SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3
BAB 4 Penulis: Devi Adzra Aqila PoV: Reno Istriku memasang wajah sedih, mungkin ia berharap aku akan terharu mendengar kisah hidupnya yang pilu, tapi, kalau dipikir-pikir memang istriku sangat prihatin hidupnya. Dari kecil sudah hidup susah, ibunya pergi jadi TKW bapaknya kawin lagi, hidup dengan pamannya dan hanya sekolah cuma tamat SD. Sebenarnya aku malu beristrikan dia. Keluarganya yang dari kalangan orang susah menikah denganku yang notabene sangat mementingkan pendidikan formal. Alasanku sebenarnya aku mau menikahi Atik itu cuma karena Atik itu berwajah cantik, beda dengan yang lain. Cantiknya alami, tanpa polesan bedak, lipstik, juga bulu alis yang ditebal-tebalkan cara wanita lain. Wajahnya yang putih tidak perlu memakai skin care apalah-apalah karena sudah terlihat bercahaya. Itulah salah satu yang bisa aku banggakan darinya. Ya, jadi keuntungan juga untukku, jadi tidak ada yang namanya biaya perawatan muka dan tetek bengeknya. Oleh sebab itulah, aku tidak mau jujur padanya tentang pendidikanku yang sebenarnya sudah sarjana, takutnya dia minder dan tak mau menikah denganku dulu, tapi, bisa juga kalau aku jujur lulusan S1 nanti dia jadi sombong dipersunting aku yang seorang sarjana. Bisa-bisa membuat hidupnya jadi tidak sederhana lagi dan menuntut banyak padaku yang kemarin itu masih menjadi guru honorer. Sebenarnya Atik-istriku pernah melihat fotoku di dinding ruang tamu rumah ibuku saat baru-baru kami menikah, entah karena dia tidak mengerti baju apa yang aku kenakan, dia nampak bengong saat pertama kali melihat gambar aku memakai toga. Dengan terpaksa aku menjelaskan padanya bahwa aku pernah kuliah tiga tahun. Responnya, ya, bisa diperkirakan. Cuma mengangguk tanpa memberikan pertanyaan lainnya. Maklum, namanya orang kampung dan cuma lulusan SD. Tapi, sayangnya setelah berapa bulan menikahi Atik, wajah cantiknya kok, ya, jadi biasa saja gitu, ya. Tidak bercahaya seperti waktu sebelum aku menikahinya, bahkan penampilannya sangat terlihat membosankan. Aku jadi agak minder dengan kedua adikku, pokonya jauh beda deh sama penampilan adikku yang modis dan harum setiap hari. *** “Mas! Gimana? Boleh, ya, aku jualan di kantin sekolah tempat kamu ngajar? Kan lumayan bisa bantu beli kebutuhan dapur.” Atik kembali minta izin padaku. Tentu saja aku kebaratan. Jika sampai itu terjadi, bisa-bisa kebohonganku selama ini akan diketahui olehnya. “Jangan, lah, Dek!” “Alasannya apa, Mas? Kalau alasanya kamu nggak punya modal, aku kan sudah punya solusinya. Mau sampai kapan kita hidup begini, Mas.” “Kamu ini, Dek. Tidak bersyukur sama apa yang Tuhan berikan.” “Bukan tidak bersyukur, Mas. Aku cuma ingin berikhtiar, apa salahnya istri juga mencari uang untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga?” “Loh, kan selama kamu jadi istriku juga cukup makan dan sandang kan. Baju tiap lebaran aku belikan buat kamu, kita juga tidak pernah kelaparan, nikmat mana lagi yang pantes kamu dustakan, Dek.” “Tapi, Mas. Hidup itu bukan cukup makan saja, gimana nanti kalau kita punya anak? Sedangkan kamu masih menjadi guru honorer yang gajinya cuma cukup untuk makan. Gimana nasib anak kita nanti, Mas? Kita harus pikirkan itu semua dari sekarang. Kita harus nabung untuk biaya pendidikannya nanti, biar jadi orang pinter, jadi sarjana dan berguna setelah dewasa, pendidikannya nanti akan jadi bekal dia di masa depan. Aku nggak