Ada tiga hal yang tidak bisa dihitung di dunia ini.
1. Ikan-ikan di laut.
2. Bintang-bintang di langit.
3. Rasa cintaku padamu
**
[Cincin yang cantik untuk kesayangan]
Aku mendelik membaca status di aplikasi hijau milik mas Erick, calon suamiku.
"Cie Rengganis. Romantis sekali ya calon suamimu!" ledek dokter Reyhan tersenyum-senyum sambil memandangiku yang gemetar memegangi ponselnya.
"Dokter, bukan seperti itu."
Aku tercekat sambil mengembalikan ponsel dokter Reyhan.
Jemariku saling bertaut dan terasa dingin.
Tiga hari lagi aku akan menikah dengan mas Erick, seorang arsitek yang sedang naik daun.
Bangunan yang sedang digarapnya ada di beberapa daerah sekaligus.
Tampan, kaya dan mapan. Aku sangat beruntung memilikinya.
Tapi sore ini saat aku mengajukan cuti selama 3 hari ke depan dan bertemu dengan dokter Reyhan, jantungku seolah berhenti berdetak.
Sebenarnya aku sudah memilih cincin dengan mas Erick beberapa hari yang lalu.
Cincin emas putih bermata biru yang sangat indah. Jelas cincin itu ada di rumah mas Erick dengan mas kawin lainnya.
Lalu cincin untuk siapa yang ada foto status aplikasi hijau milik mas Erick tadi? Cincin emas bermata rubi. Itu jelas bukan untukku!
***
Aku mengendarai jazz putihku dengan kecepatan di atas rata-rata. Hatiku kalut.
Beberapa motor dan mobil yang kusalip membunyikan klakson bersahutan.
Aku harus mendapatkan keterangan yang jelas tentang status di aplikasi mas Erick itu.
Saat keluar dari UGD tadi, jelas sekali bahwa tidak ada pemberitahuan tentang status milik mas Erick di ponselku.
Pasti karena status aplikasi hijaunya diprivat sehingga aku atau keluargaku tidak bisa mengetahuinya.
Aku baru teringat jika dulu pernah menelepon mas Erick dengan meminjam ponsel dokter Reyhan karena baterai ponselku yang lemah.
Mungkin mas Erick lupa telah menyimpan kontak dokter Reyhan, sehingga mas Erick tidak memprivate kontaknya dari status aplikasi sosial medianya.
Buktinya dokter Reyhan bisa tahu status aplikasi hijau mas Erick.
Aku menghembuskan nafas kasar.
Berulangkali ponselku berbunyi nyaring. Entah dari siapa.
"Halo, ada apa Dokter?"
Akhirnya aku menyerah dan meraih ponselku.
"Kamu kenapa tadi terburu-buru pergi? Sampai surat ijin cutimu belum sempat kamu berikan pada direktur!"
Terdengar suara dokter muda itu kesal.
"Astaghfirullah. Lupa. Maaf Dokter. Ada urusan super duper urgent. Tolong berikan ke direktur. Terimakasih."
"Tapi nggak gratis, Nis!"
'Astaga. Orang sedang patah hati diperas. Benar-benar dokter gaje!' umpatku.
"Minta apaan sih, Dok?" tanyaku sambil tetap fokus menyetir.
"Kirim kue pernikahanmu yang banyak ya. Karena saat kamu menikah nanti, aku pas ada jadwal dinas di UGD. Jadi nggak bisa datang," suara dokter Reyhan terdengar memelas.
"Hm, itupun kalau saya jadi menikah."
"Heh, apa? Apa kamu bilang barusan?" tanya dokter Reyhan lagi.
"Enggak. Cuma kue kan Dok? Oke siap! Pasti akan saya berikan yang banyak untuk bekal dinas," tukasku cepat. Merasa malas meladeni guyonan dokter yang beberapa tahun lebih tua dariku itu.
"Hm, baiklah. Hati-hati di jalan. Nis. Wah, ada pasien baru masuk nih. Inpartu lagi. Coba ada kamu di sini. Biar mudah memeriksanya," keluh dokter Reyhan.
"Lah, saya kan cuti, Dok. Selamat dinas saja. Jangan lupa berdoa dulu dan makan yang banyak biar kuat menghadapi kenyataan kalau pasien membludak," ucapku menahan tawa.
Dasar Rengganis, sudah sakit hati eh masih sempat-sempatnya meledek dokter Reyhan.
Aku memukul dahiku sendiri.
"Tentu saja, Nis. Tanpa kamu suruh pun aku sudah makan yang banyak dan semangat kok hari ini. Kamu tuh yang seharusnya makan semakin banyak. Biar semok dan strong saat malam pertama!" balas dokter Reyhan tak mau kalah.
