Dan wajah merekapun terkejut!
"Kok kamu bisa dapat rekaman ini? Dan kenapa kamu baru cerita sekarang?" tanya mas Aris bingung.
"Ini karena status w******p mas Erick. Entah mas Erick yang sengaja menulis status di w******pnya tapi lupa memprivat temanku, atau istri mas Erick yang menuliskan status w******p itu," jawabku sambil memperhatikan wajah keluargaku yang masih tampak tidak percaya.
Aku lalu menceritakan seluruh kronologi bagaimana aku bisa mendapatkan rekaman itu.
"Bangs*t si Erick! Air susu dibalas dengan air tuba!" seru mas Aris mengepalkan tangan.
"Maafkan Ayah dan Bunda, karena tidak menceritakan masalah tabrakan itu padamu, Nis," sahut ayah dengan nada penyesalan.
"Tidak apa-apa, Yah. Mungkin Ayah pun tidak ingin mengingat-ingat lagi kenangan buruk itu, jadi tidak ingin menceritakan kejadian pahit itu lagi."
Ayah terdiam. Tapi jelas sekali matanya tertutup dengan kaca-kaca.
"Mungkin tadi Erick buru-buru pergi karena menerima telepon dari istrinya."
Bunda berkata dengan nada lirih.
"Bisa jadi," sahutku.
"Bunda tidak terima jika anak bungsu Bunda hendak dipermainkan seperti ini!" seru bunda yang biasanya kalem.
"Kita harus melabraknya sekarang. Bukankah Ayah telah membiayai Erick sampai lulus kuliah sebagai tanda damai setelah menabrak almarhum Papanya? Sekarang enak saja dia mau menguasai aset dan membuat Ganis menderita!" seru mas Aris.
"Tunggu Mas. Sebenarnya Ganis punya rencana yang lebih menyakitkan lagi untuk mereka," sahutku mantap.
"Gimana rencana kamu?" tanya Ayah.
Aku berusaha duduk dan melepaskan selang oksigen yang menancap di hidungku karena sudah tidak terasa sesak dan lemas lagi.
"Begini rencana Ganis, ...,"
"Ayah setuju. Ayah lebih memilih kehilangan uang daripada putri Ayah disepelekan dan tidak punya harga diri."
"Ya sudah aku juga setuju," sahut bunda dan mas Aris hampir bersamaan.
**
"Kamu sudah minta pulang, Nis?" tanya Reyhan dengan stetoskop terkalung di lehernya.
"Iya, aku merasa sehat. Lusa kan aku akad."
Kulihat sekilas Reyhan menarik nafas panjang.
"Kok aneh-aneh saja Nis. Pakai acara lemes dan ke UGD. Harusnya nyalon biar tambah cantik," selorohnya sambil meletakkan diaphrgma ke dada dan perutku lalu memintaku menarik nafas panjang.
"Dok, kok dokter yang memvisite saya? Bukannya seharusnya dokter spesialis dalam?" tanyaku.
"Dokter spesialis dalamnya sedang keluar kota. Semua pasien rawat inap dititipkan padaku. Lagipula, walaupun aku dokter umum, tapi aku kan juga sepintar dokter spesialis. Ganteng lagi. Sayangnya masih zomblo," selorohnya tertawa.
"Apaan sih Dok. Malah curhat di sini. Bikin gelay. Lagian Dokter bukannya nggak mau nyari calon sih. Tapi nggak bisa, karena Dokter kan ..., eh!"
Aku langsung menutup mulutku dengan telapak tangan. Karena tanpa sengaja telah mengingkari janji yang telah kubuat dengan Susan.
"Apaan sih? Emang kenapa denganku?" tanya dokter Reyhan dengan ekspresi wajah penasaran.
"Hei Ganis. Gak bagus ngomongin kelemahan orang. Apalagi ada orang lain yang ikut mendengarkan. Kalau mau mengingatkan, sebaiknya berdua saja jangan sampai orang lain tahu," tukas bunda membuatku tersipu.
"Tuh, dengarkan apa kata Bunda kamu. Ya sudah, hari ini boleh pulang. Obat untuk pulang nanti dikonsulkan ke spesialis dalam ya. Jangan sering-sering minum diazepam atau valisanbe ya. Gak bagus."
Reyhan tersenyum seraya berpamitan padaku dan keluarga.
"Itu dokter ganteng juga. Sopan lagi. Kenapa bukan dia saja yang menjadi mantu Bunda?"
