*Kamu tahu nggak bedanya ayam goreng yang kumakan sekarang dengan kamu?
-Enggak tahu. Emang ada bedanya?
*Kalau Ayam goreng makan siang, kalau kamu makin sayang.
***
"Bunda, seandainya Rengganis tidak jadi menikah dengan mas Erick, bagaimana?"
"Hah? Apa?"
"Iya Bund. Misalkan saja Ganis dan mas Erick batal nikah, gimana?"
"Tapi kenapa?"
"Bunda ih, Ganis kan nanya. Bunda kok nanya balik sih?"
Bunda mendelik dan menjewer telingaku.
"Ucapan itu doa, Nis. Gimana sih. Bercandamu kelewatan!"
"Aaww! Sakit Bunda!" Aku menggosok telingaku yang memerah. Bunda masih saja menganggapku bercanda.
"Coba jelasin kenapa kamu bicara seperti itu!" tuntut Bunda.
Aku menghela nafas. Berpikir untuk menunjukkan rekaman itu sekarang atau nanti sesaat sebelum akad.
"Nis."
Wajah ayah menyembul dari arah pintu kamar.
"Kenapa sih? Aneh banget sama Erick. Biasanya kamu kalau ada Erick, sakit gigipun langsung amblas."
Aku memutar bola mata.
"Nggak ada apa-apa. Cuma takut aja nanti berpisah sama Ayah dan Bunda," sahutku berbohong.
Mereka harus tahu di saat yang tepat. Dan keluarga mas Erick harus merasakan malu akibat rencana gilanya.
"Hm, kan bisa sering berkunjung kesini. Kasihan tahu Erick tadi sampai bingung. Kamu yang biasanya bawel jadi pendiam."
Ayah memandangi mataku. Aku segera menunduk. Aku paling tidak bisa berbohong. Pasti ketahuan dari pandangan mata.
"Bener kamu tidak menyembunyikan sesuatu?" tanya ayah terus memandangiku.
"Benar, Yah," jawabku. Tentu saja sambil menunduk.
"Ya sudah, kamu istirahat saja. Jangan mikir macam-macam. Banyak-banyak berdoa agar pernikahan kamu nanti langgeng," kata ayah.
Aku hanya mengangguk.
"Aamiinn," kata bunda mengaminkan doa ayah.
Ayah dan bunda lantas keluar dari kamarku dan sebelumnya ayah memungut buket bunga yang terjatuh di lantai kamar dan meletakkannya di atas meja rias.
Aku kembali menyalakan data seluler di ponsel. Dan bermunculan lah beberapa pesan dan panggilan tidak terjawab dari aplikasi hijau. Dengan perlahan, aku membuka pesan itu satu persatu.
[Sayang, kamu kenapa? Hari ini kok aneh banget. Kalau ada masalah, kita bisa membicarakannya baik-baik kan?]
Aku melengos setelah membaca pesan dari Mas Erick. Tanpa berniat membalasnya, pandangan mataku teralih pada pesan dari dokter Reyhan.
[Nis, ada apa sih? Dari tadi pagi saat mengantar surat cuti kerja, sikap kamu aneh. Kalau ada masalah, sharing saja. Kita kan teman sejerawat. Eh, teman sejawat.]
Aku tertawa membaca pesan dari dokter itu. Lalu memutuskan untuk mematikan data seluler sekali lagi dan mengganti lampu kamar dengan lampu tidur.
Bodo amat. Sekarang tidur ajalah. Terlalu banyak hal aneh yang terjadi hari ini.
*
"Yah, siapa dia?" tanyaku saat ayah pulang bersama seorang anak yang kira-kira sebaya dengan mas Aris.
"Namanya Erick. Papanya baru saja meninggal dunia. Mulai sekarang, Erick akan sering datang kesini dan bermain bersama kalian."
Ayah tersenyum sambil menepuk kepalaku. Aku memandangi anak lelaki yang terdiam itu.
Ayah lalu meninggalkan kami di halaman depan rumah dan menemui bunda yang menunggu di ambang pintu ruang depan.
