Semua orang akan mengira bahwa Celine bisa masuk ke Diamond Corporation dengan kemampuannya sendiri."Oke, baiklah aku mengerti. Maafkan aku!" Alie segera meminta maaf dan menjaga jarak dengan Qiana."Ikuti aku!" perintah Qiana pada Celine.Celine segera menurut dan mengikuti Qiana yang mengantarkannya sampai ke sebuah pintu tertutup bertuliskan Mr. Martin."Ruangannya ada di sini!" ucap Qiana kemudian ia langsung men
"Apaaa???" Celine tersentak kaget."Jadi kau tidak tahu? Memangnya kau tidak membaca dulu kontraknya?" tanya Qiana pura-pura terkejut, padahal ia sudah mengetahuinya dari Mr. Martin.Celine sadar bahwa Qiana memang benar. Ia tidak membaca kontraknya sama sekali. Jadi ia tidak tahu bahwa ia akan bekerja sebagai asisten pribadi Qiana. Ia kira ia akan menjadi asisten pribadi Mr. Martin."Eh, tidak! Gara-gara terlambat, posisi itu sudah diambil oleh orang lain." jawab Celine menunduk malu."Kau memang bodoh, Celine! Sudah, cepat buatkan kopi untukku. Aku tidak bisa bekerja tanpa minum kopi!" Qiana sudah kembali ke sifatnya semula.Oke! Sudah terlanjur untuk menyesali kebodohannya. Bekerja untuk Qiana mungkin tidak seburuk yang disangkanya. Karena Qiana sudah berbaik hati untuk memberitahunya mengenai lowongan pekerjaan di Diamond Corporation.Celine segera berdiri dan mencari pantry. Ia sudah tahu takaran racikan kopi yang disukai oleh Qiana karena dulu ia memang menyiapkannya untuk wanit
"Apaaa???" Celine tersentak kaget."Jadi kau tidak tahu? Memangnya kau tidak membaca dulu kontraknya?" tanya Qiana pura-pura terkejut, padahal ia sudah mengetahuinya dari Mr. Martin.Celine sadar bahwa Qiana memang benar. Ia tidak membaca kontraknya sama sekali. Jadi ia tidak tahu bahwa ia akan bekerja sebagai asisten pribadi Qiana. Ia kira ia akan menjadi asisten pribadi Mr. Martin."Eh, tidak! Gara-gara terlambat, posisi itu sudah diambil oleh orang lain." jawab Celine menunduk malu."Kau memang bodoh, Celine! Sudah, cepat buatkan kopi untukku. Aku tidak bisa bekerja tanpa minum kopi!" Qiana sudah kembali ke sifatnya semula.Oke! Sudah terlanjur untuk menyesali kebodohannya. Bekerja untuk Qiana mungkin tidak seburuk yang disangkanya. Karena Qiana sudah berbaik hati untuk memberitahunya mengenai lowongan pekerjaan di Diamond Corporation.Celine segera berdiri dan mencari pantry. Ia sudah tahu takaran racikan kopi yang disukai oleh Qiana karena dulu ia memang menyiapkannya untuk wanit
"Qi … Qiana?" Celine kebingungan. Mengapa tiba-tiba ia berubah seperti ini?"Jangan menyentuhku! Ingat, jangan sampai ada yang tahu kalau kau diadopsi oleh keluargaku! Aku bisa malu kalau mereka tahu kau adalah saudara tiriku!" Qiana memberikan peringatan.Tiba-tiba Celine mengerti mengapa sikap Qiana tiba-tiba berubah di kantor. Hubungan mereka sebagai saudara tiri memang tidak akan pernah bisa akur. Tapi setidaknya Qiana telah berbaik hati mau membantunya. Jadi tidak masalah jika Qiana tidak mau mengakuinya sebagai saudara tiri. Malahan itu akan lebih baik bagi Celine. Semua orang akan mengira bahwa Celine bisa masuk ke Diamond Corporation dengan kemampuannya sendiri."Oke, baiklah aku mengerti. Maafkan aku!" Alie segera meminta maaf dan menjaga jarak dengan Qiana."Ikuti aku!" perintah Qiana pada Celine.Celine segera menurut dan mengikuti Qiana yang mengantarkannya sampai ke sebuah pintu tertutup bertuliskan Mr. Martin."Ruangannya ada di sini!" ucap Qiana kemudian ia langsung men
