Tubuh Dina terdorong oleh Tino hingga terjatuh. Besi di tangannya terlepas, menggelinding dan berhenti tepat di dekat kaki Tino. "Ngapain kamu di sini?" tanya Tino tak bersahabat, tangannya bertelak pinggang dan tatapan matanya terlihat sinis. "Kau ingin balas dendam pada kami, huh?"
Dina diam, tidak menghiraukan apa yang di tanyakan Tino. "Bodoh, kau tuli, huh!" Ia menendang lengan Dina. Bocah itu tersungkur di tanah. "Gak punya mulut sampai-sampai kamu cuekin pertanyaanku?"Senyuman khas Dina terlihat mengerikan. Ia mendongak dan sengaja memperlihatkannya pada Tino dan Ryan. "Kalian ingin tau?" tanya Dina bangun dari tersungkurnya. Berdiri tegap tanpa ada mimik rasa takut menghadapi dua anak laki-laki bertubuh dua kali lebih besar darinya.Tangannya mengangkat, "Aku mau membunuh kalian berdua!" Menunjuk bergantian ke arah Tino dan Ryan.Ryan, wajah bocah berkulit putih itu semakin pucat, bukan takut akan ancaman Dina, melainkan dia takut akan mimik wajah bocah berusia 7 tahun yang tak wajar. Bocah itu sama sekali tak punya rasa ngeri atau ketakutan saat menghadapinya dan Tino seperti beberapa jam lalu."Ada apa dengan anak ini? Kenapa dia terlihat berbeda dengan yang tadi!" Tino pun merasakan apa yang Ryan rasakan perubahan di dalam diri Dina. Ia mencoba tenang, namun aura dalam tubuh Dina benar-benar ada sesuatu yang mengendalikan dirinya. Mengerikan.Tino berusaha tertawa terbahak-bahak walau terdengar terpaksa. Dia hanya tidak ingin Dina semakin berani padanya. "Kau ingin membunuh kami? Bagaimana bisa tubuh kurus, kecil dan pendek kayak kamu bisa membunuh kami berdua, ya kan, Ryan?" Tino menyikut dada Ryan. Lalu ia menoleh ke arah temannya itu.Ryan terdiam, matanya memandang lurus ke depan, tepatnya ke arah Dina berada. Tidak berkutik maupun bergerak. Ketakutan. Tino melihat apa yang Ryan lihat. Benar dugaannya, Dina yang ia pandangi.Duk.Tino menyikut dua kali lebih keras ke perut Ryan. "Ngapain kamu lihat Dina kayak begitu?" bisik Tino rada kesal."Kamu nyadar gak, sih, kalau anak itu sedikit berbeda dari biasanya?" tanya Ryan penasaran. Tino mengangguk mantap."Kita harus hati-hati, jangan sampai kita gegabah!" balas Tino. Mereka asik berbisik tanpa menyadari bahwa Dina sudah berada di dekat mereka berdua."Kalian sedang ngomongin aku?" tanya Dina. Ryan dan Tino tersentak. Dina sudah bersiap menghajar keduanya, tangan itu mengayun cepat. Mereka berdua melangkah mundur."Dasar bocah gila!" pekik Tino. Dina hanya tersenyum, terus menyerang hingga mereka berdua tanpa takut dan tak gentar sedikitpun."Ryan ... lari Ryan!" teriak Tino yang sudah lebih dulu berlari. Ryan terdiam, ia sedikit syok dengan tindakkan Dina. "Sial, kenapa dia diam saja?" pikir Tino, mau tidak mau dia kembali dan menarik bajunya. Untungnya Tino menarik baju Ryan lebih cepat dari ayunan tongkat yang di arahkan Dina ke wajah Ryan."Bodoh, kamu mau mati di tangan bocah gila itu, huh?" oceh Tino mengomel."Kamu pikir aku gila? Ya, gak lah! Tadi, entah kenapa kakiku benar-benar gak bisa bergerak, seolah aku terhipnotis olehnya!" sahut Ryan. Mereka berlari cepat. Dina mengejar Ryan dan Tino di belakang dengan senyuman menyeringai yang menjadi ciri khasnya itu. Tatapan mata tajam dan sedikit melotot. Dina seolah tidak mau melepaskan kedua bocah laki-laki itu."Sekarang kita harus keluar dari sini. Bisa-bisa kita mati di tangan bocah gila itu!" seru Tino."Bagaimana dengan Azhar, Fadil dan Dede? Kamu mau meninggalkan mereka bertiga dan