Cinta adalah saat kita merasakan getaran rasa di dalam dada. Saat memandanginya akan menjadi saat terindah. Dia yang selalu terucap dalam setiap doa.***"Sekali lagi aku mencoba mencari ibunya dengan sabar, tapi tetap saja aku tidak bisa menemukannya. Jadi Rengganis Yasmin, aku sudah jujur tentang masa laluku. Maukah kamu tetap menerimaku?" tanya Reyhan dengan suara serak.Aku menghela nafas panjang dan memandanginya. Lalu sesaat kemudian aku menjawab, "kita jalani saja ya Dok. Kita kan nggak akan tahu apa yang akan terjadi ke depannya." Reyhan hanya terdiam. Tapi sedetik kemudian, dokter Reyhan mulai usil lagi."Nis, kita sudah di luar lingkungan rumah sakit loh. Bisa nggak manggilnya jangan dak dok dak dok mulu. Panggil mas aja.""Sip. Oke Mas Rey. Sekarang kita nyari Hp dimana?" tanyaku seraya tersenyum. Sebenarnya aku menutupi rasa kecewa di hati. Aku yang sejak kecil menjunjung tinggi berhubungan setelah menikah sekarang didekati oleh laki-laki yang telah melakukan bukan hanya
*Apa bedanya hari minggu dan cintaku padamu?*Kalau hari minggu weekend. Kalau cintaku padamu will never end.***"Kalau mau tahu tentang sifatnya, tanya orang tuanya dan lihat seperti apa teman akrabnya dan juga gaya hidupnya. Kalau yakin, bilang sama Ayah. Langsung Ayah lamarkan. Kalian menikah bersamaan sebulan lagi setelah kita ngobrol sekarang? Bagaimana?""Hah?!" Seruku dan Mas Aris bersamaan. Lalu hening merajai suasana ruang makan."Ayah serius?" tanya mas Aris hati-hati. "Tentu saja. Ayah tidak mau anak-anak Ayah tersandung masalah kumpul k*bo."Aku menoleh pada Bunda. Bunda hanya tersenyum saja dan menbalas menatapku. 'Duh, kenapa sih Ayah tahu dari Bunda. Coba tahu sendiri dari Reyhan. Lagipula, aku juga baru tahu soal Bian kemarin.'"Dan kamu, Nis. Kamu tahu sejak kapan kalau Reyhan suka berbohong? Bukankah kalian adalah teman kerja?""Yah, Reyhan bukan tipe pembohong. Rengganis juga baru tahu tentang Bian kemarin. Kan Reyhan baru kenal ayah dan bunda. Baru sekali berkun
*Cinta dan sayangku padamu itu kayak kuku jari. Selalu tumbuh terus walaupun dipotong rutin.***Aku dan Reyhan serempak saling memandang. "Mami!" Bian mengulurkan tangan pada mami Reyhan dan neneknya itu menangkapnya dengan suka cita."Wah, jangan sampai merepotkan temannya kakak ya?" Maminya Reyhan mengelus kepala Bian pelan.Bian mengangguk. Astaga, rupanya Bian memanggil Reyhan dengan sebutan kakak dan neneknya dengan sebutan mami.Aku segera menyalami mami Reyhan dan mencium punggung tangannya. "Siapa namanya kemarin? Reng-Rengganis ya?" mami mas Reyhan tampak mengingat-ingat namaku."Iya Mi.""Kapan datang Nduk?" tanya perempuan berpenampilan sosialita itu."Seperempat jam yang lalu, Mi.""Kapan kalian menikah?"Haduh!"Sesegera mungkin, Mi," sahut Reyhan."Kasihan Bian. Dia butuh kasih sayang seorang ibu," tukas mami Reyhan sambil mengelus kepala cucunya."Uhm, maaf. Tapi seandainya mamanya Bian datang dan ingin memperbaiki hubungan antara mas Rey dan dia gimana?" tanyaku l
