HilmanSaat melihat Zara tempo hari sedang dibonceng Hanan, entah kenapa hatiku merasa begitu terbakar. Wajah ceria dan bahagianya pun nyaris terus terbayang setiap waktu. Apa ia begitu bahagia akan berpisah denganku? Apa tak ada kesedihan dalam hatinya dengan perpisahan ini? Apa dia memang sudah siap untuk benar-benar kehilanganku? Pertanyaan macam apa itu? Sudah pasti Zara ingin segera lepas dariku setelah aku menyakitinya begitu dalam. Pesona Anita benar-benar membuatku tak berdaya dan tak kuasa menolak semua inginnya. Rasa cinta yang dari dulu terpendam akhirnya kini terlampiaskan. Tapi setelah aku menikah dengan Anita, kenapa justru bukan kebahagiaan yang aku dapatkan? Kenapa bukan ketenangan yang justru aku dapatkan? Semakin hari, justru aku semakin memikirkan Zara dan Ilham. Dua orang yang dulu paling berharga dalam hidupku yang telah aku sia-siakan. Setelah resmi menjadi suaminya Anita, kini aku tau. Apa yang kurasakan ini bukanlah cinta, tapi hanya obsesi semata. Kecantika
Di sofa panjang di depan TV, tubuhku meringkuk tanpa selimut. Baru kali ini aku merasa harga diriku sebagai seorang suami diinjak-injak dan tak ada harganya. Padahal, seumur-umur menikah dengan Zara, belum pernah meninggikan suaranya seperti itu apalagi menghinaku dan merendahkan martabatku sebagai seorang suami. Diawal-awal pernikahan, Zara selalu tersenyum saat diberi nafkah seberapa pun itu. Padahal saat itu, jabatanku masih rendah. "Zara doakan, semoga Mas semakin sukses dan penghasilan Mas bisa berkali-kali lipat dari ini," doanya saat menerima uluran uang dariku. Benar saja, tak berselang lama, doa dia diijabah. Doa seorang istri yang solehah. Jabatanku semakin lama semakin meningkat seiring penghasilan yang juga semakin membesar dari waktu ke waktu. Tapi kini, saat ia pergi dari hidupku, rezeki itu seolah ikut pergi meninggalkan aku. Mungkin memang ini yang dinamakan beda istri beda rezeki. Detak jarum jam terdengar begitu nyaring di telinga. Jarumnya sudah menunjuk ke angk
Masih lekat di ingatan peristiwa apa saja yang sudah terjadi lima tahun menjalin ikatan dengan Mas Hilman. Aku tak memungkiri, banyak kebahagiaan yang dirasakan saat bersamanya. Namun, tak jarang juga aku sering makan hati karena sikapnya. Apalagi beberapa bulan ke belakang. Telapak tangan Mas Hilman yang mendarat di pipiku untuk pertama kalinya, masih terasa panas menjalar hingga ulu hati. Entah kebetulan atau tidak, sebuah pengkhianatan biasanya memang akan diikuti sikap yang berubah kasar dan tempramen."Ra, kamu belum menjawab pertanyaanku!" Ucapan Hanan membuatku kembali ke alam nyata. Aku menoleh sebentar, lalu kembali memalingkan pandangan ke arah Ilham. "Dulu, aku pikir, setelah kekurangan kasih sayang ayahnya, kehidupan Ilham akan sangat menyedihkan. Tapi ternyata, ketakutan itu terbantahkan saat melihat dia selalu bahagia dan ceria. Mungkin dia sudah membiasakan diri hidup tanpa keberadaan ayahnya itu." Aku menjeda kalimatku sejenak untuk mengambil napas. "Dan sekarang,
Saat dibuka, lagi-lagi pesan dari Mas Hilman. [Ra, kenapa gak dibalas? Padahal aku dari tadi nungguin balasan dari kamu. Aku benar-benar minta maaf dengan semua yang sudah terjadi. Mari kita perbaiki lagi demi Ilham. Aku mohon, Ra] pesan dari Mas Hilman itu diakhiri dengan emot tanda memohon. [Apa kamu gak rindu masa-masa kebersamaan keluarga kecil kita dulu? Apa kamu gak rindu kita menjadi keluarga yang utuh lagi seperti dulu? Tolong pikirkan lagi, Ra. Demi Ilham.] Mas Hilman kembali mengirim pesan padahal pesan-pesan sebelumnya pun belum aku balas. [Mas, mungkin aku bisa saja memaafkan semua perbuatanmu. Tapi kalau untuk kembali lagi, maaf aku tidak bisa. Aku tidak akan memberi kesempatan kedua pada sebuah pengkhianatan, apalagi kekerasan dalam rumah tangga. Dan untuk Ilham, Alhamdulillah dia tetap bahagia meski tanpa ayahnya. Dan ya. Bukannya pernikahan Mas dengan Anita baru hitungan bulan? Kenapa dengan mudahnya ingin kembali berpaling padaku? Gimana kalau sudah tahunan? Stop
