*Dari sekian menu yang ada di hadapanku, yang paling aku sukai adalah menu-a bersama mu.
***
Aku masih berdiri dengan terbengong karena bingung apa yang harus kulakukan saat ini, ketika sebuah suara yang tidak asing terdengar.
"Siapa yang datang, Nis?"
Ayah muncul dari ruang makan.
"Loh, Nak Erick, kok mendadak kesini? Apa ada hal yang ingin dibicarakan? Kenapa tidak telepon saja?" tanya ayah sambil duduk di hadapan mas Erick.
"Bund, ini loh ada anak kita datang. Calon manten ini terlihat semakin ngganteng saja," sambung ayah tertawa.
Mas Erick langsung menyalami dan mencium tangan ayah dengan takzim.
"Kata Mama juga harus datang sendiri karena ada hal yang penting yang berkaitan dengan sedikit perubahan dalam pernikahan nanti."
"Ada perubahan apa?" tanya ayah mencondongkan tubuhnya semakin dekat ke arah mas Erick.
"Eemm, begini. Keluarga kami yang datang rupanya lebih banyak dari perkiraan dan tidak jadi menginap saat H-1, tapi besok sudah mulai berdatangan ke penginapan yang dipersiapkan oleh Ayah."
Mas Erick tampak terdiam sejenak.
"Karena kabarnya mendadak dan kesalahpahamannya dari pihak kami, maka biaya yang ditimbulkan ...,"
"Nak Erick, tolong jangan terlalu dipikirkan. Di sini yang bertugas sebagai tuan rumah itu kan Ayah. Jadi walaupun ada perubahan rencana dan jadwal, Ayah yang akan menanggung semua biaya akomodasinya."
Mas Erick tersenyum samar.
"Yang penting kalian bisa menikah dengan meriah dan Rengganis bahagia. Itu sudah cukup untuk Ayah."
Mas Erick tersenyum lebar.
'Astaga, dia begitu menjijikan. Padahal dia sekolah atas biaya Ayah. Sekarang saat keluarganya berbondong-bondong kesini dan membuat biaya membengkak, dia masih tega merencanakan hal yang buruk untukku. Sial*n. Lihat saja besok Erick!'
"Iya Yah. Saya juga sudah tidak sabar ingin menjadi menantu Ayah dan membuat Rengganis bahagia," tukas mas Erick sambil tersenyum padaku.
'Aaarrgggh!'
Rasanya ingin kucakar saja wajahmu itu!
"Ya kan, Ganis?"
Aku hanya tersenyum menanggapinya.
"Ganis, kok cuma senyum? Calon suamimu nanya loh! Kok gak excited seperti biasanya?" tanya Ayah.
"Uhm, Rengganis nggak enak badan, Yah," jawabku pendek.
"Astaga! Sakit apa Sayang? perlu diantar ke dokter?" tanya mas Erick dengan tangan terulur hendak memegang dahiku.
'Oh, tidak semudah itu Fergusso! Enak saja mau megang-megang!' umpatku dalam hati dan secara refleks menghindari tangan mas Erick.
Mas Erick dan ayah tampak terkejut melihat kelakuanku.
'Bodo amatlah! Muak dengan kelakuannya yang sok yes. Harusnya kamu jadi aktor saja Mas. Bukan arsitek!'
"Uhm, Ganis pusing dan mual. Mungkin maaghnya kambuh. Ganis ke kamar dulu ya."
Akhirnya aku pamit dan berdiri meninggalkan mas Erick dan Ayah yang sedang duduk berdua.
"Ganis, buketnya!" panggil mas Erick menghentikan langkahku.
Aku membalikkan badan lalu berjalan ke arah mas Erick yang mengulurkan buket bunganya padaku.
'Baiklah Ganis, mereka telah memainkan drama dengan baik. Sekarang sabar dulu saja. Ikuti permainan mereka sampai hari H tiba.'
