"Darah!" bisik batin Dede. "Jangan-jangan ...." bibirnya berhenti berkata, lalu ia bergegas menoleh. "Kamu?"
Dina hanya tersenyum menyeringai sambil mengangkat tongkat besi tinggi-tinggi yang dia ambil di dekat pintu masuk, dan ....Buk.Pukulan Dina bisa di tahan Dede dengan tasnya. "Apa-apaan ini? Dasar perempuan gila!" teriak Dede. Ia kemudian mendorong besi yang tertahan oleh Dina sekuat tenaga. Dede berlari, Dina mulai melangkah mengejar bocah laki-laki.Anak perempuan itu sengaja menyeret besinya dan dibiarkan berbunyi hingga menimbulkan ketakutan tersendiri buat Dede. "Larilah, De. Lari dan bersembunyilah. Aku akan menemukanmu, dan bersiap-siap untuk mati, Dede!" kata Dina.Dede terus berlari dan kemudian.Gedebuk.Kakinya tersandung sesuatu. "A-apa itu?" bisik Dede, dia jauh lebih pemberani dibandingkan Azhar. "Dan ini b-bau darah!" Rasa penasarannya pun membuat ia mendekati sesuatu yang membuatnya terjatuh. "A-A-AZHAR?" Dia bergegas menutup hidung dan mulutnya. Dirinya cukup syok kala Matanya melihat sendiri keadaan Azhar yang mengenaskan di depannya itu. "D-dia?" Bibirnya kelu."Ternyata kau sudah bertemu sama temanmu, si Azhar?" kata Dina. Dede semakin kaget. Keberadaan Dina kini membuat ia menjadi bergidik ngeri. Dina berjalan mendekati Dede."A-apa m-maumu? K-kenapa k-kau membunuh kami berdua?"Bocah perempuan itu tersenyum."Seharusnya kau bertanya pada diri sendiri, Dede! Kenapa aku ingin membunuh kalian berdua? Bukan ... bukan hanya kalian berdua tapi kalian berlima," ujar Dina."A-apa? Dasar perempuan gila, psikopat!" Umpat Dede."Psikopat? Ngeh ... seharusnya kalianlah yang disebut seperti itu, tiap hari menggangguku. Memukuli dan merusak semua barang daganganku, aku diam. Tapi kalian semakin menjadi. Jadi, bukankah lebih baik membuat kalian diam agar aku hidup tenang?""TOLONG ... TOLONG AKU!!" teriak Dede sekeras mungkin. Sayangnya tidak ada yang mendengar, jarak bangunan itu sangat jaub dengan bangunan utama tempat Dede dan teman-temannya biasa main petak umpet dan lainnya."Ssst! Jangan berisik, nanti kita ketauan!" henti Dina. "Lebih baik kau di sini saja menemani temanmu yang bodoh itu!" Tangannya mengayun, lalu ....BrukPukulan Dina kembali meleset, besi itu mengenai lantai. Dede menghindar cepat, dia bergegas bangun dan mendorong Dina hingga terjatuh. Kemudian dia berlari menuju ke arah pintu, Dina mengejarnya. "Sialan! Kau akan mati, Dede!" pekik Dina marah.Bocah laki-laki itu mencoba membuka pintu, namun itu tidak berhasil. Dina menguncinya. "BUKA! TOLONG BUKAIN PINTUNYA!" teriak Dede sekeras mungkin sambil menggedor, berharap ada yang mendengar. Ia terus memainkan engsel pintu."Aku datang, Dede!" Suara Dina sangat berbeda dari kesehariannya. Ia seperti orang yang berbeda."TOLONG ... TOLONG SELAMATKAN AKU!" Suara Dede terdengar ketakutan. Bibirnya bergetar. Matanya tak bisa fokus, sesekali nelihat ke arah belakang. Kemudian,"Aaargh!" Dina sudah berada di belakangnya dan menarik rambut Dede hingga bocah laki-laki itu terjatuh. Bocah perempuan itu mempunyai tenaga yang sangat kuat, berbeda dari satu jam lalu ketika kelima bocah itu memukulinya, dia tampak seperti bocah perempuan biasa yang tak punya kekuatan untuk melawan."Tolong ... bebaskan aku! Jangan bunuh aku, Din!""Kau ingin bebas?"Dede