"Kami permisi kalau begitu, Mas, Mbak!" pamit Pak RW."Tunggu!" teriak para warga yang sudah berkumpul di halaman rumah.Tatapan mereka sungguh tak bersahabat, spontan aku mundur selangkah. Namun, bukan pada Mas Bima dan Mbak Lilik, mereka berdua malah maju mendekati para bapak-bapak dan ibu-ibu tersebut tanpa ada raut wajah ketakutan."Kita perlu buktikan kalau mereka memang saudara kandung, kalau tidak maka malam ini juga wanita itu harus angkat kaki dari sini," ujar salah satu lelaki yang memakai pakaian serba putih itu."Maaf, Mas Bima, bukannya kami tidak sopan hanya saja akan lebih baik membuktikan malam ini daripada nanti ada fitnah-fitnah lagi yang jauh lebih menyakitkan. Biar semua tahu jika Mas Bima benar di dalam masalah ini," imbuhnya.Semua mengangguk setuju, tapi saat aku melirik ke arah ibu RT atau lebih tepatnya Mbak Sari, dia tertunduk. Entah apa lagi yang akan dilakukan olehnya. Mencari masalah baru atau akan menyudahi jika semua ini fitnahan dari dia."Silahkan masu
"Sepertinya aku harus pergi dari sini, Mbak." Mbak Lilik membulatkan matanya sempurna mendengar apa yang baru saja aku katakan.Menurutku ini kebenaran, aku memang harus pergi dari sini. Buat apa hidup di tempat yang penuh dengan masalah karena jika ada jalan lain maka lebih baik dihindari. Lelah raga dan batin jika harus seperti ini terus-menerus."Nggak, Mbak nggak setuju. Kamu bakat dagang? Nanti Mbak akan sediakan tempatnya!" ujar Mbak Lilik, dia berdiri dan mendekatiku."Belajarlah tegar, belajarlah tegas dan berdiri sendiri. Masalah akan selalu datang pada semua orang dan tinggal bagaimana caranya menyelesaikan bukan lari, tetap semangat!" imbuhnya.Itulah Mbak Lilik, dia akan selalu memberikan diriku kalimat-kalimat sederhana, tapi berarti. Memang benar, aku harus menghadapi tantangan hidup ini. Namun, jika terus-menerus aku juga lelah dan bosan. Pengen hidup tenang dan damai, nyatanya harus lagi berkecimpung dalam perdebatan, pertikaian dan kesalahpahaman.Mbak Lilik dan Mas B
Sebulan berlalu, kehidupan yang kujalani semakin beraturan. Mencoba untuk tetap diam dan tenang serta acuh adalah jalan terbaik saat ini. Pekerjaan yang aku jalani telah berkembang pesat, iya, Mbak Lilik memberikan kesempatan padaku dengan tanggung jawab besar.Sebuah ruko yang terletak di pinggir jalan raya besar kini menjadi tempatku bekerja. Bukan jualan pakaian, tapi aku mencoba mengadu nasib dengan jualan berbagai macam kue-kue. Dasar yang aku miliki dari Ibu Fatimah kini telah aku lakukan di sini. Semoga saja bisa jauh lebih baik kedepan.Aku ditemani seorang gadis yang saat pertama kali kita bertemu di sebuah pusat perbelanjaan, dia yang dimarahi oleh majikannya dulu kini bekerja padaku. Orangnya rajin dan ramah, itu yang paling aku suka karena aku yang pendiam ini akan kesulitan jika menjadi penjual."Mbak Rani, kita punya pesanan banyak akhir pekan. Ada sekian lima puluh kotak bolu coklat," ujarnya sore ini."Baik nanti aku beli bahan yang sudah habis. Kamu lanjutkan saja ker
