190 “Aku pikir dulu Bapak segera mendaftarkan perceraian kita setelah malam itu. Aku menunggu surat panggilan dari pengadilan agama, atau lebih bagusnya menunggu akta cerai turun, tapi itu tak kunjung terjadi. Hingga akhirnya hubungan kita terkatung-katung. Status kita tidak jelas, dan masalah kita menggantung. Andai dulu Bapak keberatan melakukannya, mungkin aku sendiri yang akan melakukan. Sayangnya, aku tidak membawa semua dokumen pernikahan karena berpikir Bapak yang akan menyelesaikan semuanya.” Mentari menjeda kalimat untuk menguatkan hatinya. Bohong jika ia baik-baik saja membicarakan perihal perceraian yang menyakitkan. Jika pun ia terlihat dan terdengar tegar, semua hanya kamuflase semata. Hanya untuk menjaga harga dirinya yang sudah diinjak-injak Samudra dan keluarganya. “Aku tidak tahu alasan apa yang membuat Bapak mencabut gugatan dulu, dan aku juga tidak mau tahu. Yang ingin aku tahu dan yakinkan sekarang, siapa yang akan menggugat? Jika Bapak masih belum ada waktu kare
191“Maaf.” Entah sudah berapa kali kata itu terdengar Mentari. Pria di hadapannya terus saja mengucapkan kata itu dengan penuh penyesalan.Entah sudah berapa kali juga Mentari menarik napas panjang dan meyakinkan dirinya jika pertemuan mereka ini agar urusan di antara mereka cepat selesai. Agar tidak perlu ada pertemuan intim seperti ini lagi antara dirinya dan Samudra.Jangan sampai karena tersulut emosi, pertemuan ini tidak membuahkan hasil dan hubungan mereka semakin terkatung-katung. Ia tidak mau Ratri mengecap dirinya sengaja mengulur waktu agar pernikahan mereka diundur.Sebenarnya, sulit mempercayai jika mereka akan segera menikah atas amanat Widya. Namun, segala hal memang bisa terjadi selama kurun waktu satu setengah tahun. Mungkin, setelah ia pergi dari rumah itu, mereka memang melakukan penjajakan, atau mungkin mereka sudah menjalin hubungan layaknya orang berpacaran.Apa ia marah? Cemburu? Tidak sama sekali. Mentari sudah tidak lagi peduli apa pun yang terjadi dengan pria
192Samudra berjalan tergesa sesaat setelah turun dari mobil. Ia langsung menuju ke perusahaan untuk menemui Ratri. Pria itu sangat yakin jika ada seseorang yang menyampaikan kebohongan kepada Mentari. Dan Ratri satu-satunya tersangka di matanya.Mentari tidak mau mengatakan apa pun. Bahkan setelah ia mendesaknya. Wanita itu malah terus menuntut untuk segera menyelesaikan proses cerai.Samudra kesal, tetapi tak dapat melakukan apa pun. Ia harus menahan diri jika tak ingin semua semakin berantakan. Bagaimana pun, kesalahanya di sini sangat besar. Hancurnya pernikahan mereka tentu saja andil besar dirinya. Karena jika dirinya tetap percaya pada Mentari meski sebesar apa badai dari luar, tentu hal ini tidak akan sampai terjadi. Karena kebodohan dirinyalah nasib pernikahannya berada di ujung tanduk. Jika sekarang semakin banyak aral menghadang niat baiknya memperbaiki hubungan, tentu tugasnya untuk menyingkirkan semua aral itu.Entahlah, kenapa semakin ke sini ia merasa semakin banyak ora