mengangguk cepat."Bebaslah di dalam mimpi!" katanya, kemudian dia tertawa terbahak-bahak."TOLONG! TINO TOLONG AKU!" teriak Dede sekuat tenaga."Ssst! Sudah kukatakan jangan berisik bukan!"Namun Dede tak peduli, dia tetap menjerit sekuat tenaga. Dan lalu,Buk.Buk.Buk.Tongkat besi menghantam wajah bocah usia 10 tahun itu berkali-kali, hingga terlihat mengerikan, hancur. Darah kembali membuat pakaian Dina menjadi merah.Sekali lagi, membunuh serta menyakiti orang membuat Dina sangat senang melakukannya. Menjadi hal menarik yang penuh tantangan buatnya, apalagi saat dia menyaksikan wajah-wajah itu memelas dan merasakan kesakitan, semakin membuat gadis itu ketagihan. Gadis itu menyeret tubuh Dede dari depan pintu, lalu dia tumpukan bersama tubuh Azhar."Ayo kita habisi mereka!" gumamnya, bergegas bangun. Meninggalkan tongkat besi itu di samping mayat Dede dan Azhar. Dan dia mulai berburu korban selanjutnya.Dia berjalan keluar, mengamati di mana saja tempat persembunyian Ryan dan Fadil, korban selanjutnya yang akan jadi mainan Dina. Ia pun tersenyum, bocah berambut keriting itu sedang bersembunyi di balik semak-semak yang tumbuh subur."Fadil, kau selanjutnya!" kata Dina mendekati bocah laki-laki bertubuh jangkung itu sedang berjongkok."Boleh ikut main gak?""Aaahk!" pekik Fadil. Ia bergegas menutup mulutnya, ia tidak mau ketauan Tino bahwa dia bersembunyi di semak-semak. "D-Dina? A-apa-apa K-kamu?" Dia tidak mengira akan ada Dina di tempat mereka bermain. "M-mau apa kamu?" Fadil memperhatikan pakaian Dina yang kotor dan bau amis itu. Sayangnya, noda darah Azhar dan Dede sudah tersamarkan kotoran dan oli."Mau main-main sama kalian?""Gak bisa! Kami gak menerima anggota lain. Apalagi kamu orang miskin dan perempuan, jadi pergi dari hadapanku. Kalau tidak, aku kan ketauan oleh Tino, bisa-bisa aku harus mentraktir dia makan di kantin selama seminggu!" Usir Fadil, dia tampak kesal diganggu oleh Dina."Kenapa tidak bersembunyi di tempat Azhar dan Dede saja. Pasti Tino kesulitan mencari kamu!" usul Dina bergaya imut agar Fadil tak curiga."Emang kamu tau di mana mereka sembunyi?"Dina mengangguk cepat. "Kamu mau aku tunjukin tempatnya?"Fadil tampak berpikir sejenak. Ia melihat ke arah Tino yang sedang mencari dia dan yang lainnya. Tampaknya Tino kesulitan mencari dia dan teman-temannya. Belum satupun di antara mereka ditemukan olehnya."Baiklah, ayo tunjukkan tempatnya padaku!" pinta Fadil. Dia berpikir akan menang dalam permainan ini, dan bebas mentraktir Tino selama seminggu."Ayo, ikuti aku." Senyum Dina seketika berubah, seperti Rubah yang licik. Matanya memincing, korban selanjutnya segera dia dapatkan.****Bersambung.Dina berjalan di depan. Fadil melihat sekelilingnya, sama seperti Dede dan Azhar, dia sedikit heran melihat lokasi persembunyian Fadil dan Dede itu. "Apa benar, Dede dan Azhar bersembunyi di sini?" tanya Fadil penasaran. Bocah perempuan itu hanya mengangguk. "Tapi di mana?" tanya Fadil rada cerewet. "Sebelah situ!" sahut Dina menunjuk bangunan tempat mayat Dede dan Azhar berada. "Ayo cepat, nanti Tino akan menemukanmu!" ujar Dina berjalan lebih cepat lagi, sebab, hari sudah semakin sore. Dia harus bisa menghabisi satu persatu kelima anak pengganggu dirinya. Dina membukakan pintu. Fadil tidak langsung masuk, ia melihat ruangan gelap tanpa cahaya. Bau busuk menyeruak keluar hingga memenuhi rongga hidungnya. "Tempat ini bau banget! Gak mungkin Azhar dan Dede bersembunyi di sini!" Bocah jangkung itu tak lantas percaya begitu saja ucapan Dina. "Atau jangan-jangan kau ...." Dia menoleh dan, Buk. Pukulan keras menghantam kepala Fadil hingga jatuh pingsan. Darah bocah laki-laki itu kelu