di bunuh gadis gila itu?""Mau gimana lagi? Kita harus selamatkan diri kita sendiri. Lagi pula, siapa suruh mereka bersembunyi di tempat yang susah ditemukan!" Tino tidak ingin mengambil resiko dengan membiarkan gadis itu membunuhnya.Namun, di belakang mereka sudah tidak terlihat lagi Dina mengejar. "Tunggu!" henti Ryan. Dia sudah tak melihat Dina mengejar mereka lagi."Ada apa lagi?" sahut Tino dengan ketusnya."Di mana gadis itu?" tanya Ryan penasaran."Ssst! Jangan berisik!" Suara Dina dari belakang. Tino dan Ryan menoleh. Dan ....BukGedebuk.Satu pukulan keras tepat mengenai kepala Ryan. Bocah laki-laki itu terjatuh. Pingsan seketika dengan darah keluar dari kepalanya."Ryan!" pekik Tino syok. Dia tidak bisa membayangkan, bocah berusia 7 tahun, berbadan kurus dan lemah bisa membuat Ryan yang jauh lebih tinggi, kuat dan jago beladiri itu harus terkapar dengan sekali pukulan saja. "Dasar bocah gila!" umpat Tino melangkah mundur.Dina terkekeh. "Kamu berisik sekali!" kata Dina bernada suara berat. Lalu dia mulai mengangkat tongkatnya kembali.Tino bergidik, lalu membalikkan tubuhnya dan berlari sekuat tenaga agar bisa terbebas dari kejaran Dina. "TOLOONG! TOLOONG AKU!" teriak Tino, tak peduli ada atau tidak yang mendengar teriakkannya itu. Dia terus saja berteriak."Benar-benar berisik!" ucap Dina. Dia tidak mengejar dari arah yang dilalui Tino. Bocah perempuan itu justru melangkah lewat samping bangunan besar yang sudah berlumut serta usang itu. Bagi Dina, bangunan ini adalah menjadi tempat persembunyiannya kala dirinya sehabis di pukuli dan di siksa kedua orang tuanya.Sudah sangat hafal kemana dia harus melangkah pergi untuk bisa menghalangi langkah bocah laki-laki besar itu kabur.Kaki Tino berhenti secara mendadak. Matanya terbelalak saat melihat sosok yang kini paling ia takuti. Padahal beberapa jam lalu dia begitu sombong dan berani menghajar Dina hingga babak belur tanpa ampun. Napasnya kian memburu, jantungnya kian berdetak kencang. "B-bagaimana bisa d-dia sudah sampai lebih dulu di pintu gerbang?" tanyanya dalam hati. Wajahnya sudah sangat pucat sekaligus kelelahan.Lagi-lagi bocah itu hanya tersenyum. Tangannya mulai mengangkat tangannya. Tino bersigap setiap gerakan tangan Dina itu."Tolong ... siapapun tolong aku!" teriak Tino sekali lagi. Tubuhnya gemetaran, bibirnya bergetar hebat saat berteriak meminta tolong. Dina tak berkata apapun, bocah perempuan itu terus melangkah, menghampiri Tino.Dan itu sengaja Dina lakukan membuat bocah laki-laki itu kelelahan untuk mengalahkannya. Dia menyadari, bahwa dirinya tak akan mampu melawan bocah berbadan dua kali lebih besar darinya itu."Bocah gila! Kau pikir aku takut denganmu? Aku tidak takut sama sekali!" bentaknya mencoba menggeretak Dina. Namun, bocah perempuan itu sudah tidak ada rasa takut sama sekali. Ucapan Tino seakan lelucon yang patut ditertawakan olehnya. Kaki mungil tanpa mengenakan sandal itu melangkah, semakin mendekati Tino.Justru, bocah laki-laki besar berkulit sawo matang itulah yang takut dengan mimik wajah serta tatapan mata Dina. Kaki besarnya melangkah mundur, "Kau ingin membunuhku bukan? Ayo lakukan kalau kau ingin membunuhku! Aku tidak takut padamu, Dina!" teriaknya menantang, dia sudah terlihat putus asa menghadapi Dina, terlebih lagi saat dia melihat Ryan harus terkapar di tanah dengan darah yang terus keluar dari kepalanya.Dina tak merespon, dia lebih suka bermain-main terlebih dahulu dengan Tino. Bocah perempuan itu ingin membuat Tino seperti dirinya, memelas, memohon ampun, namun tetap menyiksa sampai lawannya lemah tak berdaya.Mata Tino melihat sekeliling, mencari sesuatu untuk bisa melawan Dina. Namun, tiba-tiba saja Dina berlari kencang. "Dasar gila!" gumam Tino, dia bergegas membalikkan badannya. Lalu berlari.Buk.Nasib sialnya tidak berpihak padanya.