Hari ini kami sekeluarga akan pergi piknik kecil-kecilan di pantai terdekat. Cuaca yang tidak pantas juga tidak mendung sangat mendukung, Yoga sudah menyewa mobil travel untuk keluarga ini. Binar-binar kebahagiaan terpancar dari wajah Ibu Fatimah juga Ayah, aku melihat mereka berdua dengan hati riang. Kenapa rencana yang tidak pernah terlintas ini datang belakangan?Padahal kebahagiaan itu kita sendiri yang menciptakan, hanya sekedar jalan-jalan bersama saja sudah berbeda rasanya. "Siap?" tanya Yoga saat kami sudah sedia dengan menaikkan segala keperluan.Mulai dari nasi uduk, kering tempe, kerupuk dan ayam goreng menjadi bekal kami nanti makan disana. Tidak apa dinilai orang lain jadul karena membawa beberapa makanan, yang terpenting adalah kepuasan dan kebahagiaan.Perjalanan panjang yang indah, kendaraan roda empat berlalu-lalang hingga terkadang menimbulkan kemacetan. Bus-bus besar saling berkejaran bagaikan seorang anak-anak yang bermain lari di padang rumput.Suara klakson yan
Sepulangnya kami dari piknik kecil, tubuh lelah membuat kami saling duudk menikmati malam panjang bersama. Berita di televisi seolah menghipnotis kami untuk diam dan fokus. Hingga ada suara ketukan pintu yang terbuka, serempak kami menjawab salam dan saling menoleh."Assalamualaikum.""Wa'alaikum salam." Mas Rendi datang ke rumah dengan pakaian koko panjang dan sarung berwarna hitam beserta peci yang masih setia di kepalanya."Apa apa? Kenapa kamu kesini? Kalau nggak penting sekali lebih baik pergi saja, saya tidak mau ada berita yang akan memberatkan bagi anak saya. Cukup sekali istri dan ipar kamu berlaku buruk, cukup! Jika ada yang penting bawa istri kamu kesini supaya bisa mendengar apa yang hendak kamu katakan!" tegas Bapak garang.Aku hanya bisa mengeluarkan napas panjang, memang benar kata Bapak. Jika dia masuk justru nanti yang ada malah akan menambah masalah baru. Apalagi mereka selalu berpikir akulah yang bersalah dan merusak hubungan mereka. Padahal itu terbalik."Saya …."
"Apa aku harus pergi saja dari tempat ini?" ujarku lemah."Ran, kenapa kamu harus kalah dari mereka? Kamu nggak salah, nak." Ibu Fatimah merenggangkan pelukan ini.Matanya yang teduh berganti berembun, mungkin sedetik lagi hujan akan turun di pelupuk mata indah itu. "Benar, Bu. Mungkin ini adalah jalan satu-satunya untuk menenangkan diri ini. Aku akan ikut Mas Bima saja di sana. Mencari pekerjaan baru dan memulai hidup baru." "Namun, harta kamu disana sudah nggak ada, Ran. Lalu kamu mau kerja apa?" Kini Bapak pun bertanya dengan wajah murung.Kembali aku mengulum senyum, harta sebenarnya bisa dicari jika ada kemauan keras dan usaha. Lalu apa yang aku takutkan untuk maju selangkah lebih baik daripada ini? Disini dan detik ini waktu telah berubah, semua orang terlalu sibuk mengurusi urusan orang lain. Apalagi Nabila dan Mas Rendi masih saja melihat bayang-bayang masa lalu yang terjadi dengan mereka dan takut jika aku masuk ke dalam rumah tangganya. Padahal tidak ada niat sedikitpun u
Aku memutuskan untuk pergi hari ini juga. Lebih cepat lebih baik karena semakin aku lupa akan mereka yang selalu menghakimi jika diri ini adalah sebab dari mereka cekcok. Padahal sama sekali aku enggan untuk bertemu sapa atau senyum. Tas berisi pakaian telah aku tata rapi, semua perlengkapan juga sudah selesai. Kini tinggal hati dan mental ini yang harus siap untuk meninggalkan keluarga kecil yang selalu ada untukku disaat yang tepat. Keberadaan mereka membuat dunia ini semakin berwarna.Berpelukan dengan ayah dan ibu juga Mita. Berpamitan lalu ada tangis yang tak bisa dibendung, ada kesedihan yang tidak bisa lagi disimpan ataupun di suruh berhenti. "Jangan lupa untuk sering-sering memberi kabar kepada kami. Jangan pernah lupakan Bapak dan ibu. Apapun yang terjadi kami semua mencintai dirimu tulus, jika nanti ada waktu dan rezeki kamu bisa pulang dan ibu pasti akan memasak makanan kesukaanmu." Bu Fatimah mengelus punggung ini yang tergugu. Pun dengan wanita yang selalu tersenyum ra
Perjalanan panjang menuju pulau seberang membuatku merasa bosan, bermain ponsel lalu tidur dan seperti itu lagi selama hampir dua hari ini. Pemandangan laut yang seolah tanpa batas memanjakan mata.Suara deburan ombak seakan seseorang yang sedang bernyanyi riang, meski di tengah-tengah laut yang tiada batas. Namun, selalu saja bahagia. Kapal bersandar hampir pagi tiba, Mas Bima yang sudah menantikan kedatanganku kini berada di depan mata.Segera aku menghamburkan pelukan, menangis rindu kepada kakak tercinta. Pertemuan kedua ini seakan mengingatkan beberapa tahun lalu, kala pertama aku bertemu dengan dia dan juga ibu yang kini telah pergi meninggalkan kami untuk selamanya."Kenapa di jemput disini? Aku bisa turun di daerah terdekat sama rumah, Mas, 'kan?" ujarku yang membuat lelaki yang semakin berisi itu tertawa."Aku sengaja ingin bertemu awal denganmu, Mbakmu Lilik yang meminta, sekalian beli sesuatu di sini. Ikan laut," bisik Mas Bima. Kami bergandengan menuju mobil di parkiran.