Sedikitpun aku tidak pernah menyangka, aku akan berada di posisi sekarang. Bercerai dan menyandang status baru sebagai seorang janda. Status yang seringkali dipandang sebelah mata oleh orang lain. Bahkan tak jarang, seorang janda dianggap wanita yang tidak baik. Statusku kini bukan lagi istri dari Mas Hilman. Laki-laki yang masih duduk di kursi di sebelahku dengan wajah tertunduk dalam. Kebersamaan kami selama lima tahun lamanya menjalani biduk rumah tangga, berakhir di tempat ini. Setelah majelis hakim meninggalkan ruang sidang, aku berdiri dan berbalik menatap ke arah ibu, bapak, dan Hanan yang duduk bersebelahan. Meski kesedihan itu tergambar jelas di wajah kedua orang tuaku, namun, mereka tetap tersenyum ke arahku. Lekas aku menghampiri keduanya dan memeluk kedua orang tuaku itu. Saat aku melerai pelukan mereka, ternyata ibunya Mas Hilman sudah berdiri di belakangku dengan wajah sendunya. "Ibu." Aku tetap menyalami wanita yang kini menjadi mantan ibu mertuaku itu dengan hormat
"Bu, sudah. Toh anak kita sudah lega dengan perceraian ini. Ikhlas kan saja. Anggap ini memang takdir Alloh yang memang harus dilewati putri kita." Bapak berkata lembut. "Saya minta maaf, Bu. Saya benar-benar minta maaf. Saya janji tidak akan menggangu hidup Zara lagi. Sudah cukup selama ini saya menyakitinya. Mungkin dengan melepaskannya, ini menjadi salah satu jalan penebusan rasa bersalah saya padanya." Mas Hilman berganti menatap ibu yang masih menunjukkan mimik wajah sedikit ketus. Mas Hilman pun menyalami bapak dan ibu bergantian. Meski ibu nampak enggan, punggung tangannya itu dicium oleh laki-laki yang kini menjadi mantan menantunya. Mas Hilman menoleh ke arahku, lalu melangkah dan berdiri tepat di depanku."Boleh kita bicara berdua?" tanyanya. Aku menatap ibu dan bapak bergantian sebagai tanda meminta pendapat mereka. Bapak nampak mengangguk pelan. Sementara wajah ibu datar tanpa ekspresi. "Baiklah. Sebentar saja," jawabku pada Mas Hilman. Mas Hilman melangkah menuju t
Mataku belum lepas dari punggung lelaki yang dulu selalu dijadikan sandaran ketika aku lelah. Sampai akhirnya punggung kokoh itu menghilang seiring keluarnya ia dari area pengadilan agama. "Ra." Sebuah suara membuatku langsung menoleh ke arahnya. "Ya." Aku menanggapi singkat dengan senyum tipis di bibir. "Pulang, yuk," ajak Hanan. Ia berdiri tepat di belakang kursi aku terduduk. Tak jauh darinya, ada kedua orang tuaku yang juga sedang menungguku. "Ayo. Ilham juga pasti sudah menunggu," timpalku seraya bangkit dari kursi. Hanan mengangguk lalu berbalik. Berjalan lebih dulu menuju luar gedung. Diikuti olehku dan kedua orang tuaku yang berjalan di belakang. Sampai di parkiran, aku dan kedua orang tuaku langsung masuk ke dalam mobil. Sementara Hanan sudah ada di belakang kemudi. Tak banyak cerita yang mengalun selama di perjalanan. Nampaknya, suasana haru dan sedih masih menyelimuti orang-orang di sekelilingku. Bagaimana tidak, orang tua mana yang tidak sedih menerima kenyataan ki
Matahari kini telah tenggelam. Berganti bulan penuh yang memancar indah di atas sana. Di sekelilingnya, bintang-bintang kelap-kelip menambah keindahan malam. Aku yang memilih menepi sejenak di teras luar menatap langit menikmati pemandangan malam yang jarang kunikmati. Sesekali embusan angin menerpa kulitku meninggalkan sensasi dingin yang menusuk hingga ke dalam. Dulu, waktu awal-awal menikah dengan Mas Hilman, aku sering mengajaknya duduk berdua di teras kontrakan. Kepalaku disandarkan di bahunya sambil bercerita tentang kegiatan yang telah dilalui seharian. Segelas bajigur hangat seringkali menemani beserta kacang rebus yang dibeli dari pedagang keliling. Hal yang begitu sederhana tapi bahagianya luar biasa. "Semoga kita akan terus seperti ini, ya, Mas. Sampai menua bersama-sama," doaku kala itu. Mas Hilman pun terdengar tulus mengamini diikuti belaian lembut di kepalaku. "Ra, ngapain duduk sendirian di luar?" Hanan tiba-tiba sudah ada di luar rumahnya. Lamunan tentang masa la