"Makasih Mas Erick. Bunganya cantik sekali."
Aku mengambil buket bunga dari tangan calon suamiku dan menciumnya sekilas.
Biasanya aku akan menghirup bunga kesukaanku dengan sepenuh hati.
Tapi entah kenapa sekarang melihat bunga mawar merah saja membuatku mual.
"Ganis ke kamar dulu ya Mas. Lagi nggak badan."
Aku mengulas senyum dan segera berlalu melewati bunda yang datang dari arah dapur membawa dua gelas teh hangat dan sepiring brownis.
"Loh, mau kemana Ganis? Bawa nampan ini dulu ke depan!"
Bunda keheranan saat aku melewatinya dengan acuh tak acuh dan langsung masuk ke dalam kamar.
Begitu pintu kamar kututup, buket bunga langsung kujatuhkan di lantai begitu saja.
'Ya Tuhan, keluargaku sudah begitu baik dengan keluarga Mas Erick untuk menebus kesalahan yang dibuat ayah dulu.
"Mas, tega kamu sama keluargaku. Apa kamu tidak lihat keluargaku tulus berusaha menebus ketidaksengajaan yang diperbuat oleh Ayahku padamu?" omelku sambil menangis dan memeluk guling.
Aku meraih ponsel dan ingin mendengarkan lagu. Karena biasanya jika suntuk aku mendengarkan lagu sampai tertidur pulas. Entah kenapa malam ini setelah melihat wajah Mas Erick, hatiku kembali sedih dan air mata jatuh satu persatu membasahi pipi.
Sebelum sempat aku membuka galeri musik, sebuah notifikasi pesan terdengar dari aplikasi hijau. Aku membuka dan membacanya.
'Dari Dokter Reyhan? Ada apa lagi sih?' gumamku. Dan pertanyaanku ini langsung mendapatkan jawaban.
[Kamu tahu nggak, kenapa Tuhan menciptakan ruang kosong di antara jari-jari tangan manusia? Itu karena nanti suatu saat akan ada orang yang datang padamu untuk mengisi ruang-ruang kosong tersebut dan menggenggamnya erat untuk selama-lamanya.]
Aku tersenyum kecut setelah membaca pesan dari dokter muda itu. Segera kuketik balasan untuk menjawabnya.
[Hm, teorinya gitu, prakteknya yang susah!]
Langsung terbaca. Centang biru.
[Nggak susah kok. Buktinya kamu sekarang sudah menemukan orang yang tepat dan akan segera menikah kan?]
Aku tersenyum miris. 'Gini amat sih nasib. Padahal tiga hari lagi menikah, undangan juga sudah disebar, malah menemukan sesuatu yang harus membatalkan pernikahan. Duh!'
[Entahlah Dok. Saya sendiri nggak yakin akan menikah.]
[Hah? Apa kamu bilang? Jangan bercanda, Nis. Kamu tahu kan kalau bisa, pernikahan itu sekali seumur hidup. Jangan membuat pernikahan itu seperti sebuah permainan.]
[Justru karena saya menganggap pernikahan itu sakral, jadi saya mengkaji ulang rencana pernikahan saya.]
[Sebenarnya apa yang sedang terjadi padamu?]
Aku menghela nafas panjang. Ini dokter kepo banget dengan urusan sesama. Heran.
[Sudahlah Dok, nanti juga tahu sendiri. Mungkin akan viral.]
[Eh, ada apa sih? Cerita saja. Siapa tahu aku bisa membantu saran. Aku kan dokter cinta.]
Aku tertawa setelah membaca balasan dari dokter Reyhan. "Ini dokter narsisnya bukan main. Tapi kalau kumat seriusnya wajahnya serem banget kek demit. Tapi kalau lagi bercanda, kek badut. Tapi nggak garing,' batinku.
[Enggak ah. Dokter cinta apaan? Mana ijazahnya?]
