Udara pagi menyapaku, sejuknya semilir itu seolah mengucapkan selamat datang dan selamat menempuh hidup baru dalam lingkungan baru untukku. Suara kicauan burung yang hinggap di ranting memberikan suasana indah dalam menjemput impian yang sudah kurangkai sejak awal kesini.Semua sarapan sudah tersedia di meja, pagi isskalk aku memasak untuk anggota keluarga disini. Kebiasaan yang aku lakukan saat di rumah dulu terbawa hingga detik ini di kediaman Mas Bima. Menikmati teh tawar hangat yang masih mengeluarkan asapnya seolah memberikan sebuah kekuatan dalam memandang lurus kedepan.Disini, di tempat Mas Bima, tidak ada orang yang hanya berdiam diri. Sejak lagi tadi aku lihat mereka yang berlalu-lalang membawa peralatan pekerjaannya masing-masing. Tidak jauh beda dengan di kampung, waktu pagi memang sudah menjadi kewajiban seseorang untuk mengais rezeki."Kamu masak buat sarapan?" tanya Mbak Lilik masih dengan balutan baju tidurnya.Aku mengangguk, lalu tersenyum kala kakak iparku itu mengg
"Saudaranya, Mbak Lilik? Hati-hati sekarang itu banyak sekali ular berkepala dua, serumah dengan orang asing justru akan memicu terjadinya rumah tangga. Kenapa nggak di carikan tempat lain saja, ingat, lho, ular itu menggigit orang terdekat," celetuk salah seorang wanita yang memakai pakaian serba kuning.Aku perhatikan dari atas hingga bawah dia tampak sempurna apalagi polesan di bibirnya berwarna merah muda. Memperlihatkan kalau dia bukan orang sembarangan, iya, maksudnya manusia biasa.Pandangan mata itu pun sepertinya tertuju padaku, entah apa yang ada dipikirannya karena senyum simpul yang aku berikan justru dibalas dengan sinisnya tawa yang tersungging di sudut bibir itu. Wanita aneh, baru pertama kali bertemu saja sudah berpikir yang bukan-bukan. Dia menilai aku adalah wanita yang akan merusak rumah tangga Mbak Lilik, padahal aku ini adik kandung Mas Bima. Dari mana ada sebuah pemikiran gi la seperti itu?"Banyak lho berita yang menyiarkan kalau orang terdekat adalah musuh ter
"Kamu warga baru disini jangan berani kepada saya!" ucapnya lalu meninggalkan aku dan Mbak Lilik yang saling berpegangan tangan.Mbak Lilik tersenyum simpul dan mendekati si ibu tersebut lalu berbisik yang tak bisa kudengar sekata pun. Saat hendak berbalik arah, wanita itu memandang ke arahku tajam. Seperti ada sebuah kemarahan yang terpendam.Tangannya mengepal kuat dan erat sehingga dapat disimpulkan jika dia ingin berontak, tapi ada yang tertahan. Entah pembicaraan macam apa yang mereka lakukan, karena suaranya pelan sehingga untuk mendengarkannya aku tidak mampu."Mbak, kamu apain dia?" Aku penasaran dengan yang Mbak Lilik lakukan barusan."Tenang saja, biar aku yang urus. Memang dia seperti itu sejak dulu, sejak aku menjadi istrinya Mas Bima. Kalau kata ibu, dia itu suka sama Kakakmu. Makanya selalu saja mencari celah dalam hubunganku. Ini bukan kali pertama," jawab Mbak Lilik setengah berbisik.Aku melongo mendesir jawabannya itu. Aneh memang, sudah mempunyai keluarga sendiri-se
Pintu diketuk keras dari luar, lebih tepatnya di gedor. Kami bertiga yang sedang menikmati makan malam seketika menghentikan aktivitas. Mbak Lilik mengangguk seraya tersenyum tipis, seolah dia tahu siapa tamu yang saat makan malam datang itu."Biar aku saja, aku tahu siapa mereka," cegah Mbak Lilik pada Mas Bima yang hendak beranjak dari duduknya.Beruntung kami sudah selesai makan, Mas Bima pun mengikuti langkah Mbak Lilik setelah mencuci tangan dan mulut. Sedang aku membersihkan meja makan lalu menunda mencuci piring karena rasa penasaran yang memberontak ini."Nah, itu dia!" tunjuk wanita yang tadi pagi ketemu di pasar dan mengatasnamakan dirinya sebagai ibu RT.Bukannya bersikap bijak dan tenang, wanita itu justru seolah mengeluarkan taringnya di rumah orang lain. Bukankah berseberangan dengan yang namanya RT? "Maaf, bisa lihat KTPnya? Kami perlu tahu anda siapa yang datang ke rumah ini dan menginap," ujar lelaki setengah baya dengan pakaian koko panjang dan memakai peci hitam te
