Sore ini, aku berdiri di jendela pantry. Menatap langit yang terlihat begitu hitam pekat di atas sana. Menandakan sebentar lagi akan turun hujan. Ya, sudah beberapa hari ini memang hujan turun meskipun tidak terlalu deras. Membuat pekerja yang hanya naik motor sepertiku harus selalu membawa jas hujan. Oh, iya, jas hujan. Sepertinya kemarin sore aku menggantungnya di kamar mandi setelah membasuhnya karena terkena percikan lumpur di jalan. Ya Allah, bagaimana ini? Bagaimana kalau sore ini hujan turun dengan lebat? Gimana aku pulang? Aku terus bergumam dengan mata masih menatap awan hitam di atas sana. Sesekali cahaya kilat mulai menyambar meski tidak diiringi suara petir yang menggelar. Benar saja, sesaat kemudian, hujan turun dengan begitu derasnya. Padahal, hanya tinggal setengah jam lagi waktu untuk pulang. Hatiku semakin dilanda kekalutan. Tak mungkin aku menunggu hingga hujannya mereda. Karena biasanya, hujan seperti ini awet. Terbayang wajah Ilham yang selalu menunggu kepulanga
Pantas saja, dulu, pertama kali bertemu dengan Mas Ryan, aku merasa wajahnya tak asing dan pernah melihatnya. Ternyata dia adalah suaminya Anita. Maklum aku tak mengingatnya, karena pernikahan mereka sudah berlalu lebih dari lima tahun lamanya. Dan itu untuk pertama dan terakhir kalinya aku bertemu dengan laki-laki yang menjadi suami sahabat suamiku. Aku kembali memalingkan pandangan ke depan. Menatap kaca mobil yang terus-menerus tertimpa air hujan. Meskipun wiper mobil terus saja menyingkirkannya, namun air itu tetap ada lagi dan lagi. "Ternyata dunia sempit, ya," tuturku diiringi senyum kecil. "Ya, seperti itulah. Tapi aku memang sengaja kembali ke sini untuk lebih dekat dengan anakku. Bukan kebetulan yang tidak disengaja. Tapi memang sudah direncanakan," jawab Mas Ryan. "Mas kan ayahnya Nisya. Pasti bisa kapan saja menemuinya," timpalku. Terdengar helaan napas berat yang keluar dari mulut laki-laki yang duduk di balik kemudi itu. "Setelah lebih dari setengah tahun bercerai d
"Entahlah. Mungkin Anita sudah sadar kalau aku juga ayahnya Nisya. Jadi gak perlu ada pembatasan segala macam untuk bertemu putri sendiri. Tapi kalau ada niatan untuk mendekati secara personal, kayaknya aku gak bisa. Dia masa laluku. Cukup dijadikan pengalaman. Lagipula, sekarang dia sudah punya suami, kan?" tuturnya sambil tersenyum lebar. "Oh, iya. Maaf aku selalu berpura-pura gak tau tentang rumah tangga atau statusmu. Padahal, aku memang sudah tahu dari awal karena sering memata-matai Anita. Termasuk saat pernikahan mereka. Semoga kamu bisa bersabar menghadapi semuanya, ya," lanjutnya. "Gak apa. Ini sudah jalan takdirku. Aku cukup ikhlas dan pasrah pada ketentuan-Nya. Aku yakin ada hikmah besar atas kesakitan yang menimpa hidupku," timpalku. "Kamu wanita yang baik. Aku yakin, suatu saat kamu akan mendapatkan kebahagiaan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Percaya, deh," balasnya. "Aamiin. Mudah-mudahan ya, Mas." Aku tersenyum sambil menatapnya. Obrolan demi obrolan ringa
Hanan masih saja sibuk mengelap keringat yang ada di dahi dan lengannya dengan handuk kecil. Dia tak menunjukkan reaksi apapun. Entah beneran tak mendengar atau cuma pura-pura. "Bentar lagi aku siap, Ra. Tinggal ambil jas sama tas." Mas Ryan kembali bersuara dari sebrang sana. Aku semakin bingung untuk mengiyakan atau menolak. Mataku terus bergulir ke arah Hanan dan Mas Ryan bergantian. "Aku gak berangkat bareng ya, Mas. Soalnya ada yang mau nganterin," timpalku pada Mas Ryan. Ekor mataku melirik pada Hanan yang langsung menoleh ke arahku. "Siapa yang mau nganterin?" tanya Hanan. "Kamu. Iya, kan?" jawabku sambil tersenyum lebar. "Beneran mau dianterin sama aku? Gak jadi bareng duren itu?" Hanan bertanya lagi. "Itu juga kalau kamu gak keberatan buat nganterin. Kalau keberatan ya terpaksa bareng Mas Ryan. Daripada kesiangan," timpalku. "Oke oke. Aku anterin, ya. Kamu tunggu bentar. Aku mandi dulu. Kamu tau sendiri kan aku mandinya gak lama," balas Hanan antusias. "Iya, buruan."