Bunda melihatku dengan serius membuatku tidak bisa menahan tawa.
"Dokter Reyhan itu banyak penggemarnya dan Ganis sering melihat dia ganti-ganti cewek," sahutku berusaha menutupi aib dokter Reyhan yang telah kuketahui dari Susan.
***
"Sudah pulang dari rumah sakit Yang?" tanya mas Erick seraya memegang buket mawar merah saat aku baru saja tiba di rumah.
'Enak aja manggil aku Yang, memangnya aku loyang atau kepala peyang?'
"Iya Nak, Ganis biar istirahat dulu ya. Masih lelah."
Ayah mengiringi langkahku dengan hati-hati.
Mas Aris membawakan tas jinjing berisi baju serta aneka keperluan selama di rumah sakit dan melewati mas Erick begitu saja.
Padahal mereka sebelumnya pernah akrab dan sering futsal bersama.
Ah, bodo amat.
Mas Erick membuntutiku ke ke dalam rumah tapi ayah segera mengantarku masuk ke dalam kamar.
"Kamu di kamar saja. Biar Ayah dan Bunda yang mengusirnya pulang."
Aku tersenyum saat melihat ayah jengkel.
"Makasih Ayah," bisikku.
Ayah dan bunda mengagguk lalu berlalu.
"Nak Erick, Rengganis biar istirahat dulu ya. Bunganya Bunda bawa."
Terdengar samar suara bunda sedang "mengusir" mas Erick.
Di kamar aku menahan tawa. "Rasain, emang enak?!"
"Ta-tapi saya cuma ingin menyemangatinya. Beberapa kali saya kirim pesan w******p, selalu saja dijawab dengan pendek."
Suara mas Erick terdengar bingung. Mungkin dia tidak mengira kalau calon mertuanya sekarang bisa bersikap sedingin es batu.
"Nak, Rengganis itu baru saja keluar dari rumah sakit karena over dosis diazepam. Jadi biar dia istirahat agar pernikahan kalian berjalan lancar ya Nak. Lebih baik, sekarang kamu pulang dulu."
Suara ayah terdengar tegas. Dan setelah itu tidak dengar suara apa-apa lagi.
Aku merebahkan diri senyaman mungkin dan mengawasi langit-langit kamar.
Sebuah notifikasi dari aplikasi hijau terdengar.
Aku menghela nafas saat membaca nama pengirimnya.
Dokter Reyhan. Lagi. Duh!
[Jangan lupa istirahat yang cukup, makan bergizi, dan diminum obatnya.]
Aku mengernyitkan dahi. 'Tumben sih Dokter Reyhan mengirim pesan seperti ini? Biasanya kan dia dingin-dingin saja,' batinku. Tapi tak urung juga aku mengetik balasan untuk Dokter Reyhan.
[Hm, terima kasih, Dokter.]
Dan setelah sekian lama menunggu, dokter Reyhan tidak membalas pesanku. 'Ah, sudahlah. Paling dia tadi kirim pesan sambil ngelindur,' batinku lagi lalu mencoba beristirahat.
***
Pagi ini suasana rumah ramai. Sesuai rencana yang akan kami lakukan, kami akan mempermalukan mas Erick dan keluarganya.
Aku duduk di belakang mas Erick dengan hati yang tidak menentu. Ada rasa sedih tapi aku bersyukur karena bisa mengetahui kebusukan mas Erick sebelum benar-benar menikah dengannya.
Pak penghulu sudah datang dan duduk di samping ayah.
Ayah menjabat tangan mas Erick dengan tangan kanan sementara tangan kirinya memegang microphone.
"Silakan mulai akadnya, Pak."
Penghulu berkopyah hitam itu mempersilahkan ayah untuk memulai ijab qobul.
"Bismillahirrahmanirrahiim. Nak Erick, saya kecewa dengan apa yang nak Erick dan keluargamu rencanakan. Dengan seenaknya ingin menikahi Rengganis, anak bungsu bapak untuk disakiti dan menguasai aset Ayah. Jadi dengan berat hati, di hadapan semua tetamu dan keluarga di sini, saya memutuskan untuk membatalkan acara pernikahan ini."
Suara ayah terdengar tegas tapi bergetar. Menggema di seluruh penjuru rumah karena memakai pengeras suara. Pasti ayah merasa hancur sama sepertiku.