'Lah, kok jadi saling meledek gini? Dasar dokter aneh kan. Katanya banyak pasien baru. Kok malah nggak diakhiri panggilan teleponnya?' batinku antara geli dan kesal.
"Dokter ini, semakin lama semakin lucu dan menggemaskan."
"Loh kok bisa? Eh, tapi memang saya dari dulu tampan, lucu, dan menggemaskan dong!" seru dokter Reyhan penuh rasa percaya diri.
Bisa dipastikan sekarang kadar kepercayaan dirinya telah meningkat seratus persen. Dan hidungnya yang mekar itu semakin kembang kempis.
Duh!
"Bagaimana Dokter tidak lucu, katanya tadi pasien banyak. Sekarang kenapa justru ngobrol sama saya?! Ah, Dokter ini. Saya tutup ya teleponnya!"
Aku langsung mengakhiri panggilan dan mematikan ponsel setelah mengucap salam.
Aku lalu melanjutkan mengemudikan mobilku agar segera sampai ke rumah mas Erick.
"Huft, macet. Pasti sampainya ke rumah mas Erick semakin lama. Biasanya cuma tiga jam saja," gumamku melihat arloji.
Aku menghela nafas. "Kenapa sih harus dapat calon suami yang beda kabupaten? Sekarang yang susah aku sendiri."
Aaargh!
"Awas kamu mas Erick, beraninya mengkhianati aku!"
***
Aku menepikan mobil di luar pagar mas Erick dan berjalan masuk ke halamannya.
"Anin, mantu kesayangan Mama. Kenapa baru datang sekarang? Mama kangen. Sekarang usia kehamilan kamu sudah berapa bulan?"
Duuuaaarr!
Terdengar suara calon mertuaku saat aku baru saja sampai di teras rumah mereka.
Aku mencoba menahan segala rasa di hati yang mengakibatkan air mata ingin berlompatan keluar.
"Iya Ma. Maaf sekali. Anin sibuk dengan berbagai pemotretan. Cucu Mama masih berusia hampir empat bulan."
Perkataan perempuan yang dipanggil Anin tadi benar-benar menohokku.
Kucubit beberapa pipiku dan terasa sakit. Ini bukan mimpi! Dan mas Erick yang telah menikah serta mamanya yang sudah mengetahuinya ini nyata.
Tapi mengapa mereka melakukan hal itu padaku?
Aku menajamkan pendengaran dan berusaha lebih jelas lagi mendengarkan percakapan mereka. Dengan hati-hati, aku berusaha mendekat ke arah pintu ruang tamu mas Erick yang sedang terbuka tanpa mengeluarkan suara sedikitpun.
Tidak lupa aku meraih ponsel dan kupasang mode merekam agar bisa kujadikan bukti pada ayah dan bunda nanti.
"Mama, memang harus ya mas Erick menikahi perempuan itu? Aku cemburu loh."
Hoeekkk! Suara perempuan itu sok manja dan sok centil. Menjijikkan.
"Jangan cemburu, Sayang, nanti semua barang yang kuberikan pada Ganis, juga akan kuberikan padamu. Cincin emas itu salah satu contohnya. Kamu suka kan?"
"Iya Anin sayang, kamu tahu sendirikan kalau saat kecil papanya Erick ditabrak oleh ayahnya Rengganis hingga tewas? Memang saat itu diselesaikan secara kekeluargaan karena ayah Rengganis bersedia menyekolahkan Erick sampai wisuda, tapi mama tetap tidak rela jika anaknya si Ronald tidak menderita. Tenang saja walaupun kamu cuma nikah siri, dan nanti dia yang menikah besar-besaran, kamu yang akan mama sayang."
"Hm, sampai kapan pernikahan mas Erick dengan pelakor itu?"
'Apa pelakor? Aku? Cuih! Najis!' Aku mengumpat sendiri di dalam hati.
"Sampai Rengganis merasakan kesepian punya suami tapi seakan rasa janda atau sampai dia merasakan adanya neraka di dunia. Dan tentu saja sampai aset keluarganya jatuh ke tangan kita!"
"Ya Tuhan, jahat sekali mereka. Jadi niat mereka mendekatiku adalah untuk balas dendam pada Ayah? Awas saja mereka! Akan kubuat mereka malu di pesta pernikahanku!" tekadku.