Badan ini terasa berat, pekerjaan yang banyak membuat aku lupa makan siang. Perut melilit sehingga menimbulkan keringat dingin mengucur deras dari kening dan punggung. Rasanya aku seperti tak kuat lagi berdiri tegak.Namun, Lusi tiba-tiba datang dan memapahku untuk segera duduk di kursi. Telaten dia menyiapkan segelas teh hangat dan nasi Padang dengan rendang daging. "Makan dulu, Mbak! Jangan terlalu keras dalam bekerja, tubuh juga butuh amunisi untuk perang!""Lusi!""Mbak Rani sendiri yang mengajariku seperti ini, jangan di tolak, ya!""Nggak! Aku bisa makan sendiri!" tolakku keras.Namun, tangan ini justru ditepis olehnya. Lusi menyuapiku penuh sayang. Kedekatan kami memang terasa indah, disini aku memiliki keluarga baru yang penyayang."Lusi, sudah. Ada tamu!" ucapku saat melihat seseorang masuk dan mengucapkan salam."Mbak Rani disini saja, biar saya yang lihat! Kesehatan itu penting Mbak, jangan terlalu banyak memforsir diri seperti ini. Saya takutnya nanti Mbak Rani kenapa-ken
"Kamu istirahat dulu saja di rumah, urusan toko biar di tangani sama Lusi!" celetuk Mbak Lilik, padahal aku sudah rapi dan tinggal berangkat saja ke toko.Tak ingin berdiam diri di rumah, tubuh ini terasa tambah sakit jika tidak mengerjakan sesuatu. Sudah menjadi kebiasaan memang jika aku selalu di kamar, tubuh akan semakin sakit."Nggak, ah, aku nggak biasa duduk manis di rumah, Kak. Lebih baik kerja, sekalian bisa olahraga bibir.""Kamu itu ngeyel, keras kepala sama saja dengan Bima, dasar kakak adik," balas Mbak Lilik menggeleng kepalanya berulangkali. Bi Iyah yang mendengar perdebatan kecil diantara kami tersenyum-senyum sendiri sambil mengiris sayuran di dapur. Seperti inilah aku dan Mbak Lilik jika sedang berbicara, dia pembawaannya yang keras dan aku yang selalu nggak mau diatur.Meskipun terkadang ada benturan kecil maka kami akan sama-sama diam dan jika sudah dingin semua pikiran kami maka segera menyudahi kerenggangan yang terjadi. Mbak Lilik sangat ngemong banget, aku suka
"Bi Iyah jangan bersedih lagi, kita ini keluarga dan Bibi bisa menganggap saya anak juga," ujarku yang justru semakin membuat wanita itu bersedia.Kami saling berpelukan hangat, rindu yang datang sedikit hilang. Ku usap air mata yang turun di pipi wanita paruh baya itu, meskipun masih menyisakan sesenggukan yang membuat dia tersiksa untuk bersuara.Segera mempersiapkan diri untuk mengunjungi makam Ibu, sehabis itu aku akan pergi ke toko. Kasihan Lusi jika harus melayani pembeli sendirian. Aku tak ingin dia kecapekan juga, kesehatan itu mahal dan harus dijaga baik-baik."Yakin kamu akan bekerja?" Kembali Mbak Lilik menanyakan perihal itu. Padahal aku sudah berusaha menyakinkan kalau memang aku sehat dan akan ke toko."Iya, Mbak, tapi aku akan ke makam ibu dulu, Mbak Lilik bisa mengantarkan sebentar? Maaf jika merepotkan," ajeku hati-hati.Aku nggak mau dia tersinggung karena hari ini aku mempunyai permintaan banyak. Meskipun di luarnya penuh senyum, tapi aku juga harus jaga hati dia.