'Ah, maafkan Ganis, Yah. Gara-gara Ganis ingin membalaskan sakit hati Ganis, ayah juga ikut menanggung malu di hadapan tamu.'
Terlihat wajah para tamu terutama mas Erick dan mamanya memucat. Gumaman-gumaman mulai terdengar bersahutan.
"Tunggu! Saya tidak terima. Apa-apaan ini. Jelaskan pada saya kenapa saya harus dipermalukan seperti ini?!" terdengar suara mama mas Erick yang berdiri dan berkacak pinggang.
🌹Kamu tahu enggak, kenapa di rumah sakit hanya menerima pasien? 🌹 Karena yang menerima kamu apa adanya ya cuma aku!***"Tunggu! Saya tidak terima. Apa-apaan ini. Jelaskan pada saya kenapa saya harus dipermalukan seperti ini?!" terdengar suara mama mas Erick yang berdiri dan berkacak pinggang."Masih mengelak? Kalau begitu dengarkan ini!"Ayah memutar file rekaman suara pada ponselku dan langsung memasukkannya pada pengeras suara.Semua yang hadir di ruang tamuku terkejut. Suara yang terdengar di ponselku begitu jelas. Ada suara mas Erik, mamanya, dan Anin. "Nah, seperti yang kalian simak barusan, ada rencana buruk di balik rencana pernikahan ini.""Hm, tunggu. Sepertinya ini ada masalah intern yang harus diselesaikan secara kekeluargaan saja. Kalau begitu, saya pulang dahulu," kata penghulu itu sambil menggeleng-gelengkan kepala menyalami ayah. "Terimakasih atas kedatangannya dan saya mohon maaf."Ayah menerima uluran tangan penghulu dengan wajah yang ditegarkan. "Hahaha, kamu
Tahu nggak seberapa pentingnya kamu untukku? Sama seperti jantung yang membutuhkan detaknya.***"Bukannya Dokter itu menderita impot*n ya?""Hah? Kata siapa kamu?""Eh, nganu ... itu ...!"Aku menutup mulut dengan telapak tangan. Sadar kalau aku telah salah bicara."Nganu ... nganu apa? Beh, fitnah itu Nis! Ngomong yang jelas, aku tidak mau difitnah. Punyaku sehat wal'afiat dan kokoh tak tertandingi. Satu lagi, yang pasti punya aku panjang kali lebar kali tinggi. Jadi siapa yang bilang padamu tentang hal itu?""Anu ... itu ... saya ...,""Aku sudah ada rasa sama kamu saat kamu pertama kali pindah ke UGD dulu. Saat pasien urgent memadati ruangan. Tapi karena kamu bilang sudah ada calon suami, ya aku mundur. Dan sekarang boleh dong saya maju lagi karena kamu batal kawin? Tapi saya kaget sekali saat mendengar fitnah itu sekarang!"Aku terkejut mendengar pernyataan cinta yang kurang mesra itu."Sa-saya nggak bisa bilang Dok. Saya sudah janji.""Rengganis Yasmin! Bilang yang jelas! Siapa
Kamu tahu nggak, kenapa Allah menciptakan ruang-ruang kosong diantara jari-jari tangan kita?Itu karena suatu saat nanti ada orang yang datang pada kita untuk mengisi ruang-ruang kosong diantara jari-jari tangan kita itu dan menggenggamnya erat untuk selama-lamanya.***Dan tak lama keluarlah dokter Reyhan dari mobil itu dan melambaikan tangan padaku.'Yasalam! Kenapa dia kesini pagi-pagi? Jangan-jangan hendak membahas masalah semalam?!' batinku kacau seolah aku baru saja meletuskan balon hijau.Waduh, dia menuju ke sini. Aku segera bersembunyi di balik tiang rumah."Assalamualaikum, pagi Nis! Kalau sembunyi mbok yang masuk akal. Saya boleh bertamu nggak?""Waalaikumsalam, eh, ternyata ada dokter Reyhan. Masuk saja Dok, tapi di teras saja ya. Soalnya saya belum nyapu rumah," tukasku basa basi. 'Semoga dia merasa bahwa aku tidak ingin menerima tamu dan langsung pamit pulang," harapku."Hm, di teras ide bagus. Kebetulan saya memang suka outdoor."Dokter Reyhan melangkah santai dan tanp
