Dina terdiam, kemudian dia melepaskan jari jemarinya pelan-pelan setelah dia puas membunuh Roy dengan caranya sendiri. Sosok hitam keluar dari tubuhnya, keadaan Dina kembali tenang setelah membunuh keluarga Roy. Namun, dia terlihat bingung kala kondisinya kembali seperti semula. Netranya melihat keadaan dirinya sendiri, sambil melihat telapak tangannya. Hanya ada darah segar yang lambat laun berubah kering. "Ada apa denganku? Kenapa semua darah ada di tubuhku? Apa yang sudah aku lakukan?" bisik batinnya bingung. Dia merasa tidak melakukan apapun, hanya raganya saja yang bergerak mengikuti naluri yang dikendalikan oleh sosok hitam yang berdiri di sampingnya. Perkataan Aipda Buyung diabaikan, dia masih berkutat pada dirinya sendiri. "Ayo ikut kami, dan Anda berhak di dampingi pengacara!" kata Aipda Buyung mulai menyentuh tangan gadis itu. Dina menoleh, dia menatap Aipda Buyung dengan tatapan bingung. "Ada apa?" tanya Dina menepis tangan Aipda Buyung. "Anda kami tetapkan sebagai pemb
Satu pukulan keras melayang dengan cepat. Tetapi bukan dari arah Dina ke sosok hitam itu, melainkan tinju sipir penjara yang waspada akan gerak-gerik Dina hendak memukulnya. Pipi Dina memar, berwarna kebiruan. Dia tersungkur di lantai mobil tahanan. "Sialan! Berani-beraninya kamu mau mukul seorang sipir penjara!" katanya memaki. "Hajar terus, jangan diberi ampun, perempuan gila seperti dia jangan diberi ampun!" Salah satu polisi itu memprovokasinya. Sosok hitam menghampiri gadis malang yang saat ini masih tersungkur. "Lihat, mereka meremehkanmu. Andai saja kamu tidak menciptakanku, mungkin saja kamu mati dengan seluruh rasa penasaranmu itu, Dina!" kata Sosok hitam berbisik. "Kamu benar-benar menyedihkan!" Dina menggeram, bangun sambil mengepal tangannya. Menatap nanar ke arah dua sipir penjara yang kini bersikap arogan dan sok berkuasa. "Kau tidak akan bisa melawannya, hanya aku yang bisa membantunya, Dina! Apa kau mau aku bantu, gadis lemah?" tanya Sosok hitam yang sudah tak saba
Dina melakukan pukulan cepat, pemuda itu tidak bisa menghindari pukulan gadis itu. Hidungnya pun meneteskan darah segar yang cukup banyak. Ketiga pemuda lain membiarkannya. "Aaargh ... Sialan!" Pemuda bernama Lalu, dia merebut senjata yang masih digenggam sipir penjara itu dan mengarahkan ke kepala sipir penjaga yang terkena pukulannya. Jari telunjuknya mulai menarik pelatuk senjata itu. "Jatuhkan senjatamu, perempuan iblis!" salah satu polisi muda bangun dari duduk dan menodongkan senjatanya di samping kepala Dina. "Jangan macam-macam, kami berempat tidak ada segan-segan membunuhmu!" katanya lagi, ikut menarik pelatuk agar Dina tidak gegabah mengambil tindakan itu. Dina melirik, tatapan serius polisi di sampingnya tidak sedang main-main dengan ancamannya pada dia. "CEPAT! JATUHKAN SENJATAMU BANGSAT!" teriak polisi itu hilang kesabarannya. Pelan-pelan gadis itu merunduk, meletakan senjata di lantai mobil tahanan. Sekali lagi, matanya melirik ke polisi muda yang tampaknta belum be
Tubuh Dina penuh luka, tanpa sadar di dalam mobil tahanan tersebut. Bensin keluar dari tangki, tak lama percikan api yang berasal dari kabel yang mengelupas mulai membakar sedikit demi sedikit bagian badan mobil tahanan yang terkena bensin. Sopir mobil tahanan pun tak sadarkan diri. Luka parah. Pecahan beling dari kaca depan memperparah wajah sopir itu. Apipun mulai membesar ... Doar. Ledakan kecil membuat kobaran semakin besar dan cepat menjalar. Warga yang melihat kejadian itu, bergegas menghampiri mobil itu. Jalanan menjadi sangat macet. Tak lama, Dina mengerjapkan netranya. Lambat laun terbuka pelan-pelan. Dia baru menyadari bahwa dirinya terhimpit besi, dan rasanya sangat sakit. Gadis itu mulai menyingkirkan besi itu, di kaki Dina luka itu membekas parah. Membiru. "Sial! Ada apa ini?" Sesaat di dalam tubuhnya tidak ada sosok hitam yang mempengaruhinya. Tubuhnya melemah tak bertenaga. "Semua badanku sakit semua," bisik batinnya lagi. Dia teringat, bahwa sosok hitam mengusain
