184Mentari tertegun. Pandangnnya tak berkedip. Mulutnya sedikit terbuka. Dunia seolah berhenti berputar untuk beberapa saat.Bima menelan ludahnya untuk membasahi kerongkorang yang mendadak kemarau. Ia sangat tahu konsekuensi ini, tapi tetap ingin jujur sebelum mereka melangkah lebih jauh. Bagaimanapun, selama ini ia tersiksa menyimpan rahasia itu sendiri. Sebenarnya, sudah sejak lama ia ingin mengatakannya pada Mentari. Hanya saja ia terlalu takut. Takut Mentari membencinya dan menjauhinya.Namun, belakangan ia sudah memikirkan ini. Apalagi kini wanita itu sudah menyampaikan ingin mengurus perceraian secara resmi yang artinya lampu hijau untuknya sudah menyala. Pasalnya rahasia itu belum juga ia sampaikan.Ia tak ingin terus ada ganjalan di hatinya sebelum mereka melangkah lebih jauh. Jujur adalah keputusan yang tepat saat ini. Urusan nanti Mentari membencinya, tak apa, asalkan ia sudah menyapaikan kenyataan. Daripada nanti wanita itu mengetahui belakangan setelah mereka lebih seriu
185Bima menatap tak percaya. Matanya berkaca-kaca. Tak percaya rasanya wanita itu memaafkan dirinya. Padahal ia sengaja menyimpan lama rahasia ini karena takut Mentari membencinya.“Apa yang sudah Kakak lakukan selama ini untukku dan anak-anak, lebih dari cukup untuk menebusnya. Kebaikan Kakak lebih banyak daripada kesalahanmu. Aku bahkan berhutang terlalu banyak sama Kakak. Hutang yang mungkin nggak bisa aku bayar. Tanpa bantuan Kakak selama ini, bahkan nyawa pun mungkin aku sudah tidak punya.”“Jangan berlebihan, Dek.”“Itu kenyataannya, Kak Bim. Kakak ingat saat aku pendarahan menjelang melahirkan? Jika bukan Kakak yang cepat datang menolong, mungkin aku dan anak-anak hanya tinggal nama saja. Sekali lagi aku berhutang banyak sama Kakak. Dan disadari atau tidak, kami sudah sangat bergantung sama Kakak. Apa Kakak setega itu ninggalin kami di saat anak-anak bahkan tidak mengenal orang lain selain Kakak?”Mentari menatap nanar. Pun dengan Bima yang dadanya dipenuhi keharuan dan kebaha
186[Lusa shooting perdana film Keluarga Tak Selamanya Surga, apa kamu mau menyaksikan?]Mentari membaca pesan dari Bima di sela-sela kegiatannya mengetik novel.[Kalau mau, besok aku jemput. Pulangnya aku janji ajak kalian jalan-jalan.]Pesan kedua masuk bahkan sebelum ia membalas pesannya yang pertama.[Siapin keperluan kembar lebih banyak. Nanti aku booking hotel untuk kalian beberapa hari menginap di sini. Jangan buru-buru pulang seperti kemarin.][Izinkan aku mengajak kalian jalan-jalan dan bersenang-senang dulu di sini.]Mentari menarik napas panjang dan membuang perlahan. Satu lagi rasa haru menyeruak. Bima begitu tinggi rasa ingin membuat ia dan anak-anaknya senang, padahal laki-laki itu tak memiliki kewajiban apa pun atas dirinya dan juga si kembar.Namun, untuk saat ini fokus Mentari proses perceraian dulu. Belum memikirkan apa pun walaupun itu untuk bersenang-senang. Toh, jika nanti ia sudah bercerai dan mereka berjodoh, akan memiliki banyak waktu untuk pergi bersenang-senan
187“Mbak Ratri … apa kabar?” Mentari memekik dan langsung memeluk wanita di hadapannya. Tadi begitu mengenali siapa tamu yang berkunjung, ia meminta Mbak Rumi membuka pagar.Tentu saja Mentari mengenal wanita itu. Selama berumah tangga dengan Samudra, ia tahu jika wanita itu asisten setia sang mertua. Di mana pun ia bertemu Nenek Widya, maka akan ada Ratri di sana. Termasuk saat ibu mertua mengunjunginya di apartemen Samudra, Ratri akan ikut serta.Walaupun tidak pernah terlibat perbicaraan dengan wanita tiga puluh tahunan dengan ciri khas pakaian berwarna gelap itu, karena Ratri memang jarang bicara selama menjadi asisten sang mertua, tetapi Mentari cukup mengenalnya. Yang ia tahu, Ratri wanita sederhana yang apa adanya. Yang mencolok adalah, loyalitas dan kesetiaannya yang tinggi hingga ibu mertuanya memperkerjakannya dalam waktu lama.Kini, saat wanita itu datang, rasanya bagai dikunjungi kerabat yang lama tidak bersua. Karena selama ia tinggal di sana tidak pernah ada yang berkun
Bab 1“Bastian, ahhh … lebih cepat lagi–”Aku menajamkan pendengaran begitu tiba di depan pintu kamar Bastian, calon suamiku. Suara-suara aneh dari dalam sana membuat bulu di tubuh ini meremang.“Bas–oh ....”Aku tidak tahan lagi, tubuhku mendadak bergetar hebat karena mendengar suara-suara itu. Suara-suara khas sepasang manusia yang tengah mengarungi lautan kenikmatan.Brak!Kudorong pintu ruangan itu dengan kuat hingga dua orang yang tengah bergumul di atas sofa sontak terperanjat.Sepasang manusia tidak tahu malu itu kompak menoleh ke arahku.Si lelaki langsung loncat menarik diri dari atas tubuh wanitanya dengan gelagapan. Disambarnya bantal sofa untuk menutupi tubuh bagian bawahnya. Sementara wanitanya bukan melakukan hal sama, melainkan dengan tidak tahu malu melemparkan senyum penuh kemenangan padaku.Raut puas sangat kentara di sana–aku bisa melihatnya dengan jelas. Ia bahkan membusungkan dadanya seolah ingin menunjukkan padaku jika tubuhnya baru saja dinikmati calon suamiku.
