Enggak enggak. Aku gak boleh punya pikiran ke sana. Semua itu pasti karena Ilham adalah anaknya Mas Hilman, Abang Hanan. "Kebiasaan. Kalau lagi ngobrol, pasti ujung-ujungnya bengong!" Hanan mengibaskan tangannya pelan di depan wajahku. "Eh, enggak, kok. Aku cuma gak pernah nyangka aja kalau hidupku akan seperti ini. Rumah tangga berantakan. Ujung-ujungnya harus ninggalin anak untuk mencari nafkah," tuturku diakhiri senyum getir. "Semua itu ujian hidup, Ra. Gak ada satupun orang yang lepas dari ujian. Percayalah, ujian itu akan membuat hidupmu menjadi lebih kuat dan lebih baik. Orang yang pergi, akan Alloh ganti dengan yang jauh lebih baik. Jangan pernah putus asa," tutur Hanan bijak. "Tumben ngomongnya bener." Aku meliriknya sambil tersenyum lebar. "Baru nyadar ya, aku kalau ngomong selalu bener. Kamu aja yang menanggapinya gak pernah bener," timpal Hanan. "Lah, kok jadi aku," protesku. Tiba-tiba saja sebuah klakson terdengar dari sebrang sana. "Noh, duren ngelaksonin!" Hanan
Mengenakan baju dress warna merah muda selutut dengan lengan pendek, rambut sepunggung yang digerai, juga sepatu dengan hak yang tak terlalu tinggi, membuat Anita nampak begitu cantik. Tubuhnya tinggi semampai dengan kulit putih mulus itu berjalan melenggak-lenggok dengan senyum mengembang di bibirnya. Pantas saja jika Mas Hilman begitu tergila-gila padanya hingga tega menghancurkan rumah tangganya sendiri. Tapi, untuk alasan apa dia datang ke sini? Siapa yang ditemuinya? Sayangnya, aku tak melihat dari ruangan siapa dia keluar. Hanya saja, aku cukup yakin, dia berjalan dari arah ruangan para atasan. Tak ingin keberadaanku dilihat olehnya, aku buru-buru menunduk dan berjalan hendak kembali ke pantry. Ini adalah hari pertamaku bekerja. Tak ingin terjadi sesuatu yang tak diinginkan jika sampai kami berpapasan. Apalagi aku tau persis, Anita adalah orang yang gak bisa mengontrol mulutnya. "Kenapa? Kayak orang panik gitu?" tanya Lina, rekan kerjaku di pantry. "Oh, enggak, Mbak. Aku cuma
Aku menatap punggungnya dengan tatapan heran. Ada apa sebenarnya sama dia. Makin hari makin aneh aja. Aku menggidikan bahu, lalu mengajak Ilham masuk ke dalam rumah seiring dua kotak es krimnya yang sudah habis tak bersisa. "Ra, ini tadi ada yang nganterin ini!" Ibu menyodorkan sebuah amplop padaku. Aku menerimanya dan langsung membukanya. Ternyata surat panggilan dari pengadilan agama. Aku membacanya sekilas. Kemudian terdiam cukup lama sampai memandangi selembar kertas yang masih dalam tanganku."Surat panggilan, Bu. Buat lusa," tuturku pada ibu. "Gak usah datang. Biar cepet prosesnya,' titah ibu. "Gitu, ya, Bu?" Aku menatapnya."Iyalah. Lagian ngapain datang. Buang-buang waktu aja," timpalnya. "Oke, deh. Toh Zara juga harus bekerja. Masa baru beberapa hari kerja udah izin. Kan gak enak," balasku. "Nah, iya. Mendingan kamu kerja." Ibu menyahut lagi. Ia pun kemudian masuk ke dalam kamarnya untuk melaksanakan solat magrib karena adzan sudah berkumandang. ***"Lho, Hanan mana?
