* Kamu tahu obatnya malarindu?
* Yap benar, Bodreks-sun ...
***
Aku merasakan kepalaku berat dan tercium aroma yang sangat familiar dengan indera penciumanku. Aroma rumah sakit.
"Bunda."
Aku menghela nafas berat. Dua selang oksigen tertancap di kedua lubang hidung.
"Ganis! Kamu sudah sadar? Apa yang kamu minum sampai seluruh badan kamu dingin semua?" tanya bunda cemas.
"Bunda, Ganis baru saja sadar. Jangan menghujani dia dengan berbagai macam pertanyaan dulu. Biar dia istirahat."
Terdengar suara ayah yang sedang duduk di sofa ruang rawat inap.
"Tadi Erick dan mamanya kemari menjengukmu. Keluarganya sudah sampai ke penginapan. Mereka tampak sangat mencemaskanmu. Mas tidak mengerti kenapa kamu meminum diazepam secara berlebihan."
Mas Aris membuka suara. Aku menunduk. Ayah dan bunda terkejut.
"Diazepam apa itu?" tanya bunda.
"Obat tidur. Aris menemukannya di laci meja rias. Dulu saat Ganis imsomnia akibat tugas kuliahnya yang menumpuk, dia selalu mengkonsumsi diazepam. Mas baca sebotol isi 100 butir tadi mas lihat isinya tinggal 50 butir. Kamu minum berapa kemarin?" tanya mas Aris.
Aku menunduk.
"Sudah Ris. Jangan pojokkan adikmu. Kasihan dia. Sudah tertidur dari kemarin dan baru sekarang siuman, jangan dibebani dengan macam-macam pertanyaan."
Lagi-lagi ayah melindungiku.
"Ti-tidak. Mas Aris benar. Aku menyembunyikan sesuatu tentang mas Erick."
Ayah terlihat memucat.
"Ada apa dengan Erick? Bukankah dia pria yang paling sopan dan paling baik yang pernah kita kenal sebelum ini?" tanya bunda.
Aku tersenyum miring.
"Mana ponsel Ganis?" tanyaku pada seluruh anggota keluarga yang ada di dalam ruangan yang sama denganku.
"Mas gak bawa. Mungkin di kamar kamu di rumah."
"Tolong bawa kesini, Mas. Ada yang mau Ganis tunjukkan ke mas Aris, Ayah, dan Bunda."
'Baiklah aku telah memilih untuk memberitahukan seluruh keluargaku tentang rencana Erick dan ibunya. Daripada aku harus sengsara sendiri memikirkan pengkhianatan Erick.'
Mata mas Aris membulat. "Tentang apa sih? Memangnya ada kaitan apa sih antara ponsel kamu, Erick, dan juga tentang kondisi kamu saat ini?" tanya mas Aris.
"Ada! Dan berkaitan erat pula dengan cerita yang dirahasiakan oleh Ayah dan Bunda."
Ayah dan bunda berpandangan. "A-apa yang kamu ketahui, Nis?" tanya ayah lirih.
"Akan kujawab setelah ponsel ku ada disini."
Aku memejamkan mata lagi. Kepala masih merasa pusing dan badan melayang.
"Dan tolong, tinggalkan aku sendiri Yah. Sampai 3 atau 4 jam, Ganis ingin disini sendirian. Tolong jangan biarkan siapapun masuk termasuk mas Erick sekalipun," pintaku.
"Tapi Ganis, bagaimana pernikahanmu?" tanya Bunda.
"Ssst, Bund. Kita keluar saja dulu sesuai permintaan Rengganis."
Ayah menarik tangan Bunda menjauh.
"Oh iya, ada seseorang yang sangat mencemaskanmu saat kamu masuk UGD dengan kondisi lemah. Mas gak tahu apa dia selingkuhanmu atau tidak sehingga kamu jadi berubah terhadap Erick. Tapi tolonglah, jangan mudah main hati jika sudah memilih hati yang lainnya."
Aku membuka mata lagi. 'Apa maksud mas Aris? Kenapa aku yang dituduh selingkuh hanya gara-gara sikapku pada Erick telah berubah?'
"Ganis tidak seling ...,"
Belum sempat aku menuntaskan kalimatku, mas Aris meninggalkan kamarku sambil berujar, "namanya Reyhan."
"Apa? Reyhan? Tidak mungkin," gumamku karena aku tahu dengan pasti siapa Reyhan.
***
"Kamu tidak apa-apa, Nis?" tanya mas Erick dengan wajah cemas.
"Gimana dong dengan rencana akad kalian Sayang kalau kamu sakit? Apa kamu belum cuti kerja?" tanya ibu mas Erick seraya mengelus rambutku.
'Hih, pura-pura segala. Najis!' umpatku dalam hati.
