"Kamu warga baru disini jangan berani kepada saya!" ucapnya lalu meninggalkan aku dan Mbak Lilik yang saling berpegangan tangan.Mbak Lilik tersenyum simpul dan mendekati si ibu tersebut lalu berbisik yang tak bisa kudengar sekata pun. Saat hendak berbalik arah, wanita itu memandang ke arahku tajam. Seperti ada sebuah kemarahan yang terpendam.Tangannya mengepal kuat dan erat sehingga dapat disimpulkan jika dia ingin berontak, tapi ada yang tertahan. Entah pembicaraan macam apa yang mereka lakukan, karena suaranya pelan sehingga untuk mendengarkannya aku tidak mampu."Mbak, kamu apain dia?" Aku penasaran dengan yang Mbak Lilik lakukan barusan."Tenang saja, biar aku yang urus. Memang dia seperti itu sejak dulu, sejak aku menjadi istrinya Mas Bima. Kalau kata ibu, dia itu suka sama Kakakmu. Makanya selalu saja mencari celah dalam hubunganku. Ini bukan kali pertama," jawab Mbak Lilik setengah berbisik.Aku melongo mendesir jawabannya itu. Aneh memang, sudah mempunyai keluarga sendiri-se
Pintu diketuk keras dari luar, lebih tepatnya di gedor. Kami bertiga yang sedang menikmati makan malam seketika menghentikan aktivitas. Mbak Lilik mengangguk seraya tersenyum tipis, seolah dia tahu siapa tamu yang saat makan malam datang itu."Biar aku saja, aku tahu siapa mereka," cegah Mbak Lilik pada Mas Bima yang hendak beranjak dari duduknya.Beruntung kami sudah selesai makan, Mas Bima pun mengikuti langkah Mbak Lilik setelah mencuci tangan dan mulut. Sedang aku membersihkan meja makan lalu menunda mencuci piring karena rasa penasaran yang memberontak ini."Nah, itu dia!" tunjuk wanita yang tadi pagi ketemu di pasar dan mengatasnamakan dirinya sebagai ibu RT.Bukannya bersikap bijak dan tenang, wanita itu justru seolah mengeluarkan taringnya di rumah orang lain. Bukankah berseberangan dengan yang namanya RT? "Maaf, bisa lihat KTPnya? Kami perlu tahu anda siapa yang datang ke rumah ini dan menginap," ujar lelaki setengah baya dengan pakaian koko panjang dan memakai peci hitam te
"Kami permisi kalau begitu, Mas, Mbak!" pamit Pak RW."Tunggu!" teriak para warga yang sudah berkumpul di halaman rumah.Tatapan mereka sungguh tak bersahabat, spontan aku mundur selangkah. Namun, bukan pada Mas Bima dan Mbak Lilik, mereka berdua malah maju mendekati para bapak-bapak dan ibu-ibu tersebut tanpa ada raut wajah ketakutan."Kita perlu buktikan kalau mereka memang saudara kandung, kalau tidak maka malam ini juga wanita itu harus angkat kaki dari sini," ujar salah satu lelaki yang memakai pakaian serba putih itu."Maaf, Mas Bima, bukannya kami tidak sopan hanya saja akan lebih baik membuktikan malam ini daripada nanti ada fitnah-fitnah lagi yang jauh lebih menyakitkan. Biar semua tahu jika Mas Bima benar di dalam masalah ini," imbuhnya.Semua mengangguk setuju, tapi saat aku melirik ke arah ibu RT atau lebih tepatnya Mbak Sari, dia tertunduk. Entah apa lagi yang akan dilakukan olehnya. Mencari masalah baru atau akan menyudahi jika semua ini fitnahan dari dia."Silahkan masu
"Sepertinya aku harus pergi dari sini, Mbak." Mbak Lilik membulatkan matanya sempurna mendengar apa yang baru saja aku katakan.Menurutku ini kebenaran, aku memang harus pergi dari sini. Buat apa hidup di tempat yang penuh dengan masalah karena jika ada jalan lain maka lebih baik dihindari. Lelah raga dan batin jika harus seperti ini terus-menerus."Nggak, Mbak nggak setuju. Kamu bakat dagang? Nanti Mbak akan sediakan tempatnya!" ujar Mbak Lilik, dia berdiri dan mendekatiku."Belajarlah tegar, belajarlah tegas dan berdiri sendiri. Masalah akan selalu datang pada semua orang dan tinggal bagaimana caranya menyelesaikan bukan lari, tetap semangat!" imbuhnya.Itulah Mbak Lilik, dia akan selalu memberikan diriku kalimat-kalimat sederhana, tapi berarti. Memang benar, aku harus menghadapi tantangan hidup ini. Namun, jika terus-menerus aku juga lelah dan bosan. Pengen hidup tenang dan damai, nyatanya harus lagi berkecimpung dalam perdebatan, pertikaian dan kesalahpahaman.Mbak Lilik dan Mas B