1,3,4,5,6,7,8,9,10. Sudah benar belum menghitungnya?* Kok nggak ada dua-nya?*Sama kayak kamu dong! Enggak ada duanya ... ***Hatiku terasa teremas mendengar percakapan mereka. "Awas saja kamu, Mas!" seruku lirih sambil menggeretakkan gigi menahan kesal dan amarah. "Dan Ayah ternyata menyembunyikan rahasia besar selama ini. Apa sekarang lebih baik aku tiba-tiba muncul saja dan mengagetkan mereka?" gumamku lirih. "Ah, jangan! Nanti malah aku yang dikeroyok oleh mereka. Lagipula, kalau ketahuan sekarang kan jadinya tidak seru. Mereka harus malu bahkan harus menderita lebih parah dibandingkan rasa sakit hatiku ini!"Aku masih berjongkok di luar pintu rumah mas Erick dengan menimbang apa langkah yang seharusnya aku ambil saat ini seraya tetap merekam kelakuan dan segala ucapan mereka.Aku mencoba menahan rasa kram dan kesemutan yang mulai menyerang kedua kaki demi mendapatkan bukti untuk mempermalukan mereka."Sudah cukup nih rekamannya. Sudah cukup bukti untuk membalas rencana mereka
*Dari sekian menu yang ada di hadapanku, yang paling aku sukai adalah menu-a bersama mu.***Aku masih berdiri dengan terbengong karena bingung apa yang harus kulakukan saat ini, ketika sebuah suara yang tidak asing terdengar."Siapa yang datang, Nis?"Ayah muncul dari ruang makan."Loh, Nak Erick, kok mendadak kesini? Apa ada hal yang ingin dibicarakan? Kenapa tidak telepon saja?" tanya ayah sambil duduk di hadapan mas Erick."Bund, ini loh ada anak kita datang. Calon manten ini terlihat semakin ngganteng saja," sambung ayah tertawa.Mas Erick langsung menyalami dan mencium tangan ayah dengan takzim."Kata Mama juga harus datang sendiri karena ada hal yang penting yang berkaitan dengan sedikit perubahan dalam pernikahan nanti.""Ada perubahan apa?" tanya ayah mencondongkan tubuhnya semakin dekat ke arah mas Erick. "Eemm, begini. Keluarga kami yang datang rupanya lebih banyak dari perkiraan dan tidak jadi menginap saat H-1, tapi besok sudah mulai berdatangan ke penginapan yang dipers
*Kamu tahu nggak bedanya ayam goreng yang kumakan sekarang dengan kamu?-Enggak tahu. Emang ada bedanya?*Kalau Ayam goreng makan siang, kalau kamu makin sayang.***"Bunda, seandainya Rengganis tidak jadi menikah dengan mas Erick, bagaimana?""Hah? Apa?""Iya Bund. Misalkan saja Ganis dan mas Erick batal nikah, gimana?""Tapi kenapa?""Bunda ih, Ganis kan nanya. Bunda kok nanya balik sih?" Bunda mendelik dan menjewer telingaku."Ucapan itu doa, Nis. Gimana sih. Bercandamu kelewatan!""Aaww! Sakit Bunda!" Aku menggosok telingaku yang memerah. Bunda masih saja menganggapku bercanda. "Coba jelasin kenapa kamu bicara seperti itu!" tuntut Bunda.Aku menghela nafas. Berpikir untuk menunjukkan rekaman itu sekarang atau nanti sesaat sebelum akad."Nis."Wajah ayah menyembul dari arah pintu kamar."Kenapa sih? Aneh banget sama Erick. Biasanya kamu kalau ada Erick, sakit gigipun langsung amblas."Aku memutar bola mata. "Nggak ada apa-apa. Cuma takut aja nanti berpisah sama Ayah dan Bunda,"
* Kamu tahu obatnya malarindu?* Yap benar, Bodreks-sun ...***Aku merasakan kepalaku berat dan tercium aroma yang sangat familiar dengan indera penciumanku. Aroma rumah sakit."Bunda."Aku menghela nafas berat. Dua selang oksigen tertancap di kedua lubang hidung."Ganis! Kamu sudah sadar? Apa yang kamu minum sampai seluruh badan kamu dingin semua?" tanya bunda cemas."Bunda, Ganis baru saja sadar. Jangan menghujani dia dengan berbagai macam pertanyaan dulu. Biar dia istirahat." Terdengar suara ayah yang sedang duduk di sofa ruang rawat inap."Tadi Erick dan mamanya kemari menjengukmu. Keluarganya sudah sampai ke penginapan. Mereka tampak sangat mencemaskanmu. Mas tidak mengerti kenapa kamu meminum diazepam secara berlebihan."Mas Aris membuka suara. Aku menunduk. Ayah dan bunda terkejut."Diazepam apa itu?" tanya bunda."Obat tidur. Aris menemukannya di laci meja rias. Dulu saat Ganis imsomnia akibat tugas kuliahnya yang menumpuk, dia selalu mengkonsumsi diazepam. Mas baca sebotol
