1,3,4,5,6,7,8,9,10. Sudah benar belum menghitungnya?
* Kok nggak ada dua-nya?
*Sama kayak kamu dong! Enggak ada duanya ...
***
Hatiku terasa teremas mendengar percakapan mereka. "Awas saja kamu, Mas!" seruku lirih sambil menggeretakkan gigi menahan kesal dan amarah.
"Dan Ayah ternyata menyembunyikan rahasia besar selama ini. Apa sekarang lebih baik aku tiba-tiba muncul saja dan mengagetkan mereka?" gumamku lirih.
"Ah, jangan! Nanti malah aku yang dikeroyok oleh mereka. Lagipula, kalau ketahuan sekarang kan jadinya tidak seru. Mereka harus malu bahkan harus menderita lebih parah dibandingkan rasa sakit hatiku ini!"
Aku masih berjongkok di luar pintu rumah mas Erick dengan menimbang apa langkah yang seharusnya aku ambil saat ini seraya tetap merekam kelakuan dan segala ucapan mereka.
Aku mencoba menahan rasa kram dan kesemutan yang mulai menyerang kedua kaki demi mendapatkan bukti untuk mempermalukan mereka.
"Sudah cukup nih rekamannya. Sudah cukup bukti untuk membalas rencana mereka. Emang mereka saja yang bisa bikin rencana. Aku juga bisa."
Aku segera berlalu dari rumah mas Erick dan segera pulang.
***
Di tengah jalan, ponselku berdering lagi. Kulirik dengan rasa malas. Masih terasa nyeri di hati karena kenyataan yang baru saja tersaji di depan mata membuatku merasa malas untuk melakukan apapun selain bernafas dan mengedipkan mata.
"Huft, ada apa sih ini? Kenapa Dokter Reyhan menelepon?! Bukannya dia sekarang sedang dinas?" gumamku pada diri sendiri.
Ponselku terus berdering tanpa kenal lelah apalagi menyerah.
"Haduh, terima saja deh. Barangkali ada hal penting yang ingin disampaikan oleh dokter Reyhan," gumamku lalu menekan tombol hijau dan memasang salah satu headshet di telinga kiri.
"Halo Dok, ada apa menelepon? Bukannya sedang dinas ya? Terus kata Dokter tadi sedang banyak pasien. Kenapa menelepon?" tanyaku beruntun.
"Halo, Nis. Kamu tadi berhutang penjelasan kenapa mendadak lari dan pulang setelah melihat status calon suamimu?"
Aku memutar bola mata. 'Haduh, kepo banget jadi orang!'
"Dokter mau tahu saja apa mau tahu bulat?" tanyaku kesal.
Tanpa kuduga terdengar suara tertawa dari seberang.
"Hahaha, kamu bisa saja, Nis. Jadi ada apa?"
Aku menghela nafas panjang. Antara kesal dan gemas dengan dokter Reyhan.
"Rahasia Dok. Itu privasi saya. Sudah ya. Saya akhiri teleponnya. Saya kira ada keperluan apa sampai telepon saya saat Dokter sedang dinas, eh, ternyata Dokter cuma penasaran saja."
"Eh, tunggu! Aku ...,"
Tutt.
Aku bergegas mengakhiri panggilan telepon sepihak tanpa menunggu respon dari dokter Reyhan dan langsung mematikan ponsel.
"Ya Tuhan, kenapa hari ini terasa begitu berat dan mengejutkan?" keluhku sambil menepikan mobil di sebuah masjid besar. Aku baru ingat belum menunaikan salat duhur dan tentu saja selain itu ada air mata yang ingin kutumpahkan agar perasaanku reda.
***
"Ganis, kamu darimana saja. Kok baru pulang. Ditelepon juga enggak diangkat," omel bunda saat aku baru saja menutup pintu depan.
"Haduh Bunda! Rengganis kan sudah besar. Sudah bisa jaga diri kalau Ganis jalan-jalan," sahutku sambil melenggang masuk ke dalam kamar.