Tak ada balasan walaupun pesanku sudah centang biru. Tapi sebagai gantinya, dokter Reyhan justru melakukan panggilan video padaku.
"Astaga, Dokter Reyhan! Bisa-bisanya dia langsung telepon! Apa di sana tidak ada pasien?" gumamku sambil menekan tombol tolak dari layar ponsel.
Baru saja aku mematikan data seluler dari ponselku , terdengar suara ketukan di pintu kamar dan suara bunda.
"Sayang, boleh Bunda masuk?"
Aku segera menghapus sisa air mata dengan punggung tangan. Dan meraih ponsel. Pura-pura memainkannya.
"Masuk saja Bunda. Pintunya tidak dikunci."
"Ganis, kamu kenapa? Ada masalah dengan hubungan kalian? Tiga hari lagi kalian menikah lo."
Bunda masuk ke kamar dan mendekat ke arah ranjang lalu mengelus rambut panjangku.
'Ah, Bunda. Bagaimana kalau Bunda tahu apa yang sebenarnya direncanakan oleh mas Erick dan keluarganya padaku?'
"Ganis sakit perut. Penyakit maaghnya kambuh. Mungkin terlalu tegang menjelang akad."
"Oh, syukurlah kalau tidak ada masalah dengan hubungan kalian. Biasanya kalau mau menikah, ada saja rintangannya. Ya, namanya ujian sebelum berumah tangga. Sekarang kamu minum obat dulu ya," kata bunda lembut.
Aku mengubah posisi dari tengkurap menjadi duduk lalu menatap mata bunda dengan seksama.
"Bunda, seandainya Rengganis tidak jadi menikah dengan mas Erick, bagaimana?"
"Hah? Apa?"
*Kamu tahu nggak bedanya ayam goreng yang kumakan sekarang dengan kamu?-Enggak tahu. Emang ada bedanya?*Kalau Ayam goreng makan siang, kalau kamu makin sayang.***"Bunda, seandainya Rengganis tidak jadi menikah dengan mas Erick, bagaimana?""Hah? Apa?""Iya Bund. Misalkan saja Ganis dan mas Erick batal nikah, gimana?""Tapi kenapa?""Bunda ih, Ganis kan nanya. Bunda kok nanya balik sih?" Bunda mendelik dan menjewer telingaku."Ucapan itu doa, Nis. Gimana sih. Bercandamu kelewatan!""Aaww! Sakit Bunda!" Aku menggosok telingaku yang memerah. Bunda masih saja menganggapku bercanda. "Coba jelasin kenapa kamu bicara seperti itu!" tuntut Bunda.Aku menghela nafas. Berpikir untuk menunjukkan rekaman itu sekarang atau nanti sesaat sebelum akad."Nis."Wajah ayah menyembul dari arah pintu kamar."Kenapa sih? Aneh banget sama Erick. Biasanya kamu kalau ada Erick, sakit gigipun langsung amblas."Aku memutar bola mata. "Nggak ada apa-apa. Cuma takut aja nanti berpisah sama Ayah dan Bunda,"
* Kamu tahu obatnya malarindu?* Yap benar, Bodreks-sun ...***Aku merasakan kepalaku berat dan tercium aroma yang sangat familiar dengan indera penciumanku. Aroma rumah sakit."Bunda."Aku menghela nafas berat. Dua selang oksigen tertancap di kedua lubang hidung."Ganis! Kamu sudah sadar? Apa yang kamu minum sampai seluruh badan kamu dingin semua?" tanya bunda cemas."Bunda, Ganis baru saja sadar. Jangan menghujani dia dengan berbagai macam pertanyaan dulu. Biar dia istirahat." Terdengar suara ayah yang sedang duduk di sofa ruang rawat inap."Tadi Erick dan mamanya kemari menjengukmu. Keluarganya sudah sampai ke penginapan. Mereka tampak sangat mencemaskanmu. Mas tidak mengerti kenapa kamu meminum diazepam secara berlebihan."Mas Aris membuka suara. Aku menunduk. Ayah dan bunda terkejut."Diazepam apa itu?" tanya bunda."Obat tidur. Aris menemukannya di laci meja rias. Dulu saat Ganis imsomnia akibat tugas kuliahnya yang menumpuk, dia selalu mengkonsumsi diazepam. Mas baca sebotol
