Part 17a
"Kamu butuh uang berapa? Aku akan memberikannya untukmu. 10 juta? 50 juta atau 100 juta?""Aku tidak tahu apa maksud Tante mengatakan hal itu.""Tidak usah pura-pura bodoh, Damay. Katakan saja berapa maumu, akan kupenuhi semua. Tapi tinggalkanlah Saga, berpisahlah dengannya!" ujar Nova tanpa basa-basiDeg! Jantung Damay berdebar lebih kencang. Bisa-bisanya wanita asing yang tiba-tiba datang, tiba-tiba juga menyuruhnya berpisah dengan sang suami."Apa alasannya? Kenapa aku harus meninggalkan Mas Saga, kami--""Sudah sangat jelas bukan? Kau tidak cocok dengannya. Keluarga kita sangat berbeda. Saga dilahirkan dari keluarga kaya dan terhormat." Nova memotong ucapan Damay.Hati Damay terasa begitu perih mendengar hinaan wanita cantik itu. Begitu hinakah dirinya karena miskin tak punya harta?"Lalu, hanya karena keluarga kita berbeda, Tante bisa seenaknya ngomong begini?" sahut Damay dengan mata berkaca-kacPart 17bDamay mencoba tersenyum. "Tidak, bukan apa-apa, Mas. Tadi hanya masalah kecil saja.""Benar kamu tidak apa-apa?""Iya, Mas.""Baiklah kalau kamu tidak mau cerita. Basuh wajahmu ya, Damay. Tetap tenang dan terus semangat ya!"Damay mengangguk sambil tersenyum kecil. "Terima kasih, Mas."***Nova duduk di belakang kemudi, matanya menatap lurus ke depan tetapi pikirannya melayang jauh dari jalanan yang ia lewati. Mobil Honda BRV warna hitam yang ia kendarai melaju pelan di sepanjang jalan raya yang sepi. Langit siang yang begitu panas menyengat membuat suasana hatinya makin gundah."Jauh-jauh datang dari kota agar masalah ini cepat selesai tapi gadis itu sombong dan belagu sekali! Cih! Kupikir masalah akan selesai dalam sekali rencana ini saja, tapi ternyata jauh lebih sulit dari dugaan!"Ya, pertemuan yang awalnya diharapkan Nova akan berjalan lancar tanpa hambatan, tapi ternyata berubah menjadi
Part 18a Mata Damay tampak berkaca-kaca. Ia merasa terharu dengan ucapan sang suami. Spontanitas, wanita itu langsung memeluk Saga. "Terima kasih, Mas, sudah meyakinkanku. Aku akan percaya padamu." Jantung Saga berdebar kencang saat tiba-tiba Damay memeluknya. Ia terdiam sejenak, seolah detik jarum jam berhenti. Tapi sesaat kemudian, dia tersenyum kecil dan mengusap punggung istrinya dengan lembut. Ia pun mencium puncak kepala Damay dengan hangat. Sejak mengenal Damay, ia merasa berbeda. Lebih tenang bila ada sang istri di dekatnya. "Kau sudah lebih baik sekarang?" tanya Saga. Damay mengangguk pelan. "Ayo ikut!" "Kemana?" "Ayo ikut saja!" Lelaki itu mengajak Damay berkeliling, menyusuri tiap sudut rumah itu. "Rumahnya bersih dan rapi ya, Mas," puji Damay saat melihat ke bagian belakang rumah, menatap taman mini yang dihiasi tanaman
Part 18b "Emmh, maksudku, istirahat di sini dulu, pulangnya nanti. Tadi aku dah suruh Pak Tom beli makan malam." "Oh, iya, Mas." Damay duduk di sofa ruang tamu. Sebenarnya ada perasaan canggung sekaligus salah tingkah, terlebih saat sang suami menatapnya. "Tunggu sebentar di sini, ada yang ingin kutunjukkan padamu," ucap Saga. Lelaki itu beranjak meninggalkan istrinya. Tak lama, ia kembali lagi membawa sebuah album foto. Album foto itu ia tunjukkan pada Damay. "Ini adalah album foto masa kecilku. Aku ingin menunjukkan foto yang sangat berarti bagiku." Damay merasa tertarik dan mendekat ke Saga. Mereka membuka album itu bersama-sama. Halaman demi halaman memperlihatkan foto-foto dan momen-momen penting dalam kehidupan Saga. Ada foto ulang tahun, liburan keluarga, dan banyak momen kecil yang penuh kenangan. Saga berhenti pada sebuah foto. Foto yang menampilkan seorang anak laki-la
Part 19aSaga mengerutkan keningnya tak mengerti. "Maksudnya?"Damay menyodorkan paperbag itu pada Saga agar suaminya itu melihat sendiri apa isinya.Mata Saga membulat dengan jantung yang berdebar kencang saat melihat ternyata itu sebuah lingerie. Dia menepuk dahinya sendiri. "Astaga, Pak Tom!" ujarnya menahan malu. Dia menaruh paperbag itu di atas Meja lalu menatap wajah Damay yang masih tersipu. 'Awas saja, Pak Tom!' batinnya menggerutu."Damay, ayo kita sholat isya dulu!" ujar Saga sengaja mengalihkan pembicaraan untuk mengusir rada canggung.Damay mengangguk dan mengikuti langkah suaminya menuju Masjid terdekat. Selepas melaksanakan kewajibannya sebagai seorang muslim, mereka kembali ke rumah. Saga mengajak istrinya masuk ke ruang kerjanya. Sebuah ruangan khusus tempat biasa Saga bekerja. Ada meja dan singgasananya, laptop bahkan rak yang dipenuhi buku dan juga dokumen. "Ini--?"