*Kamu itu seperti upil, dan aku jari kelingking. Akan kucari sampai dapat.***Ayah, bunda dan mas Aris memandangku penuh rasa terkejut karena Rengganis yang selama ini tomboi dan kurang suka baju lengan panjang mendadak berubah."Kamu serius? Kalau sudah mantap berhijab, lebih baik enggak buka tutup loh Nis.""Bunda bener. Insyallah Ganis sudah memantapkan hati.""Kalau untuk baju biasa lengan panjang kita bisa beli sekarang, tapi untuk baju dines, bagaimana? Apa mau menjahitkan baju seragam dulu, setelah jadi, baru berjilbab?" tawar bunda.Aku berpikir sejenak."Nggak bisa Bunda. Aku ingin berjilbab lusa saat masuk dines setelah aku cuti.""Lantas, bagaimana dengan seragamnya? Tidak mungkin kan menjahit tiga potong seragam dalam waktu sehari?" tanya bunda bingung."Ganis ada ide, bunda tenang saja. Yang penting Ganis telah mengatakan keinginan Ganis dan bunda membantu mencarikan toko atau butik untuk membeli baju dan jilbab.""Wah, kalau keinginan baik, harus didukung dong."Ayah me
đź’• Cintaku padamu seperti diare. Tak bisa kutahan. Terus mengalir begitu saja.***Rinta tampak mengingat-ingat. "Tadi saya sudah lemas dan badan sakit semua. Jadi tidak terlalu memperhatikan susternya. Uhm, tunggu! Sepertinya yang menyuntik saya seorang suster yang di hidungnya terdapat tahi lalat. Di nametaggnya ada nama Su-san."Reyhan dan aku sama terkejutnya.'Susan? Tidak mugkin dia sengaja kan? Apa dia memang berencana memfitnahku? Tapi segitu piciknyakah sampai dia tega mengorbankan kesehatan pasien?'Berbagai pertanyaan berkeliaran dalam kepala."Jadi masalahnya dek Rinta ini ternyata alergi obat yang mengandung metamizole sodium. Yang terkandung dalam obat novalg*n, antalg*n, dan infalg*n. Kemungkinan dek Rinta kemasukan zat tersebut. Tapi tidak usah cemas, karena kami sudah memberikan terapi untuk menangani masalahnya. Jadi insyallah tidak terjadi hal-hal yang membahayakan lagi."Keluarga pasien memandangi Reyhan. 'Hm, menjadi good looking adalah sebuah anugerah yang dapat
* Kamu tahu gak kenapa saat memikirkan sesuatu, mataku selalu mengarah ke atas? Karena kalau aku mikirnya sambil merem, langsung terbayang wajahmu.***[Sekarang sudah 30 hari dari waktu yang ditetapkan oleh ayah kamu. Rengganis Yasmin, permintaanku tetap sama. Will you marry me?]Aku tersenyum dan dengan perasaan syukur, aku mulai mengetikkan 3 kata membalas whatsapp dari Reyhan.[Yes, I will]Pipiku merona karena jawabanku sendiri.Aku menatap layar ponsel. Tampak di layar atas kontak Reyhan, pemberitahuan Reyhan is typing ..., tapi setelah aku menunggu lama, tetap saja tidak ada satu kalimat pun yang muncul.Akhirnya karena gemas, aku pun mendahului mengirim pesan whatsapp pada Reyhan.[Woy, dari tadi mengetik apa sih? Kenapa ditunggu belum muncul satu kalimatpun?]Bukan balasan pesan yang mampir di ponselku, tapi justru Reyhan yang langsung menelepon."Assalamualaikum, kenapa Mas?""Waalaikumsalam, Nis, kamu gak lagi bangun tidur kan?"Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. "D
Aku tidak bisa berjanji untuk menyelesaikan semua masalahmu. Tapi aku berjanji, kamu tidak akan menghadapi semua masalahmu sendirian.***"Mas, cincin ini kok bisa muat di tangan aku? Bagaimana cara kamu memilihnya? Kita kan nggak pernah nyari cincin bareng?"Reyhan menatapku dan menjawab,"sebenarnya aku bisa menemukan cincin dengan ukuran yang pas dengan jarimu karena aku meminta bantuan mas Aris untuk mengukur jari manismu."Aku melongo. "Kapan Mas?""Lo, kamu nggak kerasa? Mungkin saja sewaktu kamu tidur. Soalnya aku juga pesan ke mas Aris kalau bisa sewaktu mengukur jari manismu, kamu tidak kerasa."Aku mengingat-ingat. 'Kapan sih aku ketiduran selain di kamar?'"Astaghfirullah, tiga hari lalu aku ketiduran di ayunan gantung dekat kolam renang sewaktu maskeran!"Aku menepuk jidatku."Cie yang dilamar cie! Traktiran dong. Dines malam pahit banget nih tanpa manis-manis dan gurih-gurih.""Martabak telur dan martabak manis boleh juga. Es boba atau es capcin juga dong. Makanannya udah