Tubuh Dina terdorong oleh Tino hingga terjatuh. Besi di tangannya terlepas, menggelinding dan berhenti tepat di dekat kaki Tino. "Ngapain kamu di sini?" tanya Tino tak bersahabat, tangannya bertelak pinggang dan tatapan matanya terlihat sinis. "Kau ingin balas dendam pada kami, huh?" Dina diam, tidak menghiraukan apa yang di tanyakan Tino. "Bodoh, kau tuli, huh!" Ia menendang lengan Dina. Bocah itu tersungkur di tanah. "Gak punya mulut sampai-sampai kamu cuekin pertanyaanku?" Senyuman khas Dina terlihat mengerikan. Ia mendongak dan sengaja memperlihatkannya pada Tino dan Ryan. "Kalian ingin tau?" tanya Dina bangun dari tersungkurnya. Berdiri tegap tanpa ada mimik rasa takut menghadapi dua anak laki-laki bertubuh dua kali lebih besar darinya. Tangannya mengangkat, "Aku mau membunuh kalian berdua!" Menunjuk bergantian ke arah Tino dan Ryan. Ryan, wajah bocah berkulit putih itu semakin pucat, bukan takut akan ancaman Dina, melainkan dia takut akan mimik wajah bocah berusia 7 tahun y
Nasib sialnya tidak berpihak padanya. Dina sudah berada di depannya dan memukul keras wajah Tino. Bocah laki-laki itu cukup kuat, masih saja tersadar terkena besi berkarat itu. Dina bergegas menghampiri Tino sebelum kesadaran bocah laki-laki itu pulih sepenuhnya. Tangan bergerak cepat, berayun sambil mengarahkan tangannya ke kepala Tino. Bocah itu mengabaikan kepalanya yang berlumur darah, tidak peduli darah itu mengalir di wajahnya. Tino berusaha berdiri sambil berpegangan di tembok. Napasnya terengah-engah, ketakutannya semakin menjadi. Tubuhnya gemetaran saat ia menegakkan kakinya. "JANGAN LAKUKAN ITU PADAKU!" teriak Tino menutupi kepalanya dengan tangan. Ia benar-benar putus asa saat terdesak seperti ini. Takut akan kematian, takut darah keluar lagi dari celah mata, hidung dan mulut seperti Ryan. Dina menghentikan tangannya, melirik ke arah Tino yang mendadak menjadi seorang pengecut. Keberaniannya sesaat tadi menyiksa bocah perempuan itu seolah-olah menghilang. Napas Tino tak
Perlahan-lahan ingatan tentang masa lalunya yang kelam terbuka sedikit-sedikit. Ia merasa ada yang aneh pada dirinya sendiri, tapi apa? Dina pun tidak mengerti itu, dia merasa dikendalikan di setiap gerakkan bahkan tubuhnya seakan dikuasai oleh seuatu yang tidak pernah dia ketahui bentuknya. Tiba-tiba kepalanya terasa sangat sakit sekali. Dia memaksakan diri untuk mengingat semua kejadian demi kejadian yang membuat dia seperti seorang psikopat tak berperasaan. Pembunuh berdarah dingin yang ketagihan membunuh, menyukai lihat orang merintih kesakitan, memelas dan memohon ampun padanya. "Aaargh!" pekiknya mengagetkan petugas penjara dan kedua polisi. "Hei, kenapa denganmu?" tanya petugas penjara berwajah kuatir. Dina menunduk dengan tangan yang terus menjenggut rambutnya sendiri. Kepalanya semakin sakit, begitu dia tersiksa oleh ingatan yang tidak pernah ada namun ia sudah melakukan di luar kesadarannya. "Kamu baik-baik saja, nona?" Pertanyaan petugas itu tidak dipedulikan oleh Dina,