Dan wajah merekapun terkejut!"Kok kamu bisa dapat rekaman ini? Dan kenapa kamu baru cerita sekarang?" tanya mas Aris bingung."Ini karena status whatsapp mas Erick. Entah mas Erick yang sengaja menulis status di whatsappnya tapi lupa memprivat temanku, atau istri mas Erick yang menuliskan status whatsapp itu," jawabku sambil memperhatikan wajah keluargaku yang masih tampak tidak percaya.Aku lalu menceritakan seluruh kronologi bagaimana aku bisa mendapatkan rekaman itu. "Bangs*t si Erick! Air susu dibalas dengan air tuba!" seru mas Aris mengepalkan tangan."Maafkan Ayah dan Bunda, karena tidak menceritakan masalah tabrakan itu padamu, Nis," sahut ayah dengan nada penyesalan."Tidak apa-apa, Yah. Mungkin Ayah pun tidak ingin mengingat-ingat lagi kenangan buruk itu, jadi tidak ingin menceritakan kejadian pahit itu lagi."Ayah terdiam. Tapi jelas sekali matanya tertutup dengan kaca-kaca."Mungkin tadi Erick buru-buru pergi karena menerima telepon dari istrinya."Bunda berkata dengan na
🌹Kamu tahu enggak, kenapa di rumah sakit hanya menerima pasien? 🌹 Karena yang menerima kamu apa adanya ya cuma aku!***"Tunggu! Saya tidak terima. Apa-apaan ini. Jelaskan pada saya kenapa saya harus dipermalukan seperti ini?!" terdengar suara mama mas Erick yang berdiri dan berkacak pinggang."Masih mengelak? Kalau begitu dengarkan ini!"Ayah memutar file rekaman suara pada ponselku dan langsung memasukkannya pada pengeras suara.Semua yang hadir di ruang tamuku terkejut. Suara yang terdengar di ponselku begitu jelas. Ada suara mas Erik, mamanya, dan Anin. "Nah, seperti yang kalian simak barusan, ada rencana buruk di balik rencana pernikahan ini.""Hm, tunggu. Sepertinya ini ada masalah intern yang harus diselesaikan secara kekeluargaan saja. Kalau begitu, saya pulang dahulu," kata penghulu itu sambil menggeleng-gelengkan kepala menyalami ayah. "Terimakasih atas kedatangannya dan saya mohon maaf."Ayah menerima uluran tangan penghulu dengan wajah yang ditegarkan. "Hahaha, kamu
Tahu nggak seberapa pentingnya kamu untukku? Sama seperti jantung yang membutuhkan detaknya.***"Bukannya Dokter itu menderita impot*n ya?""Hah? Kata siapa kamu?""Eh, nganu ... itu ...!"Aku menutup mulut dengan telapak tangan. Sadar kalau aku telah salah bicara."Nganu ... nganu apa? Beh, fitnah itu Nis! Ngomong yang jelas, aku tidak mau difitnah. Punyaku sehat wal'afiat dan kokoh tak tertandingi. Satu lagi, yang pasti punya aku panjang kali lebar kali tinggi. Jadi siapa yang bilang padamu tentang hal itu?""Anu ... itu ... saya ...,""Aku sudah ada rasa sama kamu saat kamu pertama kali pindah ke UGD dulu. Saat pasien urgent memadati ruangan. Tapi karena kamu bilang sudah ada calon suami, ya aku mundur. Dan sekarang boleh dong saya maju lagi karena kamu batal kawin? Tapi saya kaget sekali saat mendengar fitnah itu sekarang!"Aku terkejut mendengar pernyataan cinta yang kurang mesra itu."Sa-saya nggak bisa bilang Dok. Saya sudah janji.""Rengganis Yasmin! Bilang yang jelas! Siapa
