Nuri tak bisa memicingkan mata memikirkan apa yang baru saja terjadi. Dia baru saja menerima lamaran Adit di hadapan keluarga Adit dan keluarganya. Apakah keputusanku ini sudah benar? Kenapa aku jadi takut menghadapi hari esok? Apakah Adit memang jodoh yang ditakdirkan Allah untuk mejaganya? berbagai pertanyaan timbul dalam benaknya. Nuri tersentak kaget dari lamunannya ketika mendengar ponselnya berdering di atas nakas. Pesan dari Adit.[Selamat tidur, Bidadariku. Mimpi yang indah. Terima kasih telah menerimaku, aku ingin mempimpikanmu malam ini.]Nuri tak membalas pesan Adit. Dia bingung harus membalas apa, Nuri masih belum terbiasa dengan status mereka saat ini.Drrrttt… Drrttttt… ponselnya berdering.“Halo.”“Belum tidur? Kok pesanku nggak dibalas?”“Baru mau tidur, Dit. Suara ponselku membangunkanku.”“Baru mau tidur apa nggak bisa tidur? Jangan terlalu memikirkanku, biar aku saja yang memikirkanmu.”“Apaan sih, Dit. Kamu jadi kayak abege gini. Ingat umur Dit, aku malu diperlakuk
“Ibu punya kelainan jantung, tapi sudah beberapa tahun ini nggak pernah kambuh. Nggak tau deh tadi kenapa ibu tiba-tiba pingsan di rumah. Untung pas ada bapak yang nemanin di rumah.”Adit dan Nuri terus aja berbincang dengan berbisik-bisik.“Untuk sementara pasien harus dirawat inap dulu di sini, kami akan melakukan observasi pada pasien untuk mencari tau penyebab penyakitnya kambuh lagi,” kata dokter.“Baik, Dok,” sahut pak Wahyu.“Hubungi kami jika pasien mengalami sesak nafas atau keluhan lainnya. Dan biarkan pasien beristirahat, jangan terlalu banyak mengajaknya bicara dulu,” kata dokter dan kemudian pamit dari sana diikuti oleh perawat yang menemaninya.“Nuri kok ikut kemari? Siapa yang mengabarimu, Nak?” tanya bu Safa dengan suara lemah.“Adit yang mengabariku, Bu. Ibu istirahat dulu ya. Jangan banyak gerak dan banyak ngobrol dulu, kata dokter tadi ibu harus banyak istirahat” sahut Nuri sambil mengelus punggung tangan bu Safa.“Nuri betul, Bu. Istirahat saja dulu nggak usah men
Andri pun kembali buru-buru melangkah ke ruang UGD. Sementara Nuri masih terdiam bingung, ada keinginannya untuk ikut ke dalam dan menengok Rini namun kemudian dia memilih melangkah meninggalkan rumah sakit itu menuju parkiran mobilnya.Setelah mandi dan berganti pakaian, Nuri masih terus memikirkan keadaan Rini yang tadi dijelaskan oleh Andri padanya. Menurut perkiraan Nuri, usia kehamilan Rini saat ini sudah memasuki usia trimester ketiga, tapi mengapa dia masih mengalami muntah-muntah? Sedangkan menurut pengalamannya yang sudah dua kali mengandung dan melahirkan, dia hanya merasakan mual dan muntah di awal-awal usia kehamilannya. Berbagai pertanyaan terlintas di benak Nuri, ada penyesalan di hatinya kenapa tadi tidak memilih menyusul Andri dan melihat kondisi wanita itu. Nuri pun memutuskan menanyakan keadaan Rini pada Andri.[Assalamualaikum, Mas. Bagaimana keadaan Rini?]Pesan Nuri terkirim dan langsung terbaca oleh Andri ditandai dengan centang biru yang terlihat di layar ponsel
“Assalamualaikum.” Nuri masuk dan menyapa Rini dan Meli yang ada di sana.“Walaikumsalam,” sahut Rini dan Meli.“Hai mbak Nuri, kok tau Rini di sini?” tanya Rini dengan suara lemah.“Tau dari mas Andri, Rin.”“Pak Andri?”“Iya. Kemarin kebetulan aku ketemu mas Andri di sini. Gimana keadaanmu?”“Aku baik-baik saja, Mbak.”“Tidak, Rin. Kamu tidak sedang baik-baik saja. Lihat ini kakimu bengkak.”“Mmmm ... maaf, Mbak, waktu Mbak Nuri dulu hamil nggak bengkak gini kakinya? Aku pikir semua ibu hamil memang seperti ini. Aku mau nanya pada Bi Sum sedangkan beliau sendiri belum pernah menikah.”“Kamu nggak rutin memeriksakan kehamilanmu, Rin?”“Nggak, Mbak. Selama hamil cuma tiga kali aku memeriksakan kandungan.”“Ya Allah, Rin. Kenapa jadi teledor gitu. Mas Andri nggak cerewet nyuruh periksa tiap bulan?”Rini tampak diam dan melamun.Sepertinya aku salah ngomong, batin Nuri. Dia sudah mendengar pengakuan dari Andri jika lelaki itu tak pernah begitu peduli selama Rini mengandung.“Nggak, Mbak,