Winda langsung terbawa emosi dari hasutan Randy, laki-laki pengangguran bermulut iblis seperti perempuan. Lalu, ia beranjak bangun. Sementara Dina duduk diam di pinggiran kasur, Winda mendobrak masuk tanpa mengetuk pintu. Gadis kecil itu terperangah, wajahnya ketakutan melihat ibu yang telah melahirkannya berdiri dengan wajah menyeramkan. Jari-jarinya memainkan ujung baju, gelisah. "M-mamah?" Winda bergegas menghampiri, menyeret Dina untuk berdiri dan menyuruh untuk mengikutinya. Kejadian yang terus berulang-ulang. "Ikut Mamah sekarang!" "K-kita mau kemana, Mah?" Dina tak mengerti. Saat ini wajah bocah itu benar-benar terlihat polos seperti bocah pada umumnya. "Mamah akan beri kamu hukuman atas tingkahmu hari ini!" imbuhnya. Dina merasa tak bersalah, dia sudah menuruti apa yang ibunya perintahnya. Apapun itu, gadis kecil itu tidak pernah membantahnya. "T-tapi salah Dina apa, Mah? B-bukankah Dina sudah membawakan uang hasil jualan hingga habis. Tapi kenapa Mamah masih menghukum
Lalu, Debuaaar. Tabung gas meledak. Meluapkan api menjadi sangat besar dan membakar semuanya. merambat cepat. "Aaargh!" teriak Winda dan Randy kepanasan. Pakaiannya mulai ikut terbakar, lalu menjalar dengan sangat cepat. Gas dari tabung gas itulah yang membuat api itu cepat merambat ke tubuh ibu dan ayah tiri Dina. Mereka berdua menggeliat, lalu berguling-guling di lantai. Berusaha memadamkan api yang terus membakar tubuh mereka. Sayangnya, gas dari tabung gas sudah memenuhi tubuh Winda dan Randy, api tidak mudah padam."Aarh ... panas! Tolong ... tolong aku!" teriak Winda dan Randy. Winda menghampiri Dina, meminta tolong pada bocah itu. "Dina ... tolong Mamah, Nak! Tolong padamkan api di tubuh mamah!" pinta Winda, tangannya menggapai, berusaha meraih kaki bocah kecil itu.Akan tetapi, Dina justru menginjak kaki Winda. "Aaargh!" pekiknya. Saat ini, bocah perempuan itu sedang tak ingin memberi belas kasih pada ibu dan ayah tirinya yang sudah sering menyiksa. "Lebih baik, mamah nik
Sementara itu, di tempat berbeda. Tepatnya di sebuah rumah kecil, di mana seorang wanita yang selalu menolong Dina saat dibully anak-anak nakal di sekolah. Dia bergegas mengambil ponsel yang tergeletak di meja walau dirinya sibuk mencuci pakaian di kamar mandi. "Hallo Bu Zahra!" Suara itu terdengar lantang tanpa memberi salam. "Waalaikum salam, Bu Santi. Ada apa menelepon saya malam-malam?" tanya wanita itu yang ternyata bernama Zahra. Dia duduk di kursi. "Begini Bu Zahra, saya mau tanya ... apakah Fadil sudah pulang sekolah?" "Fadil?" tanya Zahra sedikit heran. "Dia sudah pulang, Ibu, bersama teman-temannya tadi jam 5 sore. Memangnya kenapa, Bu?" "Iya Bu, Fadil sampai sekarang belum pulang. Biasanya jam 6 juga sudah pulang!" "Masa sih, Bu! Tapi tadi aku lihat Fadil, Tino, Ryan, Dede dan Azhar pulang bareng-bareng, Bu!" sahut Zahra. Ia merasa yakin bahwa kelima anak itu, termasuk Fadil sudah pulang dari sekolah. Sebab, dia melihat sendiri kelima anak itu jalan beriringan. "Apakah