193“Jangan mengada-ngada. Bicaramu penuh kebohongan.”“Penuh kebohongan?” Kepala Ratri meneleng. “Memangnya siapa yang menemani Bu Widya hingga akhir kesadarannya? Siapa yang berada di sisinya di detik-detik terakhir hidupnya? Siapa yang bicara padanya sebelum beliau meninggal? Saya atau anda, Pak Samudra?”Jleb.Samudra tertegun. Pria itu bahkan tidak mengedipkan matanya untuk beberapa lama. Semua kalimat Ratri bagai pukulan keras yang mematahkan keyakinannya.“Saya atau anda yang membersamai Bu Widya dalam keseharian dan bahkan sampai beliau menutup mata? Saya atau anda yang lebih tahu apa yang disampaikan beliau setiap harinya? Saya bahkan sangsi apa anda tahu makanan kesukaan beliau, kebiasaan beliau saat hendak pergi tidur. Saya atau anda yang lebih tahu semua tentang Bu Widya?”Samudra menelan ludahnya. Semakin tak mampu berkata-kata. Ya, semua yang diucapkan Ratri barusan benar adanya. Ratri lebih tahu segala sesuatu tentang sang ibu lebih dari siapa pun termasuk dirinya. Semu
194Samudra membuka sebuah laci di dalam lemari bajunya. Dan itu laci terakhir yang akan ia obrak-abrik karena barang yang ia cari tak kunjung ditemukan di tempat lainnya.Lihatlah, kamarnya kini sudah berubah seperti kapal pecah. Semua barang berserakan tak beraturan. Semua benda sudah tak menempati tempat semestinya lagi. Semua keluar dan memenuhi apa pun hingga tak tersisa tempat sekadar memijakkan kaki.Dan setelah laci terakhir pun ia bongkar, pundaknya meluruh. Ternyata barang yang ia cari tak ada di sana.Pria itu mengembus napas lelah. Kedua tangannya bertolak di pinggang. Wajah frustrasinya dipenuhi keringat. Entah di mana ia meneletakkan benda kecil yang diberikan Ratri padanya dulu, sesaat setelah sang ibu meninggal. Bahkan setelah semua tempat hingga yang tersembuyi sekali pun sudah ia bongkar, benda itu tak kunjung ditemukan.Saat itu, ia memilih menyimpan dulu benda itu dan tak langsung mencari tahu apa misteri tersembunyi di baliknya karena saat itu pikirannya tidak fok
195“Sudah sampai, Bos.”Samudra membuka matanya saat terdengar suara sang sopir disertai laju mobil yang berhenti. Pria itu selama perjalanan memejamkan matanya meski tidak tidur.Tidur menjadi sesuatu yang sulit untuk dilakukan belakangan ini. Kepalanya terlalu penuh dengan berbagai permasalahan. Maka, tidak heran jika lingkar hitam sangat jelas menghiasi sekitar matanya.Pria itu menegakkan tubuh, lalu mengendarkan pandangan lewat kaca mobil yang sengaja ia buka. Tempat ini masih sama seperti terakhir kali ia ke sini. Mungkin beberapa bulan lalu.Samudra turun saat sang sopir sudah membukakan pintu untuknya.“Mau dibawa pulang, Bos?” tanya sang sopir lagi setelah majikannya turun.Samudra mengembus napas, lalu mengendikkan bahunya. “Belum tahu, harus konsultasi dulu dengan dokternya.”Sang sopir hanya mengangguk, lalu menatap bosnya yang mulai berjalan menjauhinya menuju bangunan utama gedung yang bernuansa serab putih itu. Ia ikut mengembus napas sebelum kembali ke dalam mobil. Me
196Bastian masih sesenggukan di kaki Samudra. Bahkan saat Samudra mencoba melepaskan kakinya, pemuda itu malah menambah keras tangisnya.“Tolong pertemukan aku dengan Mentari, Om. Aku mau bersujud dan minta maaf padanya. Atau kalau dia mau membunuhku sekali pun, aku pasrah asalkan dosaku termaafkan.” Pelukan di kaki Samudra semakin erat.“Aku memang terkutuk. Laknat. Aku sudah menghancurkan wanita yang aku sangat tahu menjaga dirinya. Sumpah demi apa pun aku tidak pernah menyentuhnya, Om. Sebejat apa pun aku, tidak tega sampai merusak wanita baik-baik sepertinya.”Samudra memejam. Dadanya mendadak sesak. Semakin banyak Bastian berkata, semakin besar penyesalan yang dirasakannya. Penyesalan yang sama dengan kata maaf Bastian. Tidak berguna sama sekali karena semua sudah terjadi.Samudra menggerakkan kakinya. Meminta Bastian melepaskannya. Bukan ia tidak marah dengan pemuda itu, tapi semua memang sudah terjadi. Bahkan jika ia membunuh pemuda itu pun, tidak akan merubah apa-apa. Pernika