Kamu tahu nggak, kenapa Allah menciptakan ruang-ruang kosong diantara jari-jari tangan kita?Itu karena suatu saat nanti ada orang yang datang pada kita untuk mengisi ruang-ruang kosong diantara jari-jari tangan kita itu dan menggenggamnya erat untuk selama-lamanya.***Dan tak lama keluarlah dokter Reyhan dari mobil itu dan melambaikan tangan padaku.'Yasalam! Kenapa dia kesini pagi-pagi? Jangan-jangan hendak membahas masalah semalam?!' batinku kacau seolah aku baru saja meletuskan balon hijau.Waduh, dia menuju ke sini. Aku segera bersembunyi di balik tiang rumah."Assalamualaikum, pagi Nis! Kalau sembunyi mbok yang masuk akal. Saya boleh bertamu nggak?""Waalaikumsalam, eh, ternyata ada dokter Reyhan. Masuk saja Dok, tapi di teras saja ya. Soalnya saya belum nyapu rumah," tukasku basa basi. 'Semoga dia merasa bahwa aku tidak ingin menerima tamu dan langsung pamit pulang," harapku."Hm, di teras ide bagus. Kebetulan saya memang suka outdoor."Dokter Reyhan melangkah santai dan tanp
🌹Kamu tahu nggak, daerah yang penduduknya paling sedikit di dunia?❤️ Nggak tahu, emang daerah mana?🌹 Jawabannya adalah hatiku ... Karena hanya kamulah penghuninya.***Saat hendak mengetik status whatsapp lagi, tiba-tiba muncul sebuah nomor asing melakukan panggilan whatsapp padaku.Aku segera menekan tombol hijau, "Halo.""Halo, ini Rengganis? Aku Anin, istrinya Erick, mau bertanya soal Erick padamu."Aku terdiam. Bingung. 'Ah elah. Ini suaminya siapa tapi tanya ke siapa? Aneh!'"Mbak, situ gak salah ya? Kan situ yang istrinya. Kenapa malah tanya ke saya?" Aku menjadi bingung."Aku curiga kamu pernah tidur dengan mas Erick sebelum kalian merencanakan menikah!"Duaarrr!Uasem!'Ini fitnah yang keji dan nyata. Pantas saja Reyhan langsung mencak-mencak saat dia mengetahui telah difitnah soal masalah impot*ennya. Ternyata difitnah memang seasem ini.' "Eh Mbak, siapa yang bilang seperti itu? Sembarangan. Aku ini masih ting-ting. Dijamin masih ting-ting sama sekali belum berpengalama
*Apa bedanya kamu sama transfusi darah?*Kalau transfusi darah bisa mengobati anemia. Kalau kamu bisa mengobati kerinduan.***"Kenapa Nis?"Ayah berlari ke arahku dengan tergopoh-gopoh bersama beberapa karyawan warung apung."Tolong saya Pak, perut saya sakit," Anin merintih sambil memegangi perut."Kenapa bisa menjadi seperti ini, Nis? Kenapa dengan Anin?"Ayah memandangiku dengan tatapan menuntut jawaban.Aku menggelengkan kepala."Ganis juga tidak tahu. Sekarang yang terpenting adalah membawa Anin ke rumah sakit. Bantu Ganis membawanya.""Apa tidak telepon ambulance saja?" usul salah seorang karyawan."Terlalu lama. Takut perdarahannya bertambah banyak."'Lagipula ponsel Ganis nyemplung kolam, Yah.'"Ya sudah, ayo bantu."Ayah memberikan isyarat pada beberapa karyawannya.Beberapa karyawan menggotong tubuh Anin ke dalam honda jazz ayah."Sudah Yah. Ayo berangkat."Aku memberikan instruksi pada ayah saat sudah memastikan posisi Anin nyaman dan aman.Darah mulai membasahi dressnya.