Dan wajah merekapun terkejut!"Kok kamu bisa dapat rekaman ini? Dan kenapa kamu baru cerita sekarang?" tanya mas Aris bingung."Ini karena status whatsapp mas Erick. Entah mas Erick yang sengaja menulis status di whatsappnya tapi lupa memprivat temanku, atau istri mas Erick yang menuliskan status whatsapp itu," jawabku sambil memperhatikan wajah keluargaku yang masih tampak tidak percaya.Aku lalu menceritakan seluruh kronologi bagaimana aku bisa mendapatkan rekaman itu. "Bangs*t si Erick! Air susu dibalas dengan air tuba!" seru mas Aris mengepalkan tangan."Maafkan Ayah dan Bunda, karena tidak menceritakan masalah tabrakan itu padamu, Nis," sahut ayah dengan nada penyesalan."Tidak apa-apa, Yah. Mungkin Ayah pun tidak ingin mengingat-ingat lagi kenangan buruk itu, jadi tidak ingin menceritakan kejadian pahit itu lagi."Ayah terdiam. Tapi jelas sekali matanya tertutup dengan kaca-kaca."Mungkin tadi Erick buru-buru pergi karena menerima telepon dari istrinya."Bunda berkata dengan na
🌹Kamu tahu enggak, kenapa di rumah sakit hanya menerima pasien? 🌹 Karena yang menerima kamu apa adanya ya cuma aku!***"Tunggu! Saya tidak terima. Apa-apaan ini. Jelaskan pada saya kenapa saya harus dipermalukan seperti ini?!" terdengar suara mama mas Erick yang berdiri dan berkacak pinggang."Masih mengelak? Kalau begitu dengarkan ini!"Ayah memutar file rekaman suara pada ponselku dan langsung memasukkannya pada pengeras suara.Semua yang hadir di ruang tamuku terkejut. Suara yang terdengar di ponselku begitu jelas. Ada suara mas Erik, mamanya, dan Anin. "Nah, seperti yang kalian simak barusan, ada rencana buruk di balik rencana pernikahan ini.""Hm, tunggu. Sepertinya ini ada masalah intern yang harus diselesaikan secara kekeluargaan saja. Kalau begitu, saya pulang dahulu," kata penghulu itu sambil menggeleng-gelengkan kepala menyalami ayah. "Terimakasih atas kedatangannya dan saya mohon maaf."Ayah menerima uluran tangan penghulu dengan wajah yang ditegarkan. "Hahaha, kamu
Tahu nggak seberapa pentingnya kamu untukku? Sama seperti jantung yang membutuhkan detaknya.***"Bukannya Dokter itu menderita impot*n ya?""Hah? Kata siapa kamu?""Eh, nganu ... itu ...!"Aku menutup mulut dengan telapak tangan. Sadar kalau aku telah salah bicara."Nganu ... nganu apa? Beh, fitnah itu Nis! Ngomong yang jelas, aku tidak mau difitnah. Punyaku sehat wal'afiat dan kokoh tak tertandingi. Satu lagi, yang pasti punya aku panjang kali lebar kali tinggi. Jadi siapa yang bilang padamu tentang hal itu?""Anu ... itu ... saya ...,""Aku sudah ada rasa sama kamu saat kamu pertama kali pindah ke UGD dulu. Saat pasien urgent memadati ruangan. Tapi karena kamu bilang sudah ada calon suami, ya aku mundur. Dan sekarang boleh dong saya maju lagi karena kamu batal kawin? Tapi saya kaget sekali saat mendengar fitnah itu sekarang!"Aku terkejut mendengar pernyataan cinta yang kurang mesra itu."Sa-saya nggak bisa bilang Dok. Saya sudah janji.""Rengganis Yasmin! Bilang yang jelas! Siapa
Kamu tahu nggak, kenapa Allah menciptakan ruang-ruang kosong diantara jari-jari tangan kita?Itu karena suatu saat nanti ada orang yang datang pada kita untuk mengisi ruang-ruang kosong diantara jari-jari tangan kita itu dan menggenggamnya erat untuk selama-lamanya.***Dan tak lama keluarlah dokter Reyhan dari mobil itu dan melambaikan tangan padaku.'Yasalam! Kenapa dia kesini pagi-pagi? Jangan-jangan hendak membahas masalah semalam?!' batinku kacau seolah aku baru saja meletuskan balon hijau.Waduh, dia menuju ke sini. Aku segera bersembunyi di balik tiang rumah."Assalamualaikum, pagi Nis! Kalau sembunyi mbok yang masuk akal. Saya boleh bertamu nggak?""Waalaikumsalam, eh, ternyata ada dokter Reyhan. Masuk saja Dok, tapi di teras saja ya. Soalnya saya belum nyapu rumah," tukasku basa basi. 'Semoga dia merasa bahwa aku tidak ingin menerima tamu dan langsung pamit pulang," harapku."Hm, di teras ide bagus. Kebetulan saya memang suka outdoor."Dokter Reyhan melangkah santai dan tanp