197“Aku ikut, Om.” Bastian mengejar Samudra saat berpapasan di lorong depan kamarnya. Kebetulan ia baru kelur kamar, dan Samudra yang sudah rapi dengan stelan kantor, melintas.“Kamu istirahat saja, Bas. Kamu pasti masih lelah.” Tanpa melirik atau menghentikan langkah, Samudra menjawab. Langah-langkah panjangnya dibawa menuju tangga di ujung lorong.“Aku tidak lelah, Om. Aku bahkan sudah istirahat beberapa hari ini seperti permintaan Om Sam. Aku ingin punya kegiatan, bosan di rumah terus. Bolehkah aku ke kantor lagi?” Bastian terus mengekori Samudra. Bukan mengada-ngada jika ia mengatakan bosan di rumah. Sejak dibawa pulang lagi ke rumah itu, Samudra belum mengizinkannya untuk pergi ke mana pun. Tidak ada kegiatan apa-apa selain tiduran di kamar. Padahal ia sangat ingin diajak ke mana pun Samudra pergi. Termasuk ke kantor dan yang terpenting menemui Mentari.“Aku tidak pergi ke Hanggara Enterprise.” Samudra menjawab masih dengan kaki yang bergerak.“Tidak apa, Om. Aku mau ikut Om ke
376Sore hari Nuri dikejutkan dengan kedatangan Rendra yang menjemputnya ke rumah baru mereka. Rendra meminta Nuri segera bersiap karena akan diantar ke suatu tempat. Katanya atas permintaan Bastian. Sementara Bastian sendiri tidak mengatakan apa pun, padahal waktu istirahat siang tadi mereka sempat bicara di telepon.Walaupun heran, tak ayal Nuri menurut karena sudah sangat mengenal orang kepercayaan Samudra yang dulu selalu melindungi dirinya dan Bastian itu.Rendra mengatakan ini kejutan, dan sebenarnya Bastian melarangnya untuk mengatakan lebih dulu, tapi terpaksa ia katakan karena awalnya Nuri menolak ikut. Dan benar saja, pengawal merangkap sopir itu pertama membawanya ke sebuah salon kecantikan. Di sana Nuri didandani sangat cantik. Gaun malam indah berwarna hitam membalut tubuh sintalnya. Nuri sampai pangling melihat bayangan dirinya sendiri di cermin.“Sebenarnya kita mau ke mana, Pak? Aa Bastian di mana?” tanya Nuri saat mereka sudah kembali berada di dalam mobil. Rendra memb
375Kehidupan kembali berjalan normal setelah mereka pulang ke tanah air. Mereka melanjutkan hidup masing-masing dengan tetap membawa kehangatan keluarga yang semakin terjalin erat. Waktu seminggu liburan seolah menjadi isi ulang energi agar lebih bersemangat dalam menjalani hidup yang sesungguhnya. Antusiasme efek isi ulang itu sangat berdampak dirasakan Mentari dan Samudra. Rasa cinta mereka pun bertambah berkali-kali lipat. Rasanya tidak ada lagi yang mereka inginkan dalam hidup selain tetap bersama.Pagi ini, seperti biasa Mentari mengantar suaminya yang akan berangkat ke kantor, hingga ke mobil yang menunggu di halaman. Tangannya yang mengait erat di lengan Samudra, juga kepalanya yang menyandarm anja selama berjalan hingga halaman, menandakan jika ikatan itu tak akan terpisahkan. Beberapa kecupan di wajah mentari menjadi salam perpisahan setiap kali Samudra akan berangkat ke kantor. Baginya, satu kecupan saja tidak cukup.Mentari melambaikan tangan saat mobil mulai bergerak meni