🌹Kamu tahu nggak, daerah yang penduduknya paling sedikit di dunia?❤️ Nggak tahu, emang daerah mana?🌹 Jawabannya adalah hatiku ... Karena hanya kamulah penghuninya.***Saat hendak mengetik status whatsapp lagi, tiba-tiba muncul sebuah nomor asing melakukan panggilan whatsapp padaku.Aku segera menekan tombol hijau, "Halo.""Halo, ini Rengganis? Aku Anin, istrinya Erick, mau bertanya soal Erick padamu."Aku terdiam. Bingung. 'Ah elah. Ini suaminya siapa tapi tanya ke siapa? Aneh!'"Mbak, situ gak salah ya? Kan situ yang istrinya. Kenapa malah tanya ke saya?" Aku menjadi bingung."Aku curiga kamu pernah tidur dengan mas Erick sebelum kalian merencanakan menikah!"Duaarrr!Uasem!'Ini fitnah yang keji dan nyata. Pantas saja Reyhan langsung mencak-mencak saat dia mengetahui telah difitnah soal masalah impot*ennya. Ternyata difitnah memang seasem ini.' "Eh Mbak, siapa yang bilang seperti itu? Sembarangan. Aku ini masih ting-ting. Dijamin masih ting-ting sama sekali belum berpengalama
*Apa bedanya kamu sama transfusi darah?*Kalau transfusi darah bisa mengobati anemia. Kalau kamu bisa mengobati kerinduan.***"Kenapa Nis?"Ayah berlari ke arahku dengan tergopoh-gopoh bersama beberapa karyawan warung apung."Tolong saya Pak, perut saya sakit," Anin merintih sambil memegangi perut."Kenapa bisa menjadi seperti ini, Nis? Kenapa dengan Anin?"Ayah memandangiku dengan tatapan menuntut jawaban.Aku menggelengkan kepala."Ganis juga tidak tahu. Sekarang yang terpenting adalah membawa Anin ke rumah sakit. Bantu Ganis membawanya.""Apa tidak telepon ambulance saja?" usul salah seorang karyawan."Terlalu lama. Takut perdarahannya bertambah banyak."'Lagipula ponsel Ganis nyemplung kolam, Yah.'"Ya sudah, ayo bantu."Ayah memberikan isyarat pada beberapa karyawannya.Beberapa karyawan menggotong tubuh Anin ke dalam honda jazz ayah."Sudah Yah. Ayo berangkat."Aku memberikan instruksi pada ayah saat sudah memastikan posisi Anin nyaman dan aman.Darah mulai membasahi dressnya.
*Kamu adalah pikiran terakhirku sebelum tidur saat malam dan pikiran pertamaku saat aku bangun keesokan harinya.***Menerima pernyataan cinta di ruangan bersalin? Uh! Gak romantis banget. Mimpi apa aku semalam."Dokter, ini masalah serius. Jangan main-main."Aku mambalas menatap mata Reyhan yang dari tadi memandangiku."Aku juga serius. Dan kamu tidak punya alasan untuk menolak. Mari nanti kita temui suami bu Anin dan menceritakan tentang hubungan kita."Tangan Reyhan terulur hendak memegang bahuku.Refleks, aku mundur selangkah. "Baiklah, ayo kita coba 3 bulan dulu."Reyhan tampak semringah. Lalu dia menoleh pada Anin."Bu Anin, saya merasa bersalah dan ikut sedih dengan musibah yang terjadi atas diri Ibu. Percayalah, kalau Allah sudah mengambil sebuah titipan dari hambaNya maka Allah juga akan memberikan ganti yang lebih baik. Semoga setelah ini Ibu segera hamil dengan kondisi lebih baik dan lebih siap lagi."Reyhan mengatakan dengan memandangi mata Anin. Dan terlihat mata Anin m
💕 Apa bedanya kamu dan cincin?* Kalau cincin melingkar di jariku. Kalau kamu melekat di hatiku.***"Ganis, anakku tertabrak motor dan sekarang sedang diantar ke sini!"Apa? Aku tidak salah dengar kan? Baru saja Reyhan bilang anak?"Anak? Ka-mu punya anak?" Aku mengeja pertanyaan dengan setengah rasa tidak percaya."Kamu akan tahu kebenarannya setelah ini ya, Nis. Kumohon tenang dulu."Aku menahan diri untuk segera bertanya dan protes saat ponsel di saku jas putih Reyhan berdering nyaring.Reyhan menyerahkan ponselnya padaku saat dia melihat nama penelepon di layar ponselnya.Calon ayah mertua.Antara menahan senyum dan penasaran aku menerima ponsel Reyhan. Sejak kapan dia menamai nomor kontak ayahku dengan nama itu?"Halo Ayah.""Halo Nis, Ayah tidak bisa jemput kamu. Ada acara tivi lokal yang datang meliput ke warung apung kita dan mewawancarai Ayah. Kamu naik grab saja ya untuk ke warung buat ambil motor?"Aku menghela nafas. "Baiklah Yah. Tidak apa-apa. Semoga sukses acaranya."