"BUNUH DIA SEKARANG, BODOH!" bentaknya dengan nada tinggi. "Tidak! Aku tidak mau melakukannya lagi!" Dina menahan tangannya agar tidak mengacungkan pada Dandy. Pemuda itu bingung melihat Dina berbicara pada dirinya sendiri. "Ada apa dengan gadis ini?" pikir Dandy, dia hanya bisa mengamati. "Bodoh ... kenapa aku malah melihat gadis gila itu berbicara sendirian? Bukankah ini kesempatanku untuk kabur?" pikirnya melihat ke arah pintu penjara. Pemuda itu berjalan pelan sambil mengawasi terus ke arah Dina. "Berhenti!" teriak Dina pada Dandy pemuda itu tak berkutik. Diam mematung di tengah-tengah. Lalu .... Dor. Dor. Dua peluru melesat cepat dari moncong senjatanya. Peluru itu meleset ke arah sasaran, tangan kiri Dina menghalangi senjata itu membunuh pemuda gondrong yang mematung. Dandy sangat kaget. Dengar suara tembakan yang begitu keras di telinganya. Dia menoleh, peluruh itu hampir saja mengenai dirinya. "Gila! Untung saja peluru itu meleset. Kalau tidak, bisa mampus," bisik bati
Langkah kaki berayun pelan. Nyaris tidak tak terdengar. Suara deru napas berhembus sedikit memburu setiap kali kakinya menapaki jejak jalan bertanah basah diguyur hujan. Awan berwarna abu-abu begitu setia kawan mengiringi langkah kaki tak beralas itu dengan rintik hujan.Telinga gadis itu, begitu terganggu oleh teriakkan orang-orang yang menyuarakan agar dirinya untuk segera dihukum mati. Entah bagaimana dia begitu dibenci oleh orang-orang yang saat ini memandangnya jijik, semua berawal dari berita para wartawan yang meliputi kasus besar yang telah ia perbuat. Berita itupun akhirnya tersiar kemana-mana, dari mulut ke mulut, hingga di hati orang-orang menaruh dendam dan kebencian padanya akibat membaca berita kesadisannya."Beri hukuman mati ... jangan diberi ampun!" teriak salah seorang dari gerombolan masyarakat yang menyaksikan tertangkapnya gadis itu."Dasar pembunuh gila! Gak punya otak. Kau pantas mati, tempatmu di neraka!" teriak lainnya begitu membencinya."Perempuan laknat! Man
Malam, jam sudah menunjukan di angka 12 malam. Seharusnya begitu tenang. Seharusnya malam ini menjadi sunyi. Hari di mana orang-orang pergi tidur setelah seharian bekerja. Namun, terdengar suara anak kecil yang menyayat hati, parau dan terdengar pilu di sebuah rumah kontrakkan kecil di salah satu desa di kota Bandung. "Ampun Mah, maafkan aku Mah. Aku janji gak akan ngompol lagi!" Jeritnya sambil menangis, memohon ampun dan berusaha menutup kepalanya dari sabetan sapu lidi ibunya itu. "Alah ... janji mulu tiap hari. Tapi mana? Kamu tetap saja mengompol," teriak wanita itu terus memukuli anaknya yang baru berusia 4 tahun. Ia begitu bersemangat saat memukuli bocah perempuan yang lugu itu. "Mamah sudah capek ngebilangin kamu agar berhenti mengompol dan pecahin barang-barang di rumah, tapi kamu tetap saja melakukan itu, Dina! Mamah juga benci sekali sama ayah kamu yang pergi meninggalkan kamu yang nakal ini sama Mamah!" "Sudah pukul aja, biar dia ngerasain kalau kita capek, Mah, tiap har
Gadis itu mengingatnya, mengingat bagaimana dia di perlakukan buruk oleh kedua orang tuanya. Bahkan, ia termasuk gadis yang tidak bisa membaca dan juga tidak bisa menulis hingga sekarang. Dia juga tidak tahu bagaimana dirinya bisa menjadi seorang pembunuh, psikopat yang sangat sadis. Tapi dia tidak pernah ingat melakukan apapun. Semua tanpa sadar, tidak ada yang tersimpan di kepalanya. Hingga ia seperti orang bodoh yang lupa ingatan. Seperti kajadian tadi, saat penangkapan dirinya, ia sangat terkejut ketika tangannya sudah berlumur darah dan memegang pisau, korban pun dalam keadaan terikat tali dengan lidah menjulur keluar dan terpotong. Dia histeris, seolah menjadi orang kehilangan akal, gila, stres dan tak berprikemanusian. Anggapan-anggapan itu membuat dia seakan-akan menjadi tersangka utama pada pembunuhan tadi. Psikopat sejati yang sadis tanpa rasa iba terhadap korbannya. Gadis itu teringat, bagaimana ia menjadi pribadi yang dingin dan tidak lagi ceria seperti sebelum penyiksa