Semenjak tamu yang datang pagi itu aku tidak bisa berpikir jernih lagi untuk menjalani hidup ini. Entahlah, jalan macam apa yang terjadi ketika akan memulai hidup baru justru hambatan datang untuk menghentikan langkahku.Selalu ada saja kerikil yang membuat jatuh, takut serta trauma untuk menatap yang kata orang masa depan itu indah. Pada kenyataannya jalan yang aku lalui selalu terjal. Bahkan hampir membuat diri ini putus asa."Kamu hari ini nggak buka warung?" tanya Ibu yang membuat diri ini terhenyak kaget.Aku menggeleng cepat kemudian beralih lagi pada layar ponsel yang sejak tadi aku putar-putar tak tentu arah. Risau, gelisah menyelimuti jiwaku dengan berbagai macam pikiran yang seolah menggelitik hati lalu membuat otak seketika tumpul.Dalam kebo doh an diri ini terbesit niat untuk pergi sejauh mungkin dan membiarkan semua terbang hilang di terpa badai kencang. Atau dimakan waktu yang akan terus menggerus berita yang akan tenggelam dengan sendirinya."Masih banyak waktu, kamu b
Mas Hasan memandangku lalu memejamkan mata, dia pun bersimpuh di kaki Bapak. Berarti apa yang terjadi kemarin adalah fakta. Kebenaran yang menyakitkan."Saya meminta maaf atas apa yang telah terjadi. Namun, saya berjanji akan menyelesaikan semua ini secepatnya, Pak. Tidak ada niat saya untuk menyakiti hati Rani ataupun Bapak. Tidak sama sekali. Ini kesalahpahaman dan saya bisa mempertanggungjawabkan perbuatan saya. Tolong beri kesempatan kepada saya!" pintanya dengan memegang tangan Bapak. "Tidak, sekali sebuah kebohongan telah terjadi maka untuk seterusnya pasti akan ada lagi. Cukup sampai disini sebelum semuanya terlanjur, terima kasih atas apa yang telah Mas Hasan berikan. Saya memutuskan untuk tidak melanjutkan ke jenjang lebih jauh, cukup sampai sini!" jawabku yang membuat semua orang memandang kaget.Mereka semua terkejut dengan keputusan yang aku ambil. Akan tetapi, ini bukan keputusan instan, semua sudah aku pikirkan matang-matang sebelum ada tangisan dan luka dalam yang begi
Berita begitu cepat menyebar, entah siapa yang pertama kali membicarakannya. Seperti angin yang menyapu setiap benda yang ada di depannya, seakan tidak bersisa. Bagaikan seorang artis yang sedang naik daun dan diguncang beberapa perihal isu yang merebak dan telinga menjadi mendengung.Apalagi warung sayur kini tutup untuk beberapa hari. Iya, aku belum juga mendapatkan pengganti untuk memberikanku sayuran. Tidak semudah apa yang aku lakukan saat itu. Kaki yang dulunya begitu ringan untuk menapaki jalanan sekarang terasa berat. Seolah membawa berkilo-kilo batu, rasa malas pun timbul kalau niat sudah terikat dengan anggota tubuh. Entah sampai kapan semua ini terjadi, bahkan detik jam begitu sangat lama. Sehari bagaikan sewindu.Kegagalan kembali menderaku, nestapa lagi menghampiri titik terendah dalam hidupku. Semangat yang selalu aku kobarkan setiap bersujud di atas sajadah tak bisa aku praktekkan, ternyata semua itu ringan hanya di niat."Rani, beberapa hari ini kamu seperti tidak ada
"Makanya jadi orang itu tahu diri, orang nggak sepadan kok bermimpi tinggi. Sadar diri saja muka kusam begitu mau menjadi istri seorang juragan!" ketus Mbak Yanti kala aku hendak membeli gorengan di warung makan.Masih enggan menanggapi karena dia belum menyebut namaku, berusaha acuh saja terlebih dahulu. Namun, andai amarah ini nanti keluar dan memberontak untuk dimuntahkan, aku bisa apa selain menurutinya?"Belum matang, Bu?" tanyaku dengan wanita yang menggoreng di depan wajan."Belum, Mbak Rani. Sabar, ya!" jawabnya pelan. Aku hanya tersenyum menanggapi perkataan ibu tersebut."Eh, Mbak Rani nggak jualan lagi? Kok aku lihat warung sayurnya tutup terus seminggu ini. Sakit, Mbak?" tanya Mbak Tika saat sedang mengantri membeli makanan siap makan di warung ini."Sakit hati, lelaki yang katanya akan menjadi suaminya, 'kan, sudah punya istri. Makanya jangan suka mengusik ketenangan rumah tangga adik saya. Kena karma juga, 'kan?" ujar Mbak Yanti yang membuat semua mata membulat.Ini tida