Cinta adalah saat kita merasakan getaran rasa di dalam dada. Saat memandanginya akan menjadi saat terindah. Dia yang selalu terucap dalam setiap doa.***"Sekali lagi aku mencoba mencari ibunya dengan sabar, tapi tetap saja aku tidak bisa menemukannya. Jadi Rengganis Yasmin, aku sudah jujur tentang masa laluku. Maukah kamu tetap menerimaku?" tanya Reyhan dengan suara serak.Aku menghela nafas panjang dan memandanginya. Lalu sesaat kemudian aku menjawab, "kita jalani saja ya Dok. Kita kan nggak akan tahu apa yang akan terjadi ke depannya." Reyhan hanya terdiam. Tapi sedetik kemudian, dokter Reyhan mulai usil lagi."Nis, kita sudah di luar lingkungan rumah sakit loh. Bisa nggak manggilnya jangan dak dok dak dok mulu. Panggil mas aja.""Sip. Oke Mas Rey. Sekarang kita nyari Hp dimana?" tanyaku seraya tersenyum. Sebenarnya aku menutupi rasa kecewa di hati. Aku yang sejak kecil menjunjung tinggi berhubungan setelah menikah sekarang didekati oleh laki-laki yang telah melakukan bukan hanya
"Akhirnya kamu besok wisuda, Mas," ucap Rengganis sambil melingkarkan tangan ke pinggang sang suami. Reyhan tersenyum. "Alhamdulillah semua proses PPDS berlangsung lancar. Walaupun pada awalnya ada kendala.""Hm, iya Sayang. Sebenarnya kemarin aku sudah hopeless tentang kelancaran PPDS kamu.""Aku tahu. Pasti karena Tamara. Iya kan?"Rengganis mengangguk. "Dan atas perantara kita, Tamara bisa berbaikan kembali dengan Bapaknya.""Iya. Aku juga tidak menyangka.""Apa rencana kamu kedepannya Mas?""Rencana jangka panjang atau jangka pendek?" tanya Reyhan sambil mulai memegangi bibir Rengganis."Jangka panjang dong."Reyhan berpikir sejenak. "Tidak ada rencana."Rengganis tergelak. "Kok bisa tidak ada rencana?""Aku hanya perlu kembali ke RSUD dan bekerja dengan rajin di sana. Terus mau apalagi?" tanya Reyhan balik. "Kali aja mau bikin tempat praktek di rumah."Reyhan menggeleng. "Enggak. Aku kerja di luar rumah saja. Kalau di rumah, waktunya happy happy dengan istri," jawab Reyhan menc
Teman-teman Doni terpaku mendengarkan penjelasan dokter sampai selesai tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun. "Jadi itu saja informasi yang perlu saya sampaikan. Kalau ada pertanyaan, bisa bertanya pada para suster. Saya permisi dulu karena masih harus visite dengan beberapa pasien lain.""Terimakasih Dokter."Dokter keluar dari ruangan konsultasi dan disusul oleh Doni dan kedua orang tua Nita."Loh, kalian kok di sini?" tanya Doni panik. Begitu pula ekspresi wajah Dewi dan suaminya. Teman-teman Doni hanya terpaku tanpa bisa menanggapi. "Kami ...,""Om mau bicara dengan kalian berlima. Bisa kita bicara sebentar?" tanya suami Dewi. Teman-teman Doni mengangguk. Lalu mengikuti langkah ayah Nita tersebut hingga sampai di depan ruang bersalin. Ayah Nita lalu duduk di kursi keluarga pasien dan memandang semua teman-teman Nita."Kalian sudah mendengar apa kata dokter sewaktu ada di ruangan tadi kan?" tanya ayah Nita. Kelima orang teman Nita hanya bisa terdiam."Saya tahu kalian sudah
