Saat dibuka, lagi-lagi pesan dari Mas Hilman. [Ra, kenapa gak dibalas? Padahal aku dari tadi nungguin balasan dari kamu. Aku benar-benar minta maaf dengan semua yang sudah terjadi. Mari kita perbaiki lagi demi Ilham. Aku mohon, Ra] pesan dari Mas Hilman itu diakhiri dengan emot tanda memohon. [Apa kamu gak rindu masa-masa kebersamaan keluarga kecil kita dulu? Apa kamu gak rindu kita menjadi keluarga yang utuh lagi seperti dulu? Tolong pikirkan lagi, Ra. Demi Ilham.] Mas Hilman kembali mengirim pesan padahal pesan-pesan sebelumnya pun belum aku balas. [Mas, mungkin aku bisa saja memaafkan semua perbuatanmu. Tapi kalau untuk kembali lagi, maaf aku tidak bisa. Aku tidak akan memberi kesempatan kedua pada sebuah pengkhianatan, apalagi kekerasan dalam rumah tangga. Dan untuk Ilham, Alhamdulillah dia tetap bahagia meski tanpa ayahnya. Dan ya. Bukannya pernikahan Mas dengan Anita baru hitungan bulan? Kenapa dengan mudahnya ingin kembali berpaling padaku? Gimana kalau sudah tahunan? Stop
Sedikitpun aku tidak pernah menyangka, aku akan berada di posisi sekarang. Bercerai dan menyandang status baru sebagai seorang janda. Status yang seringkali dipandang sebelah mata oleh orang lain. Bahkan tak jarang, seorang janda dianggap wanita yang tidak baik. Statusku kini bukan lagi istri dari Mas Hilman. Laki-laki yang masih duduk di kursi di sebelahku dengan wajah tertunduk dalam. Kebersamaan kami selama lima tahun lamanya menjalani biduk rumah tangga, berakhir di tempat ini. Setelah majelis hakim meninggalkan ruang sidang, aku berdiri dan berbalik menatap ke arah ibu, bapak, dan Hanan yang duduk bersebelahan. Meski kesedihan itu tergambar jelas di wajah kedua orang tuaku, namun, mereka tetap tersenyum ke arahku. Lekas aku menghampiri keduanya dan memeluk kedua orang tuaku itu. Saat aku melerai pelukan mereka, ternyata ibunya Mas Hilman sudah berdiri di belakangku dengan wajah sendunya. "Ibu." Aku tetap menyalami wanita yang kini menjadi mantan ibu mertuaku itu dengan hormat
"Bu, sudah. Toh anak kita sudah lega dengan perceraian ini. Ikhlas kan saja. Anggap ini memang takdir Alloh yang memang harus dilewati putri kita." Bapak berkata lembut. "Saya minta maaf, Bu. Saya benar-benar minta maaf. Saya janji tidak akan menggangu hidup Zara lagi. Sudah cukup selama ini saya menyakitinya. Mungkin dengan melepaskannya, ini menjadi salah satu jalan penebusan rasa bersalah saya padanya." Mas Hilman berganti menatap ibu yang masih menunjukkan mimik wajah sedikit ketus. Mas Hilman pun menyalami bapak dan ibu bergantian. Meski ibu nampak enggan, punggung tangannya itu dicium oleh laki-laki yang kini menjadi mantan menantunya. Mas Hilman menoleh ke arahku, lalu melangkah dan berdiri tepat di depanku."Boleh kita bicara berdua?" tanyanya. Aku menatap ibu dan bapak bergantian sebagai tanda meminta pendapat mereka. Bapak nampak mengangguk pelan. Sementara wajah ibu datar tanpa ekspresi. "Baiklah. Sebentar saja," jawabku pada Mas Hilman. Mas Hilman melangkah menuju t
Mataku belum lepas dari punggung lelaki yang dulu selalu dijadikan sandaran ketika aku lelah. Sampai akhirnya punggung kokoh itu menghilang seiring keluarnya ia dari area pengadilan agama. "Ra." Sebuah suara membuatku langsung menoleh ke arahnya. "Ya." Aku menanggapi singkat dengan senyum tipis di bibir. "Pulang, yuk," ajak Hanan. Ia berdiri tepat di belakang kursi aku terduduk. Tak jauh darinya, ada kedua orang tuaku yang juga sedang menungguku. "Ayo. Ilham juga pasti sudah menunggu," timpalku seraya bangkit dari kursi. Hanan mengangguk lalu berbalik. Berjalan lebih dulu menuju luar gedung. Diikuti olehku dan kedua orang tuaku yang berjalan di belakang. Sampai di parkiran, aku dan kedua orang tuaku langsung masuk ke dalam mobil. Sementara Hanan sudah ada di belakang kemudi. Tak banyak cerita yang mengalun selama di perjalanan. Nampaknya, suasana haru dan sedih masih menyelimuti orang-orang di sekelilingku. Bagaimana tidak, orang tua mana yang tidak sedih menerima kenyataan ki