****BersambungNasib sialnya tidak berpihak padanya. Dina sudah berada di depannya dan memukul keras wajah Tino. Bocah laki-laki itu cukup kuat, masih saja tersadar terkena besi berkarat itu. Dina bergegas menghampiri Tino sebelum kesadaran bocah laki-laki itu pulih sepenuhnya. Tangan bergerak cepat, berayun sambil mengarahkan tangannya ke kepala Tino. Bocah itu mengabaikan kepalanya yang berlumur darah, tidak peduli darah itu mengalir di wajahnya. Tino berusaha berdiri sambil berpegangan di tembok. Napasnya terengah-engah, ketakutannya semakin menjadi. Tubuhnya gemetaran saat ia menegakkan kakinya. "JANGAN LAKUKAN ITU PADAKU!" teriak Tino menutupi kepalanya dengan tangan. Ia benar-benar putus asa saat terdesak seperti ini. Takut akan kematian, takut darah keluar lagi dari celah mata, hidung dan mulut seperti Ryan. Dina menghentikan tangannya, melirik ke arah Tino yang mendadak menjadi seorang pengecut. Keberaniannya sesaat tadi menyiksa bocah perempuan itu seolah-olah menghilang. Napas Tino tak
Perlahan-lahan ingatan tentang masa lalunya yang kelam terbuka sedikit-sedikit. Ia merasa ada yang aneh pada dirinya sendiri, tapi apa? Dina pun tidak mengerti itu, dia merasa dikendalikan di setiap gerakkan bahkan tubuhnya seakan dikuasai oleh seuatu yang tidak pernah dia ketahui bentuknya. Tiba-tiba kepalanya terasa sangat sakit sekali. Dia memaksakan diri untuk mengingat semua kejadian demi kejadian yang membuat dia seperti seorang psikopat tak berperasaan. Pembunuh berdarah dingin yang ketagihan membunuh, menyukai lihat orang merintih kesakitan, memelas dan memohon ampun padanya. "Aaargh!" pekiknya mengagetkan petugas penjara dan kedua polisi. "Hei, kenapa denganmu?" tanya petugas penjara berwajah kuatir. Dina menunduk dengan tangan yang terus menjenggut rambutnya sendiri. Kepalanya semakin sakit, begitu dia tersiksa oleh ingatan yang tidak pernah ada namun ia sudah melakukan di luar kesadarannya. "Kamu baik-baik saja, nona?" Pertanyaan petugas itu tidak dipedulikan oleh Dina,
Winda langsung terbawa emosi dari hasutan Randy, laki-laki pengangguran bermulut iblis seperti perempuan. Lalu, ia beranjak bangun. Sementara Dina duduk diam di pinggiran kasur, Winda mendobrak masuk tanpa mengetuk pintu. Gadis kecil itu terperangah, wajahnya ketakutan melihat ibu yang telah melahirkannya berdiri dengan wajah menyeramkan. Jari-jarinya memainkan ujung baju, gelisah. "M-mamah?" Winda bergegas menghampiri, menyeret Dina untuk berdiri dan menyuruh untuk mengikutinya. Kejadian yang terus berulang-ulang. "Ikut Mamah sekarang!" "K-kita mau kemana, Mah?" Dina tak mengerti. Saat ini wajah bocah itu benar-benar terlihat polos seperti bocah pada umumnya. "Mamah akan beri kamu hukuman atas tingkahmu hari ini!" imbuhnya. Dina merasa tak bersalah, dia sudah menuruti apa yang ibunya perintahnya. Apapun itu, gadis kecil itu tidak pernah membantahnya. "T-tapi salah Dina apa, Mah? B-bukankah Dina sudah membawakan uang hasil jualan hingga habis. Tapi kenapa Mamah masih menghukum
