Berita begitu cepat menyebar, entah siapa yang pertama kali membicarakannya. Seperti angin yang menyapu setiap benda yang ada di depannya, seakan tidak bersisa. Bagaikan seorang artis yang sedang naik daun dan diguncang beberapa perihal isu yang merebak dan telinga menjadi mendengung.Apalagi warung sayur kini tutup untuk beberapa hari. Iya, aku belum juga mendapatkan pengganti untuk memberikanku sayuran. Tidak semudah apa yang aku lakukan saat itu. Kaki yang dulunya begitu ringan untuk menapaki jalanan sekarang terasa berat. Seolah membawa berkilo-kilo batu, rasa malas pun timbul kalau niat sudah terikat dengan anggota tubuh. Entah sampai kapan semua ini terjadi, bahkan detik jam begitu sangat lama. Sehari bagaikan sewindu.Kegagalan kembali menderaku, nestapa lagi menghampiri titik terendah dalam hidupku. Semangat yang selalu aku kobarkan setiap bersujud di atas sajadah tak bisa aku praktekkan, ternyata semua itu ringan hanya di niat."Rani, beberapa hari ini kamu seperti tidak ada
"Makanya jadi orang itu tahu diri, orang nggak sepadan kok bermimpi tinggi. Sadar diri saja muka kusam begitu mau menjadi istri seorang juragan!" ketus Mbak Yanti kala aku hendak membeli gorengan di warung makan.Masih enggan menanggapi karena dia belum menyebut namaku, berusaha acuh saja terlebih dahulu. Namun, andai amarah ini nanti keluar dan memberontak untuk dimuntahkan, aku bisa apa selain menurutinya?"Belum matang, Bu?" tanyaku dengan wanita yang menggoreng di depan wajan."Belum, Mbak Rani. Sabar, ya!" jawabnya pelan. Aku hanya tersenyum menanggapi perkataan ibu tersebut."Eh, Mbak Rani nggak jualan lagi? Kok aku lihat warung sayurnya tutup terus seminggu ini. Sakit, Mbak?" tanya Mbak Tika saat sedang mengantri membeli makanan siap makan di warung ini."Sakit hati, lelaki yang katanya akan menjadi suaminya, 'kan, sudah punya istri. Makanya jangan suka mengusik ketenangan rumah tangga adik saya. Kena karma juga, 'kan?" ujar Mbak Yanti yang membuat semua mata membulat.Ini tida
"Minumlah dulu, wajahmu pucat sekali. Apa perlu kita ke dokter? Tunggu, ibu buatkan teh hangat dulu!" Bu Fatimah terlihat begitu cemas dan khawatir melihatku yang tidak bertenaga. Langkahnya dipercepat saat melihat lunglainya raga ini. Ibu tiri yang serasa kandung itu begitu mencintai tanpa batas, pandangan matanya yang penuh cinta. Belaian hingga kasih sayang yang aku terima selama bertahun-tahun sampai detik ini.Tubuhku memang terasa lemas, kepala pun seperti berputar-putar dan berat. Tenaga terkuras setelah melawan Mbak Yanti saat di warung tadi. Sungguh pengalaman baru yang sangat berharga. Baru kali ini aku berani melawan seseorang yang membuat diri ini terluka.Biasanya aku yang selalu diam dan acuh, kini telah berubah menjadi pemberani dan semenjak itu adalah awal aku menanamkan sikap tegas dan tidak takut lagi terhadap orang lain yang memang berhak menerima pembalasan.Teh hangat dengan asap yang masih mengepul itu tersaji di depanku. Mencoba menyesapnya perlahan supaya tena
Hari ini kami sekeluarga akan pergi piknik kecil-kecilan di pantai terdekat. Cuaca yang tidak pantas juga tidak mendung sangat mendukung, Yoga sudah menyewa mobil travel untuk keluarga ini. Binar-binar kebahagiaan terpancar dari wajah Ibu Fatimah juga Ayah, aku melihat mereka berdua dengan hati riang. Kenapa rencana yang tidak pernah terlintas ini datang belakangan?Padahal kebahagiaan itu kita sendiri yang menciptakan, hanya sekedar jalan-jalan bersama saja sudah berbeda rasanya. "Siap?" tanya Yoga saat kami sudah sedia dengan menaikkan segala keperluan.Mulai dari nasi uduk, kering tempe, kerupuk dan ayam goreng menjadi bekal kami nanti makan disana. Tidak apa dinilai orang lain jadul karena membawa beberapa makanan, yang terpenting adalah kepuasan dan kebahagiaan.Perjalanan panjang yang indah, kendaraan roda empat berlalu-lalang hingga terkadang menimbulkan kemacetan. Bus-bus besar saling berkejaran bagaikan seorang anak-anak yang bermain lari di padang rumput.Suara klakson yan
Sepulangnya kami dari piknik kecil, tubuh lelah membuat kami saling duudk menikmati malam panjang bersama. Berita di televisi seolah menghipnotis kami untuk diam dan fokus. Hingga ada suara ketukan pintu yang terbuka, serempak kami menjawab salam dan saling menoleh."Assalamualaikum.""Wa'alaikum salam." Mas Rendi datang ke rumah dengan pakaian koko panjang dan sarung berwarna hitam beserta peci yang masih setia di kepalanya."Apa apa? Kenapa kamu kesini? Kalau nggak penting sekali lebih baik pergi saja, saya tidak mau ada berita yang akan memberatkan bagi anak saya. Cukup sekali istri dan ipar kamu berlaku buruk, cukup! Jika ada yang penting bawa istri kamu kesini supaya bisa mendengar apa yang hendak kamu katakan!" tegas Bapak garang.Aku hanya bisa mengeluarkan napas panjang, memang benar kata Bapak. Jika dia masuk justru nanti yang ada malah akan menambah masalah baru. Apalagi mereka selalu berpikir akulah yang bersalah dan merusak hubungan mereka. Padahal itu terbalik."Saya …."