"Kamu sudah izin cuti ke direktur tempat kamu bekerja?" tanya mas Aris.
"Sudah Mas. Ayah mana?"
"Dimana lagi kalau bukan ke restoran apung. Ayah tetap saja enggak percaya walaupun aku sudah berkunjung dan mengawasi karyawan di sana," keluh Mas Aris.
Aku mengedikkan bahu.
"Iya lah. Ayah kan memang super teliti. Kali aja uang customer di kasir diembat sama mas Aris," selorohku membuat mas Aris melemparkan bantal kursi depan padaku.
"Eits, gak kena!"
Aku menjulurkan lidah dan berlari menghindar.
"Hei sudah-sudah. Kamu ini Dek, tiga hari lagi menikah kok masih bertingkah seperti anak kecil."
Mas Aris tertawa melihat bunda yang mengomeliku.
"Daripada Mas Aris sudah berusia 30 tahun belum nikah juga," sambungku tertawa lalu bergegas menuju kamar.
Di dalam kamar aku menutup pintu lalu merebahkan diri di atas kasur.
"Ya Tuhan, apa aku tega memberitahukan yang sebenarnya terjadi di hadapan keluargaku nanti," batinku seraya meraih ponsel yang ada di dalam tas selempang.
Rekaman dari ponselku tidak terlalu buruk. Masih jelas kalau diputar memakai microphone. Sayangnya rekaman gambarnya tidak begitu jelas, karena aku mengambil videonya dari kejauhan.
Aku menghela nafas dan air mata mulai mengantri untuk dikeluarkan saat menggeser dan membuka galeri foto.
"Ya Tuhan, ternyata rasanya sakit sekali menghadapi kenyataan ini. Apa salahku pada mereka sehingga mas Erick tega menyusun rencana untuk menciptakan neraka bagiku?" Aku bergumam lirih sambil menyentuh foto mas Erick yang sedang melambaikan tangan di area pembangunan perumahan.
"Apa aku tega mengatakan rencana ini pada orang tuaku? Padahal mereka serius ingin menebus kesalahan saat Ayah menabrak almarhum papa mas Erick."
Aku menggumam lagi dengan pikiran buntu.
Tidak terbayang berapa biaya yang harus digelontorkan Ayah untuk pernikahanku yang ternyata sudah direncanakan oleh Mas Erick dan ibunya akan menjadi gerbang neraka untukku.
Tiba-tiba selintas ide muncul di kepala. Ide untuk mempermalukan mereka secara langsung di hadapan banyak tamu.
Dan Anin, sepertinya aku pernah melihat wajahnya. Ah, dia akan selebgr*m lokal.
Tunggu saja. Akan kupersiapkan hal khusus saat pernikahanku.
Peristiwa yang akan membuat mereka menyesal pernah membuat rencana untuk menyengsarakanku.
"Woy, putri tidur! Bangun! Ah elah! Ileran lagi!"
Terasa sebuah tangan dingin yang menepuk-nepuk pipi.
"Ayo makan! Ditunggu Ayah!
Aku mengucek mata. "Iya, iya.
Perlahan berjalan menuju kamar mandi dan segera cuci muka secepatnya.
"Gimana dengan persiapan akad dan walimah nanti, Nduk?" tanya Ayah saat aku sedang menyendok bakso yang ada di hadapanku.
"Siap Pa. Jangan khawatir. WO yang disewa sudah profesional kok," sahutku tersenyum getir.
'Ah, bagaimana perasaan mereka kalau tahu bahwa aku berencana membongkar kebusukan keluarga mertuaku saat akad nikah?'
Sejenak berpikir untuk menanyakan tentang kejadian ayah yang menabrak almarhum papa mas Erick, tapi kuurungkan. Karena sama saja dengan membiarkan rencana yang sudah kususun gagal.