Lalu, Debuaaar. Tabung gas meledak. Meluapkan api menjadi sangat besar dan membakar semuanya. merambat cepat. "Aaargh!" teriak Winda dan Randy kepanasan. Pakaiannya mulai ikut terbakar, lalu menjalar dengan sangat cepat. Gas dari tabung gas itulah yang membuat api itu cepat merambat ke tubuh ibu dan ayah tiri Dina. Mereka berdua menggeliat, lalu berguling-guling di lantai. Berusaha memadamkan api yang terus membakar tubuh mereka. Sayangnya, gas dari tabung gas sudah memenuhi tubuh Winda dan Randy, api tidak mudah padam."Aarh ... panas! Tolong ... tolong aku!" teriak Winda dan Randy. Winda menghampiri Dina, meminta tolong pada bocah itu. "Dina ... tolong Mamah, Nak! Tolong padamkan api di tubuh mamah!" pinta Winda, tangannya menggapai, berusaha meraih kaki bocah kecil itu.Akan tetapi, Dina justru menginjak kaki Winda. "Aaargh!" pekiknya. Saat ini, bocah perempuan itu sedang tak ingin memberi belas kasih pada ibu dan ayah tirinya yang sudah sering menyiksa. "Lebih baik, mamah nik
Sementara itu, di tempat berbeda. Tepatnya di sebuah rumah kecil, di mana seorang wanita yang selalu menolong Dina saat dibully anak-anak nakal di sekolah. Dia bergegas mengambil ponsel yang tergeletak di meja walau dirinya sibuk mencuci pakaian di kamar mandi. "Hallo Bu Zahra!" Suara itu terdengar lantang tanpa memberi salam. "Waalaikum salam, Bu Santi. Ada apa menelepon saya malam-malam?" tanya wanita itu yang ternyata bernama Zahra. Dia duduk di kursi. "Begini Bu Zahra, saya mau tanya ... apakah Fadil sudah pulang sekolah?" "Fadil?" tanya Zahra sedikit heran. "Dia sudah pulang, Ibu, bersama teman-temannya tadi jam 5 sore. Memangnya kenapa, Bu?" "Iya Bu, Fadil sampai sekarang belum pulang. Biasanya jam 6 juga sudah pulang!" "Masa sih, Bu! Tapi tadi aku lihat Fadil, Tino, Ryan, Dede dan Azhar pulang bareng-bareng, Bu!" sahut Zahra. Ia merasa yakin bahwa kelima anak itu, termasuk Fadil sudah pulang dari sekolah. Sebab, dia melihat sendiri kelima anak itu jalan beriringan. "Apakah
"Baik, data ini akan saya pegang. Nanti saya akan beritahu ke tim untuk siapkan mobil untuk mencari mereka!" Imbuh polisi itu membaca ulang nama-nama anak yang hilang. "Dan saya minta, Bu Zahra jangan pulang dulu. Anda harus memberitahu lokasi saat ibu melihat kelima anak tersebut!" "Baik, Pak!" sahut Zahra. Kemudian polisi itu berjalan ke dalam membawa kertas itu beserta keterangan dari Zahra. "Bu Zahra, memangnya benar si Dina anak tukang kue itu pulang bareng anak-anak kami?" tanya Bu Sinta penasaran, ia duduk mendekati Zahra yang duduk di luar. Ibu-ibu yang lain ikut mengerubungi Zahra. Zahra hanya terdenyum melihat keingintahuan kelima ibu-ibu tentang pernyataannya pada polisi tadi. "Tidak bareng Bu, tapi saya melihat Dina jauh di belakang anak-anak ibu semua!" "Sukurlah, saya pikir bareng. Menjijikan banget anak saya bergaul dengan anak tukang kue itu!" Bu Gita merasa jijik menyebut nama gadis kecil itu. Zahra tidak bisa berbuat banyak, dan merasa tidak ada hak mengomentari
Kemudian, tak seberapa jauh dari pintu gudang, kaki mereka berhenti di sebuah tumpukan. Namun tumpukan itu tidak terlalu jelas terlihat oleh mereka. Terlalu gelap untuk mendapati pemandangan jelas dan apa yang ada di depan mereka. Letnan Dani menyalakan senter dari ponselnya. "Ya Tuhan! Tino?" Bu Gita terpekik, menutup mulutnya. Tino berada persis di atas Ryan, Fadil, Dede dan Azhar. Begitu terlihat nyata mayat anak Ibu Gita, kepalanya penuh luka, bajunya dipenuhi darah kering. Tubuhnya sudah membiru, binatang-binatang kecil mulai menggerogoti tubuh gemuknya. Pemandangan yang sangat mengerikan. Bukan hanya bu Gita saja, bu Harum, bu Santi, bu Yuni dan bu Fitra juga bereaksi sama. Antara ingin memeluk dan enggan karena bau busuk yang menyengat. Mengurungkan niat untuk memeluk tubuh anaknya. Ia memeluk Bu Santi, ibunya Azhar sama syoknya dengan apa yang dia lihat. Bu Yuni, Bu Harum dan Bu Fitra pun sama syoknya. Ketakutan dan tidak percaya anak-anak mereka sudah dalam keadaan mati me