Ada seseorang yang berdiri tegak dengan pandangan angkuh. Dia tak lain adalah wanita yang memfitnahku kala itu, Mbak Sari. Wanita yang begitu aneh dan unik, padahal aku belum tentu kenal dengan dia. Namun, seolah mengenal lebih dekat."Ngapain kamu disini? Mau merusak pemandangan?" ketusnya.Dia membuang muka saat aku melihatnya intens, dari atas hingga ke bawah merupakan sesuatu yang sangat unik. Aku nggak mau menilai pakaian yang dikenakan, karena bukan ahlinya. Akan tetapi, jika orang lain melihat wanita didepanku ini bisa dipastikan dinilai aneh."Mbaknya?" "Jelas aku mau membeli kue cemilan disini, katanya sih enak, nggak tahu itu benar atau hanya omong kosong belaka."Aku mempersilahkan dia masuk, langkahnya yang tegak tanpa menunduk itu mengundang perhatian dari pembeli lainnya. Begitu pula Lusi yang melihatnya spontan menutup mulut."Selamat siang, ada yang bisa saya bantu?" tanya Lusi lembut."Katanya disini ada kue murah dan mendapatkan diskon lalu katanya juga ada bonusnya
"Memangnya siapa Sari itu, Mbak? Kok kayaknya sama Mbak Rani kurang sreg gitu, dia sering kesini, lho, sebenarnya. Namun, aku nggak pernah bilang," ucap Lusi hati-hati."Tetangga yang kurang bersahabat, sudahlah jangan dibahas, paling penting kita ramah saja sama pembeli. Oh, iya, si Rosa belum kesini?" Aku tak ingin terpancing dengan menjelekkan orang lain. Memang awalnya biasa saja, tapi aku takut nanti akhirnya keterusan dan malahan menghibah. Bukankah itu justru akan mengundang sebuah kesalahan baru yang menjadi masalah di kemudian hari?Lusi pun seperti salah tingkah dengan jawaban yang aku berikan. Pembeli sudah sepi, tinggal kami berdua disini memulai menata lagi barang penjualan di etalase. Senyum ini terukir terus-menerus kala melihat berjejeran kue bolu yang indah di tempatnya.Tak pernah sekali aku membayangkan akan semakin tegak dalam melihat masa depan. Dulunya aku yang terpuruk dan selalu berpikir buruk tentang nasib ini kini telah berubahnya. Jalan seseorang memang ber
Perjalanan rumah tangga selama hampir satu tahun bersama Mas Aldi terasa indah. Adakalanya menangis, tertawa bercampur dan berganti bagaikan musim yang sedang terjadi di dunia ini.Kerikil-kerikil kecil menghalangi jalan kami, tapi Alhamdulillah masih bisa dilalui dengan baik karena pemikiran yang dewasa dan tenang dari suamiku itu membuat diriku semakin jatuh cinta dan bersyukur betapa memilikinya adalah anugerah paling indah juga beruntung.Bulan ini adalah bulan di mana aku akan melahirkan. Segala keperluan sudah aku penuhi, tinggal menunggu lahiran. Malam ini udara terasa panas, kipas angin yang selalu berputar seolah tidak terasa sama sekali. Bahkan pakaian tidur yang aku kenakan pun sudah berganti yang tipis, tapi masih saja terasa gerah."Mungkin memasuki musim baru, ayo, tidur di dalam saja!" ajak Mas Aldi saat melihatku yang tengah mencari tempat paling nyaman.Di teras, di ruang tamu, di depan televisi juga di ruang makan sudah aku jelajahi. Akan tetapi, masih saja sama tid
Seminggu sudah aku dan Mas Aldi memulai babak baru di rumah ini. Semua sudah lengkap, rumah disulap menjadi tempat ternyaman saat lelah raga melanda. Berbagai macam tanaman pelengkap sayuran berada di taman belakang.Sedang ditaman depan, aku berikan sedikit sentuhan dengan bunga mawar dan tanaman lainnya. Sejuk jika dipandang mata sambil menikmati teh hangat di kala pagi ataupun senja tiba.Begitulah kami menikmati indahnya hidup ini, saling bercengkrama dan bercerita tentang pekerjaan dan juga rumah. Iya, meskipun aku sudah menjadi istri, tapi toko yang ku punya tetap berjalan hingga detik ini.Tidak dilarang untuk bekerja oleh Mas Aldi, karena itulah caranya untukku supaya bisa tetap bahagia. Sebab, dirumah aku kesepian jika dia bekerja. Semuanya lancar, pekerjaan, rumah tangga juga hubungan dengan orang tuanya.Alhamdulillah, itulah yang aku inginkan sejak dulu. Selalu harmonis dan terjaga meskipun terkadang dalam berumah tangga itu ada kerikil kecil yang menghalangi jalannya. Pem