Aku telah tidur nyenyak selama 5 jam. Dan begitu bangun tahu-tahu Mas Erick dan ibunya sudah ada di sofa tempat aku dirawat bersama keluargaku.
"Mana ponselku?" tanyaku lemah.
"Ada di laci bufet samping kamu tidur," jawab mas Aris pendek.
"Apa ada yang menyentuhnya selain mas Aris?" tanyaku cemas.
"Tidak ada. Kenapa sih bangun tidur malah Hp saja yang dipikirkan. Coba pikirkan tentang pernikahan kita?" tanya mas Erick mengelus rambutku.
'Hilih, pura-pura! Sekarang kamu mengelus rambutku setelah semalam kamu tidur dengan Anin. Untung saja sebelum menelan diazepam kemarin, passwordnya sempat kuganti.'
"Kita akan tetap menikah sesuai jadwal yang tertera di undangan."
Mas Erick dan ibunya langsung tersenyum lebar.
'Ya Tuhan, apa sebegitu inginnya kamu menikahiku dan membuatku menderita, Mas? Lalu apa artinya perhatian kamu selama ini? Apa semua itu hanya omong kosong saja?'
Hatiku terasa nyeri mengingat rencana mas Erick dan ibunya.
"Kalau kamu masih sakit, jangan dipaksa menikah."
Ibu Mas Erick tersenyum lalu mengelus rambutku. "Mama sangat berharap kamu bisa menjadi menantu Mama. Karena selama ini sudah begitu akrab dengan mu, Nis," kata ibu Mas Erick sambil memegang tanganku dan mengelusnya.
"Wah, setuju sekali. Ingat nggak Nis saat kamu dan Mama rujakan bareng, ke mall bareng, sudah seperti Bunda loh," timpal mas Erick.
Ayah dan Bunda tersenyum melihat akting Mas Erick dan ibunya.
"Ini diminum dulu teh manisnya. Pasti kamu merasa haus dan lapar kan setelah pingsan begitu lama," tukas mas Erick lalu mengambilkan segelas teh hangat yang memang disiapkan oleh rumah sakit.
Mas Aris lalu memutar tuas yang ada di ujung ranjang pasien tempatku berbaring sehingga posisiku menjdi setengah duduk.
"Nah, ayo diminum dulu. Biar kamu merasa lebih segar." Mas Erick mendekatkan bibir gelas teh hangat ke mulutku.
Hoekkk!
Kesel amat melihatnya! Tapi tak urung juga di depan keluargaku, kuminum teh hangat itu sedikit.
Aku mengulas senyum. "Ganis kuat kok Ma, Mas. Hanya ada sedikit masalah. Tapi besok Ganis minta pulang, karena sudah sehat."
"Kamu bisa cerita semua tentang masalah kamu sama aku. Kita kan setelah ini resmi menjadi suami istri. Jadi masalahmu adalah masalahku juga," kata mas Erick sambil mengembalikan gelas di atas nakas.
Mas Erick mengelus bahuku. Aku hanya bisa menanggapinya dengan tersenyum kecil.
'Prettt! Ini masalahnya berkaitan dengan kamu, Bambang!'
"Iya, nanti mas Erick juga tahu tentang masalahku kok saat waktunya tepat."
Tiba-tiba ponsel yang ada di saku mas Erick berbunyi. Mas Erick segera meraih ponselnya lalu keluar dari kamar rawat inapku sebelum menerima panggilan telepon di ponselnya.
'Itu pasti dari perempuan itu. Kelihatan sekali dari ekspresi wajahnya.'
Tak lama kemudian mas Erick kembali ke kamar lalu berbisik ke telinga ibunya.
Ibunya mengangguk dan menatapku serta seluruh anggota keluargaku.
"Rupanya kami harus pulang. Ada urusan mendadak yang harus kami selesaikan," kata ibu mas Erick.
"Kami pamit dulu dan semoga lekas sehat ya Sayang."
Mas Erick dan ibunya berpamitan padaku.
Setelah mereka tak tampak lagi, aku meminta tolong mas Aris untuk mengambil ponsel yang ada di laci nakas.
"Paswordnya tanggal lahirku, silakan buka file rekaman, Mas. Ayah dan Bunda silahkan ikut mendengar apa yang telah Ganis rekam."
Mas Aris melakukan apa yang kupinta dan ayah bundapun mendekat untuk mendengarkan rekaman suara mas Erick dan mamanya.
Dan wajah merekapun terkejut!