Bab 2Aku menelan ludah dengan susah payah. Pandangan tajam ini mengabur dengan sendirinya karena kaca-kaca yang mulai menutupi bola mata.Sumpah demi apa pun, hatiku sakit. Sakit karena pengkhianatan Bastian dan Novita, juga karena ucapan busuknya.Aku ingin lebih memaki, tetapi rasanya percuma.Akhirnya aku membalikkan badan tanpa berkata-kata lagi. Lalu membawa kaki ini melangkah keluar. Meninggalkan ruangan yang baru saja digunakan perbuatan terkutuk manusia-manusia laknat itu.“Ini salahmu, kenapa tidak mengunci pintunya?”Langkahku terhenti di depan kamar saat mendengar suara Bastian. Walaupun tidak jelas karena diucapkan dengan mendesis, tetapi telingaku cukup baik menangkapnya.“Mana aku tahu dia mau ke sini?” Itu Novita yang menimpali. “Sudah kubilang lebih baik ke hotel seperti biasa. Tapi kamu malah mau di sini. Salahku di mana?”“Sial!” Bastian mengumpat.Aku memejam dengan kuat. Satu kesimpulan yang dapat diambil dari dialog singkat mereka, jika ini bukan yang pertama dan
Bab 3“Lelucon macam apa ini, Nek?” Bastian yang sekian detik lalu tersentak, kini berdiri. “Bagaimana bisa aku digantikan Om Sam, si laki-laki payah itu?” Lelaki itu melayangkan protes.“Tutup mulutmu, Bas!” Nenek Widya tampak tidak suka dibantah. Matanya melebar walaupun tetap bergaya anggun dan elegan. “Keputusan Nenek sudah bulat. Pernikahan tidak mungkin dibatalkan karena perjodohan ini amanah kakekmu dan kakeknya Mentari. Nenek harus memastikan amanah ini terlaksana sebelum Nenek meninggal.”“Tapi kenapa aku harus digantikan Om Sam, Nek? Dia itu laki-laki payah. Aku yakin dia tidak ingin menikah seumur hidupnya. Dia tidak menyukai perempuan!”“Tutup mulutmu, Bastian Hanggara!” Nenek Widya kembali menegur. “Jika memang kamu tidak bersedia Mentari menikah dengan pria lain, seharusnya kamu jaga sikapmu dan tidak mencoreng nama keluarga seperti ini!”Rahang Bastian mengeras, sementara wajahnya memerah.“Aku tetap tidak terima, Nek.” Bastian terus melayangkan protesnya dengan keras.
Bab 4“Tari, ini Samudra, calon suamimu.”Ingin rasanya aku pingsan lagi dan lagi mendengar penjelasan Nenek Widya.Bagaimana tidak? Aku yang kini duduk di sebuah sofa empuk, diperkenalkan dengan lelaki menyeramkan yang tadi menangkap tubuh ini sebagai calon suamiku.Semua bayangan buruk yang tadi sempat terlintas tentang kepribadian Samudra langsung menempel begitu saja karena sosoknya yang sangat ajaib ini. Tinggi besar—walaupun mungkin tingginya hanya seratus delapan puluh centimeter, tetapi bagiku yang berperawakan mungil, ia sangat tinggi. Menjadi sangat menyeramkan karena rambut gondrongnya yang hanya diikat asal.Jangan lupakan juga bulu-bulu di wajahnya yang dibiarkan tumbuh liar. Bahkan aku yakin jika kulitnya tak pernah bersentuhan dengan pisau cukur selama berbulan-bulan.Jangankan untuk berjabat tangan dengannya, aku bahkan takut untuk sekadar mengangkat wajah dan meliriknya.Alhasil aku hanya menunduk sambil memilin jemari satu sama lain. Tubuhku terasa menggigil berada d