"Rani, aku kangen banget. Tuh, 'kan, sudah aku bilang dari dulu. Tinggal saja disini bersama kita," ucap Mbak Lilik yang memelukku.Bahagia rasanya aku bisa kembali bertemu dengan dia, semakin berubah menjadi lebih ramah dan baik. Harapan yang paling besar dalam berkeluarga adalah bersatunya anggota satu sama lainnya.Mbak Lilik mengajakku ke meja makan, disana sudah ditata beraneka ragam makanan. Seperti ada tamu agung, aku di layani bak seorang ratu. Hingga tanpa terasa air mata mulai turun mengakibatkan ke pipi."Kenapa? Ada yang salah? Kamu kenapa Ran?" Mbak Lilik memegang pundak ini yang bergetar.Justru aku semakin tergugu karena kesedihan itu semakin dalam. Ternyata ada lagi orang baik yang membuat diri ini terharu. Rasanya aku semakin beruntung, di balik terpuruknya diriku dalam menghadapi badai ini, masih ada yang menerima dengan bahagia."Terima kasih telah memberikan tempat untukku, Mbak. Aku nggak tahu lagi harus kemana ketika semua mata tertuju padaku karena sebuah kesal
Udara pagi menyapaku, sejuknya semilir itu seolah mengucapkan selamat datang dan selamat menempuh hidup baru dalam lingkungan baru untukku. Suara kicauan burung yang hinggap di ranting memberikan suasana indah dalam menjemput impian yang sudah kurangkai sejak awal kesini.Semua sarapan sudah tersedia di meja, pagi isskalk aku memasak untuk anggota keluarga disini. Kebiasaan yang aku lakukan saat di rumah dulu terbawa hingga detik ini di kediaman Mas Bima. Menikmati teh tawar hangat yang masih mengeluarkan asapnya seolah memberikan sebuah kekuatan dalam memandang lurus kedepan.Disini, di tempat Mas Bima, tidak ada orang yang hanya berdiam diri. Sejak lagi tadi aku lihat mereka yang berlalu-lalang membawa peralatan pekerjaannya masing-masing. Tidak jauh beda dengan di kampung, waktu pagi memang sudah menjadi kewajiban seseorang untuk mengais rezeki."Kamu masak buat sarapan?" tanya Mbak Lilik masih dengan balutan baju tidurnya.Aku mengangguk, lalu tersenyum kala kakak iparku itu mengg
"Saudaranya, Mbak Lilik? Hati-hati sekarang itu banyak sekali ular berkepala dua, serumah dengan orang asing justru akan memicu terjadinya rumah tangga. Kenapa nggak di carikan tempat lain saja, ingat, lho, ular itu menggigit orang terdekat," celetuk salah seorang wanita yang memakai pakaian serba kuning.Aku perhatikan dari atas hingga bawah dia tampak sempurna apalagi polesan di bibirnya berwarna merah muda. Memperlihatkan kalau dia bukan orang sembarangan, iya, maksudnya manusia biasa.Pandangan mata itu pun sepertinya tertuju padaku, entah apa yang ada dipikirannya karena senyum simpul yang aku berikan justru dibalas dengan sinisnya tawa yang tersungging di sudut bibir itu. Wanita aneh, baru pertama kali bertemu saja sudah berpikir yang bukan-bukan. Dia menilai aku adalah wanita yang akan merusak rumah tangga Mbak Lilik, padahal aku ini adik kandung Mas Bima. Dari mana ada sebuah pemikiran gi la seperti itu?"Banyak lho berita yang menyiarkan kalau orang terdekat adalah musuh ter