Dan wajah merekapun terkejut!"Kok kamu bisa dapat rekaman ini? Dan kenapa kamu baru cerita sekarang?" tanya mas Aris bingung."Ini karena status whatsapp mas Erick. Entah mas Erick yang sengaja menulis status di whatsappnya tapi lupa memprivat temanku, atau istri mas Erick yang menuliskan status whatsapp itu," jawabku sambil memperhatikan wajah keluargaku yang masih tampak tidak percaya.Aku lalu menceritakan seluruh kronologi bagaimana aku bisa mendapatkan rekaman itu. "Bangs*t si Erick! Air susu dibalas dengan air tuba!" seru mas Aris mengepalkan tangan."Maafkan Ayah dan Bunda, karena tidak menceritakan masalah tabrakan itu padamu, Nis," sahut ayah dengan nada penyesalan."Tidak apa-apa, Yah. Mungkin Ayah pun tidak ingin mengingat-ingat lagi kenangan buruk itu, jadi tidak ingin menceritakan kejadian pahit itu lagi."Ayah terdiam. Tapi jelas sekali matanya tertutup dengan kaca-kaca."Mungkin tadi Erick buru-buru pergi karena menerima telepon dari istrinya."Bunda berkata dengan na
🌹Kamu tahu enggak, kenapa di rumah sakit hanya menerima pasien? 🌹 Karena yang menerima kamu apa adanya ya cuma aku!***"Tunggu! Saya tidak terima. Apa-apaan ini. Jelaskan pada saya kenapa saya harus dipermalukan seperti ini?!" terdengar suara mama mas Erick yang berdiri dan berkacak pinggang."Masih mengelak? Kalau begitu dengarkan ini!"Ayah memutar file rekaman suara pada ponselku dan langsung memasukkannya pada pengeras suara.Semua yang hadir di ruang tamuku terkejut. Suara yang terdengar di ponselku begitu jelas. Ada suara mas Erik, mamanya, dan Anin. "Nah, seperti yang kalian simak barusan, ada rencana buruk di balik rencana pernikahan ini.""Hm, tunggu. Sepertinya ini ada masalah intern yang harus diselesaikan secara kekeluargaan saja. Kalau begitu, saya pulang dahulu," kata penghulu itu sambil menggeleng-gelengkan kepala menyalami ayah. "Terimakasih atas kedatangannya dan saya mohon maaf."Ayah menerima uluran tangan penghulu dengan wajah yang ditegarkan. "Hahaha, kamu
Tahu nggak seberapa pentingnya kamu untukku? Sama seperti jantung yang membutuhkan detaknya.***"Bukannya Dokter itu menderita impot*n ya?""Hah? Kata siapa kamu?""Eh, nganu ... itu ...!"Aku menutup mulut dengan telapak tangan. Sadar kalau aku telah salah bicara."Nganu ... nganu apa? Beh, fitnah itu Nis! Ngomong yang jelas, aku tidak mau difitnah. Punyaku sehat wal'afiat dan kokoh tak tertandingi. Satu lagi, yang pasti punya aku panjang kali lebar kali tinggi. Jadi siapa yang bilang padamu tentang hal itu?""Anu ... itu ... saya ...,""Aku sudah ada rasa sama kamu saat kamu pertama kali pindah ke UGD dulu. Saat pasien urgent memadati ruangan. Tapi karena kamu bilang sudah ada calon suami, ya aku mundur. Dan sekarang boleh dong saya maju lagi karena kamu batal kawin? Tapi saya kaget sekali saat mendengar fitnah itu sekarang!"Aku terkejut mendengar pernyataan cinta yang kurang mesra itu."Sa-saya nggak bisa bilang Dok. Saya sudah janji.""Rengganis Yasmin! Bilang yang jelas! Siapa
Kamu tahu nggak, kenapa Allah menciptakan ruang-ruang kosong diantara jari-jari tangan kita?Itu karena suatu saat nanti ada orang yang datang pada kita untuk mengisi ruang-ruang kosong diantara jari-jari tangan kita itu dan menggenggamnya erat untuk selama-lamanya.***Dan tak lama keluarlah dokter Reyhan dari mobil itu dan melambaikan tangan padaku.'Yasalam! Kenapa dia kesini pagi-pagi? Jangan-jangan hendak membahas masalah semalam?!' batinku kacau seolah aku baru saja meletuskan balon hijau.Waduh, dia menuju ke sini. Aku segera bersembunyi di balik tiang rumah."Assalamualaikum, pagi Nis! Kalau sembunyi mbok yang masuk akal. Saya boleh bertamu nggak?""Waalaikumsalam, eh, ternyata ada dokter Reyhan. Masuk saja Dok, tapi di teras saja ya. Soalnya saya belum nyapu rumah," tukasku basa basi. 'Semoga dia merasa bahwa aku tidak ingin menerima tamu dan langsung pamit pulang," harapku."Hm, di teras ide bagus. Kebetulan saya memang suka outdoor."Dokter Reyhan melangkah santai dan tanp
