Langkah kaki berayun pelan. Nyaris tidak tak terdengar. Suara deru napas berhembus sedikit memburu setiap kali kakinya menapaki jejak jalan bertanah basah diguyur hujan. Awan berwarna abu-abu begitu setia kawan mengiringi langkah kaki tak beralas itu dengan rintik hujan.
Telinga gadis itu, begitu terganggu oleh teriakkan orang-orang yang menyuarakan agar dirinya untuk segera dihukum mati. Entah bagaimana dia begitu dibenci oleh orang-orang yang saat ini memandangnya jijik, semua berawal dari berita para wartawan yang meliputi kasus besar yang telah ia perbuat. Berita itupun akhirnya tersiar kemana-mana, dari mulut ke mulut, hingga di hati orang-orang menaruh dendam dan kebencian padanya akibat membaca berita kesadisannya."Beri hukuman mati ... jangan diberi ampun!" teriak salah seorang dari gerombolan masyarakat yang menyaksikan tertangkapnya gadis itu."Dasar pembunuh gila! Gak punya otak. Kau pantas mati, tempatmu di neraka!" teriak lainnya begitu membencinya."Perempuan laknat! Manusia berhati iblis," maki warga lainnya. Mereka terlalu kesal dengan apa yang dilakukan gadis bisu itu.Bahkan ada yang meludahinya, lemparan telur-telur busuk pun menghujani dirinya di setiap langkah kaki yang terlihat gontai tak bertenaga.Wajah itu tertunduk layu, tatapannya terlihat sendu. Tak ada ekspresi, hanya tatapan kosong saja terlihat di wajah yang dingin dan terlihat polos itu.Bercak darah kering di sekitar wajah dan memenuhi bajunya yang berwarna putih, hampir mengering."Masuk!" kata petugas penjara. Mau tidak mau, kaki itu pun melangkah dengan keterpaksaan. Menuruti petugas penjara yang tidak sama sekali bersikap ramah padanya.Kepalanya mendongak saat hendak menaiki mobil narapidana. Dua petugas kepolisian bersenjatakan lengkap dan berompi anti peluru siap mengawal seorang gadis bisu. Semenakutkan itukah gadis yang pakaiannya berlumur darah?Gadis itu tak terlihat takut, justru ia melempar senyuman dingin pada kedua polisi pengawal itu. "Gak usah senyum-senyum, duduk di situ!" Perintah salah satu polisi. Kemudian dia duduk di hadapan dua polisi berwajah menakutkan.Apa yang sudah dilakukan seorang gadis berusia dua puluh tahun itu? Ia terlihat seperti gadis pada umumnya. Tidak terlihat di raut wajah putihnya itu menandakan bahwa ia seorang penjahat. Hanya saja Wajahnya hampir tertutupi bercak darah kering. Dia lebih terlihat seperti gadis lugu yang tak berdosa. Tapi kenapa dia harus dikawal dengan dua orang polisi dan dua orang petugas penjara yang baru saja naik."TUNGGU!" teriak seorang wanita dari kejauhan. Tubuhnya basah di guyur hujan. Pakaiannya kotor terkena cipratan air bersambur tanah. "Hentikan mobilnya!" teriaknya lagi, lalu berhenti di depan mobil narapidana yang membawa gadis itu. Tangannya membentang lebar, menghalangi jalan."Apa-apaan ibu itu? Mau mati berdiri di depan mobil?" ujar sopir terlihat kesal. Dia mengklakson mobilnya agar minggir dari depan mobil. "Hei ... Bu, cepat minggir! Bisa mati kau terus menerus berdiri di situ!" bentak sopir."Saya mohon, ijinkan saya bertemu anak saya. Saya mau bertemu dengan gadis yang kalian tangkap!" pintanya keras kepala."Anak? Maksud Ibu, gadis pembunuh yang gak bisa bicara itu?" tanya sopir. Seolah meledek wanita berwajah muram durja itu. Namun terlihat sangat serius menatap sopir itu."Iya, Pak! Saya mohon, biarkan saya bertemu anak saya itu!" pungkasnya yakin.Sopir itu mendengus. "Baiklah, saya akan bilang terlebih dahulu pada petugas di belakang!" Sopir itu turun dari mobil narapidana itu. Dan berjalan ke belakang, sedangkan wanita itu tetap diam dengan tangan tetap terbentang."Ada apa, Pak?" tanya salah satu polisi yang berjaga."Ada seorang wanita yang ingin bertemu anaknya, Pak! Dia tidak akan pergi