"Akhirnya kamu besok wisuda, Mas," ucap Rengganis sambil melingkarkan tangan ke pinggang sang suami. Reyhan tersenyum. "Alhamdulillah semua proses PPDS berlangsung lancar. Walaupun pada awalnya ada kendala.""Hm, iya Sayang. Sebenarnya kemarin aku sudah hopeless tentang kelancaran PPDS kamu.""Aku tahu. Pasti karena Tamara. Iya kan?"Rengganis mengangguk. "Dan atas perantara kita, Tamara bisa berbaikan kembali dengan Bapaknya.""Iya. Aku juga tidak menyangka.""Apa rencana kamu kedepannya Mas?""Rencana jangka panjang atau jangka pendek?" tanya Reyhan sambil mulai memegangi bibir Rengganis."Jangka panjang dong."Reyhan berpikir sejenak. "Tidak ada rencana."Rengganis tergelak. "Kok bisa tidak ada rencana?""Aku hanya perlu kembali ke RSUD dan bekerja dengan rajin di sana. Terus mau apalagi?" tanya Reyhan balik. "Kali aja mau bikin tempat praktek di rumah."Reyhan menggeleng. "Enggak. Aku kerja di luar rumah saja. Kalau di rumah, waktunya happy happy dengan istri," jawab Reyhan menc
Teman-teman Doni terpaku mendengarkan penjelasan dokter sampai selesai tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun. "Jadi itu saja informasi yang perlu saya sampaikan. Kalau ada pertanyaan, bisa bertanya pada para suster. Saya permisi dulu karena masih harus visite dengan beberapa pasien lain.""Terimakasih Dokter."Dokter keluar dari ruangan konsultasi dan disusul oleh Doni dan kedua orang tua Nita."Loh, kalian kok di sini?" tanya Doni panik. Begitu pula ekspresi wajah Dewi dan suaminya. Teman-teman Doni hanya terpaku tanpa bisa menanggapi. "Kami ...,""Om mau bicara dengan kalian berlima. Bisa kita bicara sebentar?" tanya suami Dewi. Teman-teman Doni mengangguk. Lalu mengikuti langkah ayah Nita tersebut hingga sampai di depan ruang bersalin. Ayah Nita lalu duduk di kursi keluarga pasien dan memandang semua teman-teman Nita."Kalian sudah mendengar apa kata dokter sewaktu ada di ruangan tadi kan?" tanya ayah Nita. Kelima orang teman Nita hanya bisa terdiam."Saya tahu kalian sudah
Dewi dan suaminya menoleh. "Bagus deh. Kalau begitu ayo ikut kami ke PMI," ujar suami Dewi sambil berjalan mendahului Dewi dan Doni. "Tunggu. Ini surat pengantar untuk pengambilan darah." Suster itu memberikan selembar amplop putih kepada Doni. Doni menerima amplop tersebut dan mengejar suami Dewi."Om. Naik mobil saya saja. Saya bawa mobil."Suami Dewi menghentikan langkah dan membalikkan badan lalu menatap Doni. "Kamu sepertinya belum genap berusia 17 tahun. Bagaimana mungkin kamu sudah boleh membawa mobil oleh orang tua kamu di jalan raya? Kamu juga pasti belum punya SIM.""Ya, saya mengendarai mobil di jalan yang sepi Om. Agar tidak ketahuan oleh polisi.""Kalau begitu, mana mobil kamu. Biar Om saja yang menyetir. Mobil Om baru saja dijual untuk modal usaha baru Om.""Kalau saya boleh tahu, usaha baru Om apa ya?" tanya Doni sambil menyerahkan kunci mobil milik ayahnya. "Kafe dan resto," sahut suami Dewi.Doni terdiam tanpa menanggapi. Dewi dan suaminya pun juga malas untuk basa