Zahra mengendarai motornya setelah sesampainya di kantor polisi, ia bergegas ke rumah Dina. Di dalam pikiran Zahra, ada dugaan terhadap Dina setelah mendengar keterangan Letnan Dani tentang pelaku pembunuhan itu, awalnya ia sempat menampik tentang semua pernyataan dari para polisi. Namun, ciri-ciri pelaku secara spesifik yang dijelaskan Letnan Dani membuatnya ia berspekulasi tentang pelaku pembunuhan anak-anak muridnya. Tadi, sebelum Sersan Gunawan menggiring dia dan kelima ibu-ibu muridnya, Zahra sempat menanyakan ciri-ciri pelaku pada Letnan Dani. "Maaf, Pak! Kalau boleh tau dan kalau saya tidak salah dengar, apakah benar pelaku adalah seorang anak kecil?" Zahra sangat penasaran dengan apa yang ia dengar. Senyum di bibir Letnan Dani mengembang. "Itu benar sekali, Ibu! Tapi ini baru dugaan kami saja, tidak bisa dijadikan acuan untuk menganggap itu hal yang benar sebelum kami benar-benar menemukan buktinya. Akan tetapi, mudah-mudahan kami bisa menemukan titik terang atas dugaan ter
"BUNUH DIA SEKARANG, BODOH!" bentaknya dengan nada tinggi. "Tidak! Aku tidak mau melakukannya lagi!" Dina menahan tangannya agar tidak mengacungkan pada Dandy. Pemuda itu bingung melihat Dina berbicara pada dirinya sendiri. "Ada apa dengan gadis ini?" pikir Dandy, dia hanya bisa mengamati. "Bodoh ... kenapa aku malah melihat gadis gila itu berbicara sendirian? Bukankah ini kesempatanku untuk kabur?" pikirnya melihat ke arah pintu penjara. Pemuda itu berjalan pelan sambil mengawasi terus ke arah Dina. "Berhenti!" teriak Dina pada Dandy pemuda itu tak berkutik. Diam mematung di tengah-tengah. Lalu .... Dor. Dor. Dua peluru melesat cepat dari moncong senjatanya. Peluru itu meleset ke arah sasaran, tangan kiri Dina menghalangi senjata itu membunuh pemuda gondrong yang mematung. Dandy sangat kaget. Dengar suara tembakan yang begitu keras di telinganya. Dia menoleh, peluruh itu hampir saja mengenai dirinya. "Gila! Untung saja peluru itu meleset. Kalau tidak, bisa mampus," bisik bati
Tubuh Dina penuh luka, tanpa sadar di dalam mobil tahanan tersebut. Bensin keluar dari tangki, tak lama percikan api yang berasal dari kabel yang mengelupas mulai membakar sedikit demi sedikit bagian badan mobil tahanan yang terkena bensin. Sopir mobil tahanan pun tak sadarkan diri. Luka parah. Pecahan beling dari kaca depan memperparah wajah sopir itu. Apipun mulai membesar ... Doar. Ledakan kecil membuat kobaran semakin besar dan cepat menjalar. Warga yang melihat kejadian itu, bergegas menghampiri mobil itu. Jalanan menjadi sangat macet. Tak lama, Dina mengerjapkan netranya. Lambat laun terbuka pelan-pelan. Dia baru menyadari bahwa dirinya terhimpit besi, dan rasanya sangat sakit. Gadis itu mulai menyingkirkan besi itu, di kaki Dina luka itu membekas parah. Membiru. "Sial! Ada apa ini?" Sesaat di dalam tubuhnya tidak ada sosok hitam yang mempengaruhinya. Tubuhnya melemah tak bertenaga. "Semua badanku sakit semua," bisik batinnya lagi. Dia teringat, bahwa sosok hitam mengusain