sebelum bertemu anaknya ini!" kata Sopir itu sambil melirik sinis ke arah gadis yang menunduk itu."Jadi dia masih punya seorang Ibu?"Sopir itu mengangguk."Ya sudah, ijinkan dia bertemu sepuluh menit saja agar tidak mengganggu perjalanan ini!" usul salah satu polisi itu."Baik Pak! Saya akan beritahu Ibu itu!" Sopir itu bergegas ke balakang dan berbicara pada wanita berhijab itu. "Silahkan ke belakang, Bu! Tapi hanya sepuluh menit saja, tidak lebih!" ujar sopir itu tegas."Terima kasih, Pak!" wanita itu bergegas berjalan ke belakang. Gadis itu sudah berdiri di dekat tangga mobil."D-Dina?" sebut wanita itu parau. Suaranya hampir hilang ketika matanya mendapati gadis itu berdiri dengan tangan terborgol. Wanita itu memeluknya sambil menangis. "Kenapa harus seperti ini, Nak? Kenapa ibu harus melihatmu seperti ini? Ibu yakin kamu anak baik, seperti Ibu mengangkatmu menjadi seorang anak yang Ibu cintai," Pilu wanita itu meluap. Dia mengorbankan banyak hal demi membesarkan gadis itu, dia begitu mencintainya setelah kedua orang tuanya hangus terbakar.Gadis itu terdiam, tak ada satu katapun yang terlontar di bibirnya. Namun matanya bicara lain, ada air embun yang menetes dari pelupuk matanya yang berwarna kecoklatan. Wanita itu pelapaskan pelukkannya, memandang sekali lagi gadis di hadapannya."Ingatlah, Nak! Bagaimanapun kamu tetap anak Ibu, anak Ibu yang baik dan selalu ceria. Dan ingatlah satu hal, Ibu tetap menyayangimu sampai kapanpun!" imbuhnya."Waktunya sudah habis!" kata polisi yang menjaga gadis itu. "Ayo cepat naik, kita harus segera pergi dari sini!" lanjutnya memberi kesan ketus pada gadis itu. Tak lama, gadis itu mencium kening wanita itu di hadapan banyak orang dan kedua polisi yang menjaganya.Tautan tangan yang tadinya menggengam erat satu sama lain, perlahan-lahan terlepas dan kemudian menjauh. Gadis itu naik kembali ke mobil narapidana. Tatapan kosong wanita itu seolah mengisyaratkan bahwa dirinya akan benar-benar kehilangan gadis itu.Roda mobil pun mulai berputar lambat setelah semua sudah naik ke dalam mobil. Keluar dari sebuah rumah tempat kejadian perkara, tempat di mana gadis itu ditemukan sambil memegang pisau dan berlumur darah yang membekas di tangan juga hampir di seluruh tubuhnya.Gadis itu menundukkan kepalanya, ada pergolakkan batinnya. Ia merasa tak bersalah, apa yang harus dituntut dari dirinya. Dia menyadari bahwa dirinya memegang pisau di tengah-tengah korban yang tergeletak dengan beberapa tusukan di dada. Atau dia memang tidak sadar apa yang sudah ia lakukan?Dia tetap tidak mengingatnya walau sudah berusaha mengingat kejadian itu semua."Sebenarnya, apa yang terjadi padaku? Kenapa tidak ada sedikitpun aku mengingat tentang kejadian-kejadian yang telah kuperbuat?" katanya di batin.Lalu tanpa diminta, ingatannya kembali mengusik dirinya yang enggan mengingat itu semua. Banyak kejadian pahit yang harus terjadi padanya dulu, benar-benar pahit hingga sering kali membuat dia trauma dan hilang kesadaran akan dirinya sendiri. Dia kadang juga membenci apa yang terjadi di dalam dirinya.Sebenarnya, apa yang terjadi pada kehidupannya dulu? Dan kegilaan apa yang dia lakukan hingga harus diperlakukan kasar oleh orang-orang.****Bersambung.Malam, jam sudah menunjukan di angka 12 malam. Seharusnya begitu tenang. Seharusnya malam ini menjadi sunyi. Hari di mana orang-orang pergi tidur setelah seharian bekerja. Namun, terdengar suara anak kecil yang menyayat hati, parau dan terdengar pilu di sebuah rumah kontrakkan kecil di salah satu desa di kota Bandung. "Ampun Mah, maafkan aku Mah. Aku janji gak akan ngompol lagi!" Jeritnya sambil menangis, memohon ampun dan berusaha menutup kepalanya dari sabetan sapu lidi ibunya itu. "Alah ... janji mulu tiap hari. Tapi mana? Kamu tetap saja mengompol," teriak wanita itu terus memukuli anaknya yang baru berusia 4 tahun. Ia begitu bersemangat saat memukuli bocah perempuan yang lugu itu. "Mamah sudah capek ngebilangin kamu agar berhenti mengompol dan pecahin barang-barang di rumah, tapi kamu tetap saja melakukan itu, Dina! Mamah juga benci sekali sama ayah kamu yang pergi meninggalkan kamu yang nakal ini sama Mamah!" "Sudah pukul aja, biar dia ngerasain kalau kita capek, Mah, tiap har