Dewi mengangguk dengan takut-takut. "Astaga, aku harus meminta pertanggungjawaban padanya. Walaupun aku miskin dan tidak sekaya dokter itu, aku nggak akan sanggup melihat anakku terbaring lemah tidak berdaya."Ayah dari Nita segera menuju ke arah pintu masuk UGD. "Tunggu Yah. Apa yang akan kamu lakukan?! Dokter Tamara sedang berusaha menyelamatkan anak kita. Jangan ganggu fokusnya!""Aarrgh!"Ayah Tamara meninju tembok di luar UGD lalu duduk di kursi penunggu. Kedua tangannya menangkup wajah diiringi helaan nafas panjang bernada frustasi."Kita tidak bisa hanya diam saja dan menunggu Wi. Paling tidak, kita harus memaksa anak itu bertanggung jawab. Kenapa kamu tidak bilang dari awal kalau Nita hamil?"Dewi menunduk. "Maafkan aku Mas. Aku juga baru tahu kalau Nita hamil setelah kemarin Nita memberi tahu bahwa pacarnya akan datang untuk membahas kehamilannya. Tapi aku terkejut karena ternyata yang datang adalah anak dari ayah tiriku.""Astaga!! Kenapa jadi seperti ini? Jadi Tamara itu s
"Hahaha. Aku juga nggak sudi mempunyai menantu seperti anak kamu. Tidak bermoral. Makanya jadi cewek jangan terlalu murah. Sekarang bisa merasakan akibatnya kan? Perempuan masih sekolah saja kok mainan burung. Ya hamil lah! Makanya jadi perempuan jangan terlalu bodoh," kata Tamara memanas-manasi."Hei, apa kamu bilang? Keterlaluan kamu ya!" seru Dewi meringsek ke hadapan Tamara lalu mengacungkan tangannya tinggi-tinggi dan langsung mengayunkannya ke pipi Tamara.Tamara yang sudah siap dan sudah memprediksi serangan yang akan ditujukan padanya segera menangkis dan menangkap tangan Dewi. "Hei ngaca kalau mau menyerang orang. Di masa lalu kamu dan ibumu membuat ibu dan adikku mati dan hidupku sangat menderita seperti di neraka. Ini adalah hukuman kamu! Paham?!" seru Tamara sambil menghempaskan tangan Dewi. Begitu tangannya terlepas, Dewi menghambur ke arah Tamara dan dengan cepat menjambak rambut dokter itu. Tamara yang tidak siapa, tidak memprediksi serangan kedua merasa kesakitan ka
Ponsel Doni meluncur jatuh ke lantai kamar rawat inap. "Astaga!" seru Tamara kaget. Dengan segera dia mengambil ponsel anaknya dan memeriksanya. Tamara masih beruntung karena ponsel Doni tidak jatuh terlalu tinggi. "Syukurlah tidak pecah," ucap Tamara lirih. Dia lalu mengambil ponsel Doni yang tadi tidak sengaja dijatuhkannya.Dan beberapa pesan whatsapp datang beruntun memenuhi ponsel Doni.[Don. Ini Nita. Kamu harus tanggung jawab!][Don, kenapa kamu memblokir nomorku?][Don, tepati janjimu, atau aku akan mengadukanmu pada orangtuamu yang kaya raya itu][Don! Awas kamu ya. Kalau sampai membiarkan aku menanggung kehamilanku seorang diri, aku akan menemui Mamamu yang seorang dokter. Atau memviralkan perbuatan kamu!]Lalu beberapa panggilan video yang dibiarkan oleh Tamara tanpa diterimanya. Hati Tamara mencelos. Dia kecewa sekali. Bagaimana mungkin anak tunggal yang selalu dibanggakannya berani menorehkan kotoran ke mukanya. Tapi Tamara tahu, bahwa dia ikut andil dalam pembentukan