"Hm, sebentar lagi kamu akan meninggalkan Ayah dan Bunda. Bunda harap kamu masih mau sering menjenguk kami."
"Tentu saja Bun. Walaupun rencananya setelah menikah sebulan atau dua bulan, Ganis resign dan ikut ke rumah Mas Erick, Ganis akan sering mengunjungi rumah ini," sahutku mantap.
"Ya sudah. Ayo makan dulu. Keburu dingin ini," tukas ayah.
Aku mengangguk dan berusaha menelan makanan yang terasa sekam di mulutku.
Namun tak lama kemudian, kami serempak berpandangan saat mendengar suara bel di ruang depan berbunyi.
"Siapa yang bertamu malam-malam begini?" tanya Ayah.
"Biar Ganis saja yang bukain, Yah."
Aku beranjak ke arah ruang tamu dan sangat terkejut begitu membuka pintu.
"Surprize!" seru mas Erick yang datang dengan membawa sebuket bunga mawar merah.
"Kaget nggak?" tanyanya mengulas senyum.
"Iya. Kaget. Tentu saja. Karena aku baru tahu rencana busuk keluargamu, Mas!" bisikku. Tentu saja dalam hati.
"Masuk, Mas."
Aku membuka daun pintu dengan lebih lebar lagi lalu mendahuluinya untuk duduk di sofa ruang tamu.
"Ayah dan Bunda ada kan?" tanyanya sambil menatap berkeliling ke seluruh ruangan.
"Ada. Sedang makan."
Dulu setiap aku melihat mas Erick, hatiku berdebar dan berbunga-bunga, tapi sekarang hanya ada rasa muak dan jijik
"Aku kesini untuk memberitahu bahwa ada perubahan rencana dalam pernikahan kita."
Aku mendelik.
"Apa Mas bilang?"
Hatiku berdebar, apakah tadi kedatanganku ke rumah mereka ketahuan dan rencana mempermalukan mereka akan berantakan? Tapi darimana mas Erick tahu? Bukankah rencanaku masih belum aku bicarakan pada siapapun?
*Dari sekian menu yang ada di hadapanku, yang paling aku sukai adalah menu-a bersama mu.***Aku masih berdiri dengan terbengong karena bingung apa yang harus kulakukan saat ini, ketika sebuah suara yang tidak asing terdengar."Siapa yang datang, Nis?"Ayah muncul dari ruang makan."Loh, Nak Erick, kok mendadak kesini? Apa ada hal yang ingin dibicarakan? Kenapa tidak telepon saja?" tanya ayah sambil duduk di hadapan mas Erick."Bund, ini loh ada anak kita datang. Calon manten ini terlihat semakin ngganteng saja," sambung ayah tertawa.Mas Erick langsung menyalami dan mencium tangan ayah dengan takzim."Kata Mama juga harus datang sendiri karena ada hal yang penting yang berkaitan dengan sedikit perubahan dalam pernikahan nanti.""Ada perubahan apa?" tanya ayah mencondongkan tubuhnya semakin dekat ke arah mas Erick. "Eemm, begini. Keluarga kami yang datang rupanya lebih banyak dari perkiraan dan tidak jadi menginap saat H-1, tapi besok sudah mulai berdatangan ke penginapan yang dipers
*Kamu tahu nggak bedanya ayam goreng yang kumakan sekarang dengan kamu?-Enggak tahu. Emang ada bedanya?*Kalau Ayam goreng makan siang, kalau kamu makin sayang.