Aku memintamu menikah denganku bukan hanya karena aku tahu bahwa kita diciptakan satu sama lain, tapi karena aku memang benar-benar tidak bisa hidup tanpa kehadiranmu.***Rasanya baru beberapa saat menunggu di luar pagar saat sebuah sepeda motor melaju kencang dan mendekat pada kami.Dan orang yang dibonceng memegang sebuah botol lalu menyiramkannya ke arah kami.Zraaassshhh!"Awaaasss!"Reyhan berteriak dan segera mengarahkan payungnya untuk menghalangi air di dalam botol itu tersiram ke arahku. Asap putih tipis membumbung ke udara karena pertemuan udara dan sejenis air keras. Bisa saja asam sulfat ataupun asam klorida. Entahlah. Cairan itu nyaris saja membuatku cacat.Selamat!Sejenak waktu seperti berhenti berputar. Hatiku berdebar karena 2 hal, pertama terkejut karena ada serangan mendadak. Kedua karena tanpa sadar aku memeluk Reyhan yang juga mememelukku.Wajah kami berdekatan dengan detak jantung yang mengencang. "Tunggu sebentar, aku tidak berani mengangkat payungku. Takut ad
"Akhirnya kamu besok wisuda, Mas," ucap Rengganis sambil melingkarkan tangan ke pinggang sang suami. Reyhan tersenyum. "Alhamdulillah semua proses PPDS berlangsung lancar. Walaupun pada awalnya ada kendala.""Hm, iya Sayang. Sebenarnya kemarin aku sudah hopeless tentang kelancaran PPDS kamu.""Aku tahu. Pasti karena Tamara. Iya kan?"Rengganis mengangguk. "Dan atas perantara kita, Tamara bisa berbaikan kembali dengan Bapaknya.""Iya. Aku juga tidak menyangka.""Apa rencana kamu kedepannya Mas?""Rencana jangka panjang atau jangka pendek?" tanya Reyhan sambil mulai memegangi bibir Rengganis."Jangka panjang dong."Reyhan berpikir sejenak. "Tidak ada rencana."Rengganis tergelak. "Kok bisa tidak ada rencana?""Aku hanya perlu kembali ke RSUD dan bekerja dengan rajin di sana. Terus mau apalagi?" tanya Reyhan balik. "Kali aja mau bikin tempat praktek di rumah."Reyhan menggeleng. "Enggak. Aku kerja di luar rumah saja. Kalau di rumah, waktunya happy happy dengan istri," jawab Reyhan menc
Teman-teman Doni terpaku mendengarkan penjelasan dokter sampai selesai tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun. "Jadi itu saja informasi yang perlu saya sampaikan. Kalau ada pertanyaan, bisa bertanya pada para suster. Saya permisi dulu karena masih harus visite dengan beberapa pasien lain.""Terimakasih Dokter."Dokter keluar dari ruangan konsultasi dan disusul oleh Doni dan kedua orang tua Nita."Loh, kalian kok di sini?" tanya Doni panik. Begitu pula ekspresi wajah Dewi dan suaminya. Teman-teman Doni hanya terpaku tanpa bisa menanggapi. "Kami ...,""Om mau bicara dengan kalian berlima. Bisa kita bicara sebentar?" tanya suami Dewi. Teman-teman Doni mengangguk. Lalu mengikuti langkah ayah Nita tersebut hingga sampai di depan ruang bersalin. Ayah Nita lalu duduk di kursi keluarga pasien dan memandang semua teman-teman Nita."Kalian sudah mendengar apa kata dokter sewaktu ada di ruangan tadi kan?" tanya ayah Nita. Kelima orang teman Nita hanya bisa terdiam."Saya tahu kalian sudah