Ayah dan bunda terlihat berbicara serius lalu tak lama kemudian bunda mendatangiku.
"Sayang, sambil menunggu mas Aris pulang dari sekolah, kamu ajak mas Erick main dulu ya. Bunda mau bicara serius dengan Ayah," kata bunda lirih sambil membelai pipiku.
Dan aku mengangguk.
"Mas Erick kan namanya tadi? Yuk liat kolam ikan itu. Warnanya bagus-bagus. Mas Erick pasti suka."
Aku memberanikan diri memegang telapak tangannya. Dan mas Erick menurut. Kami melihat ikan warna warni di kolam bersama.
*
"Jangan ganggu Rengganis!" seru mas Erick seraya mengusir beberapa teman perempuanku yang sering mengataiku kurus dan tulang belulang berjalan.
"Kamu nggak apa-apa Nis? Mana Aris?" tanya mas Erick lembut sambil mengambilkan tasku yang terjatuh di tanah akibat dirampas oleh "teman" sekelasku.
"Aku nggak apa-apa Mas. Mas Aris tadi katanya ada pertandingan bola. Jadi aku nunggu jemputan sendiri."
"Hm, kalau gitu pulang dengan aku saja. Ayo!"
Mas Erick setengah menarikku mendekat ke arah motornya.
"Tapi maaf ya, motor Mas cuma motor biasa. Bukan motor keren," kata mas Erick sambil memakai helm.
Aku memandangi wajah tampannya sesaat lalu segera menunduk.
"Yang penting kan Mas membeli jupiter ini dengan dengan bekerja di rumah apung Ayah saat pulang sekolah. Hasil kerja keras sendiri lebih keren," sahutku.
Mas Erick tersenyum.
"Iya, yuk naik."
Aku lalu naik di boncengan motor mas Erick dan sebelumnya membenahi rok abu-abuku.
"Kamu makan yang banyak aja, Nis."
"Lah, emang kenapa Mas kalau makanku dikit?" protesku.
"Aku ngerasa cuma boncengin angin. Hahaha."
"Ah, asem kamu Mas!"
Aku mencubit pinggangnya dengan keras.
"Aawww! Ganis tega amat sih nyubit orang yang udah cinta mati sama ... eh!"
Mas Erick menutup mulutnya mendadak. Aku pun terkejut mendengarnya. Kuncup-kuncup bunga mulai bermekaran di hati.
"Mas, tadi bilang apa? Coba diulang?" pintaku dengan dada berdebar.
Tanpa kuduga, mas Erick justru menepikan motornya lalu turun dari motor dan memetik sekuntum mawar merah yang ada di pagar rumah orang.
"Rengganis Yasmin, aku mencintaimu sudah sejak lama. Maukah kamu menungguku untuk menjadi seorang arsitek yang handal lalu menjadi istriku?" tanya mas Erick.
'Ya Tuhan, ini mimpi bukan sih? Seseorang yang telah lama kuimpikan menyatakan cinta padaku?'
"Jadi apa jawabannya?"
"Tentu saja iyaaaaa," jawabku sambil menerima mawar merah yang diulurkannya padaku.
"Makasih Ganis," sahut mas Erick seraya mengelus rambutku.
"Jadi kita resmi pacaran nih?" tanya mas Erick sambil menatapku.
Aku memutar bola mata. "Gimana ya Mas, Ayah kan melarangku untuk pacaran," jawabku mengambang.
Mas Erick tampak berpikir sejenak. "Ya sudah kita nggak usah pacaran saja."
"La terus, kalau aku dekat dengan temen laki-laki lain, boleh gak?"
Mas Erick memajukan bibirnya. "Jangan dong Nis. Kita nggak usah pacaran, tapi TTMan. Jadi kita tahu kalau saling mencintai tapi tidak berlebihan kontak fisik. Gimana?"
Aku tersenyum lebar. "Bagus juga ide mas Erick. Mas Erick bisa melindungiku dari para cewek pembuli yang cowoknya demen sama aku dong."