Celine berusaha berteriak tapi suaranya teredam dalam bekapan telapak tangan pria itu. Dalam keadaan panik, Celine mulai mencoba untuk mengingat cara membela diri dari orang berniat jahat dari kursus yang pernah diikutinya ketika masih bersekolah dulu."Jangan berteriak!" Steven memperingatkan Celine.Tapi Celine justru malah makin panik. Ia mengangkat lututnya ke atas dan mengarahkannya ke bagian selangkangan Steven kemudian dengan menggunakan lututnya, ia sekuat tenaga menendang bagian pribadi Steven.Pria itu langsung melepaskan bekapannya terhadap Celine dan membungkuk kesakitan."Rasakan itu dasar pria aneh mesum!" seru Celine memberanikan diri. Terjebak di dalam lift hanya berdua dengan pria mesum seperti ini adalah hal yang tak pernah terbayangkan oleh Celine seumur hidupnya."Ah, sial! Tak bisakah kau berlaku normal seperti layaknya wanita lain?" Omel Steven masih sambil menahan rasa sakit dan ngilu yang dialaminya.Celine melihat penampilan pria itu kini tampak berbeda. Ia m
Ada apa? Aku sibuk. Bukankah kau bilang kau tidak tertarik?" tanya Qiana dengan sengaja."Aku tarik kembali kata-kataku. Aku akan mencoba untuk melamar di sana! Apa kau bisa membantuku, Qiana?" tanya Celine penuh harap."Oh, entahlah! Kau sudah menolak kesempatan yang kuberikan padamu tadi!" jawab Qiana acuh sambil memeriksa kuku-kukunya yang cantik."Ayolah, Qiana. Aku minta maaf, oke?" Celine benar-benar mengharapkan pekerjaan itu sehingga ia bahkan sampai bersedia untuk mengalah pada Qiana."Ehm! Tergantung!" balas Qiana singkat."Tergantung apa?" tanya Celine penasaran."Tergantung apakah kau akan menurut padaku atau tidak selama bekerja di sana," balas Qiana lagi."Baiklah! Aku akan menuruti semua perkataanmu selama bekerja di sana asalkan kau bisa merekomendasikan aku untuk diterima bekerja di sana!" Celine langsung setuju tanpa berpikir panjang.Selama ini toh ia berhasil bertahan menghadapi Qiana. Apa yang bisa lebih buruk daripada itu sih? Pikir Celine."Baiklah. Kalau begitu
"Kemari kau dasar wanita gila!" teriak Qiana marah besar. Ia berusaha menyambar-nyambar Celine yang duduk di seberang meja tapi Celine lebih cepat. Ia menghindar."Cukup, hentikan kalian berdua!" Mr. Reynolds membentak keduanya dengan marah. Keduanya langsung berhenti.'PLAAAKKK!!!'Tiba-tiba Mr. Reynolds menampar Celine dengan keras. Suara tamparannya sampai menggema ke seluruh ruangan."Kau berada di rumahku, jadi kau harus menjaga sikapmu dan jangan berani-berani kau berbuat kasar terhadap putriku!" Mr. Reynolds yang Celine kira sudah tua dan tidak begitu kuat lagi ternyata memiliki kekuatan melebihi pria seusianya.Celine merasakan pipinya yang terasa perih dan sakit. Seisi ruangan menjadi sunyi. Air mata mulai menggenang di sudut mata Celine karena mendapat perlakuan buruk seperti itu dari orang-orang yang disebutnya sebagai keluarga."Ian! Jangan membeda-bedakan Celine. Lagipula dalam hal ini yang mulai duluan adalah Qiana. Seharusnya Qiana meminta maaf pada Celine."Nana yang s
Wajah Celine menegang. Tubuhnya mendadak menjadi kaku dan otomatis menjadi defensif ketika mendengar suara Tanner. Ia tidak berbalik dan tetap berusaha fokus pada masakannya."Putraku! Akhirnya kau pulang juga. Betapa sepinya rumah ini terasa tanpa kehadiran kalian!" sambut Mrs. Reynolds sambil memeluk dan menciumi wajah putranya dengan hangat dan bahagia. Sebagai bagian dari keluarga Reynolds, Tanner terbilang tampan. Jika saja kelakuannya tidak menyebalkan maka mungkin saja Celine bisa menaruh hati pada Tanner."Wah, kau hanya memeluknya, Bu? Tidak memelukku juga?" tiba-tiba terdengar suara lain yang terdengar centil dan membuat telinga Celine terasa sakit.Qiana, anak bungsu dari keluarga Reynolds juga memiliki penampilan yang menawan. Karena ia memang memiliki pekerjaan sampingan sebagai seorang model semenjak ia di perguruan tinggi. Kakinya yang jenjang, pinggang ramping, dengan mata biru, dan rambut pirang membuatnya terlihat seperti boneka barbie."Qiana! Tentu tidak, Sayangku