Sebulan berlalu, kehidupan yang kujalani semakin beraturan. Mencoba untuk tetap diam dan tenang serta acuh adalah jalan terbaik saat ini. Pekerjaan yang aku jalani telah berkembang pesat, iya, Mbak Lilik memberikan kesempatan padaku dengan tanggung jawab besar.Sebuah ruko yang terletak di pinggir jalan raya besar kini menjadi tempatku bekerja. Bukan jualan pakaian, tapi aku mencoba mengadu nasib dengan jualan berbagai macam kue-kue. Dasar yang aku miliki dari Ibu Fatimah kini telah aku lakukan di sini. Semoga saja bisa jauh lebih baik kedepan.Aku ditemani seorang gadis yang saat pertama kali kita bertemu di sebuah pusat perbelanjaan, dia yang dimarahi oleh majikannya dulu kini bekerja padaku. Orangnya rajin dan ramah, itu yang paling aku suka karena aku yang pendiam ini akan kesulitan jika menjadi penjual."Mbak Rani, kita punya pesanan banyak akhir pekan. Ada sekian lima puluh kotak bolu coklat," ujarnya sore ini."Baik nanti aku beli bahan yang sudah habis. Kamu lanjutkan saja ker
Badan ini terasa berat, pekerjaan yang banyak membuat aku lupa makan siang. Perut melilit sehingga menimbulkan keringat dingin mengucur deras dari kening dan punggung. Rasanya aku seperti tak kuat lagi berdiri tegak.Namun, Lusi tiba-tiba datang dan memapahku untuk segera duduk di kursi. Telaten dia menyiapkan segelas teh hangat dan nasi Padang dengan rendang daging. "Makan dulu, Mbak! Jangan terlalu keras dalam bekerja, tubuh juga butuh amunisi untuk perang!""Lusi!""Mbak Rani sendiri yang mengajariku seperti ini, jangan di tolak, ya!""Nggak! Aku bisa makan sendiri!" tolakku keras.Namun, tangan ini justru ditepis olehnya. Lusi menyuapiku penuh sayang. Kedekatan kami memang terasa indah, disini aku memiliki keluarga baru yang penyayang."Lusi, sudah. Ada tamu!" ucapku saat melihat seseorang masuk dan mengucapkan salam."Mbak Rani disini saja, biar saya yang lihat! Kesehatan itu penting Mbak, jangan terlalu banyak memforsir diri seperti ini. Saya takutnya nanti Mbak Rani kenapa-ken
"Kamu istirahat dulu saja di rumah, urusan toko biar di tangani sama Lusi!" celetuk Mbak Lilik, padahal aku sudah rapi dan tinggal berangkat saja ke toko.Tak ingin berdiam diri di rumah, tubuh ini terasa tambah sakit jika tidak mengerjakan sesuatu. Sudah menjadi kebiasaan memang jika aku selalu di kamar, tubuh akan semakin sakit."Nggak, ah, aku nggak biasa duduk manis di rumah, Kak. Lebih baik kerja, sekalian bisa olahraga bibir.""Kamu itu ngeyel, keras kepala sama saja dengan Bima, dasar kakak adik," balas Mbak Lilik menggeleng kepalanya berulangkali. Bi Iyah yang mendengar perdebatan kecil diantara kami tersenyum-senyum sendiri sambil mengiris sayuran di dapur. Seperti inilah aku dan Mbak Lilik jika sedang berbicara, dia pembawaannya yang keras dan aku yang selalu nggak mau diatur.Meskipun terkadang ada benturan kecil maka kami akan sama-sama diam dan jika sudah dingin semua pikiran kami maka segera menyudahi kerenggangan yang terjadi. Mbak Lilik sangat ngemong banget, aku suka
"Bi Iyah jangan bersedih lagi, kita ini keluarga dan Bibi bisa menganggap saya anak juga," ujarku yang justru semakin membuat wanita itu bersedia.Kami saling berpelukan hangat, rindu yang datang sedikit hilang. Ku usap air mata yang turun di pipi wanita paruh baya itu, meskipun masih menyisakan sesenggukan yang membuat dia tersiksa untuk bersuara.Segera mempersiapkan diri untuk mengunjungi makam Ibu, sehabis itu aku akan pergi ke toko. Kasihan Lusi jika harus melayani pembeli sendirian. Aku tak ingin dia kecapekan juga, kesehatan itu mahal dan harus dijaga baik-baik."Yakin kamu akan bekerja?" Kembali Mbak Lilik menanyakan perihal itu. Padahal aku sudah berusaha menyakinkan kalau memang aku sehat dan akan ke toko."Iya, Mbak, tapi aku akan ke makam ibu dulu, Mbak Lilik bisa mengantarkan sebentar? Maaf jika merepotkan," ajeku hati-hati.Aku nggak mau dia tersinggung karena hari ini aku mempunyai permintaan banyak. Meskipun di luarnya penuh senyum, tapi aku juga harus jaga hati dia.