🌹Kamu tahu nggak, daerah yang penduduknya paling sedikit di dunia?❤️ Nggak tahu, emang daerah mana?🌹 Jawabannya adalah hatiku ... Karena hanya kamulah penghuninya.***Saat hendak mengetik status whatsapp lagi, tiba-tiba muncul sebuah nomor asing melakukan panggilan whatsapp padaku.Aku segera menekan tombol hijau, "Halo.""Halo, ini Rengganis? Aku Anin, istrinya Erick, mau bertanya soal Erick padamu."Aku terdiam. Bingung. 'Ah elah. Ini suaminya siapa tapi tanya ke siapa? Aneh!'"Mbak, situ gak salah ya? Kan situ yang istrinya. Kenapa malah tanya ke saya?" Aku menjadi bingung."Aku curiga kamu pernah tidur dengan mas Erick sebelum kalian merencanakan menikah!"Duaarrr!Uasem!'Ini fitnah yang keji dan nyata. Pantas saja Reyhan langsung mencak-mencak saat dia mengetahui telah difitnah soal masalah impot*ennya. Ternyata difitnah memang seasem ini.' "Eh Mbak, siapa yang bilang seperti itu? Sembarangan. Aku ini masih ting-ting. Dijamin masih ting-ting sama sekali belum berpengalama
*Apa bedanya kamu sama transfusi darah?*Kalau transfusi darah bisa mengobati anemia. Kalau kamu bisa mengobati kerinduan.***"Kenapa Nis?"Ayah berlari ke arahku dengan tergopoh-gopoh bersama beberapa karyawan warung apung."Tolong saya Pak, perut saya sakit," Anin merintih sambil memegangi perut."Kenapa bisa menjadi seperti ini, Nis? Kenapa dengan Anin?"Ayah memandangiku dengan tatapan menuntut jawaban.Aku menggelengkan kepala."Ganis juga tidak tahu. Sekarang yang terpenting adalah membawa Anin ke rumah sakit. Bantu Ganis membawanya.""Apa tidak telepon ambulance saja?" usul salah seorang karyawan."Terlalu lama. Takut perdarahannya bertambah banyak."'Lagipula ponsel Ganis nyemplung kolam, Yah.'"Ya sudah, ayo bantu."Ayah memberikan isyarat pada beberapa karyawannya.Beberapa karyawan menggotong tubuh Anin ke dalam honda jazz ayah."Sudah Yah. Ayo berangkat."Aku memberikan instruksi pada ayah saat sudah memastikan posisi Anin nyaman dan aman.Darah mulai membasahi dressnya.
*Kamu adalah pikiran terakhirku sebelum tidur saat malam dan pikiran pertamaku saat aku bangun keesokan harinya.***Menerima pernyataan cinta di ruangan bersalin? Uh! Gak romantis banget. Mimpi apa aku semalam."Dokter, ini masalah serius. Jangan main-main."Aku mambalas menatap mata Reyhan yang dari tadi memandangiku."Aku juga serius. Dan kamu tidak punya alasan untuk menolak. Mari nanti kita temui suami bu Anin dan menceritakan tentang hubungan kita."Tangan Reyhan terulur hendak memegang bahuku.Refleks, aku mundur selangkah. "Baiklah, ayo kita coba 3 bulan dulu."Reyhan tampak semringah. Lalu dia menoleh pada Anin."Bu Anin, saya merasa bersalah dan ikut sedih dengan musibah yang terjadi atas diri Ibu. Percayalah, kalau Allah sudah mengambil sebuah titipan dari hambaNya maka Allah juga akan memberikan ganti yang lebih baik. Semoga setelah ini Ibu segera hamil dengan kondisi lebih baik dan lebih siap lagi."Reyhan mengatakan dengan memandangi mata Anin. Dan terlihat mata Anin m
💕 Apa bedanya kamu dan cincin?* Kalau cincin melingkar di jariku. Kalau kamu melekat di hatiku.***"Ganis, anakku tertabrak motor dan sekarang sedang diantar ke sini!"Apa? Aku tidak salah dengar kan? Baru saja Reyhan bilang anak?"Anak? Ka-mu punya anak?" Aku mengeja pertanyaan dengan setengah rasa tidak percaya."Kamu akan tahu kebenarannya setelah ini ya, Nis. Kumohon tenang dulu."Aku menahan diri untuk segera bertanya dan protes saat ponsel di saku jas putih Reyhan berdering nyaring.Reyhan menyerahkan ponselnya padaku saat dia melihat nama penelepon di layar ponselnya.Calon ayah mertua.Antara menahan senyum dan penasaran aku menerima ponsel Reyhan. Sejak kapan dia menamai nomor kontak ayahku dengan nama itu?"Halo Ayah.""Halo Nis, Ayah tidak bisa jemput kamu. Ada acara tivi lokal yang datang meliput ke warung apung kita dan mewawancarai Ayah. Kamu naik grab saja ya untuk ke warung buat ambil motor?"Aku menghela nafas. "Baiklah Yah. Tidak apa-apa. Semoga sukses acaranya."