mau lah anakku nasibnya sama kayak kita, siapa tahu hidupnya lebih baik dari ibu dan bapaknya, yang penting kita berusaha dari sekarang, nggak ada salahnya, kan?” Deg! Aku kok merasa dia nyidir aku, ya? Mentang-mentang dia tahunya aku bukan sarjana dan hanya guru honor di sekolah menengah ke atas. “Pokoknya kamu tidak Mas izinkan berdagang di sekolah, titik.” Aku segera beranjak. Khawatir dia akan tetap meminta izin padaku, aku meninggalkannya. Ketika aku di kamar, sebenarnya hatiku ketar ketir memikirkan istriku yang sekarang sudah mulai berani protes dan berani bicara. Rupanya istriku itu tidak sebodoh yang aku kira. Gawat ini, aku harus cari cara supaya dia tidak banyak menuntut. Sebenarnya, sih, ketika aku menjadi guru honorer, aku juga punya bisnis sampingan, nggak seperti yang istriku kira, menggangap aku cuma bergantung pada gaji di sekolah yang kudapat tiga atau empat bulan sekali, itu sengaja tidak aku ceritakan pada istriku, karena uang yang kudapatkan dari usaha sampingan dari selain mengajar aku berikan pada ibu dan adikku yang masih belum lulus kuliah. Bagaimana lagi, itu kan tanggung jawabku sebagai kakak tertua dari dua adik perempuanku. Untungnya dulu aku punya ide untuk mengajak Atik pisah rumah dari ibuku. Dan akhirnya aku memberikan usul pada istriku mengajaknya tinggal di rumah peninggalan ibunya di desa sebelah. Dengan alasan takut dia nggak cocok dengan ibuku yang cerewet. Rumah ini lumayan cukup nyaman dan tidak kumuh, sehingga membuatku ada tempat pulang dan melarikan diri dari keluargaku ketika adik-adik perempuanku dan ibu merengek meminta berlebihan ini dan itu. Bukannya pelit, cuma aku tidak mau mengajarkan mereka boros dan menghamburkan uang untuk hal yang tidak penting. Ya, walaupun aku sesekali menuruti keinginan mereka. Sebenarnya ibu itu punya pensiunan almarhum bapakku sebagai PNS, tapi kami anak-anaknya tidak boleh mengganggu gugat, kami anak-anaknya telah sepakat, uang pensiunan almarhum bapakku wajib ditabung untuk biaya pernikahan kedua adik perempuanku nanti jika sudah mendapatkan jodoh, sebagai keluarga yang cukup disegani, mana mungkin nanti aku membiarkan adikku tidak merasakan pesta mewah ketika nanti ia dipersunting oleh seorang laki laki. Sebab itulah aku harus bekerja keras untuk membiayai kebutuhan sehari hari ibu dan kedua adikku sebagai supir pengiriman hasil bumi ke kota. Itu pun istriku juga tidak tahu dan tak pernah bertanya. Karena ia cuma tahu aku kadang suka menginap saja dirumah orangtuaku. “Mas!” Atik mengagetkanku lagi ketika aku memikirkan ide supaya membatalkan idenya berjualan di sekolah. Aku yakin dia menyusulku ke kamar untuk membahas ini lagi. “Apa lagi, sih, Dek? Bikin aku kaget saja,” ucapku kesal. “Di depan ada yang bertamu? Memanganya kamu nggak dengar di luar kamar kita berisik?” Tamu?! Ah, saking aku memikirkan cara menutupi kebohonganku, telingaku sampai nggak dengar ada suara orang bertamu. “Siapa, Dek?” tanyaku. “Keluargamu.” “Apa? Keluargaku. Maksud kamu Ibu dan adik-adukku?” “Iya, siapa lagi. Mereka katanya ingin merayakan sesuatu. Kamu diminta cepat menemui mereka. Ada kejutan spesial untuk kamu katanya.” Bersambung ….SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3Bab 5PoV : Reno“Ke-kejutan?” tanyaku dengan suara terbata.“Kejutan apa, sih, Mas?” Atik menatapku penuh dengan pertanyaan.