"Tentu saja. Aku kan pemberani," tukas mas Erick.
"Yeeey. Asik. Terimakasih Mas!" seruku nyaris melompat karena bahagia.
"Iya, sama-sama. Dan tolong tunggu Mas sampai selesai sekolah, kuliah, dan mendapat pekerjaan yang bagus, agar bisa melamar kamu di depan Ayah."
Mataku berbinar mendengarnya. "Tentu saja. Aku akan selalu menunggu mas Erick."
"Janji?!" Mas Erick mengulurkan jari kelingkingnya kearahku.
"Janji!" Aku pun menautkan jari kelingkingku pertanda kami saling meresmikan janji.
*
Aku menangis terisak saat mengingat semua masa lalu yang indah tapi ternyata membungkus sebuah kebohongan fatal.
"Tega kamu, Mas. Tega!" bisikku seraya terisak.
Aku menelungkupkan wajahku pada kedua telapak tangan di atas meja rias. Sekali lagi flashback tentang mas Erick yang telah menikah bahkan istrinya yang telah mengandung membuat hatiku terkoyak.
Bergantian dengan ingatan tentang perhatian yang selalu diberikannya padaku. Bunga mawar merah pemberiannya yang selalu menghiasi meja belajarku, dan rekaman-rekaman lagu yang dinyanyikannya dengan gitar akustiknya yang bisa membuatku melayang.
'Ah, rasanya aku tidak sanggup mempermalukannya saat akad nanti. Akupun tak kuat jika harus memendam sendiri tentang kenyataan bahwa dia telah mempermainkanku.'
Aku membuka laci meja riasku. Mengambil sebotol obat yang bertuliskan diazep*m.
"Aku gak bisa menanggung hal ini seorang diri."
Kubuka botol obat itu, lalu kuambil 10 butir pil kecil berwarna putih, mengembalikan botolnya pada laci kemudian menelannya sekaligus.
Tak berapa lama aku merasa pandangan mataku menggelap.
* Kamu tahu obatnya malarindu?* Yap benar, Bodreks-sun ...***Aku merasakan kepalaku berat dan tercium aroma yang sangat familiar dengan indera penciumanku. Aroma rumah sakit."Bunda."Aku menghela nafas berat. Dua selang oksigen tertancap di kedua lubang hidung."Ganis! Kamu sudah sadar? Apa yang kamu minum sampai seluruh badan kamu dingin semua?" tanya bunda cemas."Bunda, Ganis baru saja sadar. Jangan menghujani dia dengan berbagai macam pertanyaan dulu. Biar dia istirahat." Terdengar suara ayah yang sedang duduk di sofa ruang rawat inap."Tadi Erick dan mamanya kemari menjengukmu. Keluarganya sudah sampai ke penginapan. Mereka tampak sangat mencemaskanmu. Mas tidak mengerti kenapa kamu meminum diazepam secara berlebihan."Mas Aris membuka suara. Aku menunduk. Ayah dan bunda terkejut."Diazepam apa itu?" tanya bunda."Obat tidur. Aris menemukannya di laci meja rias. Dulu saat Ganis imsomnia akibat tugas kuliahnya yang menumpuk, dia selalu mengkonsumsi diazepam. Mas baca sebotol
Dan wajah merekapun terkejut!"Kok kamu bisa dapat rekaman ini? Dan kenapa kamu baru cerita sekarang?" tanya mas Aris bingung."Ini karena status whatsapp mas Erick. Entah mas Erick yang sengaja menulis status di whatsappnya tapi lupa memprivat temanku, atau istri mas Erick yang menuliskan status whatsapp itu," jawabku sambil memperhatikan wajah keluargaku yang masih tampak tidak percaya.Aku lalu menceritakan seluruh kronologi bagaimana aku bisa mendapatkan rekaman itu. "Bangs*t si Erick! Air susu dibalas dengan air tuba!" seru mas Aris mengepalkan tangan."Maafkan Ayah dan Bunda, karena tidak menceritakan masalah tabrakan itu padamu, Nis," sahut ayah dengan nada penyesalan."Tidak apa-apa, Yah. Mungkin Ayah pun tidak ingin mengingat-ingat lagi kenangan buruk itu, jadi tidak ingin menceritakan kejadian pahit itu lagi."Ayah terdiam. Tapi jelas sekali matanya tertutup dengan kaca-kaca."Mungkin tadi Erick buru-buru pergi karena menerima telepon dari istrinya."Bunda berkata dengan na