***"Bunda, seandainya Rengganis tidak jadi menikah dengan mas Erick, bagaimana?""Hah? Apa?""Iya Bund. Misalkan saja Ganis dan mas Erick batal nikah, gimana?""Tapi kenapa?""Bunda ih, Ganis kan nanya. Bunda kok nanya balik sih?" Bunda mendelik dan menjewer telingaku."Ucapan itu doa, Nis. Gimana sih. Bercandamu kelewatan!""Aaww! Sakit Bunda!" Aku menggosok telingaku yang memerah. Bunda masih saja menganggapku bercanda. "Coba jelasin kenapa kamu bicara seperti itu!" tuntut Bunda.Aku menghela nafas. Berpikir untuk menunjukkan rekaman itu sekarang atau nanti sesaat sebelum akad."Nis."Wajah ayah menyembul dari arah pintu kamar."Kenapa sih? Aneh banget sama Erick. Biasanya kamu kalau ada Erick, sakit gigipun langsung amblas."Aku memutar bola mata. "Nggak ada apa-apa. Cuma takut aja nanti berpisah sama Ayah dan Bunda,"
* Kamu tahu obatnya malarindu?* Yap benar, Bodreks-sun ...***Aku merasakan kepalaku berat dan tercium aroma yang sangat familiar dengan indera penciumanku. Aroma rumah sakit."Bunda."Aku menghela nafas berat. Dua selang oksigen tertancap di kedua lubang hidung."Ganis! Kamu sudah sadar? Apa yang kamu minum sampai seluruh badan kamu dingin semua?" tanya bunda cemas."Bunda, Ganis baru saja sadar. Jangan menghujani dia dengan berbagai macam pertanyaan dulu. Biar dia istirahat." Terdengar suara ayah yang sedang duduk di sofa ruang rawat inap."Tadi Erick dan mamanya kemari menjengukmu. Keluarganya sudah sampai ke penginapan. Mereka tampak sangat mencemaskanmu. Mas tidak mengerti kenapa kamu meminum diazepam secara berlebihan."Mas Aris membuka suara. Aku menunduk. Ayah dan bunda terkejut."Diazepam apa itu?" tanya bunda."Obat tidur. Aris menemukannya di laci meja rias. Dulu saat Ganis imsomnia akibat tugas kuliahnya yang menumpuk, dia selalu mengkonsumsi diazepam. Mas baca sebotol
Dan wajah merekapun terkejut!"Kok kamu bisa dapat rekaman ini? Dan kenapa kamu baru cerita sekarang?" tanya mas Aris bingung."Ini karena status whatsapp mas Erick. Entah mas Erick yang sengaja menulis status di whatsappnya tapi lupa memprivat temanku, atau istri mas Erick yang menuliskan status whatsapp itu," jawabku sambil memperhatikan wajah keluargaku yang masih tampak tidak percaya.Aku lalu menceritakan seluruh kronologi bagaimana aku bisa mendapatkan rekaman itu. "Bangs*t si Erick! Air susu dibalas dengan air tuba!" seru mas Aris mengepalkan tangan."Maafkan Ayah dan Bunda, karena tidak menceritakan masalah tabrakan itu padamu, Nis," sahut ayah dengan nada penyesalan."Tidak apa-apa, Yah. Mungkin Ayah pun tidak ingin mengingat-ingat lagi kenangan buruk itu, jadi tidak ingin menceritakan kejadian pahit itu lagi."Ayah terdiam. Tapi jelas sekali matanya tertutup dengan kaca-kaca."Mungkin tadi Erick buru-buru pergi karena menerima telepon dari istrinya."Bunda berkata dengan na
🌹Kamu tahu enggak, kenapa di rumah sakit hanya menerima pasien? 🌹 Karena yang menerima kamu apa adanya ya cuma aku!***"Tunggu! Saya tidak terima. Apa-apaan ini. Jelaskan pada saya kenapa saya harus dipermalukan seperti ini?!" terdengar suara mama mas Erick yang berdiri dan berkacak pinggang."Masih mengelak? Kalau begitu dengarkan ini!"Ayah memutar file rekaman suara pada ponselku dan langsung memasukkannya pada pengeras suara.Semua yang hadir di ruang tamuku terkejut. Suara yang terdengar di ponselku begitu jelas. Ada suara mas Erik, mamanya, dan Anin. "Nah, seperti yang kalian simak barusan, ada rencana buruk di balik rencana pernikahan ini.""Hm, tunggu. Sepertinya ini ada masalah intern yang harus diselesaikan secara kekeluargaan saja. Kalau begitu, saya pulang dahulu," kata penghulu itu sambil menggeleng-gelengkan kepala menyalami ayah. "Terimakasih atas kedatangannya dan saya mohon maaf."Ayah menerima uluran tangan penghulu dengan wajah yang ditegarkan. "Hahaha, kamu