"Baik, data ini akan saya pegang. Nanti saya akan beritahu ke tim untuk siapkan mobil untuk mencari mereka!" Imbuh polisi itu membaca ulang nama-nama anak yang hilang. "Dan saya minta, Bu Zahra jangan pulang dulu. Anda harus memberitahu lokasi saat ibu melihat kelima anak tersebut!" "Baik, Pak!" sahut Zahra. Kemudian polisi itu berjalan ke dalam membawa kertas itu beserta keterangan dari Zahra. "Bu Zahra, memangnya benar si Dina anak tukang kue itu pulang bareng anak-anak kami?" tanya Bu Sinta penasaran, ia duduk mendekati Zahra yang duduk di luar. Ibu-ibu yang lain ikut mengerubungi Zahra. Zahra hanya terdenyum melihat keingintahuan kelima ibu-ibu tentang pernyataannya pada polisi tadi. "Tidak bareng Bu, tapi saya melihat Dina jauh di belakang anak-anak ibu semua!" "Sukurlah, saya pikir bareng. Menjijikan banget anak saya bergaul dengan anak tukang kue itu!" Bu Gita merasa jijik menyebut nama gadis kecil itu. Zahra tidak bisa berbuat banyak, dan merasa tidak ada hak mengomentari
"BUNUH DIA SEKARANG, BODOH!" bentaknya dengan nada tinggi. "Tidak! Aku tidak mau melakukannya lagi!" Dina menahan tangannya agar tidak mengacungkan pada Dandy. Pemuda itu bingung melihat Dina berbicara pada dirinya sendiri. "Ada apa dengan gadis ini?" pikir Dandy, dia hanya bisa mengamati. "Bodoh ... kenapa aku malah melihat gadis gila itu berbicara sendirian? Bukankah ini kesempatanku untuk kabur?" pikirnya melihat ke arah pintu penjara. Pemuda itu berjalan pelan sambil mengawasi terus ke arah Dina. "Berhenti!" teriak Dina pada Dandy pemuda itu tak berkutik. Diam mematung di tengah-tengah. Lalu .... Dor. Dor. Dua peluru melesat cepat dari moncong senjatanya. Peluru itu meleset ke arah sasaran, tangan kiri Dina menghalangi senjata itu membunuh pemuda gondrong yang mematung. Dandy sangat kaget. Dengar suara tembakan yang begitu keras di telinganya. Dia menoleh, peluruh itu hampir saja mengenai dirinya. "Gila! Untung saja peluru itu meleset. Kalau tidak, bisa mampus," bisik bati
Tubuh Dina penuh luka, tanpa sadar di dalam mobil tahanan tersebut. Bensin keluar dari tangki, tak lama percikan api yang berasal dari kabel yang mengelupas mulai membakar sedikit demi sedikit bagian badan mobil tahanan yang terkena bensin. Sopir mobil tahanan pun tak sadarkan diri. Luka parah. Pecahan beling dari kaca depan memperparah wajah sopir itu. Apipun mulai membesar ... Doar. Ledakan kecil membuat kobaran semakin besar dan cepat menjalar. Warga yang melihat kejadian itu, bergegas menghampiri mobil itu. Jalanan menjadi sangat macet. Tak lama, Dina mengerjapkan netranya. Lambat laun terbuka pelan-pelan. Dia baru menyadari bahwa dirinya terhimpit besi, dan rasanya sangat sakit. Gadis itu mulai menyingkirkan besi itu, di kaki Dina luka itu membekas parah. Membiru. "Sial! Ada apa ini?" Sesaat di dalam tubuhnya tidak ada sosok hitam yang mempengaruhinya. Tubuhnya melemah tak bertenaga. "Semua badanku sakit semua," bisik batinnya lagi. Dia teringat, bahwa sosok hitam mengusain