"Minumlah dulu, wajahmu pucat sekali. Apa perlu kita ke dokter? Tunggu, ibu buatkan teh hangat dulu!" Bu Fatimah terlihat begitu cemas dan khawatir melihatku yang tidak bertenaga. Langkahnya dipercepat saat melihat lunglainya raga ini. Ibu tiri yang serasa kandung itu begitu mencintai tanpa batas, pandangan matanya yang penuh cinta. Belaian hingga kasih sayang yang aku terima selama bertahun-tahun sampai detik ini.Tubuhku memang terasa lemas, kepala pun seperti berputar-putar dan berat. Tenaga terkuras setelah melawan Mbak Yanti saat di warung tadi. Sungguh pengalaman baru yang sangat berharga. Baru kali ini aku berani melawan seseorang yang membuat diri ini terluka.Biasanya aku yang selalu diam dan acuh, kini telah berubah menjadi pemberani dan semenjak itu adalah awal aku menanamkan sikap tegas dan tidak takut lagi terhadap orang lain yang memang berhak menerima pembalasan.Teh hangat dengan asap yang masih mengepul itu tersaji di depanku. Mencoba menyesapnya perlahan supaya tena
Hari ini kami sekeluarga akan pergi piknik kecil-kecilan di pantai terdekat. Cuaca yang tidak pantas juga tidak mendung sangat mendukung, Yoga sudah menyewa mobil travel untuk keluarga ini. Binar-binar kebahagiaan terpancar dari wajah Ibu Fatimah juga Ayah, aku melihat mereka berdua dengan hati riang. Kenapa rencana yang tidak pernah terlintas ini datang belakangan?Padahal kebahagiaan itu kita sendiri yang menciptakan, hanya sekedar jalan-jalan bersama saja sudah berbeda rasanya. "Siap?" tanya Yoga saat kami sudah sedia dengan menaikkan segala keperluan.Mulai dari nasi uduk, kering tempe, kerupuk dan ayam goreng menjadi bekal kami nanti makan disana. Tidak apa dinilai orang lain jadul karena membawa beberapa makanan, yang terpenting adalah kepuasan dan kebahagiaan.Perjalanan panjang yang indah, kendaraan roda empat berlalu-lalang hingga terkadang menimbulkan kemacetan. Bus-bus besar saling berkejaran bagaikan seorang anak-anak yang bermain lari di padang rumput.Suara klakson yan
Sepulangnya kami dari piknik kecil, tubuh lelah membuat kami saling duudk menikmati malam panjang bersama. Berita di televisi seolah menghipnotis kami untuk diam dan fokus. Hingga ada suara ketukan pintu yang terbuka, serempak kami menjawab salam dan saling menoleh."Assalamualaikum.""Wa'alaikum salam." Mas Rendi datang ke rumah dengan pakaian koko panjang dan sarung berwarna hitam beserta peci yang masih setia di kepalanya."Apa apa? Kenapa kamu kesini? Kalau nggak penting sekali lebih baik pergi saja, saya tidak mau ada berita yang akan memberatkan bagi anak saya. Cukup sekali istri dan ipar kamu berlaku buruk, cukup! Jika ada yang penting bawa istri kamu kesini supaya bisa mendengar apa yang hendak kamu katakan!" tegas Bapak garang.Aku hanya bisa mengeluarkan napas panjang, memang benar kata Bapak. Jika dia masuk justru nanti yang ada malah akan menambah masalah baru. Apalagi mereka selalu berpikir akulah yang bersalah dan merusak hubungan mereka. Padahal itu terbalik."Saya …."
"Apa aku harus pergi saja dari tempat ini?" ujarku lemah."Ran, kenapa kamu harus kalah dari mereka? Kamu nggak salah, nak." Ibu Fatimah merenggangkan pelukan ini.Matanya yang teduh berganti berembun, mungkin sedetik lagi hujan akan turun di pelupuk mata indah itu. "Benar, Bu. Mungkin ini adalah jalan satu-satunya untuk menenangkan diri ini. Aku akan ikut Mas Bima saja di sana. Mencari pekerjaan baru dan memulai hidup baru." "Namun, harta kamu disana sudah nggak ada, Ran. Lalu kamu mau kerja apa?" Kini Bapak pun bertanya dengan wajah murung.Kembali aku mengulum senyum, harta sebenarnya bisa dicari jika ada kemauan keras dan usaha. Lalu apa yang aku takutkan untuk maju selangkah lebih baik daripada ini? Disini dan detik ini waktu telah berubah, semua orang terlalu sibuk mengurusi urusan orang lain. Apalagi Nabila dan Mas Rendi masih saja melihat bayang-bayang masa lalu yang terjadi dengan mereka dan takut jika aku masuk ke dalam rumah tangganya. Padahal tidak ada niat sedikitpun u