Tahu nggak seberapa pentingnya kamu untukku? Sama seperti jantung yang membutuhkan detaknya.***"Bukannya Dokter itu menderita impot*n ya?""Hah? Kata siapa kamu?""Eh, nganu ... itu ...!"Aku menutup mulut dengan telapak tangan. Sadar kalau aku telah salah bicara."Nganu ... nganu apa? Beh, fitnah itu Nis! Ngomong yang jelas, aku tidak mau difitnah. Punyaku sehat wal'afiat dan kokoh tak tertandingi. Satu lagi, yang pasti punya aku panjang kali lebar kali tinggi. Jadi siapa yang bilang padamu tentang hal itu?""Anu ... itu ... saya ...,""Aku sudah ada rasa sama kamu saat kamu pertama kali pindah ke UGD dulu. Saat pasien urgent memadati ruangan. Tapi karena kamu bilang sudah ada calon suami, ya aku mundur. Dan sekarang boleh dong saya maju lagi karena kamu batal kawin? Tapi saya kaget sekali saat mendengar fitnah itu sekarang!"Aku terkejut mendengar pernyataan cinta yang kurang mesra itu."Sa-saya nggak bisa bilang Dok. Saya sudah janji.""Rengganis Yasmin! Bilang yang jelas! Siapa
Kamu tahu nggak, kenapa Allah menciptakan ruang-ruang kosong diantara jari-jari tangan kita?Itu karena suatu saat nanti ada orang yang datang pada kita untuk mengisi ruang-ruang kosong diantara jari-jari tangan kita itu dan menggenggamnya erat untuk selama-lamanya.***Dan tak lama keluarlah dokter Reyhan dari mobil itu dan melambaikan tangan padaku.'Yasalam! Kenapa dia kesini pagi-pagi? Jangan-jangan hendak membahas masalah semalam?!' batinku kacau seolah aku baru saja meletuskan balon hijau.Waduh, dia menuju ke sini. Aku segera bersembunyi di balik tiang rumah."Assalamualaikum, pagi Nis! Kalau sembunyi mbok yang masuk akal. Saya boleh bertamu nggak?""Waalaikumsalam, eh, ternyata ada dokter Reyhan. Masuk saja Dok, tapi di teras saja ya. Soalnya saya belum nyapu rumah," tukasku basa basi. 'Semoga dia merasa bahwa aku tidak ingin menerima tamu dan langsung pamit pulang," harapku."Hm, di teras ide bagus. Kebetulan saya memang suka outdoor."Dokter Reyhan melangkah santai dan tanp
🌹Kamu tahu nggak, daerah yang penduduknya paling sedikit di dunia?❤️ Nggak tahu, emang daerah mana?🌹 Jawabannya adalah hatiku ... Karena hanya kamulah penghuninya.***Saat hendak mengetik status whatsapp lagi, tiba-tiba muncul sebuah nomor asing melakukan panggilan whatsapp padaku.Aku segera menekan tombol hijau, "Halo.""Halo, ini Rengganis? Aku Anin, istrinya Erick, mau bertanya soal Erick padamu."Aku terdiam. Bingung. 'Ah elah. Ini suaminya siapa tapi tanya ke siapa? Aneh!'"Mbak, situ gak salah ya? Kan situ yang istrinya. Kenapa malah tanya ke saya?" Aku menjadi bingung."Aku curiga kamu pernah tidur dengan mas Erick sebelum kalian merencanakan menikah!"Duaarrr!Uasem!'Ini fitnah yang keji dan nyata. Pantas saja Reyhan langsung mencak-mencak saat dia mengetahui telah difitnah soal masalah impot*ennya. Ternyata difitnah memang seasem ini.' "Eh Mbak, siapa yang bilang seperti itu? Sembarangan. Aku ini masih ting-ting. Dijamin masih ting-ting sama sekali belum berpengalama
