Malam terasa begitu panjang, suara cicak yang menangkap mangsanya terdengar keras. Sehingga pandangan ini pun tertuju pada sebuah pemandangan yang terasa asing di atas jendela, foto yang masih bersemayam disana seketika membuat diri ini menyunggingkan senyum sinis.Lelaki yang membersamaiku hampir enam tahun kini telah di pelukan wanita lain. Masa lalu yang sudah mulai aku kubur dalam-dalam kini seolah timbul lagi karena seseorang yang telah memulai membongkarnya perlahan-lahan. Bergegas aku mengambil kursi kayu dan mengambil bingkai foto tersebut. Ada aku, Safia dan Mas Rendi, foto yang diambil saat kami menghadiri acara pernikahan saudara sepupunya Mas Rendi kala itu. Gunting yang kusimpan di laci sejenak memotong bagian gambar milik lelaki yang sudah menghianati sucinya rumah tangga yang kami bina ini. Kapal yang seharusnya masih berlayar kini telah karam, dan aku enggan sekalipun mendengar apapun perihal dia. Namun, nyatanya pasangan yang telah dinikahi di luar negeri tersebut m
"Maaf jika kedatangan saya kesini mengganggu aktivitas kalian, hanya saja saya mau mengatakan sesuatu yang mungkin kiranya bisa menjadi pertimbangan bagi Mbak Rani untuk kehidupan selanjutnya." Senyum itu lagi-lagi merekah saat berbicara. Aku yang merasakan ada sesuatu yang tidak aku ketahui sebelumnya menjadi gelisah. Duduk pun terasa tidak tenang, sedang Bapak semenjak kedatangan tamu tak diundang ini tidak sedikitpun bergerak dari tempatnya. Mungkin semua orang disini sama denganku, penasaran dengan apa yang dimaksud oleh sitamu.Dalam diamku begitu jeli mengamati wanita yang memakai gamis berwarna marun dengan jilbab instan yang berwarna hitam. Balutan gamis itu indah saat melekat di tubuhnya yang nyaris tak ada celah. Bulu matanya lentik, bibirnya yang merah merona serta kulitnya yang bersih.Seolah tahu jika aku memperhatikan setiap inci dari tubuhnya, wanita yang belum memperkenalkan diri itu tersenyum simpul kepadaku."Mbaknya siapa, ya?" tanyaku setelah terdiam untuk waktu y
Semenjak tamu yang datang pagi itu aku tidak bisa berpikir jernih lagi untuk menjalani hidup ini. Entahlah, jalan macam apa yang terjadi ketika akan memulai hidup baru justru hambatan datang untuk menghentikan langkahku.Selalu ada saja kerikil yang membuat jatuh, takut serta trauma untuk menatap yang kata orang masa depan itu indah. Pada kenyataannya jalan yang aku lalui selalu terjal. Bahkan hampir membuat diri ini putus asa."Kamu hari ini nggak buka warung?" tanya Ibu yang membuat diri ini terhenyak kaget.Aku menggeleng cepat kemudian beralih lagi pada layar ponsel yang sejak tadi aku putar-putar tak tentu arah. Risau, gelisah menyelimuti jiwaku dengan berbagai macam pikiran yang seolah menggelitik hati lalu membuat otak seketika tumpul.Dalam kebo doh an diri ini terbesit niat untuk pergi sejauh mungkin dan membiarkan semua terbang hilang di terpa badai kencang. Atau dimakan waktu yang akan terus menggerus berita yang akan tenggelam dengan sendirinya."Masih banyak waktu, kamu b
Mas Hasan memandangku lalu memejamkan mata, dia pun bersimpuh di kaki Bapak. Berarti apa yang terjadi kemarin adalah fakta. Kebenaran yang menyakitkan."Saya meminta maaf atas apa yang telah terjadi. Namun, saya berjanji akan menyelesaikan semua ini secepatnya, Pak. Tidak ada niat saya untuk menyakiti hati Rani ataupun Bapak. Tidak sama sekali. Ini kesalahpahaman dan saya bisa mempertanggungjawabkan perbuatan saya. Tolong beri kesempatan kepada saya!" pintanya dengan memegang tangan Bapak. "Tidak, sekali sebuah kebohongan telah terjadi maka untuk seterusnya pasti akan ada lagi. Cukup sampai disini sebelum semuanya terlanjur, terima kasih atas apa yang telah Mas Hasan berikan. Saya memutuskan untuk tidak melanjutkan ke jenjang lebih jauh, cukup sampai sini!" jawabku yang membuat semua orang memandang kaget.Mereka semua terkejut dengan keputusan yang aku ambil. Akan tetapi, ini bukan keputusan instan, semua sudah aku pikirkan matang-matang sebelum ada tangisan dan luka dalam yang begi