Tak terasa aku bekerja di sini sudah hampir tiga bulan lamanya. Dari hari ke hari, aku semakin betah bekerja di perusahaan ini. Meskipun dikelilingi orang-orang yang jabatannya tinggi, tapi kebanyakan mereka baik dan ramah. Meski ada beberapa orang yang nampak cuek dan jutek. Bahkan, terkadang ada beberapa karyawan yang selalu menghabiskan waktu istirahatnya di pantry. Membuat kedekatan kami semakin terjalin. Seolah tak ada dinding penghalang antara jabatan tinggi dan rendah. "Alhamdulillah ya, Mbak, orang-orang di sini baik-baik. Pantesan Mbak Lina betah kerja di sini udah sekian tahun," tuturku. Kami baru saja melepas lelah setelah seharian beraktivitas. "Iya. Intinya kita harus percaya, ketika kita menjadi orang baik, maka kita pun akan dikelilingi oleh orang-orang yang baik. Pun sebaliknya," jawab Mbak Lina. "Tapi buktinya suamiku menyakitiku dan memilih wanita lain, Mbak. Padahal aku sudah berusaha untuk menjadi istri yang baik," timpalku sendu. "Itu karena suamimu bukan oran
HilmanSaat melihat Zara tempo hari sedang dibonceng Hanan, entah kenapa hatiku merasa begitu terbakar. Wajah ceria dan bahagianya pun nyaris terus terbayang setiap waktu. Apa ia begitu bahagia akan berpisah denganku? Apa tak ada kesedihan dalam hatinya dengan perpisahan ini? Apa dia memang sudah siap untuk benar-benar kehilanganku? Pertanyaan macam apa itu? Sudah pasti Zara ingin segera lepas dariku setelah aku menyakitinya begitu dalam. Pesona Anita benar-benar membuatku tak berdaya dan tak kuasa menolak semua inginnya. Rasa cinta yang dari dulu terpendam akhirnya kini terlampiaskan. Tapi setelah aku menikah dengan Anita, kenapa justru bukan kebahagiaan yang aku dapatkan? Kenapa bukan ketenangan yang justru aku dapatkan? Semakin hari, justru aku semakin memikirkan Zara dan Ilham. Dua orang yang dulu paling berharga dalam hidupku yang telah aku sia-siakan. Setelah resmi menjadi suaminya Anita, kini aku tau. Apa yang kurasakan ini bukanlah cinta, tapi hanya obsesi semata. Kecantika
Di sofa panjang di depan TV, tubuhku meringkuk tanpa selimut. Baru kali ini aku merasa harga diriku sebagai seorang suami diinjak-injak dan tak ada harganya. Padahal, seumur-umur menikah dengan Zara, belum pernah meninggikan suaranya seperti itu apalagi menghinaku dan merendahkan martabatku sebagai seorang suami. Diawal-awal pernikahan, Zara selalu tersenyum saat diberi nafkah seberapa pun itu. Padahal saat itu, jabatanku masih rendah. "Zara doakan, semoga Mas semakin sukses dan penghasilan Mas bisa berkali-kali lipat dari ini," doanya saat menerima uluran uang dariku. Benar saja, tak berselang lama, doa dia diijabah. Doa seorang istri yang solehah. Jabatanku semakin lama semakin meningkat seiring penghasilan yang juga semakin membesar dari waktu ke waktu. Tapi kini, saat ia pergi dari hidupku, rezeki itu seolah ikut pergi meninggalkan aku. Mungkin memang ini yang dinamakan beda istri beda rezeki. Detak jarum jam terdengar begitu nyaring di telinga. Jarumnya sudah menunjuk ke angk
Masih lekat di ingatan peristiwa apa saja yang sudah terjadi lima tahun menjalin ikatan dengan Mas Hilman. Aku tak memungkiri, banyak kebahagiaan yang dirasakan saat bersamanya. Namun, tak jarang juga aku sering makan hati karena sikapnya. Apalagi beberapa bulan ke belakang. Telapak tangan Mas Hilman yang mendarat di pipiku untuk pertama kalinya, masih terasa panas menjalar hingga ulu hati. Entah kebetulan atau tidak, sebuah pengkhianatan biasanya memang akan diikuti sikap yang berubah kasar dan tempramen."Ra, kamu belum menjawab pertanyaanku!" Ucapan Hanan membuatku kembali ke alam nyata. Aku menoleh sebentar, lalu kembali memalingkan pandangan ke arah Ilham. "Dulu, aku pikir, setelah kekurangan kasih sayang ayahnya, kehidupan Ilham akan sangat menyedihkan. Tapi ternyata, ketakutan itu terbantahkan saat melihat dia selalu bahagia dan ceria. Mungkin dia sudah membiasakan diri hidup tanpa keberadaan ayahnya itu." Aku menjeda kalimatku sejenak untuk mengambil napas. "Dan sekarang,