Dina melakukan pukulan cepat, pemuda itu tidak bisa menghindari pukulan gadis itu. Hidungnya pun meneteskan darah segar yang cukup banyak. Ketiga pemuda lain membiarkannya. "Aaargh ... Sialan!" Pemuda bernama Lalu, dia merebut senjata yang masih digenggam sipir penjara itu dan mengarahkan ke kepala sipir penjaga yang terkena pukulannya. Jari telunjuknya mulai menarik pelatuk senjata itu. "Jatuhkan senjatamu, perempuan iblis!" salah satu polisi muda bangun dari duduk dan menodongkan senjatanya di samping kepala Dina. "Jangan macam-macam, kami berempat tidak ada segan-segan membunuhmu!" katanya lagi, ikut menarik pelatuk agar Dina tidak gegabah mengambil tindakan itu. Dina melirik, tatapan serius polisi di sampingnya tidak sedang main-main dengan ancamannya pada dia. "CEPAT! JATUHKAN SENJATAMU BANGSAT!" teriak polisi itu hilang kesabarannya. Pelan-pelan gadis itu merunduk, meletakan senjata di lantai mobil tahanan. Sekali lagi, matanya melirik ke polisi muda yang tampaknta belum be
Satu pukulan keras melayang dengan cepat. Tetapi bukan dari arah Dina ke sosok hitam itu, melainkan tinju sipir penjara yang waspada akan gerak-gerik Dina hendak memukulnya. Pipi Dina memar, berwarna kebiruan. Dia tersungkur di lantai mobil tahanan. "Sialan! Berani-beraninya kamu mau mukul seorang sipir penjara!" katanya memaki. "Hajar terus, jangan diberi ampun, perempuan gila seperti dia jangan diberi ampun!" Salah satu polisi itu memprovokasinya. Sosok hitam menghampiri gadis malang yang saat ini masih tersungkur. "Lihat, mereka meremehkanmu. Andai saja kamu tidak menciptakanku, mungkin saja kamu mati dengan seluruh rasa penasaranmu itu, Dina!" kata Sosok hitam berbisik. "Kamu benar-benar menyedihkan!" Dina menggeram, bangun sambil mengepal tangannya. Menatap nanar ke arah dua sipir penjara yang kini bersikap arogan dan sok berkuasa. "Kau tidak akan bisa melawannya, hanya aku yang bisa membantunya, Dina! Apa kau mau aku bantu, gadis lemah?" tanya Sosok hitam yang sudah tak saba
Dina terdiam, kemudian dia melepaskan jari jemarinya pelan-pelan setelah dia puas membunuh Roy dengan caranya sendiri. Sosok hitam keluar dari tubuhnya, keadaan Dina kembali tenang setelah membunuh keluarga Roy. Namun, dia terlihat bingung kala kondisinya kembali seperti semula. Netranya melihat keadaan dirinya sendiri, sambil melihat telapak tangannya. Hanya ada darah segar yang lambat laun berubah kering. "Ada apa denganku? Kenapa semua darah ada di tubuhku? Apa yang sudah aku lakukan?" bisik batinnya bingung. Dia merasa tidak melakukan apapun, hanya raganya saja yang bergerak mengikuti naluri yang dikendalikan oleh sosok hitam yang berdiri di sampingnya. Perkataan Aipda Buyung diabaikan, dia masih berkutat pada dirinya sendiri. "Ayo ikut kami, dan Anda berhak di dampingi pengacara!" kata Aipda Buyung mulai menyentuh tangan gadis itu. Dina menoleh, dia menatap Aipda Buyung dengan tatapan bingung. "Ada apa?" tanya Dina menepis tangan Aipda Buyung. "Anda kami tetapkan sebagai pemb
Dina gelagapan, walau dia berhasil menahan selang yang hampir menjerat lehernya, dia tetap kesulitan untuk membebaskan diri dari jeratan selang. "Aaah ... aku harus bisa membebaskan diri dari laki-laki bejat ini!" bisik batin Dina. Sayangnya tak ada hasil, namun gadis itu tidak kehabisan akal, dia membenturkan kepalanya ke dahi Roy sambil mendorong tubuhnya ke belakang. Debuk. "Aaargh" pekik Roy kesakitan. Dina terlalu keras membenturkannya hingga kepala Roy terasa pusing. Gadis itu melakukannya berulang-ulang kali. Roy tetap mempertahankan genggaman erat jari-jarinya pada rantai. Kakinya terus mundur ketika Dina membenturkan kepala dan mendorong tubuh Roy. Sayangnya, kaki pemuda itu tidak lagi bisa melangkah. Tubuhnya terhimpit tembok. Dia tidak bisa bergerak ke mana-mana lagi. Buuak. Gadis itu membenturkan kepalanya lagi, lagi dan lagi hingga kepala bagian belakang Roy harus beradu dengan tembok. Darah membekas di tembok, luka di kepala Roy sangat parah. Dina membebaskan diri