Dina melakukan pukulan cepat, pemuda itu tidak bisa menghindari pukulan gadis itu. Hidungnya pun meneteskan darah segar yang cukup banyak. Ketiga pemuda lain membiarkannya. "Aaargh ... Sialan!" Pemuda bernama Lalu, dia merebut senjata yang masih digenggam sipir penjara itu dan mengarahkan ke kepala sipir penjaga yang terkena pukulannya. Jari telunjuknya mulai menarik pelatuk senjata itu. "Jatuhkan senjatamu, perempuan iblis!" salah satu polisi muda bangun dari duduk dan menodongkan senjatanya di samping kepala Dina. "Jangan macam-macam, kami berempat tidak ada segan-segan membunuhmu!" katanya lagi, ikut menarik pelatuk agar Dina tidak gegabah mengambil tindakan itu. Dina melirik, tatapan serius polisi di sampingnya tidak sedang main-main dengan ancamannya pada dia. "CEPAT! JATUHKAN SENJATAMU BANGSAT!" teriak polisi itu hilang kesabarannya. Pelan-pelan gadis itu merunduk, meletakan senjata di lantai mobil tahanan. Sekali lagi, matanya melirik ke polisi muda yang tampaknta belum be
Satu pukulan keras melayang dengan cepat. Tetapi bukan dari arah Dina ke sosok hitam itu, melainkan tinju sipir penjara yang waspada akan gerak-gerik Dina hendak memukulnya. Pipi Dina memar, berwarna kebiruan. Dia tersungkur di lantai mobil tahanan. "Sialan! Berani-beraninya kamu mau mukul seorang sipir penjara!" katanya memaki. "Hajar terus, jangan diberi ampun, perempuan gila seperti dia jangan diberi ampun!" Salah satu polisi itu memprovokasinya. Sosok hitam menghampiri gadis malang yang saat ini masih tersungkur. "Lihat, mereka meremehkanmu. Andai saja kamu tidak menciptakanku, mungkin saja kamu mati dengan seluruh rasa penasaranmu itu, Dina!" kata Sosok hitam berbisik. "Kamu benar-benar menyedihkan!" Dina menggeram, bangun sambil mengepal tangannya. Menatap nanar ke arah dua sipir penjara yang kini bersikap arogan dan sok berkuasa. "Kau tidak akan bisa melawannya, hanya aku yang bisa membantunya, Dina! Apa kau mau aku bantu, gadis lemah?" tanya Sosok hitam yang sudah tak saba
Dina terdiam, kemudian dia melepaskan jari jemarinya pelan-pelan setelah dia puas membunuh Roy dengan caranya sendiri. Sosok hitam keluar dari tubuhnya, keadaan Dina kembali tenang setelah membunuh keluarga Roy. Namun, dia terlihat bingung kala kondisinya kembali seperti semula. Netranya melihat keadaan dirinya sendiri, sambil melihat telapak tangannya. Hanya ada darah segar yang lambat laun berubah kering. "Ada apa denganku? Kenapa semua darah ada di tubuhku? Apa yang sudah aku lakukan?" bisik batinnya bingung. Dia merasa tidak melakukan apapun, hanya raganya saja yang bergerak mengikuti naluri yang dikendalikan oleh sosok hitam yang berdiri di sampingnya. Perkataan Aipda Buyung diabaikan, dia masih berkutat pada dirinya sendiri. "Ayo ikut kami, dan Anda berhak di dampingi pengacara!" kata Aipda Buyung mulai menyentuh tangan gadis itu. Dina menoleh, dia menatap Aipda Buyung dengan tatapan bingung. "Ada apa?" tanya Dina menepis tangan Aipda Buyung. "Anda kami tetapkan sebagai pemb
Dina gelagapan, walau dia berhasil menahan selang yang hampir menjerat lehernya, dia tetap kesulitan untuk membebaskan diri dari jeratan selang. "Aaah ... aku harus bisa membebaskan diri dari laki-laki bejat ini!" bisik batin Dina. Sayangnya tak ada hasil, namun gadis itu tidak kehabisan akal, dia membenturkan kepalanya ke dahi Roy sambil mendorong tubuhnya ke belakang. Debuk. "Aaargh" pekik Roy kesakitan. Dina terlalu keras membenturkannya hingga kepala Roy terasa pusing. Gadis itu melakukannya berulang-ulang kali. Roy tetap mempertahankan genggaman erat jari-jarinya pada rantai. Kakinya terus mundur ketika Dina membenturkan kepala dan mendorong tubuh Roy. Sayangnya, kaki pemuda itu tidak lagi bisa melangkah. Tubuhnya terhimpit tembok. Dia tidak bisa bergerak ke mana-mana lagi. Buuak. Gadis itu membenturkan kepalanya lagi, lagi dan lagi hingga kepala bagian belakang Roy harus beradu dengan tembok. Darah membekas di tembok, luka di kepala Roy sangat parah. Dina membebaskan diri