Dewi dan suaminya menoleh. "Bagus deh. Kalau begitu ayo ikut kami ke PMI," ujar suami Dewi sambil berjalan mendahului Dewi dan Doni. "Tunggu. Ini surat pengantar untuk pengambilan darah." Suster itu memberikan selembar amplop putih kepada Doni. Doni menerima amplop tersebut dan mengejar suami Dewi."Om. Naik mobil saya saja. Saya bawa mobil."Suami Dewi menghentikan langkah dan membalikkan badan lalu menatap Doni. "Kamu sepertinya belum genap berusia 17 tahun. Bagaimana mungkin kamu sudah boleh membawa mobil oleh orang tua kamu di jalan raya? Kamu juga pasti belum punya SIM.""Ya, saya mengendarai mobil di jalan yang sepi Om. Agar tidak ketahuan oleh polisi.""Kalau begitu, mana mobil kamu. Biar Om saja yang menyetir. Mobil Om baru saja dijual untuk modal usaha baru Om.""Kalau saya boleh tahu, usaha baru Om apa ya?" tanya Doni sambil menyerahkan kunci mobil milik ayahnya. "Kafe dan resto," sahut suami Dewi.Doni terdiam tanpa menanggapi. Dewi dan suaminya pun juga malas untuk basa
Dewi mengangguk dengan takut-takut. "Astaga, aku harus meminta pertanggungjawaban padanya. Walaupun aku miskin dan tidak sekaya dokter itu, aku nggak akan sanggup melihat anakku terbaring lemah tidak berdaya."Ayah dari Nita segera menuju ke arah pintu masuk UGD. "Tunggu Yah. Apa yang akan kamu lakukan?! Dokter Tamara sedang berusaha menyelamatkan anak kita. Jangan ganggu fokusnya!""Aarrgh!"Ayah Tamara meninju tembok di luar UGD lalu duduk di kursi penunggu. Kedua tangannya menangkup wajah diiringi helaan nafas panjang bernada frustasi."Kita tidak bisa hanya diam saja dan menunggu Wi. Paling tidak, kita harus memaksa anak itu bertanggung jawab. Kenapa kamu tidak bilang dari awal kalau Nita hamil?"Dewi menunduk. "Maafkan aku Mas. Aku juga baru tahu kalau Nita hamil setelah kemarin Nita memberi tahu bahwa pacarnya akan datang untuk membahas kehamilannya. Tapi aku terkejut karena ternyata yang datang adalah anak dari ayah tiriku.""Astaga!! Kenapa jadi seperti ini? Jadi Tamara itu s
"Hahaha. Aku juga nggak sudi mempunyai menantu seperti anak kamu. Tidak bermoral. Makanya jadi cewek jangan terlalu murah. Sekarang bisa merasakan akibatnya kan? Perempuan masih sekolah saja kok mainan burung. Ya hamil lah! Makanya jadi perempuan jangan terlalu bodoh," kata Tamara memanas-manasi."Hei, apa kamu bilang? Keterlaluan kamu ya!" seru Dewi meringsek ke hadapan Tamara lalu mengacungkan tangannya tinggi-tinggi dan langsung mengayunkannya ke pipi Tamara.Tamara yang sudah siap dan sudah memprediksi serangan yang akan ditujukan padanya segera menangkis dan menangkap tangan Dewi. "Hei ngaca kalau mau menyerang orang. Di masa lalu kamu dan ibumu membuat ibu dan adikku mati dan hidupku sangat menderita seperti di neraka. Ini adalah hukuman kamu! Paham?!" seru Tamara sambil menghempaskan tangan Dewi. Begitu tangannya terlepas, Dewi menghambur ke arah Tamara dan dengan cepat menjambak rambut dokter itu. Tamara yang tidak siapa, tidak memprediksi serangan kedua merasa kesakitan ka
Ponsel Doni meluncur jatuh ke lantai kamar rawat inap. "Astaga!" seru Tamara kaget. Dengan segera dia mengambil ponsel anaknya dan memeriksanya. Tamara masih beruntung karena ponsel Doni tidak jatuh terlalu tinggi. "Syukurlah tidak pecah," ucap Tamara lirih. Dia lalu mengambil ponsel Doni yang tadi tidak sengaja dijatuhkannya.Dan beberapa pesan whatsapp datang beruntun memenuhi ponsel Doni.[Don. Ini Nita. Kamu harus tanggung jawab!][Don, kenapa kamu memblokir nomorku?][Don, tepati janjimu, atau aku akan mengadukanmu pada orangtuamu yang kaya raya itu][Don! Awas kamu ya. Kalau sampai membiarkan aku menanggung kehamilanku seorang diri, aku akan menemui Mamamu yang seorang dokter. Atau memviralkan perbuatan kamu!]Lalu beberapa panggilan video yang dibiarkan oleh Tamara tanpa diterimanya. Hati Tamara mencelos. Dia kecewa sekali. Bagaimana mungkin anak tunggal yang selalu dibanggakannya berani menorehkan kotoran ke mukanya. Tapi Tamara tahu, bahwa dia ikut andil dalam pembentukan