"Akhirnya kamu besok wisuda, Mas," ucap Rengganis sambil melingkarkan tangan ke pinggang sang suami. Reyhan tersenyum. "Alhamdulillah semua proses PPDS berlangsung lancar. Walaupun pada awalnya ada kendala.""Hm, iya Sayang. Sebenarnya kemarin aku sudah hopeless tentang kelancaran PPDS kamu.""Aku tahu. Pasti karena Tamara. Iya kan?"Rengganis mengangguk. "Dan atas perantara kita, Tamara bisa berbaikan kembali dengan Bapaknya.""Iya. Aku juga tidak menyangka.""Apa rencana kamu kedepannya Mas?""Rencana jangka panjang atau jangka pendek?" tanya Reyhan sambil mulai memegangi bibir Rengganis."Jangka panjang dong."Reyhan berpikir sejenak. "Tidak ada rencana."Rengganis tergelak. "Kok bisa tidak ada rencana?""Aku hanya perlu kembali ke RSUD dan bekerja dengan rajin di sana. Terus mau apalagi?" tanya Reyhan balik. "Kali aja mau bikin tempat praktek di rumah."Reyhan menggeleng. "Enggak. Aku kerja di luar rumah saja. Kalau di rumah, waktunya happy happy dengan istri," jawab Reyhan menc
Teman-teman Doni terpaku mendengarkan penjelasan dokter sampai selesai tanpa bisa mengucapkan sepatah katapun. "Jadi itu saja informasi yang perlu saya sampaikan. Kalau ada pertanyaan, bisa bertanya pada para suster. Saya permisi dulu karena masih harus visite dengan beberapa pasien lain.""Terimakasih Dokter."Dokter keluar dari ruangan konsultasi dan disusul oleh Doni dan kedua orang tua Nita."Loh, kalian kok di sini?" tanya Doni panik. Begitu pula ekspresi wajah Dewi dan suaminya. Teman-teman Doni hanya terpaku tanpa bisa menanggapi. "Kami ...,""Om mau bicara dengan kalian berlima. Bisa kita bicara sebentar?" tanya suami Dewi. Teman-teman Doni mengangguk. Lalu mengikuti langkah ayah Nita tersebut hingga sampai di depan ruang bersalin. Ayah Nita lalu duduk di kursi keluarga pasien dan memandang semua teman-teman Nita."Kalian sudah mendengar apa kata dokter sewaktu ada di ruangan tadi kan?" tanya ayah Nita. Kelima orang teman Nita hanya bisa terdiam."Saya tahu kalian sudah
Dewi dan suaminya menoleh. "Bagus deh. Kalau begitu ayo ikut kami ke PMI," ujar suami Dewi sambil berjalan mendahului Dewi dan Doni. "Tunggu. Ini surat pengantar untuk pengambilan darah." Suster itu memberikan selembar amplop putih kepada Doni. Doni menerima amplop tersebut dan mengejar suami Dewi."Om. Naik mobil saya saja. Saya bawa mobil."Suami Dewi menghentikan langkah dan membalikkan badan lalu menatap Doni. "Kamu sepertinya belum genap berusia 17 tahun. Bagaimana mungkin kamu sudah boleh membawa mobil oleh orang tua kamu di jalan raya? Kamu juga pasti belum punya SIM.""Ya, saya mengendarai mobil di jalan yang sepi Om. Agar tidak ketahuan oleh polisi.""Kalau begitu, mana mobil kamu. Biar Om saja yang menyetir. Mobil Om baru saja dijual untuk modal usaha baru Om.""Kalau saya boleh tahu, usaha baru Om apa ya?" tanya Doni sambil menyerahkan kunci mobil milik ayahnya. "Kafe dan resto," sahut suami Dewi.Doni terdiam tanpa menanggapi. Dewi dan suaminya pun juga malas untuk basa