Aku menoleh. Mas Ryan berdiri tak jauh dariku dan Anita. Ternyata Mas Ryan pun mengenali Anita. Entah ada hubungan apa di antara mereka.Sepasang mataku masih menatap Mas Ryan yang sedang berjalan ke arahku dan Anita dengan wajah seperti menahan marah. Sesaat kemudian, ia berhenti dengan jarak yang cukup dekat dengan kami. "Jangan buat keributan di sini." Mas Ryan berkata pelan sambil menatap tajam ke arah Anita. "Tapi, Mas. Dia menghinaku," jawab Anita dengan nada manja. "Maaf, Mbak, tapi Mbak yang mulai duluan," timpalku."Itu karena kamu sok belagu," balas Anita mencibirku dengan tatapan yang seperti merendahkan. "Zara, saya tau kamu gak salah. Kamu boleh pergi, lanjutkan pekerjaanmu!" titah Mas Ryan lembut. "Mas, kok, kamu malah belain dia, sih!" Anita menghentakkan kakinya pelan. "Karena aku tahu dia gak salah," timpal Mas Ryan. Tak kudengar lagi percakapan di antara mereka karena aku memilih langsung pergi meninggalkan keduanya. Lebih baik aku melanjutkan pekerjaan yang s
Sore ini, aku berdiri di jendela pantry. Menatap langit yang terlihat begitu hitam pekat di atas sana. Menandakan sebentar lagi akan turun hujan. Ya, sudah beberapa hari ini memang hujan turun meskipun tidak terlalu deras. Membuat pekerja yang hanya naik motor sepertiku harus selalu membawa jas hujan. Oh, iya, jas hujan. Sepertinya kemarin sore aku menggantungnya di kamar mandi setelah membasuhnya karena terkena percikan lumpur di jalan. Ya Allah, bagaimana ini? Bagaimana kalau sore ini hujan turun dengan lebat? Gimana aku pulang? Aku terus bergumam dengan mata masih menatap awan hitam di atas sana. Sesekali cahaya kilat mulai menyambar meski tidak diiringi suara petir yang menggelar. Benar saja, sesaat kemudian, hujan turun dengan begitu derasnya. Padahal, hanya tinggal setengah jam lagi waktu untuk pulang. Hatiku semakin dilanda kekalutan. Tak mungkin aku menunggu hingga hujannya mereda. Karena biasanya, hujan seperti ini awet. Terbayang wajah Ilham yang selalu menunggu kepulanga
Pantas saja, dulu, pertama kali bertemu dengan Mas Ryan, aku merasa wajahnya tak asing dan pernah melihatnya. Ternyata dia adalah suaminya Anita. Maklum aku tak mengingatnya, karena pernikahan mereka sudah berlalu lebih dari lima tahun lamanya. Dan itu untuk pertama dan terakhir kalinya aku bertemu dengan laki-laki yang menjadi suami sahabat suamiku. Aku kembali memalingkan pandangan ke depan. Menatap kaca mobil yang terus-menerus tertimpa air hujan. Meskipun wiper mobil terus saja menyingkirkannya, namun air itu tetap ada lagi dan lagi. "Ternyata dunia sempit, ya," tuturku diiringi senyum kecil. "Ya, seperti itulah. Tapi aku memang sengaja kembali ke sini untuk lebih dekat dengan anakku. Bukan kebetulan yang tidak disengaja. Tapi memang sudah direncanakan," jawab Mas Ryan. "Mas kan ayahnya Nisya. Pasti bisa kapan saja menemuinya," timpalku. Terdengar helaan napas berat yang keluar dari mulut laki-laki yang duduk di balik kemudi itu. "Setelah lebih dari setengah tahun bercerai d
"Entahlah. Mungkin Anita sudah sadar kalau aku juga ayahnya Nisya. Jadi gak perlu ada pembatasan segala macam untuk bertemu putri sendiri. Tapi kalau ada niatan untuk mendekati secara personal, kayaknya aku gak bisa. Dia masa laluku. Cukup dijadikan pengalaman. Lagipula, sekarang dia sudah punya suami, kan?" tuturnya sambil tersenyum lebar. "Oh, iya. Maaf aku selalu berpura-pura gak tau tentang rumah tangga atau statusmu. Padahal, aku memang sudah tahu dari awal karena sering memata-matai Anita. Termasuk saat pernikahan mereka. Semoga kamu bisa bersabar menghadapi semuanya, ya," lanjutnya. "Gak apa. Ini sudah jalan takdirku. Aku cukup ikhlas dan pasrah pada ketentuan-Nya. Aku yakin ada hikmah besar atas kesakitan yang menimpa hidupku," timpalku. "Kamu wanita yang baik. Aku yakin, suatu saat kamu akan mendapatkan kebahagiaan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Percaya, deh," balasnya. "Aamiin. Mudah-mudahan ya, Mas." Aku tersenyum sambil menatapnya. Obrolan demi obrolan ringa
Hanan masih saja sibuk mengelap keringat yang ada di dahi dan lengannya dengan handuk kecil. Dia tak menunjukkan reaksi apapun. Entah beneran tak mendengar atau cuma pura-pura. "Bentar lagi aku siap, Ra. Tinggal ambil jas sama tas." Mas Ryan kembali bersuara dari sebrang sana. Aku semakin bingung untuk mengiyakan atau menolak. Mataku terus bergulir ke arah Hanan dan Mas Ryan bergantian. "Aku gak berangkat bareng ya, Mas. Soalnya ada yang mau nganterin," timpalku pada Mas Ryan. Ekor mataku melirik pada Hanan yang langsung menoleh ke arahku. "Siapa yang mau nganterin?" tanya Hanan. "Kamu. Iya, kan?" jawabku sambil tersenyum lebar. "Beneran mau dianterin sama aku? Gak jadi bareng duren itu?" Hanan bertanya lagi. "Itu juga kalau kamu gak keberatan buat nganterin. Kalau keberatan ya terpaksa bareng Mas Ryan. Daripada kesiangan," timpalku. "Oke oke. Aku anterin, ya. Kamu tunggu bentar. Aku mandi dulu. Kamu tau sendiri kan aku mandinya gak lama," balas Hanan antusias. "Iya, buruan."