Dewi dan suaminya menoleh. "Bagus deh. Kalau begitu ayo ikut kami ke PMI," ujar suami Dewi sambil berjalan mendahului Dewi dan Doni. "Tunggu. Ini surat pengantar untuk pengambilan darah." Suster itu memberikan selembar amplop putih kepada Doni. Doni menerima amplop tersebut dan mengejar suami Dewi."Om. Naik mobil saya saja. Saya bawa mobil."Suami Dewi menghentikan langkah dan membalikkan badan lalu menatap Doni. "Kamu sepertinya belum genap berusia 17 tahun. Bagaimana mungkin kamu sudah boleh membawa mobil oleh orang tua kamu di jalan raya? Kamu juga pasti belum punya SIM.""Ya, saya mengendarai mobil di jalan yang sepi Om. Agar tidak ketahuan oleh polisi.""Kalau begitu, mana mobil kamu. Biar Om saja yang menyetir. Mobil Om baru saja dijual untuk modal usaha baru Om.""Kalau saya boleh tahu, usaha baru Om apa ya?" tanya Doni sambil menyerahkan kunci mobil milik ayahnya. "Kafe dan resto," sahut suami Dewi.Doni terdiam tanpa menanggapi. Dewi dan suaminya pun juga malas untuk basa
Dewi mengangguk dengan takut-takut. "Astaga, aku harus meminta pertanggungjawaban padanya. Walaupun aku miskin dan tidak sekaya dokter itu, aku nggak akan sanggup melihat anakku terbaring lemah tidak berdaya."Ayah dari Nita segera menuju ke arah pintu masuk UGD. "Tunggu Yah. Apa yang akan kamu lakukan?! Dokter Tamara sedang berusaha menyelamatkan anak kita. Jangan ganggu fokusnya!""Aarrgh!"Ayah Tamara meninju tembok di luar UGD lalu duduk di kursi penunggu. Kedua tangannya menangkup wajah diiringi helaan nafas panjang bernada frustasi."Kita tidak bisa hanya diam saja dan menunggu Wi. Paling tidak, kita harus memaksa anak itu bertanggung jawab. Kenapa kamu tidak bilang dari awal kalau Nita hamil?"Dewi menunduk. "Maafkan aku Mas. Aku juga baru tahu kalau Nita hamil setelah kemarin Nita memberi tahu bahwa pacarnya akan datang untuk membahas kehamilannya. Tapi aku terkejut karena ternyata yang datang adalah anak dari ayah tiriku.""Astaga!! Kenapa jadi seperti ini? Jadi Tamara itu s
"Hahaha. Aku juga nggak sudi mempunyai menantu seperti anak kamu. Tidak bermoral. Makanya jadi cewek jangan terlalu murah. Sekarang bisa merasakan akibatnya kan? Perempuan masih sekolah saja kok mainan burung. Ya hamil lah! Makanya jadi perempuan jangan terlalu bodoh," kata Tamara memanas-manasi."Hei, apa kamu bilang? Keterlaluan kamu ya!" seru Dewi meringsek ke hadapan Tamara lalu mengacungkan tangannya tinggi-tinggi dan langsung mengayunkannya ke pipi Tamara.Tamara yang sudah siap dan sudah memprediksi serangan yang akan ditujukan padanya segera menangkis dan menangkap tangan Dewi. "Hei ngaca kalau mau menyerang orang. Di masa lalu kamu dan ibumu membuat ibu dan adikku mati dan hidupku sangat menderita seperti di neraka. Ini adalah hukuman kamu! Paham?!" seru Tamara sambil menghempaskan tangan Dewi. Begitu tangannya terlepas, Dewi menghambur ke arah Tamara dan dengan cepat menjambak rambut dokter itu. Tamara yang tidak siapa, tidak memprediksi serangan kedua merasa kesakitan ka
Ponsel Doni meluncur jatuh ke lantai kamar rawat inap. "Astaga!" seru Tamara kaget. Dengan segera dia mengambil ponsel anaknya dan memeriksanya. Tamara masih beruntung karena ponsel Doni tidak jatuh terlalu tinggi. "Syukurlah tidak pecah," ucap Tamara lirih. Dia lalu mengambil ponsel Doni yang tadi tidak sengaja dijatuhkannya.Dan beberapa pesan whatsapp datang beruntun memenuhi ponsel Doni.[Don. Ini Nita. Kamu harus tanggung jawab!][Don, kenapa kamu memblokir nomorku?][Don, tepati janjimu, atau aku akan mengadukanmu pada orangtuamu yang kaya raya itu][Don! Awas kamu ya. Kalau sampai membiarkan aku menanggung kehamilanku seorang diri, aku akan menemui Mamamu yang seorang dokter. Atau memviralkan perbuatan kamu!]Lalu beberapa panggilan video yang dibiarkan oleh Tamara tanpa diterimanya. Hati Tamara mencelos. Dia kecewa sekali. Bagaimana mungkin anak tunggal yang selalu dibanggakannya berani menorehkan kotoran ke mukanya. Tapi Tamara tahu, bahwa dia ikut andil dalam pembentukan