“Tunggulah sebentar lagi kak Rizal ke sini,” kata Nuri setelah menutup telpon.“Terima kasih, Mbak.”Tak berapa lama kemudian pintu diketuk. Rizal dan Andri muncul di depan pintu.“Silakan masuk, Kak,” kata Nuri pada Rizal setelah berbalas salam.Rizal masuk dan berdiri di samping Nuri, sedangkan Andri memilih duduk di sofa memperhatikan semua yang terjadi di sana.“Maafkan aku,” ucap Rini lirih pada Rizal.“Kamu nggak salah, Rin. Akulah yang seharusnya meminta maaf,” jawab Rizal.“Maafkan atas semua kesalahpahaman yang terjadi selama ini, maafkan atas sumpah serapah yang pernah kuucapkan padamu, maafkan aku. Aku menyesal.” air mata Rini berderai.“Tenang, Rin. Jangan menangis, nggak baik untuk kesehatnmu.” Nuri kembali mengusap air mata Rini. Andri yang menyaksikannya dari sofa pun terharu melihat pemandangan di depannya, betapa luasnya hati seorang Nuri menyayangi Rini seperti itu. Makin bertambah rasa kagumnya pada wanita yang telah memberinya 2 orang anak itu.“Apa aku boleh meman
“Ibu hanya takut nggak bisa menyaksikanmu menikah, Nak.” “Bu, ibu nggak akan kenapa-kenapa. Ibu akan baik-baik saja. Nuri baru saja menerima pinanganku, Bu. Terlalu cepat jika ibu meminta kami menikah dalam waktu dekat ini.” “Nuri, bagaimana pendapatmu, Nak? Ibu benar-benar ingin melihat kalian menikah secepatnya.” “Bu, jangan berpikir yang tidak-tidak dulu. Terus terang Nuri belum siap jika secepat ini, Bu. Banyak yang harus Nuri persiapkan, terutama mental anak-anak Nuri.” “Tunggu apa lagi, Nak. Kamu sudah menerima lamaran Adit. Dan kami semua menyayangi anak-anakmu, mereka nggak akan kekurangan kasih sayang. Malah anak-anakmu akan mendapatkan lebih banyak limpahan kasih sayang lagi jika kalian menikah.” Hening sejenak. “Tolong kabulkan permintaan ibu, Nak. Ibu hanya ingin melihat Adit bahagia. Dan hanya nuri yang bisa membuatnya bahagia, ibu yakin itu.” “Jangan mendesak Nuri, Bu. Kasian Nuri. Adit bahagia, Bu. Nuri menerima pinangan Adit aja, Adit sudah sangat bahagia, Bu. Be
Andri ditemani Bu Susi dan Meli menunggu dengan gelisah di depan ruang operasi. Bu Susi baru tiba dari Medan sore tadi untuk menemani putranya menunggu kelahiran anak ketiganya. Sudah satu jam lamanya mereka menunggu di depan ruang operasi namun lampu indikator di depan ruangan itu masih menyala yang menandakan bahwa operasinya belum selesai.Andri terus saja mondar – mandir sedangkan Bu Susi dan Meli hanya duduk diam di kursi yang ada di sana. Beberapa kali Andri terlihat mengusap kasar wajahnya, selain memikirkan keselamatan Rini dan bayinya, pikirannya juga masih diganggu oleh percakapan Nuri dan Adit yang tadi didengarnya dari ruangan Bu Safa. Andri meremas rambutnya sendiri sambil memejamkan matanya.“Jangan panik begitu, Nak. Lebih baik banyak berdoa agar proses operasinya lancar serta istri dan anakmu selamat dan sehat,” bujuk bu Susi yang meilhat begitu frustasinya putranya itu. Bu Susi menganggap Andri terlihat frustasi karena menantikan istri dan anaknya. Andri hanya tersen
Dokter Candra menarik nafas panjang sebelum mulai berbicara. “Sebelumnya saya secara pribadi mengucapkan selamat atas kelahiran putri anda. Putri anda terlahir prematur dengan berat badan yang sangat rendah, berat putri anda tidak sampai 2 kg tapi itu adalah hal yang sangat wajar pada bayi yang terlahir prematur. Kami akan berusaha semaksimal mungkin merawatnya, sebagaimana prosedur perawatan bayi prematur maka anda belum bisa membawa bayi anda pulang sebelum kondisinya benar-benar normal seperti bayi pada umumnya.” dokter Candra diam sesaat sedangkan Andri hanya mengangguk –angguk mengerti.“Hal penting lainnya yang harus saya sampaikan adalah mengenai istri anda. Istri anda sedang dalam kondisi yang tidak terlalu baik pasca operasi, preeklamsia yang dideritanya selama kehamilannya sangat mempengaruhi kondisinya pada saat dan pasca operasi dilakukan. Untuk saat ini istri anda memang belum sadar efek dari obat bius, namun berkaca dari beberapa kasus serupa yang pernah kami tangani ke