Aku memutuskan untuk pergi hari ini juga. Lebih cepat lebih baik karena semakin aku lupa akan mereka yang selalu menghakimi jika diri ini adalah sebab dari mereka cekcok. Padahal sama sekali aku enggan untuk bertemu sapa atau senyum. Tas berisi pakaian telah aku tata rapi, semua perlengkapan juga sudah selesai. Kini tinggal hati dan mental ini yang harus siap untuk meninggalkan keluarga kecil yang selalu ada untukku disaat yang tepat. Keberadaan mereka membuat dunia ini semakin berwarna.Berpelukan dengan ayah dan ibu juga Mita. Berpamitan lalu ada tangis yang tak bisa dibendung, ada kesedihan yang tidak bisa lagi disimpan ataupun di suruh berhenti. "Jangan lupa untuk sering-sering memberi kabar kepada kami. Jangan pernah lupakan Bapak dan ibu. Apapun yang terjadi kami semua mencintai dirimu tulus, jika nanti ada waktu dan rezeki kamu bisa pulang dan ibu pasti akan memasak makanan kesukaanmu." Bu Fatimah mengelus punggung ini yang tergugu. Pun dengan wanita yang selalu tersenyum ra
Perjalanan panjang menuju pulau seberang membuatku merasa bosan, bermain ponsel lalu tidur dan seperti itu lagi selama hampir dua hari ini. Pemandangan laut yang seolah tanpa batas memanjakan mata.Suara deburan ombak seakan seseorang yang sedang bernyanyi riang, meski di tengah-tengah laut yang tiada batas. Namun, selalu saja bahagia. Kapal bersandar hampir pagi tiba, Mas Bima yang sudah menantikan kedatanganku kini berada di depan mata.Segera aku menghamburkan pelukan, menangis rindu kepada kakak tercinta. Pertemuan kedua ini seakan mengingatkan beberapa tahun lalu, kala pertama aku bertemu dengan dia dan juga ibu yang kini telah pergi meninggalkan kami untuk selamanya."Kenapa di jemput disini? Aku bisa turun di daerah terdekat sama rumah, Mas, 'kan?" ujarku yang membuat lelaki yang semakin berisi itu tertawa."Aku sengaja ingin bertemu awal denganmu, Mbakmu Lilik yang meminta, sekalian beli sesuatu di sini. Ikan laut," bisik Mas Bima. Kami bergandengan menuju mobil di parkiran.
"Rani, aku kangen banget. Tuh, 'kan, sudah aku bilang dari dulu. Tinggal saja disini bersama kita," ucap Mbak Lilik yang memelukku.Bahagia rasanya aku bisa kembali bertemu dengan dia, semakin berubah menjadi lebih ramah dan baik. Harapan yang paling besar dalam berkeluarga adalah bersatunya anggota satu sama lainnya.Mbak Lilik mengajakku ke meja makan, disana sudah ditata beraneka ragam makanan. Seperti ada tamu agung, aku di layani bak seorang ratu. Hingga tanpa terasa air mata mulai turun mengakibatkan ke pipi."Kenapa? Ada yang salah? Kamu kenapa Ran?" Mbak Lilik memegang pundak ini yang bergetar.Justru aku semakin tergugu karena kesedihan itu semakin dalam. Ternyata ada lagi orang baik yang membuat diri ini terharu. Rasanya aku semakin beruntung, di balik terpuruknya diriku dalam menghadapi badai ini, masih ada yang menerima dengan bahagia."Terima kasih telah memberikan tempat untukku, Mbak. Aku nggak tahu lagi harus kemana ketika semua mata tertuju padaku karena sebuah kesal
Udara pagi menyapaku, sejuknya semilir itu seolah mengucapkan selamat datang dan selamat menempuh hidup baru dalam lingkungan baru untukku. Suara kicauan burung yang hinggap di ranting memberikan suasana indah dalam menjemput impian yang sudah kurangkai sejak awal kesini.Semua sarapan sudah tersedia di meja, pagi isskalk aku memasak untuk anggota keluarga disini. Kebiasaan yang aku lakukan saat di rumah dulu terbawa hingga detik ini di kediaman Mas Bima. Menikmati teh tawar hangat yang masih mengeluarkan asapnya seolah memberikan sebuah kekuatan dalam memandang lurus kedepan.Disini, di tempat Mas Bima, tidak ada orang yang hanya berdiam diri. Sejak lagi tadi aku lihat mereka yang berlalu-lalang membawa peralatan pekerjaannya masing-masing. Tidak jauh beda dengan di kampung, waktu pagi memang sudah menjadi kewajiban seseorang untuk mengais rezeki."Kamu masak buat sarapan?" tanya Mbak Lilik masih dengan balutan baju tidurnya.Aku mengangguk, lalu tersenyum kala kakak iparku itu mengg