Dewi mengangguk dengan takut-takut. "Astaga, aku harus meminta pertanggungjawaban padanya. Walaupun aku miskin dan tidak sekaya dokter itu, aku nggak akan sanggup melihat anakku terbaring lemah tidak berdaya."Ayah dari Nita segera menuju ke arah pintu masuk UGD. "Tunggu Yah. Apa yang akan kamu lakukan?! Dokter Tamara sedang berusaha menyelamatkan anak kita. Jangan ganggu fokusnya!""Aarrgh!"Ayah Tamara meninju tembok di luar UGD lalu duduk di kursi penunggu. Kedua tangannya menangkup wajah diiringi helaan nafas panjang bernada frustasi."Kita tidak bisa hanya diam saja dan menunggu Wi. Paling tidak, kita harus memaksa anak itu bertanggung jawab. Kenapa kamu tidak bilang dari awal kalau Nita hamil?"Dewi menunduk. "Maafkan aku Mas. Aku juga baru tahu kalau Nita hamil setelah kemarin Nita memberi tahu bahwa pacarnya akan datang untuk membahas kehamilannya. Tapi aku terkejut karena ternyata yang datang adalah anak dari ayah tiriku.""Astaga!! Kenapa jadi seperti ini? Jadi Tamara itu s
"Hahaha. Aku juga nggak sudi mempunyai menantu seperti anak kamu. Tidak bermoral. Makanya jadi cewek jangan terlalu murah. Sekarang bisa merasakan akibatnya kan? Perempuan masih sekolah saja kok mainan burung. Ya hamil lah! Makanya jadi perempuan jangan terlalu bodoh," kata Tamara memanas-manasi."Hei, apa kamu bilang? Keterlaluan kamu ya!" seru Dewi meringsek ke hadapan Tamara lalu mengacungkan tangannya tinggi-tinggi dan langsung mengayunkannya ke pipi Tamara.Tamara yang sudah siap dan sudah memprediksi serangan yang akan ditujukan padanya segera menangkis dan menangkap tangan Dewi. "Hei ngaca kalau mau menyerang orang. Di masa lalu kamu dan ibumu membuat ibu dan adikku mati dan hidupku sangat menderita seperti di neraka. Ini adalah hukuman kamu! Paham?!" seru Tamara sambil menghempaskan tangan Dewi. Begitu tangannya terlepas, Dewi menghambur ke arah Tamara dan dengan cepat menjambak rambut dokter itu. Tamara yang tidak siapa, tidak memprediksi serangan kedua merasa kesakitan ka
Ponsel Doni meluncur jatuh ke lantai kamar rawat inap. "Astaga!" seru Tamara kaget. Dengan segera dia mengambil ponsel anaknya dan memeriksanya. Tamara masih beruntung karena ponsel Doni tidak jatuh terlalu tinggi. "Syukurlah tidak pecah," ucap Tamara lirih. Dia lalu mengambil ponsel Doni yang tadi tidak sengaja dijatuhkannya.Dan beberapa pesan whatsapp datang beruntun memenuhi ponsel Doni.[Don. Ini Nita. Kamu harus tanggung jawab!][Don, kenapa kamu memblokir nomorku?][Don, tepati janjimu, atau aku akan mengadukanmu pada orangtuamu yang kaya raya itu][Don! Awas kamu ya. Kalau sampai membiarkan aku menanggung kehamilanku seorang diri, aku akan menemui Mamamu yang seorang dokter. Atau memviralkan perbuatan kamu!]Lalu beberapa panggilan video yang dibiarkan oleh Tamara tanpa diterimanya. Hati Tamara mencelos. Dia kecewa sekali. Bagaimana mungkin anak tunggal yang selalu dibanggakannya berani menorehkan kotoran ke mukanya. Tapi Tamara tahu, bahwa dia ikut andil dalam pembentukan