Hampir tiga hari kami baru sampai di rumah lagi. Bermalam di kediaman Mas Bima semalam lalu ke rumah Mas Aldi. Disini aku memulai babak baru menjadi istri sepenuhnya.Rumah mungil minimalis yang begitu indah, Mas Aldi membelinya saat masih sendiri. Uang tabungan yang selama ini di simpan di belikan rumah sebagai tempat bermuaranya kami dalam rumah tangga. Meskipun di tinggal lama, tapi bersih karena selalu dijaga dengan baik oleh seseorang yang diminta Mas Aldi untuk membersihkannya."Ini rumah kita, rumah kamu dan aku. Rawatlah dan jaga seperti rumah sendiri. Semoga kelak kita menua disini bersama anak dan cucu." Tangan itu menggenggamku erat.Ada rasa haru dan bahagia kala memiliki istana mungil ini. Kebahagiaan seorang istri adalah mempunyai rumah, hidup bersama keluarga kecilnya. Kasarnya makan dengan garam tak mengapa jika bersama suami dan anak."Aamiin," balasku tersenyum senang.Mengucapkan salam saat pintu rumah mulai terbuka perlahan-lahan. Lantai yang putih bersih dan perle
Mobil travel sudah sampai di depan rumah, Pakde Nyomo beserta anak istrinya datang ke rumah. Padahal sehabis sarapan tadi kami semua berkunjung kesana untuk meminta doa restu supaya perjalanan yang kami tempuh selamat sampai tujuan.Namun, namanya juga keluarga, mereka berduyun-duyun datang dan memberikan doa kepada kami lagi. Ada haru, bahagia dan sedih bercampur aduk menjadi satu disini. Bahkan isakan mengiringi langkah kaki kami untuk pergi ke pulau seberang kembali."Kini saatnya kami mengawali kehidupan yang sebenarnya, mohon doanya semoga diberikan kelancaran dan kesuksesan dalam meraih mimpi yang indah," ucapku haru."Jika ada umur panjang, kesehatan dan rezeki yang melimpah kami akan berkunjung kembali kesini lagi melihat kampung terindah beserta keluarga besar yang selalu aku rindukan ini," imbuhku.Bu Fatimah memeluk tubuh ini lagi, seolah enggan untuk melepaskan. Beliau begitu berat berpisah dariku. Entahlah, sebenarnya aku pun ingin bersama mereka selamanya. Namun, ada ses
Pagi yang cerah secerah mentari yang mulai menampakkan warna Indahnya ke dunia ini. Tumbuh-tumbuhan bergoyang syahdu seiring dengan kicauan burung yang berdiri manja di rantingnya. Dihiasi dengan tetesan embun yang seolah memberikan kesejukan saat menikmati alam yang nyata juga indah ini.Ciptaan Tuhan yang begitu sempurna. Apalagi saat suara Kokok ayam bersahutan di antara cicitan anak-anak ayam membuat suasana pagi yang selalu aku rindukan kala di pulau seberang itu membuatku tersenyum melihatnya.Di belakang rumah Ayah, hewan piaraan kembali saling bersahutan, kambing, ayah juga burung yang hinggap di dahan pohon. Selalu aku menikmatinya dulu saat masih tinggal bersama mereka.Sedang, sayuran yang ditanam ibu di sini terlihat segar dan siap untuk dipetik. Warna cabai yang berwarna-warni menggiurkan dan seolah berteriak meminta untuk diambil dan dimasak. Pun demikian dengan sayuran bayam, kangkung juga terong, ibu memang super lincah.Apapun akan di tanamnya di lahan kosong, memanfa