"Saudaranya, Mbak Lilik? Hati-hati sekarang itu banyak sekali ular berkepala dua, serumah dengan orang asing justru akan memicu terjadinya rumah tangga. Kenapa nggak di carikan tempat lain saja, ingat, lho, ular itu menggigit orang terdekat," celetuk salah seorang wanita yang memakai pakaian serba kuning.Aku perhatikan dari atas hingga bawah dia tampak sempurna apalagi polesan di bibirnya berwarna merah muda. Memperlihatkan kalau dia bukan orang sembarangan, iya, maksudnya manusia biasa.Pandangan mata itu pun sepertinya tertuju padaku, entah apa yang ada dipikirannya karena senyum simpul yang aku berikan justru dibalas dengan sinisnya tawa yang tersungging di sudut bibir itu. Wanita aneh, baru pertama kali bertemu saja sudah berpikir yang bukan-bukan. Dia menilai aku adalah wanita yang akan merusak rumah tangga Mbak Lilik, padahal aku ini adik kandung Mas Bima. Dari mana ada sebuah pemikiran gi la seperti itu?"Banyak lho berita yang menyiarkan kalau orang terdekat adalah musuh ter
"Kamu warga baru disini jangan berani kepada saya!" ucapnya lalu meninggalkan aku dan Mbak Lilik yang saling berpegangan tangan.Mbak Lilik tersenyum simpul dan mendekati si ibu tersebut lalu berbisik yang tak bisa kudengar sekata pun. Saat hendak berbalik arah, wanita itu memandang ke arahku tajam. Seperti ada sebuah kemarahan yang terpendam.Tangannya mengepal kuat dan erat sehingga dapat disimpulkan jika dia ingin berontak, tapi ada yang tertahan. Entah pembicaraan macam apa yang mereka lakukan, karena suaranya pelan sehingga untuk mendengarkannya aku tidak mampu."Mbak, kamu apain dia?" Aku penasaran dengan yang Mbak Lilik lakukan barusan."Tenang saja, biar aku yang urus. Memang dia seperti itu sejak dulu, sejak aku menjadi istrinya Mas Bima. Kalau kata ibu, dia itu suka sama Kakakmu. Makanya selalu saja mencari celah dalam hubunganku. Ini bukan kali pertama," jawab Mbak Lilik setengah berbisik.Aku melongo mendesir jawabannya itu. Aneh memang, sudah mempunyai keluarga sendiri-se
Pintu diketuk keras dari luar, lebih tepatnya di gedor. Kami bertiga yang sedang menikmati makan malam seketika menghentikan aktivitas. Mbak Lilik mengangguk seraya tersenyum tipis, seolah dia tahu siapa tamu yang saat makan malam datang itu."Biar aku saja, aku tahu siapa mereka," cegah Mbak Lilik pada Mas Bima yang hendak beranjak dari duduknya.Beruntung kami sudah selesai makan, Mas Bima pun mengikuti langkah Mbak Lilik setelah mencuci tangan dan mulut. Sedang aku membersihkan meja makan lalu menunda mencuci piring karena rasa penasaran yang memberontak ini."Nah, itu dia!" tunjuk wanita yang tadi pagi ketemu di pasar dan mengatasnamakan dirinya sebagai ibu RT.Bukannya bersikap bijak dan tenang, wanita itu justru seolah mengeluarkan taringnya di rumah orang lain. Bukankah berseberangan dengan yang namanya RT? "Maaf, bisa lihat KTPnya? Kami perlu tahu anda siapa yang datang ke rumah ini dan menginap," ujar lelaki setengah baya dengan pakaian koko panjang dan memakai peci hitam te
"Kami permisi kalau begitu, Mas, Mbak!" pamit Pak RW."Tunggu!" teriak para warga yang sudah berkumpul di halaman rumah.Tatapan mereka sungguh tak bersahabat, spontan aku mundur selangkah. Namun, bukan pada Mas Bima dan Mbak Lilik, mereka berdua malah maju mendekati para bapak-bapak dan ibu-ibu tersebut tanpa ada raut wajah ketakutan."Kita perlu buktikan kalau mereka memang saudara kandung, kalau tidak maka malam ini juga wanita itu harus angkat kaki dari sini," ujar salah satu lelaki yang memakai pakaian serba putih itu."Maaf, Mas Bima, bukannya kami tidak sopan hanya saja akan lebih baik membuktikan malam ini daripada nanti ada fitnah-fitnah lagi yang jauh lebih menyakitkan. Biar semua tahu jika Mas Bima benar di dalam masalah ini," imbuhnya.Semua mengangguk setuju, tapi saat aku melirik ke arah ibu RT atau lebih tepatnya Mbak Sari, dia tertunduk. Entah apa lagi yang akan dilakukan olehnya. Mencari masalah baru atau akan menyudahi jika semua ini fitnahan dari dia."Silahkan masu