"Welcome to hell, Celine!"Celine menghela nafas lelah dan perlahan ia melangkah menaiki undakan yang terbuat dari batu sambil membawa barang-barang miliknya. Celine menekan bel dengan gugup, menunggu pintu dibukakan. Pintu terbuka dan seorang wanita berusia sekitar 50 tahunan dengan rambut keriting pendek dan hidung seperti jangkar."Celine! Untuk apa kau datang kemari?" tanya wanita tua itu jelas-jelas terkejut dengan tampang tidak suka."Nana memintaku untuk datang. Dan selain itu, aku butuh tempat tinggal sementara, Mrs. Reynolds," Celine berkata berusaha meramahkan suaranya dan memaksakan dirinya untuk tersenyum meski dalam hati ia malas setengah mati."Tempat tinggal? Apa kau pikir rumahku ini adalah penginapan gratis bagi para gelandangan?" tanya Mrs. Reynolds dengan wajah angkuh. Ia melipat kedua tangannya di depan dada."Oh ya, aku lupa. Kau memang datang kemari sebagai gelandangan dan yatim piatu!" ujar Mrs. Reynolds dengan nada menghina."Aku memang datang kesini sebagai ya
Celine menjauhkan ponsel itu dari telinganya. Teriakan si penelpon membuat telinganya berdenging. Terutama karena disebabkan ia masih dalam keadaan pengar setelah mabuk berat.Untungnya si penelpon langsung mematikan sambungan dan tidak bicara panjang lebar. Celine melirik jam yang terpampang di layar ponselnya dan langsung terbelalak. "Astaga! Pukul 9 pagi. Aku terlambat ke kantor!" seru Celine dengan panik. Dengan tergesa ia mencari koper miliknya dan menemukannya. Dengan sembarang ia mencari pakaian kerjanya yang masih bersih, mengenakannya dengan susah payah dan langsung membereskan koper dan berlari keluar bagaikan sedang dikejar oleh seekor anjing.Selama berlari Celine baru sadar bahwa ia ternyata berada di sebuah hotel dan akhirnya ia mencari lift untuk turun.Dengan tak sabar ia mengetukkan kakinya yang mengenakan sepatu bertumit rendah sambil menunggu lift membawanya turun ke lobby. Begitu pintu lift terbuka, Celine segera melesat keluar."Selamat pagi, Mrs. Plummer!" sapa
Pandangan Celine masih tak fokus dan buram. Dengan bingung ia mengamati benda pusaka milik Steven. Pusaka itu langsung tegak berdiri. Ia mengerjapkan matanya."Benda apa itu?" tanya Celine dengan polos.Steven buru-buru menunduk untuk mencari handuknya di lantai tapi Celine kembali membuat ulah lagi."Jason! Kau Jasonkan? Kenapa kau berbohong padaku? Apakah karena wanita itu maka kau berpura-pura tak mengenalku?" tuntut Celine mulai marah. Celine bermaksud untuk bangun dari tempat tidur. Ia mengayunkan kakinya ke bawah namun naasnya malah mengenai sisi kepala Steven."Aduh!" keluh Steven."Jason? Maafkan aku," ucap Celine meminta maaf pada lampu tidur yang berada di atas meja buffet di samping tempat tidur. Steven kembali menggeleng melihat kelakuan Celine yang di luar nalar."Sudahlah! Aku ini bukan kekasihmu! Kembalilah tidur. Besok pagi jika sudah sadar kau bisa pergi dari sini!" ucap Steven lelah. Ia sudah berhasil menemukan handuknya dan hendak kembali melilitkan dipinggangnya.