Matahari kini telah tenggelam. Berganti bulan penuh yang memancar indah di atas sana. Di sekelilingnya, bintang-bintang kelap-kelip menambah keindahan malam. Aku yang memilih menepi sejenak di teras luar menatap langit menikmati pemandangan malam yang jarang kunikmati. Sesekali embusan angin menerpa kulitku meninggalkan sensasi dingin yang menusuk hingga ke dalam. Dulu, waktu awal-awal menikah dengan Mas Hilman, aku sering mengajaknya duduk berdua di teras kontrakan. Kepalaku disandarkan di bahunya sambil bercerita tentang kegiatan yang telah dilalui seharian. Segelas bajigur hangat seringkali menemani beserta kacang rebus yang dibeli dari pedagang keliling. Hal yang begitu sederhana tapi bahagianya luar biasa. "Semoga kita akan terus seperti ini, ya, Mas. Sampai menua bersama-sama," doaku kala itu. Mas Hilman pun terdengar tulus mengamini diikuti belaian lembut di kepalaku. "Ra, ngapain duduk sendirian di luar?" Hanan tiba-tiba sudah ada di luar rumahnya. Lamunan tentang masa la
Bukannya menggeser tubuhnya, Anita justru terus menghalangi jalanku yang ingin melewatinya. Sampai kesal aku dibuatnya. "Ra, jangan ganggu Zara. Kasih dia jalan," pinta Mas Hilman yang berdiri tak jauh darinya dengan kedua tangan yang menenteng banyak paper bag. Sudah macam kacung istrinya saja yang membawakan semua barang tanpa dibantu sedikit pun."Kok Mas belain dia, sih? Sekarang itu kamu suamiku bukan suaminya. Ingat ya, kalian itu sudah resmi bercerai dan bukan suami istri lagi. Kalian itu cuma mantan. Cuma mantan!" Anita begitu menekankan suaranya pada kata mantan."Iya. Kamu gak perlu bahas itu terus-terusan. Aku juga tau," timpal Mas Hilman."Bagus, deh," balas Anita sambil mendelik."Mbak, saya mau lewat. Gak dengar ya?" Aku kembali bersuara. Kali ini diikuti tatapan yang tajam tak bersahabat. "Ops ... ada yang marah." Anita malah menutup mulutnya sambil tersenyum meledek. "Jangan galak-galak. Apalagi sekarang sudah janda. Entar gak ada yang mau, loh. Ditambah lagi penampi
Ternyata mereka berdua juga ingin menonton film. Kenapa bisa kebetulan seperti ini?"Ayah," ucap Ilham saat menyadari ayahnya duduk di depannya. Mas Hilman menoleh seiring lampu yang dimatikan dan pemutaran film dimulai. "Ilham?" Mas Hilman nampak terkejut saat melihat keberadaan putranya itu bersama denganku."Suuttt. Filmnya udah mulai." Anita memutar kepala Mas Hilman hingga kembali menatap ke depan."Sayang, filmnya sudah dimulai. Gak boleh berisik. Nanti dimarahin orang." Aku berbisik lirih di telinga Ilham. "Tapi itu ayah, Bun," timpal Ilham sendu. Kentara sekali Ilham memang sangat merindukan sosok ayah yang beberapa bulan terakhir jarang ditemuinya. "Iya. Nanti kalau filmnya sudah selesai, kita samperin ayah." Aku berusaha membujuk Ilham. Anak itu mengangguk meski nampak lesu. "Kenapa bisa barengan sama Bang Hilman, sih?" Hanan berbisik pelan. "Mana aku tahu. Kan kamu yang beli tiketnya juga," timpalku tak kalah pelan. Hanan tak lagi menanggapi. Aku pun fokus menikmati
Pertanyaan Ilham sukses membuat situasi menjadi tidak nyaman. Aku tidak boleh membiarkan Ilham sampai berharap agar Hanan menjadi ayahnya. Hubungan kami hanya sebatas teman baik. Hubungan Ilham dan Hanan juga hanya sebatas Om dengan keponakannya. Apalagi Fara juga sempat mengutarakan kesukaannya pada lelaki berahang kokoh itu. Tak ingin mematahkan harapan adikku satu-satunya itu untuk bersanding dengan lelaki dambaannya."Enggak gitu, Sayang. Om Hanan sama bunda gak akan menikah. Tapi bunda sama Om Hanan akan selalu ada dan menyayangi Ilham. Ilham masih kecil. Kalau sudah besar nanti, pasti mengerti," jawabku lembut. "Tapi Ilham kangen kayak dulu lagi. Bobo ditemenin bunda sama ayah. Bunda peluk Ilham. Ayah bacain dongeng. Tapi sekarang ayahnya gak ada. Ayah jauh terus." Raut wajah Ilham semakin murung."Kalau gitu, nanti bunda bacain dongeng lagi, ya, sebelum bobo? Atau ... minta kakek yang bacain. Gimana?" tawarku dengan senyum mengembang. "Kalau minta dibacain Om Hanan, boleh gak