Tamara memandang ke arah Doni dengan antusias. "Tentu saja kamu boleh menjenguk serta mengenal kakek kamu. Bahkan Mama sangat berharap kamu mau menemani kakek karena kakek sekarang sudah hidup sebatang kara.""Wah, syukurlah kalau begitu. Doni juga ingin meminta maaf pada Kakek. Doni sungguh-sungguh tidak sengaja menabrak kakek."Tamara memajukan badannya dan menumpukan kedua siku pada meja kayu di kantin."Coba sekarang kamu cerita ke Mama. Kenapa kamu bisa keluar rumah memakai mobil Papa?" tanya Tamara. "Sejak Mama dan Papa bercerai, sebenarnya Doni kesepian. Biasanya kan seminggu sekali saat Doni libur sekolah, Doni pulang ke rumah Papa karena akan jalan-jalan sama Mama. Tapi sejak Mama nggak ada, Papa menjadi berubah. Sering keluar rumah, jarang tidur di rumah kata para Mbok, sehingga Doni juga kesepian.Sementara itu, Doni memang jarang ke rumah Mama, karena Doni tidak mau mengganggu proses kuliah Mama. Terakhir Doni pulang ke rumah, kata Mbok Sri, Papa pamit keluar negeri sudah
"Ba-pak?" Dengan kelu Tamara mengucapkan kata itu. Karena sebenarnya dia ingin memaki-maki lelaki tua itu tapi malu karena banyak perawat UGD di sana."Tamara? Kamu menjadi dokter, Nak?" tanya Rama. Rasa sakit di kakinya seolah hilang karena melihat anaknya dalam balutan jas putih. Tamara terpaku melihat kaki kanan ayahnya yang tampang miring itu. Kemungkinan besar terdapat close fraktur tulang tibia. Tamara menghela nafas kasar dan dia langsung keluar dari ruangan tempat Rama berbaring. Dengan hati berdebar kencang dan mata berembun, Tamara duduk di belakang meja UGD dan kedua tangannya saling meremas."Dokter, pasiennya KLL*nya kapan akan dikonsulkan ke dokter bedah tulang?" tanya salah seorang perawat mengagetkannya. Tamara mendongak. Hatinya berperang dengan hebat.'Biarkan saja laki-laki tak berguna itu sekarat. Kamu sudah kenyang menderita karena dia kan? Menderita dalam mencari uang, menderita saat dibully, menderita saat melihat adik dan ibu kamu meregang nyawa. Biarkan saj
Tamara mendelik melihat laki-laki setengah abad yang berdiri di hadapannya adalah orang yang seharusnya bertanggung jawab pada hidupnya justru merupakan orang yang paling membuat hidup Tamara dan ibunya sangat menderita. "Tamara, ini Ayah, Nak. Apa kamu lupa?"Tamara menyedekapkan kedua tangannya. "Hm, tentu saja aku tidak akan pernah melupakanmu Yah," sahut Tamara sambil memandang ayahnya tajam."Alhamdulillah, kalau masih inget sama Ayah. Kamu sudah sukses ya Tam. Apa kamu sudah berkeluarga?" tanya Ayah Tamara antusias dengan masih berdiri di depan pintu. Tamara mengangkat satu alisnya. "Kemana saja kamu selama ini? Apa kamu tahu penderitaan aku dan ibu setelah kamu minggat bersama pelacur itu?" tanya Tamara kesal. Rama menelan ludah dengan susah payah. "Maafkan Bapak Nduk. Bapak sangat menyesal dengan apa yang dulu Bapak lakukan. Makanya Bapak kesini untuk meminta maaf padamu.""Enak saja meminta maaf. Setelah kamu minggat, ibu pontang panting kerja menjadi buruh cuci dari rumah