Tamara memandang ke arah Doni dengan antusias. "Tentu saja kamu boleh menjenguk serta mengenal kakek kamu. Bahkan Mama sangat berharap kamu mau menemani kakek karena kakek sekarang sudah hidup sebatang kara.""Wah, syukurlah kalau begitu. Doni juga ingin meminta maaf pada Kakek. Doni sungguh-sungguh tidak sengaja menabrak kakek."Tamara memajukan badannya dan menumpukan kedua siku pada meja kayu di kantin."Coba sekarang kamu cerita ke Mama. Kenapa kamu bisa keluar rumah memakai mobil Papa?" tanya Tamara. "Sejak Mama dan Papa bercerai, sebenarnya Doni kesepian. Biasanya kan seminggu sekali saat Doni libur sekolah, Doni pulang ke rumah Papa karena akan jalan-jalan sama Mama. Tapi sejak Mama nggak ada, Papa menjadi berubah. Sering keluar rumah, jarang tidur di rumah kata para Mbok, sehingga Doni juga kesepian.Sementara itu, Doni memang jarang ke rumah Mama, karena Doni tidak mau mengganggu proses kuliah Mama. Terakhir Doni pulang ke rumah, kata Mbok Sri, Papa pamit keluar negeri sudah
"Ba-pak?" Dengan kelu Tamara mengucapkan kata itu. Karena sebenarnya dia ingin memaki-maki lelaki tua itu tapi malu karena banyak perawat UGD di sana."Tamara? Kamu menjadi dokter, Nak?" tanya Rama. Rasa sakit di kakinya seolah hilang karena melihat anaknya dalam balutan jas putih. Tamara terpaku melihat kaki kanan ayahnya yang tampang miring itu. Kemungkinan besar terdapat close fraktur tulang tibia. Tamara menghela nafas kasar dan dia langsung keluar dari ruangan tempat Rama berbaring. Dengan hati berdebar kencang dan mata berembun, Tamara duduk di belakang meja UGD dan kedua tangannya saling meremas."Dokter, pasiennya KLL*nya kapan akan dikonsulkan ke dokter bedah tulang?" tanya salah seorang perawat mengagetkannya. Tamara mendongak. Hatinya berperang dengan hebat.'Biarkan saja laki-laki tak berguna itu sekarat. Kamu sudah kenyang menderita karena dia kan? Menderita dalam mencari uang, menderita saat dibully, menderita saat melihat adik dan ibu kamu meregang nyawa. Biarkan saj
Tamara mendelik melihat laki-laki setengah abad yang berdiri di hadapannya adalah orang yang seharusnya bertanggung jawab pada hidupnya justru merupakan orang yang paling membuat hidup Tamara dan ibunya sangat menderita. "Tamara, ini Ayah, Nak. Apa kamu lupa?"Tamara menyedekapkan kedua tangannya. "Hm, tentu saja aku tidak akan pernah melupakanmu Yah," sahut Tamara sambil memandang ayahnya tajam."Alhamdulillah, kalau masih inget sama Ayah. Kamu sudah sukses ya Tam. Apa kamu sudah berkeluarga?" tanya Ayah Tamara antusias dengan masih berdiri di depan pintu. Tamara mengangkat satu alisnya. "Kemana saja kamu selama ini? Apa kamu tahu penderitaan aku dan ibu setelah kamu minggat bersama pelacur itu?" tanya Tamara kesal. Rama menelan ludah dengan susah payah. "Maafkan Bapak Nduk. Bapak sangat menyesal dengan apa yang dulu Bapak lakukan. Makanya Bapak kesini untuk meminta maaf padamu.""Enak saja meminta maaf. Setelah kamu minggat, ibu pontang panting kerja menjadi buruh cuci dari rumah