“Ma-mana Mas tau.” Aku menggaruk kepala.Waduh, pasti ibu dan adik-adikku menagih janjiku pada mereka. Kenapa harus kesini, sih? Kan nunggu di rumah ibu juga bisa. Mereka ini kenapa tidak sabaran. Kalau Atik sampai tahu bisa bahaya. Bagaimana caranya supaya mereka tidak membicarakan tentang pengangkatanku yang sudah menjadi P3K? Aku harus cepat memikirkan ide.Oh, iya, aku tau sekarang!“Dek, kamu bikinkan ibu dan adikku teh manis ya! Sekalian keluarin cemilannya supaya Ibu dan kedua Adikku nggak bosan nungguin aku selama ganti baju.”“Sejak kapan kita punya cemilan, Mas? Kalau gula dan teh, sih, untungnya masih ada.”“Oh, iya, ya. Kalau begitu beli jajanan biskuit atau apalah ke warung supaya ada teman minum teh!”Atik menadahkan tangan di hadapanku.“Apa?” tanyaku.“Uangnya?”“Loh, loh, kan uang jatahmu belum lama aku kasih, masa min
SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3 BAB 6PoV: AtikNetraku mulai memanas mendengar perbincangan suamiku dan keluarganya, ingin rasanya menangis saat ini juga, tapi sebisa mungkin aku tahan. Aku tidak boleh ketahuan jika sudah di rumah dan mendengar apa yang selama ini tidak aku ketahui.Tega sekali Mas Reno berbohong tentang penghasilannya. Aku yang mengatas namkan berbakti Istri pada suami tidak pernah sekalipun merengek meminta apa pun padanya. Karena aku tahu uang yang Mas Reno hasilkan hanya bisa mencukupi kami makan.Sedangkan Ibu dan adiknya meminta uang berjuta-juta dengan mudah Mas Reno memberikan kartu ATM.Kamu anggap apa aku selama ini, Mas? Tiap hari aku mengurusi dan melayanimu dan tidak pernah menuntut yang macam-macam tega kamu bohongi.Sebenarnya aku tidak masalah dan tidak akan melarangmu memberikan uang pada keluargamu, tapi ya jangan terlalu jomplang begini. Sampai kamu membiarkan aku sering makan dengan garam.Hampir tiap hari aku makan nasi dengan garam, bahkan rela membiar
SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3 BAB 7Segera kau beranjak dan mengambil mangkok di dapur. Namun, ketika hendak ke depan. Mas Reno menghadangku.“Kamu mau beli bakso, Dek? Jangan macam-macam kamu. Inget uang yang aku beri itu harus cukup untuk beberapa bulan ke depan. Kan kita ada kuah bakso sisa dari sekolah. Kamu angetin itu aja.” Mata Mas Reno membesar.Mungkin dia pikir aku takut dengan sikapnya. Lalu menuruti apa larangannya. Itu dulu, Mas. Sebelum aku tahu kamu menipuku. Berbohong tentang uangmu, juga pengakangkatanmu.Sekarang jangan harap, Mas. Aku nggak mau dibodohi kamu lagi.“Minggir, Mas! Aku mau makan bakso, bukan kuahnya! Aku berteriak dan terpancing emosi. Dadaku naik turun menahan marah.Mendengar aku berkata dengan berteriak Mas Reno tersentak dan langsung menyingkir untuk memberikan jalan. Aku tersenyum tersunging. Pikirku, andai saja ini aku lakukan dari dulu, pastinya ia tidak akan berani semena-mena terhadapku.Aku pun berlalu dan tersenyum puas melihat reaksinya, tapi ja
SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3 BAB 8Aku menunggu cukup lama di teras ibu mertua, berharap mereka cepat pulang ke rumah. Tapi nyatanya mereka tak kunjung juga datang, bahkan sampai menjelang magrib.“Mbak Atik.” Sapa tetangga depan rumah ibu mertua, tiba-tiba saja beliau berdiri di depan pagar. Saking aku tak memperhatikan sekitar, aku tak tahu kehadiran beliau.“Eh, ibu Weni.” Aku membenarkan dudukku ketika dia mendekat padaku.“Ibu lihat kamu dari siang menunngu di sini. Ini sudah magrib, tinggu di rumqh ibu aja, yuk!”“Terima kasih tawarannya, Bu. Tapi biar Atik nunggu di sini saja.”“Ayok, nggak usah sungkan, setidaknya sholat magrib saja dalu, nanti setelah sholat Atik tunggu lagi di sini, gimana?”Bu Weni benar juga. Aku akan menumpang sholat magrib dulu, setelah itu barulah kembali menunggu di sini.“Baik, Bu. Maaf jadi merepotkan,” ucapku, lalu melangkah berbarengan menuju rumah Bu Weni.***“Sudah ibu bilang, nggak usah sungkan. Ayo, masuk!” Bu Weni tersenyum tipis setelah melihatk
SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3 BAB 9Jantungku berdegup kencang mendegar ucapan Bu Weni. Aku jadi ragu untuk menghampiri mereka.Jika aku menemui mereka dalam keadaan mereka sedang senang hati, apa mungkin kehadiranku mereka harapkan? Sepertinya tidak. Sebab Mas Reno tidak mengundangku dalam acara mereka.Jika aku tetap memaksa menemui mereka, apa yang harus aku lakukan? Kata apa yang akan aku katakan? Pantaskah aku marah-marah karena tak diajak? Atau haruskah aku memaksa Mas Reno mengakui kalau ternyata ia berbohong tentang penghasilannya selama ini?“Atik!” Bu Weni kembali menyentuh lenganku. Aku menoleh.“Iya, Bu.”“Kalau ragu lebih baik jangan.”“Tapi, aku ingin melihat mereka lebih jelas lagi. Seperti yang Atik ceritakan pada Ibu di dalam. Mas Reno menyembunyikan banyak kebohongan padaku, aku ingin bukti lebih selain apa yang aku lihat dan dengar tadi siang.”“Kalau begitu, sebelum kamu ke sana, kamu harus mempersiapkan hatimu, apapun itu, kamu harus kuat.” Setelah mengucapkan itu, Bu
SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3Bab 10PoV: RenoPuas sekali rasanya bisa membahagiakan keluargaku. Melihat senyum Mama dan adik-adik perempuanku, ada rasa kebanggaan sendiri di dalam hati.Dari siang aku dan keluargaku menghabiskan waktu bersenang-senang di luar, pergi ke kota dan makan-makan di mall, membelikan mereka pakaian dan apa lah itu namanya, skin care kata adikku, alat untuk bikin muka jadi cantik dan glowing. Harganya ternyata mahal juga. Untung aku punya tabungan untuk membeli dan memenuhi keinginan mereka. Tidak kusangka juga, tabunganku selama berumah tangga dengan Atik ternyata bisa habis dalam semalam.Padahal uang yang kusimpan itu, hasil dari aku kerja sampinganku yang tak pernah aku ceritakan pada istriku. Sebab, jika istriku tahu dan ia yang memegang uang ini, pastinya ia akan boros dan akan mudah habis untuk kebutuhannya.Bukannya aku pelit, cuma saja. Uang itu memang aku khususkan untuk memenuhi kewajibanku sebagai kakak yang menggantikan tanggung jawab bapakku yang su
SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3BAB 11PoV: Reno“Aduh, Dek!” Aku mengusap pipiku yang terasa seperti terbakar. “Kamu namparnya kenceng banget.”“Tega kamu, Mas! Sudahlah bohongin aku masalah uang, kini kamu ketahuan selingkuh!”Aku mulai panik melihat istriku marah. “Apa yang kamu lihat itu nggak bener, aku nggak selingkuh. Bohong masalah uang, iya, sedikit.” Suaraku perlahan pelan ketika menyebutkan kata uang.Atik kini memukul tubuhku berkali-kali. Aku berusaha menghindar, namun emosinya yang bertambah memuncak membuat pukulannya terasa semakin keras.“Aduh, Dek. Sakit. Sudah-sudah, Mas bisa jelaskan.” Kutangkap kedua pergelangan tangannya.Tenaganya yang bertambah kuat karena emosi menguasainya bisa melepaskan genggaman tanganku. Kemudian ia mendorongku dan pergi meninggalkan aku yang tersungkur.Berkali-kali aku menelan saliva setelah ia mulai menjauh. Sepertinya aku harus cepat mengejarnya. Tak ingin ketinggalan jauh, segera aku beranjak dan masuk ke dalam untuk mengambil motorku. Lalu
SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3Bab 12PoV: Reno“Kamu beneran ngusir aku, Dek?” Aku bertanya sekali lagi, cuma ingin memastikan kalau yang Atik ucapan itu hanyalah gertakan.“Kamu pikir aku becanda? Aku sudah nggak tahan, ya, Mas. Memangnya kamu ngarepin apa? Aku masih tetap mempertahankan kamu walau sudah dibohongi masalah uang dan juga diselingkuhi? Jangan harap, Mas.”“Kan aku sudah jelaskan, aku tidak selingkuh, kalau masalah uang iya aku bohong, tapi kasih aku kesempatan lah, Dek. Aku mau berubah kok, asal kamu nggak usir aku, nyesel kamu loh, Dek, kalau sampai aku bener-bener pergi dari sini. Emang kamu pikir enak jadi janda, kamu juga nggak kerja, kan. Kamu nanti bisa cari makan dari mana? Apa lagi harga beras sekarang mahal. Hayoh, kamu cari uang di mana?”Mata Atik membesar ketika aku mengakhiri ucapanku.“Memangnya kamu pikir aku jadi istri kamu selama ini hidupku enak? Uang yang kamu beri itu cuma untuk kebutuhan kamu saja, Mas. Aku ini dapat sisa. Sembarangan kamu ngomong, Mas.
SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3BAB 40“Nih!” Atik mengulurkan tangannya yang memegang smartphone ke arahku.Aku mengambilnya. Kulihat layar benda itu masih dalam mode terhubung dengan si pemanggil telepon.“Memang siapa yang nelpon?” tanyaku pada Atik, ada ragu dalam hati untuk berbicara dengan si penelpon.“Nggak tahu, nggak ada angin nggak ada hujan dia bilang aku sebagai komplotan penipu.”“Penipu?”“Lebih jelasnya lebih baik Mas yang berbicara!” titah Atik.Segera kutempelkan benda pipih dari tanganku ke telinga.“Hallo!”“Ya, Hallo! Ini pasti Pak Reno, kan?” Terdengar suara laki-laki.“Iya, betul. Ini siapa?” Ada firasat tidak enak menyelimuti hatiku mendengar suara pembicara dari seberang telepon.“Pak Reno. Cepat bayar hutang pacar Bapak. Katanya dia nunggu transferan dari Pak Reno. Saya sudah capek ini nungguin dari tadi, berbelit-belit dan banyak alasan. Kalau tidak bayar hutang sekarang juga, nanti pacar Bapak saya gelandang ke kantor polisi, mau?” Pria yang berbicara di seberang
SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3BAB 39“Memangnya kamu sudah sampai mana dan di bengkel mana? Biar nanti aku jemput dan mengantarkanmu langsung pulang ke rumah.” Cemas juga hatiku mendengar kabar dari Melia.“Sudah setengah perjalanan menuju rumah kamu, Mas. Kamu nggak usah jemput, akan butuh waktu lama jika aku menunggumu. Aku cuma butuh uang saja sekarang,” jelasnya. Mungkin agar suaranya terdengar jelas olehku. Karena tadi aku bilang suaranya Melia berbicara berbarengan dengan deru mobil di pinggir jalan.“Bersabarlah, tunggu aku, ya! Aku juga ingin lihat kondisimu dan mobilmu.” “Mas! Aku bilang nggak usah ke sini. Aku cuma mau pinjam uang kamu, aja, kok. Nanti akan langsung aku kembalikan jika aku sampai rumah,” ucap Melia terdengar panik.“Akan aku beri, cuma aku pengen lihat keadaanmu dan mobilmu yang rusak. Itu aja kok susah amat.”“Kamu yang susah amat. Cuma mau minjem uang aja ribet banget urusannya, dasar pelit!” Melia mematikan sambungan teleponnya.Aku mengedikkan bahu. Memangny
SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3BAB 38PoV: RenoWajah Melia seperti mayit, pucat, kontras dengan warna bibirnya yang merah.“Bayaran apa lagi, Pak, Bu? Memangnya uang yang saya berikan tadi kurang untuk menggantikan teh tubruk kalian? Ada-ada saja, sih. Asal kalian tahu, ya! Baru kali ini saya bertamu diminta ganti rugi untuk apa yang disuguhkan tuan rumah, mana cuma Reno yang minum, itu juga cuma dikit, palingan seteguk, saya dan kedua anak gadis saya malah nggak minum.” Ibu merepet pada orang tuanya Melia.Melia mulai terlihat salah tingkah. Aku tahu ia ingin berbicara pada kami, karena kemunculan orang tuanya, Melia sepertinya tak jadi berbicara, ia memilih berbicara sambil berbisik pada orang tuanya.“Duh, kenapa keluar, sih? Ayo, ayo, masuk ke dalam, yuk!” Melia menarik tangan ibu dan bapaknya. Sedangkan kami cepat-cepat masuk ke mobil untuk segera pergi dari sini sebelum Melia kembali mencoba menahan kami.Di sepanjang perjalanan pulang, di mobil, Ibu terus saja merepet, mengatakan ke
SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3BAB 37PoV: Reno“Hah, seminggu lagi?” tanyaku kaget, saking kagetnya suaraku terdengar cukup tinggi.“Loh, kenapa, Mas? Nggak mau? Apa jangan-jangan kamu belum move on dari Atik terus masih mikir panjang untuk serius sama aku?”Mana bisa move on kalau lingkunganku terus saja mengingatkan aku dengan Atik, apalagi mereka selalu menyebut nama mantan istriku. Duh, jadi sedih rasanya mengganti nama Atik dengan sebutan mantan istri.“Mel, seminggu itu terlalu cepat, kalian pasti akan keteteran jika memaksa nikah seminggu lagi. Ngurusin administrasi, nyari MUA, sewa tenda dan catering, belum lagi nyari mahar dan seserahannya.” Ibu menasehati Melia.Aku percaya pada apa yang ibuku katakan, karena Ibu sudah makan asam garam kehidupan. Gimana rasanya tuh asam garam dimakan? Pasti nggak enak. Aku tertawa dalam hati membayangkan Ibu benar benar makan asam dan garam yang sebenarnya.“Nikahnya sederhana saja, Bu. Nggak usah mewah-mewah. Untuk masalah urusan surat menyurat
SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3BAB 36PoV: Reno “Mak, ambil minum cepet!”Kudengar Melia memerintah ibunya dengan berbisik, namun jelas kudengar, tidak hanya sebatas itu, kulihat ia juga menyikut lengan ibunya. Kok, sama Ibu sendiri gitu, ya? Tidak sopan dan berwajah judes. Lagi pula rumah semewah ini masa nggak punya pembantu? Terus apa aku nggak salah dengar, Melia menyebut ibunya dengan kata Emak.“Oh, iya, lupa,” ucap ibu Melia. Kemudian dia bertanya kepada kami mau minum apa. Lalu bergegas ia pergi, mungkin ke dapur.Pia melirik padaku, bibirnya pun mendekat ke telingaku. “Mas, kok orang kaya manggilnya Emak, sih? Harusnya Mami Papi, ya, secara mereka tinggal di kota,” bisik Pia.Aku pun menelan Saliva. Aku pikir perkataan Pia ada benarnya juga, ya. Pakaian yang dikenakan oleh orang tua Melia tidak menunjukan mereka seperti orang kaya, malah terkesan seperti pembantu rumah tangga.Kulirik ibuku, lalu memperhatikan penampilan Ibu dari bawah sampai ke atas. Ibu, walaupun tinggal di kamp
SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3BAB 35***PoV: Reno“Kamu yakin, Reno?” Ibu menatapku dalam.Aku tak berani membalas tatapan Ibu berlama-lama. Karena pasti itu akan membuatku ragu kembali. Ragu melamar Melia yang sudah mendesakku untuk menikahinya.Rencananya besok pagi setelah memberi talak pada Atik, kami langsung ke rumah orang tua Melia. Aku juga sudah mempersiapkan uang lima puluh juta seperti yang Melia minta. Uang yang aku dapatkan dari hasil menggadaikan SK P3K-ku.Sebenarnya Melia meminta semua yang yang kudapatkan dari meminjam uang di Bank, yaitu seratus juta sebagai biaya untuk pesta pernikahan nanti, tetapi, aku menolak keinginan Melia. Karena menurutku sebagainya uang itu akan aku belikan perhiasan sebagai mahar. Melia pun setuju.“Iya, Mas, apa nggak terlalu cepat Mas mengambil keputusannya. Siapa tahu Mbak Melia berubah pikiran.” Sama halnya dengan Ibu. Rena juga berbicara menambah keraguanku.“Tapi kan Rena tahu sendiri, jawaban Atik waktu itu setelah Rena menceritakan renc
SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3BAB 34***Setelah Rena menyampaikan berita itu, tak ada hari yang beda dalam hidupku. Bangun subuh, shalat, bersih-bersih bersenda gurau dengan Bu Weni, begitu setiap harinya, tapi aku sangat bersyukur dengan apa yang kudapat hari ini. Keluarga baru. Ya, kebersamaan dan kekeluargaan dari Bu Weni yang membuatku bahagia. Beliau tidak mengangapku seperti pembantunya, justru Bu Weni terang-terangan mengatakan bahwa aku dianggap sebagai anaknya.Walau begitu ucapan Bu Weni, tidak membuat aku lupa diri, apa yang terjadi dan ia beri sampai saat ini, aku menganggapnya sebagai hutangku yang harus aku bayar dengan pengabdianku di sisinya. Karena jika aku harus membayar, maka tidak akan cukup dengan gajiku. Aku sadar betul, berapalah gaji seorang pembantu. Apa lagi kami tinggal di Desa. Pasti tidaklah sama dengan upah pembantu di kota.Sampai suatu hari Bu Weni membahas Arlan–anaknya ketika aku sedang menemani Bu Weni menonton acara favoritnya di televisi.“Menurut Mbak
SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3BAB 33“Rena! Jangan nggak sopan kamu sama Mas-mu. Pulang, pulang!” Ibu mertua membentak anak gadisnya. “Sudah malam bikin keributan.”“Kamu juga Reno, pulang!” Telunjuk Ibu mertua mengarah pada rumahnya.“Tapi, Bu ….”“Pulang! Masalah ini nggak akan ada habisnya jika kamu masih berdiri di sini!” kali ini Ibu menarik tangan anak laki-lakinya sambil melirik sinis padaku.Aku menganggap wajar. Namanya juga seorang Ibu. Seberapa besar kesalahan anak laki-lakinya pasti akan tetap berpihak pada darah dagingnya sendiri dibanding aku menantunya.Kemarin waktu di rumahku mungkin Ibu mertua di depanku mendukung untuk aku dan Mas Reno bersatu kembali. Tapi yang kulihat cara dan sikapnya tidak melarang Melia menjauhi anaknya. Entah apa yang membuat mereka tetap selalu dekat. Bahkan aku merasa tidak pernah sedekat Melia dengan ibu mertuaku. Apa kastaku yang rendah dan tidak berpendidikan ini yang menjadi jarak antara aku dengan mereka?***Semenjak kejadian malam itu, aku
SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3BAB 32“Jadi, Atik itu karyawan Bu Ika? O ….” Mas Arlan membulatkan bibirnya. Lalu melirik pada Bu Weni.Bu Weni mendelik, entah apa yang dipikirkannya.“Waduh, kok jadi ribet begini? Reno! Kamu jangan macem-macem sama karyawan saya, ya? Mbak Atik itu sudah jadi tanggung jawab saya.” Bu Weni terlihat geram pada Mas Reno.“Tapi Atik itu istri saya, Bu Weni. Saya lebih berhak atas dirinya.” Mas Reno masih tetap mempertahankan ucapannya.Secara administrasi aku memang istri Mas Reno. Jika Masalah ini sampai membawa RT, tentu RT membenarkan ucapan Mas Reno. Aku jadi bingung harus bersikap apa. Menginap di rumah orang tua Mas Reno aku tidak mau. Pulang sendiri ke rumah juga sudah terlalu larut malam. Sebenarnya hatiku lebih menginginkan menginap di rumah Bu Weni. Karena tidak perlu bulak balik lagi untuk bekerja di rumah ini. Bangun subuh, shalat, lalu langsung mengerjakan pekerjaan rumah.Tapi, karena ada Mas Arlan, Mas Reno tidak akan mungkin tinggal diam, sepert