"Apa aku harus pergi saja dari tempat ini?" ujarku lemah."Ran, kenapa kamu harus kalah dari mereka? Kamu nggak salah, nak." Ibu Fatimah merenggangkan pelukan ini.Matanya yang teduh berganti berembun, mungkin sedetik lagi hujan akan turun di pelupuk mata indah itu. "Benar, Bu. Mungkin ini adalah jalan satu-satunya untuk menenangkan diri ini. Aku akan ikut Mas Bima saja di sana. Mencari pekerjaan baru dan memulai hidup baru." "Namun, harta kamu disana sudah nggak ada, Ran. Lalu kamu mau kerja apa?" Kini Bapak pun bertanya dengan wajah murung.Kembali aku mengulum senyum, harta sebenarnya bisa dicari jika ada kemauan keras dan usaha. Lalu apa yang aku takutkan untuk maju selangkah lebih baik daripada ini? Disini dan detik ini waktu telah berubah, semua orang terlalu sibuk mengurusi urusan orang lain. Apalagi Nabila dan Mas Rendi masih saja melihat bayang-bayang masa lalu yang terjadi dengan mereka dan takut jika aku masuk ke dalam rumah tangganya. Padahal tidak ada niat sedikitpun u
Aku memutuskan untuk pergi hari ini juga. Lebih cepat lebih baik karena semakin aku lupa akan mereka yang selalu menghakimi jika diri ini adalah sebab dari mereka cekcok. Padahal sama sekali aku enggan untuk bertemu sapa atau senyum. Tas berisi pakaian telah aku tata rapi, semua perlengkapan juga sudah selesai. Kini tinggal hati dan mental ini yang harus siap untuk meninggalkan keluarga kecil yang selalu ada untukku disaat yang tepat. Keberadaan mereka membuat dunia ini semakin berwarna.Berpelukan dengan ayah dan ibu juga Mita. Berpamitan lalu ada tangis yang tak bisa dibendung, ada kesedihan yang tidak bisa lagi disimpan ataupun di suruh berhenti. "Jangan lupa untuk sering-sering memberi kabar kepada kami. Jangan pernah lupakan Bapak dan ibu. Apapun yang terjadi kami semua mencintai dirimu tulus, jika nanti ada waktu dan rezeki kamu bisa pulang dan ibu pasti akan memasak makanan kesukaanmu." Bu Fatimah mengelus punggung ini yang tergugu. Pun dengan wanita yang selalu tersenyum ra
Perjalanan panjang menuju pulau seberang membuatku merasa bosan, bermain ponsel lalu tidur dan seperti itu lagi selama hampir dua hari ini. Pemandangan laut yang seolah tanpa batas memanjakan mata.Suara deburan ombak seakan seseorang yang sedang bernyanyi riang, meski di tengah-tengah laut yang tiada batas. Namun, selalu saja bahagia. Kapal bersandar hampir pagi tiba, Mas Bima yang sudah menantikan kedatanganku kini berada di depan mata.Segera aku menghamburkan pelukan, menangis rindu kepada kakak tercinta. Pertemuan kedua ini seakan mengingatkan beberapa tahun lalu, kala pertama aku bertemu dengan dia dan juga ibu yang kini telah pergi meninggalkan kami untuk selamanya."Kenapa di jemput disini? Aku bisa turun di daerah terdekat sama rumah, Mas, 'kan?" ujarku yang membuat lelaki yang semakin berisi itu tertawa."Aku sengaja ingin bertemu awal denganmu, Mbakmu Lilik yang meminta, sekalian beli sesuatu di sini. Ikan laut," bisik Mas Bima. Kami bergandengan menuju mobil di parkiran.