374Keesokan paginya, sinar matahari menyelinap melalui celah tirai, menerangi kamar hotel dengan cahaya keemasan. Mentari membuka matanya perlahan dan melihat Samudra masih tertidur lelap di sampingnya. Ia tersenyum kecil, merasa beruntung bisa menikmati momen ini.Perlahan, ia mengulurkan tangan, menyelipkan jemarinya di antara rambut Samudra yang acak-acakan, merasakan kelembutan helai-helainya yang sudah mulai memutih di beberapa bagian. Tanpa sadar, hatinya berdesir melihat wajah damai yang semakin hari semakin menambah kadar cintanya.Ia teringat perjalanan cinta mereka yang penuh liku—berawal dari nikah dadakan karena pergantian mempelai laki-laki, salah paham, kecurigaan, dipisahkan fitnah, hingga akhirnya berlabuh dalam cinta yang mendalam. Sekarang, mereka punya segalanya yang ia impikan: pernikahan yang harmonis, anak kembar yang lucu, dan waktu berharga berdua seperti pagi ini. Ia merasa amat bersyukur."Mas …" bisiknya penuh kelembutan, meski ia tahu suaminya belum benar-b
373“Akhirnya ….” Samudra menjatuhkan tubuhnya di atas kasur empuk berukuran besar di kamar hotelnya. Pria itu telentang dengan kedua tangan terbuka lebar dan kedua kaki menjuntai ke lantai. Entah ada keajaiban apa, tiba-tiba saja Bastian memaksa membawa si kembar ke kamarnya, katanya ingin mengajak mereka menginap di sana.Seperti mendapat durian runtuh, tentu saja Samudra merasa lega. Bagaimana tidak? Dua anaknya ingin bermain naik kuda-kudaan di punggungnya. Dua sekaligus.“Makanya, nikah jangan terlalu tua. Biar anak pas aktif-aktifnya, papanya masih strong ngajak mainnya,” ledek Mentari sambil melihat Samudra yang ngos-ngosan melayani kedua anaknya.“Kalau Mas nikah muda, pasti bukan sama kamu.”Mentari mengernyitkan keningnya.“Iya, kan? Kalau Mas nikah umur dua puluhan, pasti bukan sama kamu, karena saat itu kamu masih bau kencur. Mungkin masih ingusan. Belum bisa dinikahi.”Mentari memutar bola mata, tapi ucapan Samudra ada benarnya. Selisih usia mereka cukup jauh. Kalau Samudr
372Pagi itu, matahari Paris menyentuh lembut jendela kamar hotel tempat Nuri dan Bastian menginap. Begitu Nuri membuka jendela, aroma bunga musim semi menyeruak ke dalam kamar, membawa sensasi kebahagiaan yang sempurna.Paris di musim semi adalah lukisan hidup: pohon-pohon sakura bermekaran di taman-taman kota, bunga-bunga aneka warna menghiasi jalanan, dan angin yang sejuk membelai wajahnya, membuat wanita itu tersenyum.Nuri berbalik menghadap ranjang tempat Bastian masih terlelap. Pertarungan panas mereka tadi malam memang menyisakan kelelahan yang teramat. Pantas jika sang suami masih nyenyak. Namun, agenda hari ini padat, dan Nuri tidak mau melewatkannya.Terlebih, hari ini mereka akan menikmatinya bersama keluarga Samudra.Nuri berjalan menuju pintu, lalu keluar dan mendatangi kamar sebelah tempat Samudra dan keluarganya menginap.Ia langsung mengetuk pintu. Tidak menunggu lama, Mentari membukanya.“Hai, Nur. Sudah cantik aja, nih. Sepertinya kamu sudah siap ya, jalan-jalan.” M
371Panik, Bastian berjalan ke arah kios tempat terakhir kali ia melihat Nuri. Ia menanyakan pada beberapa orang di sekitarnya dengan menyebutkan ciri-ciri Nuri, namun tak seorang pun mengetahui istrinya.Aneh, dalam sekejap saja, Nuri hilang seolah ditelan bumi.Pikiran Bastian mulai dipenuhi kekhawatiran. Ini negara orang, dan Nuri baru ke sini. Tidak bisa bahasa Prancis maupun Inggris. Bagaimana kalau ia tersesat?Bastian memutuskan untuk menghubungi Nuri melalui ponsel, tapi panggilannya tak tersambung.“Nomornya tidak aktif,” gumamnya, merasakan kekhawatiran yang semakin besar. Ia terus mencoba, namun hasilnya tetap sama. Napasnya mulai tak beraturan, bayangan buruk terus menghantui pikirannya.Bagaimana jika Nuri diculik? Atau tersesat jauh? Ini Paris, negara yang asing bagi istrinya.Tanpa berpikir panjang, ia mulai menyusuri setiap sudut jalan, berharap bisa menemukan sosok Nuri yang entah kenapa bisa hilang secepat ini.Langkah Bastian semakin cepat, dadanya mulai terasa sesa