"Kami permisi kalau begitu, Mas, Mbak!" pamit Pak RW."Tunggu!" teriak para warga yang sudah berkumpul di halaman rumah.Tatapan mereka sungguh tak bersahabat, spontan aku mundur selangkah. Namun, bukan pada Mas Bima dan Mbak Lilik, mereka berdua malah maju mendekati para bapak-bapak dan ibu-ibu tersebut tanpa ada raut wajah ketakutan."Kita perlu buktikan kalau mereka memang saudara kandung, kalau tidak maka malam ini juga wanita itu harus angkat kaki dari sini," ujar salah satu lelaki yang memakai pakaian serba putih itu."Maaf, Mas Bima, bukannya kami tidak sopan hanya saja akan lebih baik membuktikan malam ini daripada nanti ada fitnah-fitnah lagi yang jauh lebih menyakitkan. Biar semua tahu jika Mas Bima benar di dalam masalah ini," imbuhnya.Semua mengangguk setuju, tapi saat aku melirik ke arah ibu RT atau lebih tepatnya Mbak Sari, dia tertunduk. Entah apa lagi yang akan dilakukan olehnya. Mencari masalah baru atau akan menyudahi jika semua ini fitnahan dari dia."Silahkan masu
"Sepertinya aku harus pergi dari sini, Mbak." Mbak Lilik membulatkan matanya sempurna mendengar apa yang baru saja aku katakan.Menurutku ini kebenaran, aku memang harus pergi dari sini. Buat apa hidup di tempat yang penuh dengan masalah karena jika ada jalan lain maka lebih baik dihindari. Lelah raga dan batin jika harus seperti ini terus-menerus."Nggak, Mbak nggak setuju. Kamu bakat dagang? Nanti Mbak akan sediakan tempatnya!" ujar Mbak Lilik, dia berdiri dan mendekatiku."Belajarlah tegar, belajarlah tegas dan berdiri sendiri. Masalah akan selalu datang pada semua orang dan tinggal bagaimana caranya menyelesaikan bukan lari, tetap semangat!" imbuhnya.Itulah Mbak Lilik, dia akan selalu memberikan diriku kalimat-kalimat sederhana, tapi berarti. Memang benar, aku harus menghadapi tantangan hidup ini. Namun, jika terus-menerus aku juga lelah dan bosan. Pengen hidup tenang dan damai, nyatanya harus lagi berkecimpung dalam perdebatan, pertikaian dan kesalahpahaman.Mbak Lilik dan Mas B
Sebulan berlalu, kehidupan yang kujalani semakin beraturan. Mencoba untuk tetap diam dan tenang serta acuh adalah jalan terbaik saat ini. Pekerjaan yang aku jalani telah berkembang pesat, iya, Mbak Lilik memberikan kesempatan padaku dengan tanggung jawab besar.Sebuah ruko yang terletak di pinggir jalan raya besar kini menjadi tempatku bekerja. Bukan jualan pakaian, tapi aku mencoba mengadu nasib dengan jualan berbagai macam kue-kue. Dasar yang aku miliki dari Ibu Fatimah kini telah aku lakukan di sini. Semoga saja bisa jauh lebih baik kedepan.Aku ditemani seorang gadis yang saat pertama kali kita bertemu di sebuah pusat perbelanjaan, dia yang dimarahi oleh majikannya dulu kini bekerja padaku. Orangnya rajin dan ramah, itu yang paling aku suka karena aku yang pendiam ini akan kesulitan jika menjadi penjual."Mbak Rani, kita punya pesanan banyak akhir pekan. Ada sekian lima puluh kotak bolu coklat," ujarnya sore ini."Baik nanti aku beli bahan yang sudah habis. Kamu lanjutkan saja ker
Badan ini terasa berat, pekerjaan yang banyak membuat aku lupa makan siang. Perut melilit sehingga menimbulkan keringat dingin mengucur deras dari kening dan punggung. Rasanya aku seperti tak kuat lagi berdiri tegak.Namun, Lusi tiba-tiba datang dan memapahku untuk segera duduk di kursi. Telaten dia menyiapkan segelas teh hangat dan nasi Padang dengan rendang daging. "Makan dulu, Mbak! Jangan terlalu keras dalam bekerja, tubuh juga butuh amunisi untuk perang!""Lusi!""Mbak Rani sendiri yang mengajariku seperti ini, jangan di tolak, ya!""Nggak! Aku bisa makan sendiri!" tolakku keras.Namun, tangan ini justru ditepis olehnya. Lusi menyuapiku penuh sayang. Kedekatan kami memang terasa indah, disini aku memiliki keluarga baru yang penyayang."Lusi, sudah. Ada tamu!" ucapku saat melihat seseorang masuk dan mengucapkan salam."Mbak Rani disini saja, biar saya yang lihat! Kesehatan itu penting Mbak, jangan terlalu banyak memforsir diri seperti ini. Saya takutnya nanti Mbak Rani kenapa-ken