Senyuman itu mengembang, sangat mengerikan bagi Roy. Gadis itu menunggu Roy melangkah sejauh mungkin dari rumah. Lalu bibirnya bergerak. "Satu!" Gadis itu mulai berhitung kala Roy sudah sedikit jauh jaraknya. "Dua!" Lanjutnya, berhitung di dalam hati. Roy melihat ke belakang. Dia tidak tau harus pergi ke mana. Pemuda itu sangat yakin Dina akan menemukannya, sebab, tubuh Roy sudah sangat lemah dan tak bertenaga. Tatapan seram Dina membuat Roy memalingkan wajahnya, melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. "Tiga!" Bibirnya melanjutkan berhitung. Roy keluar rumah, lalu berlari pelan di sisa-sisa tenaganya. Roy bingung harus ke mana, dia tidak mungkin ke luar. Sebab, jarak antar pintu rumahnya dan pintu gerbang pagar terlalu jauh untuk bisa dia jangkau dengan kaki yang saat ini sedang gemetaran. Dia celingukkan, kemudian dia berlari ke arah mobil Dona yang terparkir tak jauh dari pintu rumah. Roy masuk, sayangnya kunci mobil itu tidak ada di tempatnya. "Sial, bagaimana gue bis
"Gue akan membunuh elu!" teriak Roy lagi sambil berlari. Air mata menetes mengiringi langkah kakinya itu. Ada perasaan sakit yang tergurat di hatinya, perasaan kehilangan dan marah penuh emosi kala mata itu melihat kematian kedua orang tuanya secara bergantian. Dina tersenyum lebar, walaupun begitu, masih saja terlihat menyeramkan buat Roy. Pemuda itu menyerang dengan tubuh lemah dan pandangan mata yang kabur. Tidak begitu jelas saat tinjunya melayang. Dina merunduk, menghindari serangan Roy yang mudah terbaca. Kemudian gadis itu memiringkan tubuhnya kala serangan Roy datang kembali padanya. Perempuan muda itu mendorong tongkatnya, Duk. Tepat mengenai perut Roy yang tak terlindungi oleh apapun. Roy dibuat mundur beberapa langkah, kakinya bergemetaran saat serangan itu menyakiti perutnya lagi. Pemuda malang itu mengeluarkan isi perutnya yang hanya tinggal cairan bercampur sedikit makanan yang dia telan tadi siang. Napasnya diambang batas, hanya tinggal sisa-sisa. Dia sudah tidak k
Dona bangun dengan perut terasa keram dan perih. Dia mengambil kembali palu yang sempat terlepas dari tangannya. Lalu wanita itu berjalan tertatih, rasa sakit di perutnya membuat dia tidak bisa bergerak bebas. Dia melihat Roy sedang menyerang Dina dengan kayu. "Roy?" bisiknya. Netranya mendapati serpihan kaca yang berantakan di lantai, pecahan kaca itu bercampur darah Roy yang sudah mengotori lantai. Wanita itu memperhatikan gerakan Dina, gadis itu rupanya sudah terdesak oleh serangan demi serangan dari putranya. Gadis itu juga terlihat gugup walau kemarahan terlihat jelas di sorot mata berwarna hitam legam itu. Dona mendadak menutup mulutnya. Roy hampir saja menusuk perut perempuan muda itu. Dia cukup terkejut, dia juga tidak bisa membayangkan bila matanya harus melihat darah muncrat darinperut gadia itu. Akan tetapi serangan Roy di tahan oleh Dina dengan tangannya. "Gadis itu? Dia ... dia bisa menahan serangan Roy yang cepat itu? T-tapi bagaimana bisa dia melakukannya?" pikir Don