Tamara memandang ke arah Doni dengan antusias. "Tentu saja kamu boleh menjenguk serta mengenal kakek kamu. Bahkan Mama sangat berharap kamu mau menemani kakek karena kakek sekarang sudah hidup sebatang kara.""Wah, syukurlah kalau begitu. Doni juga ingin meminta maaf pada Kakek. Doni sungguh-sungguh tidak sengaja menabrak kakek."Tamara memajukan badannya dan menumpukan kedua siku pada meja kayu di kantin."Coba sekarang kamu cerita ke Mama. Kenapa kamu bisa keluar rumah memakai mobil Papa?" tanya Tamara. "Sejak Mama dan Papa bercerai, sebenarnya Doni kesepian. Biasanya kan seminggu sekali saat Doni libur sekolah, Doni pulang ke rumah Papa karena akan jalan-jalan sama Mama. Tapi sejak Mama nggak ada, Papa menjadi berubah. Sering keluar rumah, jarang tidur di rumah kata para Mbok, sehingga Doni juga kesepian.Sementara itu, Doni memang jarang ke rumah Mama, karena Doni tidak mau mengganggu proses kuliah Mama. Terakhir Doni pulang ke rumah, kata Mbok Sri, Papa pamit keluar negeri sudah
"Ba-pak?" Dengan kelu Tamara mengucapkan kata itu. Karena sebenarnya dia ingin memaki-maki lelaki tua itu tapi malu karena banyak perawat UGD di sana."Tamara? Kamu menjadi dokter, Nak?" tanya Rama. Rasa sakit di kakinya seolah hilang karena melihat anaknya dalam balutan jas putih. Tamara terpaku melihat kaki kanan ayahnya yang tampang miring itu. Kemungkinan besar terdapat close fraktur tulang tibia. Tamara menghela nafas kasar dan dia langsung keluar dari ruangan tempat Rama berbaring. Dengan hati berdebar kencang dan mata berembun, Tamara duduk di belakang meja UGD dan kedua tangannya saling meremas."Dokter, pasiennya KLL*nya kapan akan dikonsulkan ke dokter bedah tulang?" tanya salah seorang perawat mengagetkannya. Tamara mendongak. Hatinya berperang dengan hebat.'Biarkan saja laki-laki tak berguna itu sekarat. Kamu sudah kenyang menderita karena dia kan? Menderita dalam mencari uang, menderita saat dibully, menderita saat melihat adik dan ibu kamu meregang nyawa. Biarkan saj
Tamara mendelik melihat laki-laki setengah abad yang berdiri di hadapannya adalah orang yang seharusnya bertanggung jawab pada hidupnya justru merupakan orang yang paling membuat hidup Tamara dan ibunya sangat menderita. "Tamara, ini Ayah, Nak. Apa kamu lupa?"Tamara menyedekapkan kedua tangannya. "Hm, tentu saja aku tidak akan pernah melupakanmu Yah," sahut Tamara sambil memandang ayahnya tajam."Alhamdulillah, kalau masih inget sama Ayah. Kamu sudah sukses ya Tam. Apa kamu sudah berkeluarga?" tanya Ayah Tamara antusias dengan masih berdiri di depan pintu. Tamara mengangkat satu alisnya. "Kemana saja kamu selama ini? Apa kamu tahu penderitaan aku dan ibu setelah kamu minggat bersama pelacur itu?" tanya Tamara kesal. Rama menelan ludah dengan susah payah. "Maafkan Bapak Nduk. Bapak sangat menyesal dengan apa yang dulu Bapak lakukan. Makanya Bapak kesini untuk meminta maaf padamu.""Enak saja meminta maaf. Setelah kamu minggat, ibu pontang panting kerja menjadi buruh cuci dari rumah