Dua Minggu sudah aku, Mas Aldi, Mbak Lilik dan juga Mas Bima di kampung. Kini saatnya kami kembalikan lagi ke aktivitas masing-masing. Tidak bisa berlama-lama juga kami disini karena ada pekerjaan yang menanti di sana.Sehabis makan malam, kami berkemas, segala pakaian pun sudah siap untuk dibawa pulang kembali ke tempat semula. Bahkan Ibu Fatimah pun memberikan beberapa oleh-oleh khas kampung ini. Juga titipan buat ibu mertua sudah siap sedia untuk dibawa."Ibu nggak bisa memberikan banyak oleh-oleh, hanya segini saja semoga cukup dan bermanfaat buat keluarga disana," ucapnya saat memberikan beberapa plastik berisi penuh itu."Ini beras ketan buat mertuamu, beliau bilang disana mahal jadi Ibu titip ini, ya," imbuhnya dengan senyum merekah."Terima kasih banyak, Bu. Apa ini nggak merepotkan?" Mas Aldi bertanya saat melihat kami saling memegang plastik hitam itu.Bu Fatimah mengembangkan senyumnya, beliau duduk di sampingku sambil terus mengulum senyum tipis. Pun demikian dengan Ayah y
Kini hanya tinggal Pak Joko dan putrinya yang cantik di sini. Sebab, semua orang sudah meninggalkan rumah Ayah tanpa lagi bertanya atau bersuara. Mereka diam dan berlalu begitu saja bergantian.Aku maju, ingin sekali menampar pipi mulus itu dengan tanganku sendiri. Emosi ini naik ke ubun-ubun. Amarah yang salam ini terpendam ingin aku salurkan pada Nabila. Namun, saat aku hendak berbicara, Pakde Nyomo sudah mendahuluinya."Angkat kaki dari sini! Bukankah kamu mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh menantuku?" ujar Pakde Nyomo lantang dan tegas."Aku tahu kamu sendirilah yang menyebar fitnah keji itu pada keluarga adikku, satu kali kesempatan aku berikan padamu. Andai aku tidak memandang kamu sebagai seorang bapak dan suami yang dianggap baik oleh keluargamu maka sejak awal aku akan mengatakan pada semua warga di kampung ini siapa dirimu yang sebenarnya." Entah pembicaraan macam mana ini. Sepertinya ada sesuatu lagi yang ditutupi oleh Pakde Nyomo."Kamu terlalu sombong karena memp
Pintu rumah digedor dengan keras dari luar saat kita semua jendela menunjukkan peraduan. Yang ada didalam saling menoleh satu sama lain. Entah tangan siapa yang menggedor pintu tanpa jeda itu.Ayah yang hendak membuka dicegah oleh Yoga yang dengan cepat menuju pintu. Suami dari Mita itu membukanya perlahan dan memperlihatkan ada dua orang yang bertamu, tapi memasang wajah tidak bersahabat.Mereka adalah Nabila dan ayahnya, Pak Joko. Terlihat ada yang ingin mereka bicarakan, karena dari sorot mata itu tertuju padaku."Wa'alaikumsalam, ada apa, ya, Pak. Malam-malam kok bertamu?" tanya Yoga sopan.Aku kalau jadi dia nggak akan bersikap seperti itu, terlalu jengah jika harus berpura-pura baik padahal sikap mereka kurang sopan. Sebagai orang tua bukankah harus memberikan contoh yang baik pada anaknya? Namun, tidak dengan Pak Joko, entahlah memang sifat orang beda-beda."Yoga, biarkan mereka masuk. Ayah mengizinkan tamu istimewa kita untuk duduk. Silahkan!" ujar Ayah yang kembali duduk di k
Sampai rumah aku duduk di teras, menghela napas panjang dan mencoba menenangkan diri sendiri karena kejadian barusan. Entah apa yang aku lakukan dahulu sehingga mengalami kejadian seperti ini.Bermimpi melihat Nabila saja tidak apalagi ada kenyataan yang membuat jantung ini seolah berdisko ria dengan irama yang membuat kepala sakit. Tuduhan yang terbalik seakan meruntuhkan segala tembok telah aku bangun untuk tidak mengingat kejadian lampau."Ada apa?" Suara Ibu Fatimah mengagetkan dieku yang menatap langit-langit teras dengan seksama."Kenapa Nabila selalu mengusik ketenanganku, ya, Bu? Padahal aku, lho, sama sekali nggak kepikiran untuk balikan sama Mas Rendi.""Kamu ketemu Nabila?" Lagi, suara ibu terlihat sedikit panik saat mendengar penjelasan tentang masa laluku.Aku mengangguk, lalu menengadah melihat lagi rumah laba-laba yang berada di antara kayu tempat genting. Serta warna hitam yang melekat pada kayunya, seolah menandakan kalau dia sudah lama berada di sini."Ibu juga nggak