Part 1"Dicambuk 100 kali saja biar jera atau diarak saja keliling kampung, telanjangi mereka!" teriak salah satu warga memprovokasi. "Benar, lucuti mereka sekarang aja! Lalu arak keliling desa! Biar tau rasaa! Biar gak ada lagi yang nekat berbuat mesum dan zina seperti ini! Sungguh menjijikan!" sambut teriakan riuh para warga yang lain."Hukum mereka!! Arak mereka keliling desa!!"Mereka semua saling sahut menyahut karena sudah terprovokasi. Aku hanya bisa tertunduk lesu sambil menangis sesenggukkan. Bagaimana mungkin, aku yang terjatuh terperosok ke sungai kecil, lalu ditolong lelaki itu justru dituduh berbuat mesum alias berzina? Namun penjelasan kami tak diterima oleh mereka. Bahkan berakhir dengan main hakim sendiri. Lelaki yang membantuku itu dihajar hingga wajahnya babak belur, bahkan motornya pun dirusak warga. Di bawah kaki-kaki hujan yang menitik, menjadi saksi tangisanku saat ini. Baju yang basah kuyup pun tak dihiraukan oleh mereka. Seolah mereka benar-benar tak punya
Part 2"Memangnya kamu punya mahar berapa mau nikahin anak saya?" tanya ibu dengan tatapan tajam. "Seratus ribu.""Apa?? Cuma 100 ribu? kau ini sudah gila ya? Mau nikahin anakku tapi nggak punya modal?!" seru ibu dengan wajah kesal. Bapak menepuk lengan ibu agar tenang."Coba Nak Saga ulangi lagi, berapa mahar yang akan kamu berikan buat putri kami?"Lelaki yang memakai kaos oblong dan dikuncir rambutnya dan terdapat sedikit tato di lengannya segera menoleh ke arahku. Ya, penampilannya memang seperti berandalan, dengan tatapan elang membuatku sedikit bergidik.Namun saat ini, wajahnya dipenuhi luka lebam dan babak belur akibat dihajar warga.Ah entahlah, aku tak bisa melukiskannya, karena perasaan yang bercampur padu antara kalut dan juga tegang. Aku bahkan aku tak mengenal siapa dia sebenarnya, hanya beberapa kali mengingat lelaki itu sepertinya memang pernah datang membeli kue di toko Aksara. Dia berdecak pelan, kesal mungkin gara-gara di sidang oleh pamong desa dan keluarga, se
Part 3"Makanya Mbak May jadi perempuan itu jangan murahan! Mau-maunya berhubungan sama preman jalanan seperti itu! Di tempat yang gak seharusnya pula!Dasar gak punya malu! Hiiiy jijay!!"Degg!!Tiba-tiba saja gadis itu pulang dan langsung menghardikku. Suara adik tiriku terdengar menghina membuatku menggenggam sendok dengan kuat-kuat. Saat ini aku tengah membuat adonan tepung untuk pisang goreng. Tapi kenapa harus mendengar mulut julidnya?Debar jantung masih tak menentu akibat kejadian hari ini yang mengharuskanku menikah dengan pria yang sama sekali tak kukenali."Ya terima sajalah, maharnya cuma 100 ribu. Muraaaaahh! Semurah harga dirimu, Mbak!""Kalau tidak tahu ceritanya jangan memfitnahku sembarangan, Meg!" Aku bangkit dan menatap adik tiri itu dengan tajam.Tapi dengan santainya dia justru memperlihatkan wajah yang meremehkan. "Kenapa? Aku benar kan? Mbak itu murah, mu----raaahh-an! Hahaha," ujarnya seraya menertawakanku. "Aku yakin, orang-orang di sini juga setuju kalau M
Part 4"Damaayy!!" Teriakan ibu kembali menghenyakkanku, aku segea keluar membawa teh manis itu. Padahal apa susahnya sih, Mega disuruh ke dapur dan mengambil teh ini. Kenapa harus aku?Aku menaruh gelas teh itu di meja. Mereka semua terlihat kepedasan. Tak ingin berlama-lama, aku langsung bergegas ke dapur, takut bila gorengan pisangku gosong. Sedikit takjub saat kembali dan melihat Mas Saga tengah membalik gorengan pisang itu. "Mas ...?"Dia menoleh sejenak, lalu mundur membiarkan aku mengmbil alih pekerjaanku kembali. "Mas, ini teh manis buat kamu. Kamu mau minum dimana? Di sini atau di depan?" tanyaku agak canggung."Di sini saja," jawabnya singkat.Aku mengangguk dan menyerahkan gelas itu padanya. Ia langsung duduk bersila di lantai dan menyesap teh manisnya. Aku tertegun sejenak. Mungkin dia juga merasa tersiksa sama sepertiku. Selesai, aku mengangkat gorengan yang masih panas dan meniriskannya sejenak. Lalu menghidangkannya di hadapan lelaki itu. Lelaki yang beberapa jam la