Badan ini terasa berat, pekerjaan yang banyak membuat aku lupa makan siang. Perut melilit sehingga menimbulkan keringat dingin mengucur deras dari kening dan punggung. Rasanya aku seperti tak kuat lagi berdiri tegak.Namun, Lusi tiba-tiba datang dan memapahku untuk segera duduk di kursi. Telaten dia menyiapkan segelas teh hangat dan nasi Padang dengan rendang daging. "Makan dulu, Mbak! Jangan terlalu keras dalam bekerja, tubuh juga butuh amunisi untuk perang!""Lusi!""Mbak Rani sendiri yang mengajariku seperti ini, jangan di tolak, ya!""Nggak! Aku bisa makan sendiri!" tolakku keras.Namun, tangan ini justru ditepis olehnya. Lusi menyuapiku penuh sayang. Kedekatan kami memang terasa indah, disini aku memiliki keluarga baru yang penyayang."Lusi, sudah. Ada tamu!" ucapku saat melihat seseorang masuk dan mengucapkan salam."Mbak Rani disini saja, biar saya yang lihat! Kesehatan itu penting Mbak, jangan terlalu banyak memforsir diri seperti ini. Saya takutnya nanti Mbak Rani kenapa-ken
"Kamu istirahat dulu saja di rumah, urusan toko biar di tangani sama Lusi!" celetuk Mbak Lilik, padahal aku sudah rapi dan tinggal berangkat saja ke toko.Tak ingin berdiam diri di rumah, tubuh ini terasa tambah sakit jika tidak mengerjakan sesuatu. Sudah menjadi kebiasaan memang jika aku selalu di kamar, tubuh akan semakin sakit."Nggak, ah, aku nggak biasa duduk manis di rumah, Kak. Lebih baik kerja, sekalian bisa olahraga bibir.""Kamu itu ngeyel, keras kepala sama saja dengan Bima, dasar kakak adik," balas Mbak Lilik menggeleng kepalanya berulangkali. Bi Iyah yang mendengar perdebatan kecil diantara kami tersenyum-senyum sendiri sambil mengiris sayuran di dapur. Seperti inilah aku dan Mbak Lilik jika sedang berbicara, dia pembawaannya yang keras dan aku yang selalu nggak mau diatur.Meskipun terkadang ada benturan kecil maka kami akan sama-sama diam dan jika sudah dingin semua pikiran kami maka segera menyudahi kerenggangan yang terjadi. Mbak Lilik sangat ngemong banget, aku suka
"Bi Iyah jangan bersedih lagi, kita ini keluarga dan Bibi bisa menganggap saya anak juga," ujarku yang justru semakin membuat wanita itu bersedia.Kami saling berpelukan hangat, rindu yang datang sedikit hilang. Ku usap air mata yang turun di pipi wanita paruh baya itu, meskipun masih menyisakan sesenggukan yang membuat dia tersiksa untuk bersuara.Segera mempersiapkan diri untuk mengunjungi makam Ibu, sehabis itu aku akan pergi ke toko. Kasihan Lusi jika harus melayani pembeli sendirian. Aku tak ingin dia kecapekan juga, kesehatan itu mahal dan harus dijaga baik-baik."Yakin kamu akan bekerja?" Kembali Mbak Lilik menanyakan perihal itu. Padahal aku sudah berusaha menyakinkan kalau memang aku sehat dan akan ke toko."Iya, Mbak, tapi aku akan ke makam ibu dulu, Mbak Lilik bisa mengantarkan sebentar? Maaf jika merepotkan," ajeku hati-hati.Aku nggak mau dia tersinggung karena hari ini aku mempunyai permintaan banyak. Meskipun di luarnya penuh senyum, tapi aku juga harus jaga hati dia.
