Share

Bab 3

SUAMIKU BUKAN LULUSAN D3 BAB 3

PoV: Reno

Duh, kenapa Bu Ridwan bisa bertemu dengan istriku? Gawat kan kalau nanti ketahuan selama ini aku menyimpan rahasia. Kalau istriku tahu bagaimana, ya, nantinya? Pasti dia akan minta uang lebih banyak dari yang selama ini aku berikan padanya, kacau, deh!

Aku melirik lagi pada istriku, matanya masih saja melirik sinis padaku. Apa wajahku telihat begitu mencurigakan? Bagaimana caranya mengalihkan perhatian matanya yang tajam menatapku itu, ya?

“Ehm, Dek, kamu tadi kepasar mau apa?” Aku memberikan pertanyaan apa saja, agar dia tidak memandang wajahku dengan tatapan seperti polisi ingin menangkap basah maling.

Wajah tegang istriku perlahan mulai mengendur. “Mau jual simpanan emasku, Mas, rencananya buat modal jualan. Aku tahu betul kamu pasti nggak akan bisa ngasih aku modal untuk berdagang, makanya aku ke pasar untuk jual kalung emasku.” Terdengar embusan nafas berat istriku.

Simpanan? Uang dari mana istriku bisa menyimpan emas. Apa jangan-jangan selama ini Atik–istriku yang polos ini pintar menyisihkan uang belanjaan, ya, pantas saja tiap hari aku makan ikan asin dan tempe terus. Rupanya itu sebabnya ia tidak pernah membeli ikan segar dan daging ayam. Untung aku lebih pintar dari Atik, jadi penghasilan sampinganku selama ini bisa aku berikan pada Ibu dan adikku. Sesekali berkunjung ke rumah ibu, kan, aku bisa menikmati masakan ibuku yang enak-enak seperti ayam bakar atau gulai gurame.

Ah, aku jadi lapar dan kangen masakan ibu. Apa nanti sore aku makan ke rumah ibu lagi, ya? Biar kuah baksonya Atik saja yang menghabiskan. Pasti dia juga sudah cukup senang makan dengan itu. Salah sendiri tidak mau beli daging dan ikan untuk menu makan. Malah mementingkan beli emas perhiasan.

“Mas!” Atik memanggilku dengan cara membentak. Ah, istriku ini selain pura-pura polos, dia juga sangat tidak sopan. Memanggil suami dengan cara membentak.

“Kamu dari tadi kenapa ngagetin aku terus sih, Dek?” Aku memasang wajah tidak suka, mengerucutkan bibir agar ia bisa melihat aku tak suka dengan sikapnya yang mengejutkanku.

“Justru aku yang harus tanya, Mas. Kamu kenapa seperti ngomong sendiri? Bibirnya kayak yang komat-kamit tapi bicaranya malah nggak jelas.”

Segera kututup mulutku. Masa, sih, aku sampai menghayati suara hatiku hingga terlihat ke permukaan wajah. Waduh.

Akhirnya istriku beranjak. Lalu melangkah masuk ke dalam rumah. Membuatku merasa sediikit lega. Setidaknya istriku sudah melupakan ucapan Bu Ridwan dan tidak memberikan pertanyaan tentang apa yang sedang aku pikirkan.

Huft! Aku harap istriku tidak akan pernah bertemu lagi dengan Bu Ridwan. Eh, tapi ngomong-ngomong tentang perhiasannya itu. Wah, lupa aku, kenapa aku tadi nggak sekalian pura-pura mau pinjam, ya? Supaya niatnya untuk berdagang batal, tapi kira kira alasannya apa?

Oh, iya, motor. Aku pakai alasan motorku saja, ya. Bilang saja aku butuh uang untuk mengganti onderdil motor yang sudah lama nggak pernah aku ganti. Ide yang bagus. Kujentikkan jari jempol dan tengah penuh semangat.

“Dek!” Aku kemudian beranjak sambil terus memanggilnya. Lalu mengejarnya ke dalam untuk meminta emasnya yang akan kujual nanti.

“Apa, sih, Mas! Aku denger kok, nggak usah teriak-teriak ngomongnya!” Atik duduk di meja makan dekat dapur. Ia juga menyendok nasi sambil melirikku.

“Itu, Dek.” Aku mendekatinya dan ikut duduk di hadapannya.

“Tentang emas itu, Mas boleh pinjam nggak?” tanyaku ragu-ragu.

“Pinjam buat apa?” Istriku melihatku dengan memicingkan separuh matanya.

“Buat ganti onderdil motor, Dek! Nanti bulan depan Mas gajian dibayar, kok.”

“Bulan depan? Bukannya kamu gajian baru bulan ini, Mas? Masa iya bulan depan udah gajian lagi, kamu ngelindur atau gimana, sih, Mas?”

Oh, iya, ya, kok aku bisa lupa kalau udah ngasih uang ke Atik bulan ini, ya. Keceplosan aku.

“Eh, iya, ya, Mas lupa. Maksud Mas itu kalau nanti Mas gajian rapelan berikutnya, gitu, loh. Bukan bulan depan. Tapi kamu mau ya, Dek, minjemin perhiasanmu untuk dijual dulu.”

“Nggak, Mas, aku nggak mau. Aku cuma mau jual perhiasan ini untuk bisa aku jadikan modal usaha. Mas, kan, tidak mengizinkan, lebih baik kusimpan saja.”

“Kok kamu pelit, Dek? Aku cuma pinjem sebentar untuk ganti onderdil motor. Kalau nggak diganti malah bikin rusak motor, trus nanti aku kalau mau ke rumah ibuku masa jalan kaki, dan lagi itu perhiasan kamu juga belinya pakai uang Mas, kan? Jadi nggak masalah kalau aku pakai dulu.”

“Pakai uang kamu dari mana, Mas? Emang selama ini kamu ngasih uang ke aku sebanyak apa sampai aku bisa beli perhiasan? Buat makan aja kayak ikan lagi di darat, engap-engapan.”

“Ya, terus kamu dapat uang dari mana bisa beli perhiasan kalau bukan uang dari aku? Apa jangan jangan selama ini ada lelaki lain yang suka kasih kamu uang?”

“Sembarangan kamu, Mas. Ini perhiasan pemberian ibuku. Dari sebelum aku menikah dengan kamu.”

“Ya, kalau kamu punya perhiasan dari dulu kenapa nggak pernah kamu pakai?”

“Kalungku putus, Mas. Nggak aku jual karena aku berharap bisa ngumpulin uang buat mematrinya lagi. Sebab cuma ini satu satunya kenangan dari ibuku yang sekarang entah dimana.” Atik merogoh kantong bajunya, lalu mengeluarkan liontin berbentuk hati dari sebuah dompet kecil yang hanya bisa muat untuk beberapa uang koin.

Bersambung ….

Kira-kira jadi nggak, ya, Atik jual kalungnya? Apa jangan-jangan nanti malah dipinjem suaminya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status