Senyuman itu mengembang, sangat mengerikan bagi Roy. Gadis itu menunggu Roy melangkah sejauh mungkin dari rumah. Lalu bibirnya bergerak. "Satu!" Gadis itu mulai berhitung kala Roy sudah sedikit jauh jaraknya. "Dua!" Lanjutnya, berhitung di dalam hati. Roy melihat ke belakang. Dia tidak tau harus pergi ke mana. Pemuda itu sangat yakin Dina akan menemukannya, sebab, tubuh Roy sudah sangat lemah dan tak bertenaga. Tatapan seram Dina membuat Roy memalingkan wajahnya, melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. "Tiga!" Bibirnya melanjutkan berhitung. Roy keluar rumah, lalu berlari pelan di sisa-sisa tenaganya. Roy bingung harus ke mana, dia tidak mungkin ke luar. Sebab, jarak antar pintu rumahnya dan pintu gerbang pagar terlalu jauh untuk bisa dia jangkau dengan kaki yang saat ini sedang gemetaran. Dia celingukkan, kemudian dia berlari ke arah mobil Dona yang terparkir tak jauh dari pintu rumah. Roy masuk, sayangnya kunci mobil itu tidak ada di tempatnya. "Sial, bagaimana gue bis
"Gue akan membunuh elu!" teriak Roy lagi sambil berlari. Air mata menetes mengiringi langkah kakinya itu. Ada perasaan sakit yang tergurat di hatinya, perasaan kehilangan dan marah penuh emosi kala mata itu melihat kematian kedua orang tuanya secara bergantian. Dina tersenyum lebar, walaupun begitu, masih saja terlihat menyeramkan buat Roy. Pemuda itu menyerang dengan tubuh lemah dan pandangan mata yang kabur. Tidak begitu jelas saat tinjunya melayang. Dina merunduk, menghindari serangan Roy yang mudah terbaca. Kemudian gadis itu memiringkan tubuhnya kala serangan Roy datang kembali padanya. Perempuan muda itu mendorong tongkatnya, Duk. Tepat mengenai perut Roy yang tak terlindungi oleh apapun. Roy dibuat mundur beberapa langkah, kakinya bergemetaran saat serangan itu menyakiti perutnya lagi. Pemuda malang itu mengeluarkan isi perutnya yang hanya tinggal cairan bercampur sedikit makanan yang dia telan tadi siang. Napasnya diambang batas, hanya tinggal sisa-sisa. Dia sudah tidak k
Dona bangun dengan perut terasa keram dan perih. Dia mengambil kembali palu yang sempat terlepas dari tangannya. Lalu wanita itu berjalan tertatih, rasa sakit di perutnya membuat dia tidak bisa bergerak bebas. Dia melihat Roy sedang menyerang Dina dengan kayu. "Roy?" bisiknya. Netranya mendapati serpihan kaca yang berantakan di lantai, pecahan kaca itu bercampur darah Roy yang sudah mengotori lantai. Wanita itu memperhatikan gerakan Dina, gadis itu rupanya sudah terdesak oleh serangan demi serangan dari putranya. Gadis itu juga terlihat gugup walau kemarahan terlihat jelas di sorot mata berwarna hitam legam itu. Dona mendadak menutup mulutnya. Roy hampir saja menusuk perut perempuan muda itu. Dia cukup terkejut, dia juga tidak bisa membayangkan bila matanya harus melihat darah muncrat darinperut gadia itu. Akan tetapi serangan Roy di tahan oleh Dina dengan tangannya. "Gadis itu? Dia ... dia bisa menahan serangan Roy yang cepat itu? T-tapi bagaimana bisa dia melakukannya?" pikir Don