Ada seseorang yang berdiri tegak dengan pandangan angkuh. Dia tak lain adalah wanita yang memfitnahku kala itu, Mbak Sari. Wanita yang begitu aneh dan unik, padahal aku belum tentu kenal dengan dia. Namun, seolah mengenal lebih dekat."Ngapain kamu disini? Mau merusak pemandangan?" ketusnya.Dia membuang muka saat aku melihatnya intens, dari atas hingga ke bawah merupakan sesuatu yang sangat unik. Aku nggak mau menilai pakaian yang dikenakan, karena bukan ahlinya. Akan tetapi, jika orang lain melihat wanita didepanku ini bisa dipastikan dinilai aneh."Mbaknya?" "Jelas aku mau membeli kue cemilan disini, katanya sih enak, nggak tahu itu benar atau hanya omong kosong belaka."Aku mempersilahkan dia masuk, langkahnya yang tegak tanpa menunduk itu mengundang perhatian dari pembeli lainnya. Begitu pula Lusi yang melihatnya spontan menutup mulut."Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" tanya Lusi lembut."Katanya disini ada kue murah dan mendapatkan diskon lalu katanya juga ada bonusnya
"Memangnya siapa Sari itu, Mbak? Kok kayaknya sama Mbak Rani kurang sreg gitu, dia sering kesini, lho, sebenarnya. Namun, aku nggak pernah bilang," ucap Lusi hati-hati."Tetangga yang kurang bersahabat, sudahlah jangan dibahas, paling penting kita ramah saja sama pembeli. Oh, iya, si Rosa belum kesini?" Aku tak ingin terpancing dengan menjelekkan orang lain. Memang awalnya biasa saja, tapi aku takut nanti akhirnya keterusan dan malahan menghibah. Bukankah itu justru akan mengundang sebuah kesalahan baru yang menjadi masalah di kemudian hari?Lusi pun seperti salah tingkah dengan jawaban yang aku berikan. Pembeli sudah sepi, tinggal kami berdua disini memulai menata lagi barang penjualan di etalase. Senyum ini terukir terus-menerus kala melihat berjejeran kue bolu yang indah di tempatnya.Tak pernah sekali aku membayangkan akan semakin tegak dalam melihat masa depan. Dulunya aku yang terpuruk dan selalu berpikir buruk tentang nasib ini kini telah berubahnya. Jalan seseorang memang ber
Hari-hari yang kami semua lewati begitu indah, aku dan semua teman bekerja sama dengan baik. Pesanan pun semakin banyak sehingga raga terkadang lelah dan ingin beristirahat, tapi pesanan yang datang tiada henti.Aku dan Lusi juga Rosa saling bahu-membahu mempersiapkan semuanya. Tak terkecuali saat pengiriman, kini Lusi yang aku minta bantuan untuk pergi ke beberapa pelanggan. Malam ini aku mengajak mereka berdua untuk makan di luar, sebagai apresiasi kerja keras yang telah dilakukan. Kalau bukan karena adanya mereka aku pun tak akan sampai di puncak seperti ini. Makanan lesehan menjadi salah satu tujuan kami, meski sedikit ada rasa canggung, tapi aku menjelaskan pada Rosa bahwasanya kami adalah sama. Baik dari jenis kelamin juga derajat, dia memang selalu seperti itu. Seolah menjaga jarak."Nggak apa, nanti kalian bawa makanan itu juga untuk yang di rumah. Sekarang kita makan bareng-bareng sekaligus merayakan kejayaan kita. Terima kasih banyak, ya, atas kerjasamanya. Tanpa kalian to
"Oh, ini yang namanya Rani?" Aku terkejut mendengar seseorang memanggil namaku dengan nada sangat tinggi.Di tempat ini aku belum banyak mempunyai kenalan kecuali pelanggan dan teman-teman Mbak Lilik. Jadi jika ada seseorang yang datang lalu marah-marah kepadaku bukankah itu membuat diri ini kaget bukan kepalang?Wanita yang sangat modis, dari atas hingga bawah semuanya nampak mencorong bagaikan lampu sorot yang memukau. Rambutnya yang panjang sepinggang seolah menambah kesan betapa anggunnya wanita ini, tapi sayangnya senyumnya tak bersahabat.Aku yang melihat dia bersedekap dada di depan Lusi itu mendadak ragu untuk bergerak. Suaranya yang begitu menggema dan menusuk hati membuatku berpikir jernih. Sebenarnya apa maksud dari kedatangan dia kesini?"Sa-saya bukan …." Suara Lusi gagap."Kenapa? Kamu takut? Seharusnya kamu jadi wanita cerdas, kalau mau menarik lelaki kaya itu kamu harus cantik. Lah, ini, tubuh saja nggak berbentuk kok mau-maunya mendekati lelaki orang!" ketusnya lagi y
Namun, aku harus bisa menjaga tempat dari permasalahan kecil seperti ini yang datang tiba-tiba dan membuatku sedikit bingung. Bagaimana tidak? Aku yang sama sekali tak tahu-menahu diharuskan berhadapan dengan wanita aneh. Tatapan matanya bak seorang ratu sihir. "Bu, tolong jelaskan duduk permasalahannya!" ujarku tegas."Saya bukan ibu kamu, jangan sekali-kali memanggil dengan nama ibu!" Mencoba menarik napas panjang membiasakan supaya rongga-rongga dada ini menjadi hebat karena pengaruh dari emosi yang mulai menggumpal di otak. Bagaimana bisa aku mendapatkan kerikil ini lagi, selalu saja ada sesuatu yang baru. "Baik, sebenarnya apa yang anda inginkan dari saya?""Kamu Rani? Oh, ini yang namanya wanita jalang itu, yang punya pikiran kotor dan menggoda lelaki milik orang lain. Kamu nggak tahu malu? Seharusnya kamu tahu jika perbuatan itu sama sekali nggak beretika, rendahan!" ujarnya tanpa jeda.Kali ini aku nggak bisa lagi sakit hati, ah, mungkin rasa sakit ini sudah kebas karena se