🌹Kamu tahu enggak, kenapa di rumah sakit hanya menerima pasien? 🌹 Karena yang menerima kamu apa adanya ya cuma aku!***"Tunggu! Saya tidak terima. Apa-apaan ini. Jelaskan pada saya kenapa saya harus dipermalukan seperti ini?!" terdengar suara mama mas Erick yang berdiri dan berkacak pinggang."Masih mengelak? Kalau begitu dengarkan ini!"Ayah memutar file rekaman suara pada ponselku dan langsung memasukkannya pada pengeras suara.Semua yang hadir di ruang tamuku terkejut. Suara yang terdengar di ponselku begitu jelas. Ada suara mas Erik, mamanya, dan Anin. "Nah, seperti yang kalian simak barusan, ada rencana buruk di balik rencana pernikahan ini.""Hm, tunggu. Sepertinya ini ada masalah intern yang harus diselesaikan secara kekeluargaan saja. Kalau begitu, saya pulang dahulu," kata penghulu itu sambil menggeleng-gelengkan kepala menyalami ayah. "Terimakasih atas kedatangannya dan saya mohon maaf."Ayah menerima uluran tangan penghulu dengan wajah yang ditegarkan. "Hahaha, kamu
Tahu nggak seberapa pentingnya kamu untukku? Sama seperti jantung yang membutuhkan detaknya.***"Bukannya Dokter itu menderita impot*n ya?""Hah? Kata siapa kamu?""Eh, nganu ... itu ...!"Aku menutup mulut dengan telapak tangan. Sadar kalau aku telah salah bicara."Nganu ... nganu apa? Beh, fitnah itu Nis! Ngomong yang jelas, aku tidak mau difitnah. Punyaku sehat wal'afiat dan kokoh tak tertandingi. Satu lagi, yang pasti punya aku panjang kali lebar kali tinggi. Jadi siapa yang bilang padamu tentang hal itu?""Anu ... itu ... saya ...,""Aku sudah ada rasa sama kamu saat kamu pertama kali pindah ke UGD dulu. Saat pasien urgent memadati ruangan. Tapi karena kamu bilang sudah ada calon suami, ya aku mundur. Dan sekarang boleh dong saya maju lagi karena kamu batal kawin? Tapi saya kaget sekali saat mendengar fitnah itu sekarang!"Aku terkejut mendengar pernyataan cinta yang kurang mesra itu."Sa-saya nggak bisa bilang Dok. Saya sudah janji.""Rengganis Yasmin! Bilang yang jelas! Siapa
Kamu tahu nggak, kenapa Allah menciptakan ruang-ruang kosong diantara jari-jari tangan kita?Itu karena suatu saat nanti ada orang yang datang pada kita untuk mengisi ruang-ruang kosong diantara jari-jari tangan kita itu dan menggenggamnya erat untuk selama-lamanya.***Dan tak lama keluarlah dokter Reyhan dari mobil itu dan melambaikan tangan padaku.'Yasalam! Kenapa dia kesini pagi-pagi? Jangan-jangan hendak membahas masalah semalam?!' batinku kacau seolah aku baru saja meletuskan balon hijau.Waduh, dia menuju ke sini. Aku segera bersembunyi di balik tiang rumah."Assalamualaikum, pagi Nis! Kalau sembunyi mbok yang masuk akal. Saya boleh bertamu nggak?""Waalaikumsalam, eh, ternyata ada dokter Reyhan. Masuk saja Dok, tapi di teras saja ya. Soalnya saya belum nyapu rumah," tukasku basa basi. 'Semoga dia merasa bahwa aku tidak ingin menerima tamu dan langsung pamit pulang," harapku."Hm, di teras ide bagus. Kebetulan saya memang suka outdoor."Dokter Reyhan melangkah santai dan tanp