Tamara memandang ke arah Doni dengan antusias. "Tentu saja kamu boleh menjenguk serta mengenal kakek kamu. Bahkan Mama sangat berharap kamu mau menemani kakek karena kakek sekarang sudah hidup sebatang kara.""Wah, syukurlah kalau begitu. Doni juga ingin meminta maaf pada Kakek. Doni sungguh-sungguh tidak sengaja menabrak kakek."Tamara memajukan badannya dan menumpukan kedua siku pada meja kayu di kantin."Coba sekarang kamu cerita ke Mama. Kenapa kamu bisa keluar rumah memakai mobil Papa?" tanya Tamara. "Sejak Mama dan Papa bercerai, sebenarnya Doni kesepian. Biasanya kan seminggu sekali saat Doni libur sekolah, Doni pulang ke rumah Papa karena akan jalan-jalan sama Mama. Tapi sejak Mama nggak ada, Papa menjadi berubah. Sering keluar rumah, jarang tidur di rumah kata para Mbok, sehingga Doni juga kesepian.Sementara itu, Doni memang jarang ke rumah Mama, karena Doni tidak mau mengganggu proses kuliah Mama. Terakhir Doni pulang ke rumah, kata Mbok Sri, Papa pamit keluar negeri sudah
"Ba-pak?" Dengan kelu Tamara mengucapkan kata itu. Karena sebenarnya dia ingin memaki-maki lelaki tua itu tapi malu karena banyak perawat UGD di sana."Tamara? Kamu menjadi dokter, Nak?" tanya Rama. Rasa sakit di kakinya seolah hilang karena melihat anaknya dalam balutan jas putih. Tamara terpaku melihat kaki kanan ayahnya yang tampang miring itu. Kemungkinan besar terdapat close fraktur tulang tibia. Tamara menghela nafas kasar dan dia langsung keluar dari ruangan tempat Rama berbaring. Dengan hati berdebar kencang dan mata berembun, Tamara duduk di belakang meja UGD dan kedua tangannya saling meremas."Dokter, pasiennya KLL*nya kapan akan dikonsulkan ke dokter bedah tulang?" tanya salah seorang perawat mengagetkannya. Tamara mendongak. Hatinya berperang dengan hebat.'Biarkan saja laki-laki tak berguna itu sekarat. Kamu sudah kenyang menderita karena dia kan? Menderita dalam mencari uang, menderita saat dibully, menderita saat melihat adik dan ibu kamu meregang nyawa. Biarkan saj
Tamara mendelik melihat laki-laki setengah abad yang berdiri di hadapannya adalah orang yang seharusnya bertanggung jawab pada hidupnya justru merupakan orang yang paling membuat hidup Tamara dan ibunya sangat menderita. "Tamara, ini Ayah, Nak. Apa kamu lupa?"Tamara menyedekapkan kedua tangannya. "Hm, tentu saja aku tidak akan pernah melupakanmu Yah," sahut Tamara sambil memandang ayahnya tajam."Alhamdulillah, kalau masih inget sama Ayah. Kamu sudah sukses ya Tam. Apa kamu sudah berkeluarga?" tanya Ayah Tamara antusias dengan masih berdiri di depan pintu. Tamara mengangkat satu alisnya. "Kemana saja kamu selama ini? Apa kamu tahu penderitaan aku dan ibu setelah kamu minggat bersama pelacur itu?" tanya Tamara kesal. Rama menelan ludah dengan susah payah. "Maafkan Bapak Nduk. Bapak sangat menyesal dengan apa yang dulu Bapak lakukan. Makanya Bapak kesini untuk meminta maaf padamu.""Enak saja meminta maaf. Setelah kamu minggat, ibu pontang panting kerja menjadi buruh cuci dari rumah