370Paris menyambut dua keluarga itu dengan segala pesonanya yang melegenda. Bastian, Nuri, Samudra beserta Mentari dan juga si kembar, turun dari taksi di depan hotel bergaya klasik yang berada di jantung kota.Gedung hotel itu berarsitektur ala Eropa kuno dengan detail balkon berornamen besi tempa dan jendela besar berbingkai kayu putih. Setiap sudutnya tampak seperti lukisan, begitu indah dan romantis. Paris memang terkenal dengan pesona abadinya, dan hari itu, senyum tak pernah lepas dari bibir Nuri.Wanita mungil itu langsung membulatkan mulutnya. Tak henti-henti ia mengagumi kota mode itu semenjak menginjakkan kaki di bandara Charles de Gaulle tadi.“Aa….” Nuri memekik seraya menyatukan kedua tangannya yang terkepal di depan dada. Tubuhnya sedikit membungkuk. “Kita benar-benar di Paris, ya?” tanyanya polos tanpa melihat Bastian karena pandangannya terus menyapu seluruh sudut kota.Bastian tersenyum. Pun dengan Samudra dan Mentari yang ikut mendengar. Antara bahagia yang Bastian
369Bastian mengusap wajahnya setelah mengembuskan napas berkali-kali. Laki-laki itu duduk di sofa dengan wajah menunduk, kedua siku bertumpu di atas pahanya.Suara langkah ayah dan adiknya semakin memudar di kejauhan, membawa kelegaan sekaligus kepedihan yang menyatu dalam dadanya. Rasa lelah dan berat di dadanya mulai bergulir. Ia tahu, sejak saat ini, hubungan dengan keluarga tidak akan sama lagi.Ia yakin, meski tadi sudah menjabat tangannya karena paksaan sang ayah, Andra tidak akan begitu saja melupakan semua ini. Dan Richard? Bastian sangat yakin bahwa mulai saat ini pria itu akan membatasi diri dalam memberikan kasih sayang dan perhatian padanya karena khawatir menimbulkan kecemburuan dari anaknya yang lain.Padahal Bastian sudah sangat bahagia memiliki keluarga. Siapa sangka kebahagiaannya harus diwarnai dengan drama kecemburuan dari adiknya yang berlanjut dengan percobaan merebut istrinya.Sebuah tepukan mampir di pundak Bastian. Sentuhan itu seperti jangkar yang membawanya
368Kedua tangan Bastian kembali mengepal kuat. Wajahnya yang sempat tenang kini kembali memerah dan tegang. Andai bukan karena gelengan Nuri yang menunjukkan ketakutan dan tatapan memohon dari Samudra agar ia tetap tenang, wajah Andra yang sudah babak-belur itu mungkin akan dibuatnya semakin tak berwujud.Bastian menahan napas, padahal dadanya sudah naik-turun dengan cepat."Aa..." Nuri mendekat. "Jangan dengarkan dia. Dia hanya mengada-ngada. Itu sama sekali tidak benar. Aa tahu saya hanya menyukai Aa." Wajah Nuri pucat, sorot ketakutan terpancar jelas. Tangannya meraih tangan Bastian."Saya hanya menganggapnya sebagai adik. Tidak lebih," lanjut Nuri mengiba. "Kalaupun tadi saya menemuinya, itu karena dia bilang mau pamitan sebelum ke Yogya. Kami tidak sempat bertemu sebelum kita kembali ke sini." Suara Nuri terdengar lirih dan bergetar."Sungguh, kalau saya tahu akan seperti ini, saya akan membangunkan Aa saat dia menelepon dari depan pintu. Aa, percayalah pada saya. Dia gila kalau