Gadis itu mengingatnya, mengingat bagaimana dia di perlakukan buruk oleh kedua orang tuanya. Bahkan, ia termasuk gadis yang tidak bisa membaca dan juga tidak bisa menulis hingga sekarang. Dia juga tidak tahu bagaimana dirinya bisa menjadi seorang pembunuh, psikopat yang sangat sadis. Tapi dia tidak pernah ingat melakukan apapun. Semua tanpa sadar, tidak ada yang tersimpan di kepalanya. Hingga ia seperti orang bodoh yang lupa ingatan. Seperti kajadian tadi, saat penangkapan dirinya, ia sangat terkejut ketika tangannya sudah berlumur darah dan memegang pisau, korban pun dalam keadaan terikat tali dengan lidah menjulur keluar dan terpotong. Dia histeris, seolah menjadi orang kehilangan akal, gila, stres dan tak berprikemanusian. Anggapan-anggapan itu membuat dia seakan-akan menjadi tersangka utama pada pembunuhan tadi. Psikopat sejati yang sadis tanpa rasa iba terhadap korbannya. Gadis itu teringat, bagaimana ia menjadi pribadi yang dingin dan tidak lagi ceria seperti sebelum penyiksa
"Hiaaat!" Dina menatap sangat serius, tajam penuh dendam. Tangannya mengepal, giginya bergemerutuk. Ia sudah sangat kesal harus tiap hari dimarahi bocah-bocah nakal di hadapannya itu. Kali ini, dia tidak mau berdiam diri lagi. Sejujurnya, Dina bukan anak yang pandai berkelahi. Tetapi, perudungan dan sikap keras kedua orang tuanya membuat ia bisa bertahan saat harus berhadapan dengan orang. Seperti kali ini, dia pun nekat ingin melawan 4 anak laki-laki sendirian. Keempat anak laki-laki itu maju menyerang Dina. Dan bocah perempuan itu bersiap untuk melawan. Namun, "BERHENTI!" Suara teriakkan seorang wanita terdengar melengking. Dina menoleh, dan keempat anak laki-laki itu berhenti. Wanita itu menghampiri Dina dan kelima bocah-bocah laki-laki itu. "Tino, Dede, Azhar, Ryan dan Fadil, sedang apa kalian?" Wanita itu lalu menoleh pada Dina. "Kalian mengganggu Dina lagi?" tanya wanita berseragam guru itu dengan mata melotot. "Tidak bu, kami hanya ingin beli kuenya, tapi dia malah marah-m
"Ayo masuk!" ajak Dina. Bocah itu menurut saja layaknya kerbau dicocok hidungnya. Lalu, Krieeeet. Blaaam. Pintu tertutup rapat. Azhar celingukkan, tidak ada curiga sedikitpun. Ia mengamati sekelilingnya, ruangan gelap dan pengap di bumbuhi aroma bau busuk menyeruak ke dalam rongga hidungnya. "Tempat apa ini? Kenapa kita harus bersembunyi di tempat ini?" "Supaya tidak ketahuan!" Lagi-lagi senyuman mengerikan itu tampak di bibirnya. Dina menyambar besi yang tergeletak di dekat tembok. Lalu ia mengangkatnya tinggi-tinggi. Sialnya, Azhar menoleh ke arahnya. "Aaargh!" teriak Azhar, ia terjatuh karena kaget. "Mau apa kamu?" "Ssst!" henti Dina, tangannya berada di mulutnya sendiri. Ia jalan mendekati Azhar sambil, "Jangan berisik!" Berkata pelan. Gedebuk. Namun pukulan Dina meleset. Azhar bergegas bangun dan berlari. "Larilah sampai jauh. Aku akan terus mengejarmu!" gumam Dina sangat menakutkan. Kaki kecil itu berlari namun sayangnya, Gubrak. Azhar terjatuh. Kakinya tersandung k