🌹Kamu tahu nggak, daerah yang penduduknya paling sedikit di dunia?❤️ Nggak tahu, emang daerah mana?🌹 Jawabannya adalah hatiku ... Karena hanya kamulah penghuninya.***Saat hendak mengetik status whatsapp lagi, tiba-tiba muncul sebuah nomor asing melakukan panggilan whatsapp padaku.Aku segera menekan tombol hijau, "Halo.""Halo, ini Rengganis? Aku Anin, istrinya Erick, mau bertanya soal Erick padamu."Aku terdiam. Bingung. 'Ah elah. Ini suaminya siapa tapi tanya ke siapa? Aneh!'"Mbak, situ gak salah ya? Kan situ yang istrinya. Kenapa malah tanya ke saya?" Aku menjadi bingung."Aku curiga kamu pernah tidur dengan mas Erick sebelum kalian merencanakan menikah!"Duaarrr!Uasem!'Ini fitnah yang keji dan nyata. Pantas saja Reyhan langsung mencak-mencak saat dia mengetahui telah difitnah soal masalah impot*ennya. Ternyata difitnah memang seasem ini.' "Eh Mbak, siapa yang bilang seperti itu? Sembarangan. Aku ini masih ting-ting. Dijamin masih ting-ting sama sekali belum berpengalama
*Apa bedanya kamu sama transfusi darah?*Kalau transfusi darah bisa mengobati anemia. Kalau kamu bisa mengobati kerinduan.***"Kenapa Nis?"Ayah berlari ke arahku dengan tergopoh-gopoh bersama beberapa karyawan warung apung."Tolong saya Pak, perut saya sakit," Anin merintih sambil memegangi perut."Kenapa bisa menjadi seperti ini, Nis? Kenapa dengan Anin?"Ayah memandangiku dengan tatapan menuntut jawaban.Aku menggelengkan kepala."Ganis juga tidak tahu. Sekarang yang terpenting adalah membawa Anin ke rumah sakit. Bantu Ganis membawanya.""Apa tidak telepon ambulance saja?" usul salah seorang karyawan."Terlalu lama. Takut perdarahannya bertambah banyak."'Lagipula ponsel Ganis nyemplung kolam, Yah.'"Ya sudah, ayo bantu."Ayah memberikan isyarat pada beberapa karyawannya.Beberapa karyawan menggotong tubuh Anin ke dalam honda jazz ayah."Sudah Yah. Ayo berangkat."Aku memberikan instruksi pada ayah saat sudah memastikan posisi Anin nyaman dan aman.Darah mulai membasahi dressnya.
*Kamu adalah pikiran terakhirku sebelum tidur saat malam dan pikiran pertamaku saat aku bangun keesokan harinya.***Menerima pernyataan cinta di ruangan bersalin? Uh! Gak romantis banget. Mimpi apa aku semalam."Dokter, ini masalah serius. Jangan main-main."Aku mambalas menatap mata Reyhan yang dari tadi memandangiku."Aku juga serius. Dan kamu tidak punya alasan untuk menolak. Mari nanti kita temui suami bu Anin dan menceritakan tentang hubungan kita."Tangan Reyhan terulur hendak memegang bahuku.Refleks, aku mundur selangkah. "Baiklah, ayo kita coba 3 bulan dulu."Reyhan tampak semringah. Lalu dia menoleh pada Anin."Bu Anin, saya merasa bersalah dan ikut sedih dengan musibah yang terjadi atas diri Ibu. Percayalah, kalau Allah sudah mengambil sebuah titipan dari hambaNya maka Allah juga akan memberikan ganti yang lebih baik. Semoga setelah ini Ibu segera hamil dengan kondisi lebih baik dan lebih siap lagi."Reyhan mengatakan dengan memandangi mata Anin. Dan terlihat mata Anin m