Berita begitu cepat menyebar, entah siapa yang pertama kali membicarakannya. Seperti angin yang menyapu setiap benda yang ada di depannya, seakan tidak bersisa. Bagaikan seorang artis yang sedang naik daun dan diguncang beberapa perihal isu yang merebak dan telinga menjadi mendengung.Apalagi warung sayur kini tutup untuk beberapa hari. Iya, aku belum juga mendapatkan pengganti untuk memberikanku sayuran. Tidak semudah apa yang aku lakukan saat itu. Kaki yang dulunya begitu ringan untuk menapaki jalanan sekarang terasa berat. Seolah membawa berkilo-kilo batu, rasa malas pun timbul kalau niat sudah terikat dengan anggota tubuh. Entah sampai kapan semua ini terjadi, bahkan detik jam begitu sangat lama. Sehari bagaikan sewindu.Kegagalan kembali menderaku, nestapa lagi menghampiri titik terendah dalam hidupku. Semangat yang selalu aku kobarkan setiap bersujud di atas sajadah tak bisa aku praktekkan, ternyata semua itu ringan hanya di niat."Rani, beberapa hari ini kamu seperti tidak ada
"Makanya jadi orang itu tahu diri, orang nggak sepadan kok bermimpi tinggi. Sadar diri saja muka kusam begitu mau menjadi istri seorang juragan!" ketus Mbak Yanti kala aku hendak membeli gorengan di warung makan.Masih enggan menanggapi karena dia belum menyebut namaku, berusaha acuh saja terlebih dahulu. Namun, andai amarah ini nanti keluar dan memberontak untuk dimuntahkan, aku bisa apa selain menurutinya?"Belum matang, Bu?" tanyaku dengan wanita yang menggoreng di depan wajan."Belum, Mbak Rani. Sabar, ya!" jawabnya pelan. Aku hanya tersenyum menanggapi perkataan ibu tersebut."Eh, Mbak Rani nggak jualan lagi? Kok aku lihat warung sayurnya tutup terus seminggu ini. Sakit, Mbak?" tanya Mbak Tika saat sedang mengantri membeli makanan siap makan di warung ini."Sakit hati, lelaki yang katanya akan menjadi suaminya, 'kan, sudah punya istri. Makanya jangan suka mengusik ketenangan rumah tangga adik saya. Kena karma juga, 'kan?" ujar Mbak Yanti yang membuat semua mata membulat.Ini tida
"Minumlah dulu, wajahmu pucat sekali. Apa perlu kita ke dokter? Tunggu, ibu buatkan teh hangat dulu!" Bu Fatimah terlihat begitu cemas dan khawatir melihatku yang tidak bertenaga. Langkahnya dipercepat saat melihat lunglainya raga ini. Ibu tiri yang serasa kandung itu begitu mencintai tanpa batas, pandangan matanya yang penuh cinta. Belaian hingga kasih sayang yang aku terima selama bertahun-tahun sampai detik ini.Tubuhku memang terasa lemas, kepala pun seperti berputar-putar dan berat. Tenaga terkuras setelah melawan Mbak Yanti saat di warung tadi. Sungguh pengalaman baru yang sangat berharga. Baru kali ini aku berani melawan seseorang yang membuat diri ini terluka.Biasanya aku yang selalu diam dan acuh, kini telah berubah menjadi pemberani dan semenjak itu adalah awal aku menanamkan sikap tegas dan tidak takut lagi terhadap orang lain yang memang berhak menerima pembalasan.Teh hangat dengan asap yang masih mengepul itu tersaji di depanku. Mencoba menyesapnya perlahan supaya tena
Hari ini kami sekeluarga akan pergi piknik kecil-kecilan di pantai terdekat. Cuaca yang tidak pantas juga tidak mendung sangat mendukung, Yoga sudah menyewa mobil travel untuk keluarga ini. Binar-binar kebahagiaan terpancar dari wajah Ibu Fatimah juga Ayah, aku melihat mereka berdua dengan hati riang. Kenapa rencana yang tidak pernah terlintas ini datang belakangan?Padahal kebahagiaan itu kita sendiri yang menciptakan, hanya sekedar jalan-jalan bersama saja sudah berbeda rasanya. "Siap?" tanya Yoga saat kami sudah sedia dengan menaikkan segala keperluan.Mulai dari nasi uduk, kering tempe, kerupuk dan ayam goreng menjadi bekal kami nanti makan disana. Tidak apa dinilai orang lain jadul karena membawa beberapa makanan, yang terpenting adalah kepuasan dan kebahagiaan.Perjalanan panjang yang indah, kendaraan roda empat berlalu-lalang hingga terkadang menimbulkan kemacetan. Bus-bus besar saling berkejaran bagaikan seorang anak-anak yang bermain lari di padang rumput.Suara klakson yan