"Darah!" bisik batin Dede. "Jangan-jangan ...." bibirnya berhenti berkata, lalu ia bergegas menoleh. "Kamu?" Dina hanya tersenyum menyeringai sambil mengangkat tongkat besi tinggi-tinggi yang dia ambil di dekat pintu masuk, dan .... Buk. Pukulan Dina bisa di tahan Dede dengan tasnya. "Apa-apaan ini? Dasar perempuan gila!" teriak Dede. Ia kemudian mendorong besi yang tertahan oleh Dina sekuat tenaga. Dede berlari, Dina mulai melangkah mengejar bocah laki-laki. Anak perempuan itu sengaja menyeret besinya dan dibiarkan berbunyi hingga menimbulkan ketakutan tersendiri buat Dede. "Larilah, De. Lari dan bersembunyilah. Aku akan menemukanmu, dan bersiap-siap untuk mati, Dede!" kata Dina. Dede terus berlari dan kemudian. Gedebuk. Kakinya tersandung sesuatu. "A-apa itu?" bisik Dede, dia jauh lebih pemberani dibandingkan Azhar. "Dan ini b-bau darah!" Rasa penasarannya pun membuat ia mendekati sesuatu yang membuatnya terjatuh. "A-A-AZHAR?" Dia bergegas menutup hidung dan mulutnya. Dirinya
Dina berjalan di depan. Fadil melihat sekelilingnya, sama seperti Dede dan Azhar, dia sedikit heran melihat lokasi persembunyian Fadil dan Dede itu. "Apa benar, Dede dan Azhar bersembunyi di sini?" tanya Fadil penasaran. Bocah perempuan itu hanya mengangguk. "Tapi di mana?" tanya Fadil rada cerewet. "Sebelah situ!" sahut Dina menunjuk bangunan tempat mayat Dede dan Azhar berada. "Ayo cepat, nanti Tino akan menemukanmu!" ujar Dina berjalan lebih cepat lagi, sebab, hari sudah semakin sore. Dia harus bisa menghabisi satu persatu kelima anak pengganggu dirinya. Dina membukakan pintu. Fadil tidak langsung masuk, ia melihat ruangan gelap tanpa cahaya. Bau busuk menyeruak keluar hingga memenuhi rongga hidungnya. "Tempat ini bau banget! Gak mungkin Azhar dan Dede bersembunyi di sini!" Bocah jangkung itu tak lantas percaya begitu saja ucapan Dina. "Atau jangan-jangan kau ...." Dia menoleh dan, Buk. Pukulan keras menghantam kepala Fadil hingga jatuh pingsan. Darah bocah laki-laki itu kelu
Tubuh Dina terdorong oleh Tino hingga terjatuh. Besi di tangannya terlepas, menggelinding dan berhenti tepat di dekat kaki Tino. "Ngapain kamu di sini?" tanya Tino tak bersahabat, tangannya bertelak pinggang dan tatapan matanya terlihat sinis. "Kau ingin balas dendam pada kami, huh?" Dina diam, tidak menghiraukan apa yang di tanyakan Tino. "Bodoh, kau tuli, huh!" Ia menendang lengan Dina. Bocah itu tersungkur di tanah. "Gak punya mulut sampai-sampai kamu cuekin pertanyaanku?" Senyuman khas Dina terlihat mengerikan. Ia mendongak dan sengaja memperlihatkannya pada Tino dan Ryan. "Kalian ingin tau?" tanya Dina bangun dari tersungkurnya. Berdiri tegap tanpa ada mimik rasa takut menghadapi dua anak laki-laki bertubuh dua kali lebih besar darinya. Tangannya mengangkat, "Aku mau membunuh kalian berdua!" Menunjuk bergantian ke arah Tino dan Ryan. Ryan, wajah bocah berkulit putih itu semakin pucat, bukan takut akan ancaman Dina, melainkan dia takut akan mimik wajah bocah berusia 7 tahun y
Nasib sialnya tidak berpihak padanya. Dina sudah berada di depannya dan memukul keras wajah Tino. Bocah laki-laki itu cukup kuat, masih saja tersadar terkena besi berkarat itu. Dina bergegas menghampiri Tino sebelum kesadaran bocah laki-laki itu pulih sepenuhnya. Tangan bergerak cepat, berayun sambil mengarahkan tangannya ke kepala Tino. Bocah itu mengabaikan kepalanya yang berlumur darah, tidak peduli darah itu mengalir di wajahnya. Tino berusaha berdiri sambil berpegangan di tembok. Napasnya terengah-engah, ketakutannya semakin menjadi. Tubuhnya gemetaran saat ia menegakkan kakinya. "JANGAN LAKUKAN ITU PADAKU!" teriak Tino menutupi kepalanya dengan tangan. Ia benar-benar putus asa saat terdesak seperti ini. Takut akan kematian, takut darah keluar lagi dari celah mata, hidung dan mulut seperti Ryan. Dina menghentikan tangannya, melirik ke arah Tino yang mendadak menjadi seorang pengecut. Keberaniannya sesaat tadi menyiksa bocah perempuan itu seolah-olah menghilang. Napas Tino tak